Latest News

Saturday, August 22, 2009

Resensi Novel Rara Mendut Karya Romo Mangun

Novel panjang ini dibukukan penerbit Gramedia dari cerbung Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun, alm.) di harian Kompas. Tokohnya rata-rata perempuan : Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Semua perempuan yang berdialektika dengan pilihan-pilihan individual menentang dominasi patriarkis masyarakat Jawa tahun 1500-1600-an.


Konteks cerita adalah kuasa Mataram di era Sultan Agung Hanyakrakusuma dan putranya, Amangkurat I. Dikisahkan bagaimana Rara Mendut, perempuan pesisiran yang diambil Tumenggung Wiraguna, panglima perang Mataram untuk dijadikan selir. Mendut menolak oleh sebab Tumenggung itu bukan lelaki pilihan. Wiraguna pun mengambil Mendut selaku selir bukan atas dasar kesukaan pribadi, melainkan sebagai perlambang kejantanan perang bahwa ia mampu menaklukan wanita pesisir, Pati. Pati adalah wilayah pesisir utara Mataram yang memberontak di bawah Adipati Pragola. Wiraguna membasmi pemberontakan tersebut, berikut membawa serta selir-selir Pragola ke Mataram.

Mendut memilih Pranacitra, lelaki pesisiran pula, anak Nyai Singabarong juragan kapal asal Pekalongan. Nyai Singabarong ini pun perempuan mandiri dan pengusaha sukses. Ia ingin Pranacitra meneruskan usaha dagangnya dengan menjodohkan putranya itu dengan putri juragan asal Malaka. Pranacitra menolak dan tetap mencari Mendut, perempuan yang telah lama ia perhatikan tatkala ia berguru nakhoda kapal dengan Siwa, kakek Rara Mendut.

Ujung dari konflik asmara Wiraguna dan Rara Mendut adalah perkelahian antara Tumenggung Wiraguna dengan Pranacitra dibantu Rara Mendut. Mendut dan Pranacitra tewas dalam perkelahian dan dilarung ke Laut Selatan. Spirit pilihan individual Mendut atas Pranacitra dilanjutkan dayangnya, Genduk Duku.

Duku adalah perempuan berdarah campuran Jawa dan Bima (NTB). Ia ahli dalam menilai performa kuda. Duku sempat ditaksir Amangkurat I tatkala ia masih remaja dan bernama Jibus atau Rangkah. Jibus ini hidung belang dan Genduk Duku adalah salah satu perempuan yang digandrunginya. Padahal saat itu Duku telah menikah dengan Slamet. Duku sempat mengerjai Jibus dengan menyamar selaku sundel bolong dan membawa remaja putra mahkota itu ke pekuburan. Jibus takut benaran dan menganggap Duku benar-benar sundel bolong.

Usaha Duku yang monumental adalah tatkala ia menolong Tejarukmi, selir Wiraguna yang ditaksir Jibus dan masih kanak-kanak. Karena tua, Tejarukmi lebih memilih Jibus yang muda. Wiraguna marah dan protes kepada Sultan Hanyakrakusuma seputar ulah anaknya yang membawa kabur selir kanak-kanak. Ini menimbulkan konflik politik di level palace circle. Jibus dibackup oleh Tumenggung Wirapatra, sementara Wiraguna mampu mempengaruhi Pangeran Alit, putra Hanyakrakusuma lainnya. Buntut dari konflik ini adalah dibunuhnya Pangeran Alit oleh kaki tangan Jibus. Tejarukmi dan Slamet (suami Duku) pun tewas di tangan Wiraguna yang marah. Jadi, Wiraguna telah membunuh 2 perempuan akibat pilihan-pilihan mereka, Mendut dan Tejarukmi.

Usai konflik dengan Wiraguna, Duku mengasingkan diri dan menjadi makelar kuda. Putrinya Lusi Lindri mengganti tokoh perempuan mereka. Lusi Lindri mengabdi kepada Tumenggung Singaranu dan istrinya Pinundhi. Pasangan Singaranu dan Pinundhi adalah pasangan baik. Singaranu sendiri adalah tumenggung yang punya kredibilitas dan orang kepercayaan Sultan Hanyakrakusuma. Ia adalah guru Amangkurat I dan memiliki musuh Tumenggung Wirapatra yang ambisius.

Dari Singaranu, Lusi diambil oleh Kanjeng Nyai Ratu, ibunda Amangkurat I. Ia dimasukkan sebagai anggota Trinisat Kenya, pasukan elit 30 perawan perempuan yang melindungi raja. Ia diajari ketrampilan membunuh ala secret service-nya Amerika Serikat. Ia menaksir Hans, putra tawanan Belanda dengan perempuan Gunung Kidul. Ia mengamati bagaimana Amangkurat I dikelilingi 10.000 selir tetapi tidak mampu menjalankan tugas sebagaimana suami layaknya. Kanjeng Nyai Ratu khawatir, dan menemukan kesempatan tatkala Amangkurat I menaksir istri seorang dalang. Amangkurat I ngotot memperistri si istri dalang kendati telah bersuami oleh sebab ia mirip dengan Tejarukmi, selir Wiraguna yang masih kanak-kanak dahulu.

Atas nasihat Wirapatra (tumenggung kepercayaan Amangkurat I), dicarilah racun untuk membunuh si dalang. Racun yang dahsyat dimiliki Pangeran Selarong, kakak dari Sultan Hanyakrakusuma almarhum. Dikirimlah Lusi untuk mengambil racun tersebut yang ternyata dibohongi Selarong. Selarong tidak memberikan racun melainkan yang palsu. Si dalang terbunuh bukan akibat racun Selarong tetapi oleh usaha Tumenggung Wirapatra.

Akhirnya, istri si dalang yang telah hamil 2 bulan diangkat selaku permaisuri oleh Amangkurat I. Ia menjadi istri kesayangan Amangkurat I bahkan anaknya yang berasal dari benih si dalang diakui anak pula oleh raja Mataram. Dan, demikian seterusnya intrik-intrik politik dikisahkan melalui kacamata perempuan lewat goresan pena Romo Mangun.

Novel ini cukup panjang, dengan nuansa kejawaan yang kental. Pandangan-pandangan hidup jawa era 1500-1600-an dilukiskan penulis dengan detail. Bagaimana kondisi patriarkis masyarakat jawa dipertentangkan dengan spirit pilihan individual di mata perempuan yang merdeka. Selain itu, penulis melukiskan intrik politik di level palace circle secara hidup. Bagaimana hasut, pengaruh, dan pembalasan mewarnai perilaku politik Amangkurat I yang bertolak belakang dengan ayahnya, Sultan Hanyakrakusuma. Selamat membaca.


tags:
resensi novel rara menduk romo mangun novel rara mendut karya romo mangun yb mangunwijaya era mataram islam feminisme tradisional indonesia penerbit gramedia

Sunday, August 2, 2009

Pengaruh Struktur Sosial terhadap Sistem Kepartaian Indonesia

Struktur kepartaian dan struktur sosial Indonesia. Umum diketahui, terdapat suatu hubungan antara struktur sosial yang berkembang di suatu Negara dengan struktur kepartaian di level politik. Dapat dikatakan, struktur kepartaian merupakan “puncak gunung es”, puncak yang dibentuk dari struktur fundamen yang terdiri atas struktur sosial masyarakat. Di Eropa Barat, partai-partai komunis muncul akibat berkembangnya gerakan buruh yang dipengaruhi filsafat politik Karl Marx dan Friedrich Engels. Dalam Pemilu 2009, Partai Aceh yang notabene merupakan partai local ikut sebagai kontestan sebagai hasil kesepakatan Helsinki. Keikutsertaan partai tersebut sebagai kompensasi pergerakan GAM yang tidak lagi menuntut kemerdekaan politik dari NKRI.

Di Inggris, masyarakat terbelah menjadi 2 elemen besar : Pengusaha dan Pekerja. Para pengusaha dan kalangan konservatif bergabung ke dalam Partai Konservatif, sementara kalangan pekerja dan kalangan gerakan sosial masyarakat sipil bergabung ke dalam Partai Buruh. Sama halnya di Amerika Serikat, tatkala masyarakat mengalami bipolarisasi menjadi kalangan pro pengusaha dan pro pekerja, partai politik secara otomatis terkondisikan menjadi Partai Republik dan Partai Demokrat. Potret Indonesia

Partai politik merupakan supra struktur masyarakat, yang pertumbuhannya lebih merupakan akibat (ketimbang sebab) dari proses-proses yang bergerak di struktur basis (masyarakat). Ini pun tidak terhindarkan di Indonesia. Secara historis, Indonesia memiliki lebih dari 100-an partai. Variasi ini menandai terpolarisasinya struktur sosial yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kendati demikian, struktur-struktur tersebut kemudian terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok besar. Ini dibuktikan dengan pilihan politik yang tumpah ke partai-partai politik yang “itu-itu” saja.

Penggolongan Masyarakat Indonesia

Nasikun menulis sejumlah penggolongan atas masyarakat Indonesia. Misalnya penggolongan berdasarkan perbedaan suku bangsa (Jawa – NonJawa), agama (Islam Santri, Islam NonSantri, Kristen, dan NonIslam Lain), pelapisan sosial (priyayi dan wong cilik), urban-rural (desa dan kota).1 Jadi, berbeda halnya dengan pemusatan bifurkasi (pembelahan) sosial ala Eropa yang lebih menekankan dimensi ekonomi, bifurkasi sosial di Indonesia selain ekonomi juga akibat perbedaan region, keyakinan, dan pelapisan sosial.

Pada demokrasi liberal pertama (1950-1959) misalnya, dapat ditelusuri kemunculan PNI selaku partai politik dari garis struktur sosial ini. PNI identik dengan kalangan priyayi Jawa, kaum borjuis local, birokrat pemerintah, dan kaum budaya Jawa. Pengaruh dari PNI merasuk melalui tokoh-tokoh masyarakat yang dekat dengan kalangan pemerintahan. Sementara itu sebaliknya, PKI muncul akibat terkonsentrasinya “apatisme” kalangan wong cilik, petani kecil, buruh, dan kalangan Islam NonSantri. Masyumi memiliki basis politiknya dari kalangan Islam Modern, Muhammadiyah, kalangan pedangan kelas menengah perkotaan. NU, di sisi lain, tumbuh dari gerakan Islam Tradisional (pesantren), penduduk Jawa, dan menganut tradisi patron klien antara kyiai-santri.

Penghubungan antara struktur sosial dengan struktur politik di Indonesia misalnya dilakukan oleh beberapa peneliti. Leo Suryadinata et.al. misalnya mengkaji perilaku pemilih dalam pemilu (selaku variable terikat) dengan variable-variabel bebas seperti agama, etnis, pendidikan, komposisi geografis, populasi migrant dan urban, pendapatan per kapita, dan kemiskinan.2 Selain Suryadinata, peneliti lain seperti R. William Liddle dan Saiful Mujani juga melakukan hal yang hampir mirip.3 Keduanya mengkaji variable-variabel seperti orientasi agama, ekonomi politik, kelas sosial, identitas etnis, rural-urban, usia dan gender.

Struktur Sosial : Agama

Lewat hasil penelitiannya, Leo Suryadinata, et.al. menggambarkan pembedaan struktur sosial masyarakat Indonesia berdasarkan agama. Sayangnya, penelitiannya hanya mengkategorikan penganutan agama Islam dan NonIslam yang tampak pada gambar di bawah ini4 :


Populasi penganut Islam di Indonesia secara keseluruhan >80%, sementara di pulau Jawa >95% dan di luar Pulau Jawa antara 70%-80%. Namun, jika diterapkan teori Clifford Geertz tentang “aliran”, maka di Jawa, penganut Islam dapat dibagi kembali berdasarkan aliran tradisional, modernis, dan abangan. Demikian pula halnya dengan penganut Islam di luar pulau Jawa. Penganut NonIslam dapat dibedakan kembali menurut Kristen (Protestan, Katolik), Hindu, Buddha, Konghucu, dan agama-agama local. Bifurkasi agama seperti ini diantara ditampakkan lewat anutan pilihan partai politik, antara partai agama dan partai-partai nasionalis.

Sementara sebaran anutan agama menurut provinsi diperoleh hasil sebagai berikut ini1:


Islam menempati posisi mayoritas di hampir setiap provinsi, sementara NonIslam hanya mayoritas di provinsi-provinsi Maluku, Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, populasi NonIslam ini pun masih terbagi ke dalam agama-agama yang cukup bervariasi.

Struktur Sosial : Etnis

Kajian struktur sosial Indonesia pun kerap mengacu pembagian Jawa – NonJawa. Jawa merupakan etnis terbanyak di Indonesia. Hal ini telah terjadi sejak masa pra Indonesia, di mana menurut sejarawan Belanda, Bernard H.M. Vlekke, merupakan dampak kemakmuran. Pulau Jawa telah menghasilkan surplus bahan makanan pokok, sehingga melakukan “outward-looking” guna mencari wilayah-wilayah baru guna ditinggali. 

Selain itu, factor “cultuur-stelsel” Belanda, yang mengharuskan sistem tanam paksa produk-produk eksport ke Eropa (tebu/gula, kopi, teh) membuat lahan-lahan pertanian di Jawa menyusut, terjadi pengangguran petani, dan mendorong penduduk Jawa bermigrasi ke wilayah-wilayah lain, selain kebijakan Belanda sendiri mengangkut orang-orang Jawa guna mengerjakan tanah perkebunan di Sumatera dan Sulawesi.

Berikut adalah komposisi penduduk Jawa – NonJawa di tiga puluh provinsi Indonesia1:


Lampung merupakan provinsi non pulau Jawa di mana etnis Jawa hadir selaku mayoritas dengan 68.89%. Melihat komposisi etnis Indonesia yang beragam hampir di tiap provinsi, jumlah etnis Jawa cukup memadai untuk dinyatakan eksistensinya, yaitu di atas 20.000 jiwa.

Struktul Sosial : Rural – Urban

Rural – Urban atau desa – kota merupakan 2 kategorisasi struktur sosial yang digunakan demi menjelaskan tema fragmentasi suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, dikotomi rural (desa) dan urban (kota) tidak simplistik diwakili Jawa – NonJawa atau Islam – NonIslam. 

Terminologi urban biasanya merujuk pada wilayah dan sistem mata pencarian penduduk. Perdagangan, industrialisasi, kosmopolitanisme (etnis yang membaur unsure primordialismenya), kerja berdasar kontrak, merupakan beberapa cirri dari masyarakat urban. Sementara, masyarakat rural dicirikan dengan masih berlangsungnya sistem mata pencarian subsisten (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan), hubungan komunalistik, kepemilikan sendiri alat produksi, ataupun pembentukan institusi sosial berdasar kekerabatan. 

Lewat terminologi di atas, kategorisasi rural – urban tidak melulu diterapkan antara Jawa – NonJawa. Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, BanjarMasin, ataupun Surabaya dapat dimasukkan ke dalam kategori wilayah urban (kota). Sementara wilayah Gunung Kidul, Blambangan, Brebes, kendati berada di pulau Jawa masih dapat dikategorikan wilayah rural. Indonesia sendiri cukup bervariasi dalam hal wilayah rural dan urban ini. Perbedaan-perbedaan ini membuat partai-partai politik dengan berbagai isu beda dapat tumbuh di hampir aneka wilayah Indonesia.

Analisis Nasikun

Berdasarkan dikotomi struktur penduduk berdasar agama (Islam, NonIslam), etnis (Jawa, NonJawa), dan wilayah (rural-urban), Nasikun memetakan kemunculan partai-partai politik “aliran” di tahun 1955 sebagai berikut1:


Islam Santri terdiri atas beberapa kategori seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, termasuk ke dalamnya Persatuan Islam (Persis), yang memiliki grassroot di kalangan masyarakat Indonesia. Sementara Islam NonSantri adalah kalangan Islam yang tidak masuk ke dalam kategori Muhammadiyah, NU, ataupun Persis. Mereka relative dekat dengan kalangan partai-partai berasas nasionalis. Sesuai namanya, kalangan nonIslam lebih dekat kepada partai-partai berhaluan Kristen.

Islam Santri yang berada di kota erat hubungan dengan tradisi urban, dengan pekerjaan berdagang, pendidik, pegawai pemerintah. Sementara Islam Santri yang berada di desa erat hubungannya dengan pesantren, pertanian, perkebunan, nelayan, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang bercorak otonom alat produksinya. Kondisi ini pun hampir sama dengan kalangan Islam NonSantri, baik di Desa (Wong Cilik) dan Kota (Priyayi).

Kota merujuk pada wilayah urban, sementara desa merujuk pada wilayah rural. Wong Cilik adalah terminology yang dirujukkan pada elemen masyarakat yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, dengan status pekerjaan yang kurang tetap dan terus dirundung masalah pemenuhan kebutuhan subsisten (pangan, sandang, papan). Sementara Priyayi merujuk pada kalangan bangsawan, berkemampuan ekonomi menengah ke atas, kalangan berpendidikan dan merupakan pejabat pemerintah.

Nasikun merupakan seorang penulis yang karya tulisnya Sistem Sosial Indonesia masih dirujuk sebagai text book mata-mata kuliah yang berhubungan dengan sistem sosial Indonesia. Kuliah ini pun akan menggunakan analisis Nasikun sehubungan dengan hubungan struktur sosial masyarakat dengan kemunculan dan pilihan partai politik di Indonesia.

Basis masyarakat Islam Santri kemudian membentuk organisasi-organisasi sosial semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini memiliki titik pertumbuhan berbeda. Muhammadiyah tumbuh di kalangan urban, sementara NU tumbuh di kalangan rural. Pada perkembangannya, wilayah urban dan rural ini tidak lagi menjadi cirri utama anggota kedua organisasi di atas.

Masyumi muncul, awalnya sebagai persatuan antara kalangan Muhammadiyah dan NU. Pada perkembangannya, Masyumi kemudian pecah dan NU keluar dari organisasi tersebut untuk kemudian membentuk Liga Muslimin Indonesia. Karakter Masyumi kemudian lebih diwarnai Muhammadiyah. Menurut Nasikun, Masyumi memiliki basis di petak nomor 7 dan 8, yaitu kalangan Islam Santri luar Pulau Jawa, baik di wilayah kota (wong cilik) dan desa (priyayi). NU berbeda, sebab ia lebih punya basis di petak nomor 2, yaitu Islam Santri Pulau Jawa di kalangan Desa (priyayi).

PNI (Partai Nasional Indonesia) memiliki basis di petak nomor 3 dan 4, yaitu di etnis Jawa, baik di wilayah desa (wong cilik) maupun kota (priyayi). PNI memperoleh competitor yaitu PKI, yang memiliki basis terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau petak 3 dan 4. Terjadi tarik-menarik antara PKI dan PNI dalam memperebutkan massa yang punya grassroot sosial sama. “Musuh” PKI, yaitu PSI (Partai Sosialis Indonesia) besar di petak nomor 9, yaitu kalangan Islam NonSantri luar pulau Jawa, dan merupakan kalangan Desa (Wong Cilik).

Sementara itu, struktur sosial yang nonIslam lebih tertuju kepada partai-partai beraliran Kristen semacam Parkindo ataupun Partai Katolik. Partai-partai jenis ini dominan di petak nomor 11 dan 12.

Kritik atas Pendekatan Nasikun

Pendekatan Nasikun, terutama dipengaruhi oleh teori Clifford Geertz tentang Religion of Java. Teori pembagian struktur masyarakat di Mojokuto ke dalam Santri, Abangan, dan Priyayi digunakan sebagai basis analisisnya atas akar hubungan struktur sosial dengan partai politik. Pendapat tersebut tidak terlampau salah oleh sebab Pemilu 1955 memang kental nuansa politik alirannya.

Analisis lebih lanjut tentu saja terus dilakukan seputar hubungan antara basis struktur sosial dengan partai politik. Pasca pemilu 1999, 2004, dan 2009, analisis seperti dicontohkan Nasikun terus digunakan meski dengan kadar validitas yang semakin berkurang. Analisis aliran tepat tatkala pemilih relative emosional ketimbang rasional.

Partai-partai nasionalis, menurut analisis Nasikun, tentunya hanya berkembang di wilayah Jawa, termasuk juga kalangan Islam Santri tradisional. Sementara, persebaran penduduk beretnis Jawa (seperti sudah tersedia dalam table-tabel sebelumnya) juga tersebar di provinsi-provinsi “outer” (luar Jawa).

Salah satu bentuk “dukungan” atas analisis Nasikun antaranya ditunjukkan Andreas Ufen.1 Ufen mengujar, pemilu 1955 memang didasarkan atas politik aliran. Politik aliran ini kemudian teredam selama Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru Suharto. Pemilu 1999 kemudian memunculkannya kembali lewat sejumlah kenyataan seperti : PKB yang mewarisi NU 1955 yang berbasis jaringan di kalangan rural, pesantren, pimpinan karismatik (kyai); PDIP yang meneruskan PNI yang secular, bertahan atas karisma Sukarno; Masyumi yang diteruskan tradisinya secara terpecah oleh PPP, PAN, dan sebagian oleh PKS).

Namun, Ufen juga berujar bahwa telah terjadi “dealiranisasi”. Artinya, terjadi perubahan komposisi partai. Muncul partai-partai dengan platform yang lemah, berisukan kepentingan jangka pendek, dominasi tokoh, tiada aktivitas antar pemilu, ataupun mengandalkan koalisi jangka pendek antar partai. Munculnya partai-partai ‘gurem’, partai-partai dengan tokoh (Hanura, Gerindra, Demokrat, PBR), merupakan gejala dari ‘dealiranisasi.'

Perubahan ini pun merupakan imbas dari pola struktur masyarakat Indonesia yang tengah berubah. Perubahan cara pandang, migrasi penduduk, komposisi etnis di tiap provinsi, menaiknya tingkat pendidikan, merupakan beberapa penyebab lahirnya partai-partai baru maupun menurunnya suara partai-partai lama yang berdasarkan aliran politik.

-------------------------------------------
Referensi

  • Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006) p.25-6.
  • Leo Suryadinata, et.al., Indonesian Electoral Behavior: A Statistical Perspective, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004).
  • Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h. 63.
  • R. William Liddle and Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, (Department of Political Science, Ohio State University, tt). 

tags:
pengertian struktur sosial indonesia pengaruh struktur sosial atas politik indonesia kategori sosial indonesia