Latest News

Sunday, March 1, 2020

Studi Kasus menurut Jennifer Rowley

Rowley menyebut Studi Kasus sebagai strategi penelitian. [1] Studi Kasus banyak digunakan oleh para mahasiswa dan peneliti newbie yang proyek risetnya cukup sederhana, yaitu di tempat kerja mereka ataupun membandingkan sejumlah organisasi secara terbatas.

Tantangan Studi Kasus, bagi Rowley, adalah mengatrol investigasi dari sekadar fokus pada 'what happens' menjadi sebuah penelitian yang cukup berharga, sehingga dapat menambah pengetahuan. Tulisan Rowley ini didasarkan atas karya-karya Yin, Hamel et.al., Eaton, Gomm, Perry, dan Saunders et.al. Namun, Rowley sendiri berupaya menyuling aspek-aspek kunci dari Studi Kasus agar para peneliti newbie bisa memanfaatkannya sebagai prinsip kunci dalam pendekatan riset mereka. Sebab itu, tulisan Rowley ini berkisar pada: kapan Studi Kasus bisa digunakan, bagaimana desain risetnya, bagaimana pengumpulan datanya, bagaimana analisis datanya, dan bagaimana menuliskan aneka bukti yang dihasilkan ke dalam suatu laporan ataupun disertasi. 

Kapan Studi Kasus Digunakan 

Bagi Rowley, Studi Kasus kerap dianggap metode atau strategi penelitian yang secara tradisional dinilai kurang ketat dan obyektif. Ini apabila ia diperbandingan dengan metode-metode riset sosial lainnya. Namun, Studi Kasus justru banyak digunakan sebab ia menawarkan cara pandang yang tidak bisa dicapai lewat pendekatan lain. Studi Kasus kerap dilihat sebagai suatu metode yang bermanfaat manakala hendak dilakukan studi pendahuluan, tahapan eksploratif atas sebuah proyek penelitian, sebagai dasar dari pembangunan instrumen penelitian yang “lebih terstruktur” dan penting dalam mengkonduksi survey ataupun eksperimen di penelitian-penelitian selanjutnya.

Mengenai definisi Studi Kasus, Rowley mengutip Eisenhardt, “ ... secara khusus cocok bagi area penelitian baru atau area penelitian di mana teori yang ada dinilai sudah tidak lagi mencukupi. Jenis karya ini (Studi Kasus) sangat komplementer dengan pembangunan teori secara inkremental dari penelitian riset umumnya. Studi Kasus bermanfaat di awal tahapan penelitian atas suatu topik atau di saat cara pandang baru yang lebih segar dibutuhkan, sementara yang belakangan (penelitian ilmiah biasa) bermanfaat dalam tahap lanjutan dari pengembangan pengetahuan.” Menurut Rowley, Studi Kasus bermanfaat dalam menjawab pertanyaan how dan why. Peran Studi Kasus adalah pada penelitian eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif. 

Tahap pertama dalam penentuan Studi Kasus adalah apakah ia akan berguna dalam jenis penyelidikan tertentu. [2] Ada 3 (tiga) faktor yang menentukan metodologi penelitian terbaik: (1) jenis pertanyaan yang hendak dijawab; (2) perluasan kendali atas aneka perilaku; dan (3) derajat fokus pada fenomena kontempore saat dilawankan dengan fenomena historis. Jenis pertanyaan penting yang diajukan dalam Studi Kasus adalah who, what, dan where yang bisa diselidiki lewat dokumen, analisis arsip, survey, dan wawancara. Studi Kasus adalah satu pendekatan yang mendukung kedalaman dan investigasi yang lebih rinci dalam menjawab pertanyaan ‘apa’ dan ‘mengapa.’

Rowley menyebut, Studi Kasus juga baik untuk menginvestigasi aneka fenomena aktual dengan mana aneka perilaku yang relevan tidak bisa dimanipulasi. Umumnya, Studi Kasus menggunakan buki dari berbagai sumber berbeda: dokumen, artifak, wawancara dan observasi, dan ini melampaui apa yang biasanya tersedia dalam penelitian historis. Dengan demikian, seraya mengutip Yin, Rowley menyimpulkan bahwa Studi Kasus bermanfaat tatkala “suatu pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ tengah ditanyakan tentang seperangkat peristiwa kontemporer di mana si peneliti hanya punya sedikit atau tidak memiliki kendali. Rowley membuat tabel sederhana bagaimana suatu strategi penelitian dipilih berdasarkan pertanyaan penelitiannya:


Kembali ke masalah definisi Studi Kasus.[3] Dengan mengutip Yin, Rowley mendefinisikan Studi Kasus sebagai “inkuiri empiris yang menginvestigasi fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata, terutama manakala batasan antara fenomena dan konteks tidak begitu jelas.” Kekuatan Studi Kasus adalah kemampuannya melakukan investigasi atas suatu fenomena dalam konteksnya sendiri. Ia tidak butuh replikasi fenomena nyata untuk dipindahkan ke dalam laboratorium seperti dalam penelitian eksperimental. Rowley mengingatkan, jangan kacaukan Studi Kasus dengan Studi Etnografi dan paradigma riset Kualitatif lainnya. Data dalam penelitian Studi Kasus dapat didasarkan atas campuran Kuantitatif dan Kualitatif. Data dalam Studi Kasus dapat bersumberkan atas dokumen, wawancara, observasi. Sebagai tambahan, Studi Kasus dapat terdiri atas kasus single ataupun multipel. 

Desain Riset

Rowley menyebut desain riset kerap dianggap suatu misteri bagi para peneliti newbie. Penjelasan desain riset Rowley atas Studi Kasus menggunakan pendekatan positivistik dan deduktif. Sebab itu, ia perlu menentukan pertanyaan dan proposisi sebagai arahan dalam pengambilan data. Hal ini kontras dengan dengan Grounded Theory atau pendekatan induktif, dengan mana pertanyaan, pemahaman, proposisi, dan gambaran muncul dari pengambilan data. Rowley berpijak pada pendapat bahwa pendekatan Positivistik menyediakan fundasi yang lebih kuat untuk pemahaman dan menangani masalah seperti validitas dan reliabilitas, serta dalam hal melakukan strukturasi atas pengambilan data dan analisisnya. 

Apa itu desain riset? Bagi Rowley, desain riset adalah nalar yang menghubungkan antara data yang akan dikumpulkan dan kesimpulan yang hendak diambil atas pertanyaan penelitian sebelumnya; Ia harus memastikan terjadinya koherensi. Cara lain Desain Riset juga merupakan rencana aksi dari pertanyaan hingga kesimpulan penelitian. Sebab itu, dalam Studi Kasus hal yang harus dicapai adalah serupa, dan sebab itu harus melibatkan penentuan komponen dasar investigasi seperti pertanyaan penelitian dan proposisi, agaimana validitas dan reliabilitas dapat diterapkan, dan semilihan desain Studi Kasus. 

Rowley menyusun desain penelitian menjadi 5 (lima) tahap, yaitu: [4] (1) Pertanyaan penelitian; (2) proposisi penelitian; (3) unit analisis; (4) nalar yang menghubungkan antara data dengan proposisi; dan (5) kriteria dalam menafsirkan hasil temuan. 

Pertama, pertanyaan penelitian harus dibuat sejelas mungkin. Aneka teori sehubungan topik Studi Kasus dapat dijadikan bahan membuat pertanyaan penelitian. Kedua, studi-studi deskriptif dan ekplanatif perlu proposisi. Pertanyaaan penelitian perlu diterjemahkan ke dalam proposisi. Peneliti harus membuat spekulasi, atas dalasar literaratur dan aneka bukti yang ada terlebih dahulu sebagaimana apa yang mereka harapkan untuk ditemukan di dalam penelitian. Pengumpulan data dan analisis lalu bisa distrukturasi dalam rangka mendukung atau menolak proposisi penelitian. Ketiga, unit analisis adalah basis (dasar) bagi Studi Kasus. Ia bisa berupa individu (seperti pimpinan bisnis atau seseorang yang punya pengalaman merarik), atau peristiwa (seperti keputusan, program, proses impelementasi atau perubahan organisasi), atau organisasi ataupun tim ataupun departemen di dalam organisasi. Kadang sulit mengidentifiksi batasan dari uni analisis. Isu sentralnya adalah bahwa Studi Kasus wajib hanya mempertanyakan unit analisis, dan sub-sub unitnya; sumber-sumber bukti dan bukti yang diperoleh ditentukan oleh batasan yang menentukan unit analisis tersebut. Keempat, karena pilihan atas unit analisis atau kasus adalah penting, maka pilihan kasus harus ditentukan oleh tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, proposisi penelitian, dan konteks teoretis. Namun, juga ada batasan lain yang berdampak atas pilihan kasus. Ini termasuk aksesibilias (apakah data yang dibutuhkan dapat diperoleh dari kasus individu atau organisassi), sumberdaya (apakah sumber daya tersedia untuk mendukung perjalanan dan pengumpulan data serta biaya analisis), dan waktu yang tersedia (jika waktu terbatas, lebih mudah menganalisis bisnis skala kecil keimbang bisnis skala besar atau untu mengidentifikasi unit analisis di dalam organisasi skala berskala besar ketimbang organisasi sebagai keseluruhannya. Kelima, penting untuk menentukan data mana yang penting dalam rangka mendukung ataupun memusnahkan proposisi, dan untuk merefleksikan kriteria penafsiran temuan penelitian.

Generalisasi, Validitas, dan Reliabilitas 

Generalisasi Studi Kasus bermanfaat dalam melaukan kontribusi atas teori, dan ini hanya dapat terjdi jika desain Studi Kasus secara mencukupi menggunakan teori. [5] Dalam Studi Kasus, generalisasi dilakukan bukan secara statistik melainkan secara analisits. Teori terdahulu digunakan sebagai template untuk kemudian diperbandingkan dengan temuan Studi Kasus. Morley menyebut ada 4 (empat) tes yang perlu diadakan untuk menguji kualitas riset empiris, yaitu: (1) Validitas Konstruk; (2) Validitas Internal; (3) Validitas Eksternal; dan Reliabilitas.

Sama seperti Bhattarjee, Rowley mempermasalahkan single-case dan multiple-case dalam desain Studi Kasus. Desain single-case mirip dengan sigle experiment. Multiple-case didesain untuk membangun atau menolak suatu teori. Studi Kasus juga bisa dibedakan ke dalam studi yang sifatnya holistik ataupun embedded. Holistik adalah Studi Kasus yang menguji kasus sebagai satu unit, fokus pada aneka isu yang luas seperti budaya atau strategi organisasi. Embedded adalah Studi Kasus yang didesain untuk mengidentifiksasi jumlah sub—sub unit (seperti pertemuan, peran, atau lokasi) yang setiapnya dijelajahi secara individual. 

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam Studi Kasus bergantung pada kompetensi peneliti. Penelitian adalah agen aktif dalam melakukan penafsiran atas data yang terkumpul. Sebab itu, peneliti harus cerdas dalam melancarkan pertanyaan wawancara, mendengarkan, dan menginterpretasikan jawaban. Morley menawarkan protokol pengumpulan data dalam Studi Kasus yaitu: (1) Tinjauan atas proyek Studi Kasus; (2) prosedur-prosedur lapangan; (3) pertanyaan penelitian atau pertanyaan yang harus dicamkan peneliti dalam pengumpulan data. [6] 

Pengumpulan Bukti

Bagi Morley, Studi Kasus memperoleh data dari aneka sumber.[7] Termasuk ke dalamnya adalah dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipatoris, dan artifak fisik. Persoalannya adalah, bagaimana peneliti harus menyikapi seluruh sumber data yang berlimpah ini? Morley menawarkan 3 cara yaitu: (1) Triangulasi, dengan mana bukti-bukti dapat dikumpulkan dari aneka sumber, kemudian triangulasi dilakukan dengan misi hanya bukti yang menguatkan saja yang dimanfaatkan; (2) Database Studi Kasus, tetap penting untuk dipelihara kendati disertasi sudah selesai, yaitu berupa catatan, memo, dokumen yang diperoleh selama periode penelitian, transkrip wawancara; dan (3) Rantai Bukti, yaitu bahwa laporan penelitian seharusnya punya bagian yang jelas seputar pengutipan dokumen dan wawancara.

Analisis Bukti Studi Kasus

Strategi analisis data dalam Studi Kasus adalah menggunakan proposisi penelitian yang merangkum tujuan dari penelitian dan yang telah turut menentukan pengumpulan data. [8] Dari proposisi inilah semua bukti disuling, dicari mana yang mendukung ataupun menolak proposisi yang sudah diajukan sebelumnya. Secara umum, tidak ada sesuatu yang baku dalam menganalisis aneka bukti yang diperoleh dalam Studi Kasus, tetapi Morley menyebutkan 4 (empat) hal yaitu: (1) analisis hanya mengambil bukti yang relevan; (2) analisis mempertimbangkan semua penafsiran rival yang utama, dan menjelajahi setiapnya; dan (4) analisis seharusnya ditujukan pada aspek paling signifikan dari Studi Kasus. 

Menulis Laporan Studi Kasus

Menurut Morley, menulis laporan Studi Kasus bisa merupakan suatu hal yang menakutkan. Di sinilah peneliti harus menentukan apa yang perlu atau tidak perlu dimuat dalam laporan disertasi. Analisis yang efektif akan membantu struktur penulisan laporan. Hal yang menjadi acuan dalam penulisan laporan disertasi adalah siapa audiensnya. Audiens potensial dari Studi Kasus adalah kolega akademik, pembuat kebijakan, profesional-praktisi, masyarakat umum, promotor disertasi dan pengujinya, serta penyandang dana penelitian. Para audiens ini punya kebutuhan yang berbeda. [9] 

Perspektif Altenatif Studi Kasus

Morley lebih condong pada Studi Kasus Positivistik. Ia mengutip Yin bahwa pendekatan Studi Kasus Positivistik dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Pendekatan analitis ke arah generalisasi; (2) Teori seharusnya mengkonfirmasi proposisi, dan proposisi mengkonfirmasi pengumpulan dan analisis data; dan (3) Peneliti bertindak selaku komentator, dalam mewakili dan menafsirkan kasus yang berhubungan dengan teori sebelumnya. 

Morley juga mengetengahkan perdebatan antara kalangan Positivistik dan Fenomenologis. Perdebatan ini berkisar pada 3 hal, yaitu: (1) Generalisasi, yaitu apakah generalisasi itu penting? Bagi kalangan Positivistik, generalisasi yang didasarkan atas sampel adalah penting. Pertanyaannya adalah, dapatkan Studi Kasus diterima sebagaimana adanya, dengan pembaca membuat penafsirannya sendiri, dan mengambil gagasan dari Studi Kasus ke dalam pengalamannya sendiri (kerap disebut naturalistic generalisation). Alternatifnya, dapatkan Studi Kasus digunakan sebagai dasar formulasi hipotesis kerja?; (2) Peran teori, yaitu apakah pentng untuk menggunakan teori untu mengkonfirmasi proposisi atau dapatkan Studi Kasus digunakan sebagai dasar pembangunan Grounded Theory, dengan mana teori muncul melalui pengumpulan dan analisis data?; dan (3) Otentisitas dan otoritas, yaitu suara siapa yang direkam dalam laporan Studi Kasus? Sejumlah peneliti menggunakan Studi Kasus sebagai cara untuk ‘mengizinkan suara para partisipan agar bisa terdengar.” Posisi ini didasarkan atas penolakan atau setiap otoritas dari sudut pandangan penelitian Studi Kasus. Di sisi lain, sejumlah orang akan berdalih bahwa setiap tindakan penelitian mengatasnamakan otentisitas suara dengan mana peneliti berupa usaha untuk mendengar, dan bahwa setiap tindakan interaksi dengan para para partisipan menyumbang situasi Studi Kasus. 

Buku Sumber:

Jennifer Rowley, “Using Case Study in Research” dalam Management Research News, Vol. 25 No. 1 (MBC UP Ltd, 2002), pp. 16-27

Sumber Kutifan:

[1] Jennifer Rowley, “Using Case Study in Research” dalam Management Research News, Vol. 25 No. 1 (MBC UP Ltd, 2002), pp. 16
[2] Ibid., p. 17.
[3] Ibid., p. 18.
[4] Ibid., p. 19.
[5] Ibid., p. 20.
[6] Ibid.,p. 22. 
[7] Ibid., p. 23.
[8] Ibid., p. 24.
[9] Ibid., p. 25.

No comments:

Post a Comment