Latest News

Saturday, April 14, 2012

Kelemahan dan Keterbatasan Demokrasi

Demokrasi memiliki keterbatasan. Demokrasi memiliki kelemahan. Demokrasi, sebagai tata cara “governance” tidaklah sempurna kendati kini banyak dipraktekkan negara-negara di dunia. Kendati demikian, di antara ragam tata cara memerintah lainnya, demokrasi kiranya yang paling terbuka dan bersedia untuk dikritik. Publik memiliki kesempatan yang cukup besar dalam mengkritisi kinerja pemerintah lewat mekanisme demokrasi ini.

Tulisan ini tidaklah dimaksudkan meneliti kelebihan-kelebihan demokrasi. Tulisan semacam itu telah banyak disampaikan kalangan akademisi dan politisi kepada publik. Hal yang menarik adalah mengangkat beberapa sisi kelemahan suatu demokrasi. Harapannya, dengan mengetahui sisi lemah demokrasi kita dapat mengajukan saran dan pemikiran konstruktif guna memperbaikinya.

Kajian kelemahan atau keterbatasan demokrasi ini akan didahului oleh kajian kontemporer akan demokrasi dari Charles Tilly. Tilly mengajukan adanya 4 pengertian demokrasi yang kini banyak beredar di wilayah public. Lewat identifikasi pengertian demokrasi yang beredar tersebut, dapatlah kita lebih jelas mengarahkan kritisasi akan sisi lemah demokrasi.

Pengertian-pengertian Demokrasi

Charles Tilly dalam bukunya “Democracy” yang terbit tahun 2007 menyatakan, terdapat 4 pemahaman public akan demokrasi. Keempat pemahaman itu berdampak pada perbedaan penafsiran dan implementasi pemerintah suatu Negara dalam mengadopsi konsep demokrasi. Keempat definisi mengenai demokrasi itu terdiri atas:[1]
  1. Demokrasi secara Konstitusional (constitutional)
  2. Demokrasi secara Substantif (substantive)
  3. Demokrasi secara Prosedural (procedural)
  4. Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented)
Konstitusional. Demokrasi secara konstituonal maknanya, kajian demokrasi terkonsentrasi pada produk undang-undang yang dihasilkan suatu rezim (pemerintah berkuasa) yang berhubungan dengan aktivitas politik. MIsalnya kita mengenali perbedaan produk undang-undang yang dihasilkan oligarki, monarki, republic, dan jenis-jenis pemerintahan lainnya.

Di setiap Negara demokratis tersebut, kita bias bedakan apa yang namanya monarki konstitusional, sistem presidensil, dan parlementarian. Dalam term “konstitusional” tidak termasuk pembedaan antara apa yang namanya struktur pemerintahan federal atau kesatuan. Kajian ini berguna tatkala kita membandingkan antara produk-produk undang-undang yang dihasilkan oleh Negara-negara yang “katanya” menerapkan demokrasi.

Substantif. Demokrasi secara substantif fokusnya pada kondisi kehidupan dan politik yang dikembangkan suatu rezim. Apakah rezim tersebut mempromosikan kesejahteraan warganegara, kebebasan individual, keamanan, kesetaraan, kesetaraan social, pilihan public, atau resolusi konflik secara damai? Itu merupakan pertanyaan yang diajukan kalangan yang mengartikan demokrasi secara substansial.

Dalam pengertian substansial ini, dapat saja suatu Negara dinyatakan sebagai demokratis kendati undang-undang Negara tersebut tidak menggariskan sesuatu yang demokratis. Demokrasi dalam pengertian ini, yang mungkin menyebabkan Mohamad Hatta, founding father Indonesia, menulis artikelnya “Demokrasi Kita.” Di artikel tersebut, Hatta menyatakan bahwa demokrasi tidaklah aneh bagi masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan di nagari-nagari Minangkabau, pengambilan keputusan dilakukan secara bersama berdasar musyawarah untuk mufakat. Meski tidak pernah menyebut “demokrasi”, nagari-nagari tersebut sesungguhnya memberlakukan demokrasi secara substansial.

Prosedural. Demokrasi secara Prosedural adalah perhatian pada prosedur-prosedur pemerintahan yang dilakukan pemerintah. Kajian ini utamanya terfokus pada aspek Pemilihan Umum. Titik perhatiannya pada pemilihan kompetitif yang melibatkan sejumlah besar warganegara yang secara periodik ikut serta dalam pemilihan umum.

Titik perhatian pada pemilihan umum ini krusial, oleh sebab lewat prosedur tersebut perubahan kebijakan dan personil pemerintahan akan terjadi. Jika prosedur pemilihan umum tidak mengandung nuansa kompetitif, penganut aliran procedural ini menganggap suatu Negara tidaklah demokratis. Ini misalnya terjadi di pemilu-pemilu Indonesia era ORde Baru. Pemilu-pemilu yang terjadi tidaklah kompetitif oleh sebab “Negara” ikut serta dalam pemilu lewat salah satu kontestannya. Suatu organisasi bernama Freedom House mengkategorikan, prosedur dari suatu demokrasi adalah: 
  1. Sistem politik multipartai yang kompetitif,
  2. Hak pilih universal bagi orang-orang dewasa,
  3. Adanya pemilu periodic yang mengandung asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, dan
  4. Warganegara dapat mengakses informasi seputar partai politik yang ikut bersaing secara terbuka.
Orientasi Proses. Demokrasi secara Orientasi Proses sangat berbeda dengan tiga pengertian demokrasi sebelumnya. Demokrasi dalam pengertian ini mengidentifikasi sejumlah persyaratan minimum agar suatu pemerintahan atau Negara dinyatakan sebagai demokrasi. Kajian klasik atas ini dilakukan teoritisi kampium demokrasi yaitu Robert A. Dahl. Bagi Dahl, proses-proses minimal suatu demokrasi adalah: 
  1. Partisipasi efektif. Artinya, sebelum suatu keputusan atau kebijakan diambil, masyarakat harus dilibatkan dalam hal pengutaraan pandangan-pandangan mereka.
  2. Hak suara yang sama. Tatkala pengambilan keputusan atas suatu kebijakan akan diambil, setiap yang terlibat harus sama hak suaranya untuk lakukan voting.
  3. Pemahaman. Menjelang pengambilan suatu keputusan, mereka yang terlibat harus berkesempatan mengkaji alternative keputusan lain berikut dampak-dampaknya.
  4. Kontrol Agenda. Semua pengambil keputusan harus berkesempatan mengendalikan cara bagaimana jalannya suatu keputusan atau kebijakan. Mereka dapat merevisi atau memperbaikinya di suatu saat nanti.
  5. Keterbukaan. Seluruh orang dewasa yang sudah tiba hak pilihnya, harus berkesempatan melakukan voting.
Namun konsep Dahl mengenai orientasi proses ini terlampau ambisius dan ia punya kecenderungan menjadi semacam utopia. Kecenderungan ini akibat terlalu luhur dan rincinya prasyarat bagi suatu praktek Demokrasi agar dapat memenuhi orientasi proses. Terlebih di negara dengan luas wilayah yang cukup besar dan penduduk cukup banyak. Sebab itu pula, Dahl berdalih untuk menyebut Demokrasi sebagai Poliarki, bentuk Demokrasi yang lebih adaptabel bagi negara Demokrasi yang besar dalam hal luas wilayah dan jumlah penduduk.
    Posisi Negara dan Pemerintah

    Keempat pengertian demokrasi seperti telah disebut, lebih menitikberatkan pada dimensi-dimensi input suatu sistem politik. Bahkan, pengertian demokrasi konstitusional hanya menggariskan aspek “formalitas” agar suatu Negara dapat dinyatakan sebagai demokratis.

    Problem utama yang kerap muncul dalam suatu demokrasi adalah peran Negara. Cukup banyak Negara yang termasuk demokratis, menurut salah satu dari keempat pengertian tersebut, yang menemui hambatan dalam “action” harian pemerintahan mereka dalam mana di dalam negara yang mempraktekkan Demokrasi justru dihasilkan aneka ketimpangan (inequality). Jadi, bagaimana suatu pemerintahan yang menyatakan diri demokratis menjamin kesetaraan politik dan ekonomi, merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Masalah tindakan harian di dalam negara Demokrasi ini dikritik oleh sejumlah penulis seperti Michael Parenti, Bowles & Gintis, serta Anne Philips. Para penulis tersebut secara garis besar mempermasalahkan Demokrasi yang tidak menjamin adanya pers yang obyektif, diktatorisme dalam penyelenggaran bisnis, rich get richest and poor get poorest, serta budaya patriarkal yang tidak kunjung hilang bahkan di negara Demokrasi mapan seperti Amerika Serikat.

    Kembali pada pendapat dari Charles Tilly, yaitu seputar aspek state capacity. Tidak ada Negara demokrasi yang bisa bekerja jika Negara kekurangan kapasitas dalam mengawasi pembuatan keputusan demokratis dan menerapkan hasil-hasilnya ke dalam praktek. Dari term kapasitas ini, muncul dua konsep lebih lanjut : Negara Kuat (Strong State) dan Negara Lemah (Weak State). Konsep state capacity ini mirip dengan yang populer diajukan oleh Gabriel Almond mengenai kapabilitas sistem politik yang terdiri atas kapabilitas regulatif, responsif, ekstraktif, simbolik, dan distributif.

    State Capacity adalah kemampuan Negara dalam mengubah distribusi sumber daya, kegiatan, dan hubungan antarorang. Misalnya, dalam menerapkan kebijakan anti penyelundupan narkoba di bea cukai, agen-agen pemerintah dapat secara simultan melakukan perubahan yang perlu di seluruh bandara dan pelabuhan laut yang ada di seluruh Indonesia. Jika Negara mampu mempengaruhi seluruh pejabat Negara dan pelabuhan guna mematuhi kebijakan tersebut, state capacity Indonesia dinyatakan cukup.

    Sementara itu, state atau Negara, didefinisikan sebagai suatu organisasi yang memonopoli konsentrasi alat pemaksa di dalam wilayah tertentu, melebihi organisasi lain yang beroperasi di wilayah tertentu itu, dan menerima pengakuan dari organisasi-organisasi lain (termasuk Negara lain), di luar teritorinya. Masalah monopoli ini tidak hanya seputar konsentrasi alat pemaksa semata, tetapi pula kemampuan negara sebagai monopol utama dalam mendistribusikan aneka nilai yang dianggap penting di tengah masyarakat. Negara Demokrasi mapan dikritik oleh Michael Walzer dan artikelnya Complex Equity yang menyebut bahwa negara Demokrasi mapan kalah dominan dari pebisnis besar di negara Kapitalis. Para Kapitalis, dengan kekuatan uangnya, mampu memonopoli sumber daya nilai di tengah masyarakat.

    Sebab itu, suatu rezim dinyatakan punya “high-capacity” jika pejabat-pejabat Negara tatkala melakukan tindakan, tindakan punya pengaruh atas sumber daya, kegiatan, dan hubungan interpersonal warganegara secara signifikan. Rezim yang “low-capacity” adalah sebaliknya. State Capacity inilah yang kerap memunculkan masalah instabilitas dan tidak sinkronnya kebijakan pemerintah. Ini terutama terjadi di rezim-rezim yang mengandalkan koalisi murni dalam menjalankan pemerintahannya. Eksekutif pemegang kendali implementasi kebijakan tidak padu, sebab terdiri dari orang-orang “titipan” partai yang melakukan koalisi. Anggota kabinet partai tertentu yang ikut koalisi kadang punya agenda sendiri dalam kebijakan departemennya. Bahkan, kadang berseberangan dengan “atasannya” yaitu presiden. Contoh untuk ini paling mudah ditemukan. Di Indonesia sebagai misal, ada menteri yang berseberangan dengan presidennya dalam hal kenaikan harga BBM. Menteri dari PKS (partai yang ikut koalisi) periode 2004-2009 pemerintahan SBY bahkan ikut serta mempromosikan hak angket menentang kebijakan penaikan BBM. Itu baru salah satu contoh popular dari rapuhnya pemerintahan koalisi hasil pemilu demokratis.

    Titik-titik Lemah Demokrasi: Demokrasi Anomik

    Jauh sebelumnya, seorang pakar politik bernama Samuel P. Huntington menerbitkan sebuah buku di tahun 1970-an. Buku tersebut berjudul Political Order in Changing Societies. Buku tersebut mengkritisi masalah otoritas dan kapasitas pemerintah Negara-negara berkembang dalam mempenetrasikan kebijakan. Buku tersebut menyuratkan, partisipasi politik yang tinggi (sebagai “anak” demokrasi) tanpa diimbangi dengan pelembagaan politik dan pembangunan ekonomi yang cukup, akan berakibat pada instabilitas politik.

    Suatu penelitian yang dilakukan tahun 1975 menemukan kondisi-kondisi “krisis” demokrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Michel J. Crozier (Perancis), Samuel P. Huntington (Amerika Serikat), dan Joji Watanuki (Jepang) tersebut diarahkan pada kondisi politik di Negara-negara yang mapan dalam menerapkan demokrasi sebagai sokoguru bangunan pemerintahan.

    Penelitian dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, dan Negara-negara Eropa Barat. Hasil dari penelitian tersebut adalah, Negara-negara yang tergolong “kampiun” demokrasi tersebut menghadapi masalah. Masalah yang muncul tersebut “lahir” akibat aneka akibat yang sifatnya multidimensi : sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Masalah-masalah tersebut lahir akibat “kesuksesan” atau keberhasilan dari demokrasi itu sendiri.[2]

    Misal dari kesuksesan tersebut adalah perkembangan ekonomi yang spektakuler; meluasnya perbaikan social dan ekonomi, meliputi kurangnya konflik kelas dan semakin besarnya kelas menengah. Partai-partai politik dari aneka ragam ideologi bersaing murni di setiap pemilu regular guna membentuk pemerintahan. Pihak yang kalah kemudian membangun oposisi di level parlemen.

    Warganegara, baik secara individu maupun kelompok, berpartisipasi secara aktif dalam politik lebih dari masa-masa sebelumnya. Hak-hak warganegara tatkala berhadapan dengan pemerintah semakin jelas jaminannya dan dilindungi. Selain itu, lembaga-lembaga kerjasama internasional bertumbuh di Eropa baik dengan tujuan ekonomi maupun politik. Ini misalnya antara Amerika Utara dengan Eropa dalam hal militer, dan di antara Eropa sendiri, Amerika Serikat, dan Jepang dengan tujuan-tujuan ekonomi.

    Namun, kesuksesan demokrasi ini justru mengakibatkan tantangan tersendiri di Negara yang menerapkan demokrasi tersebut. Misalnya, bertumbuhnya kelas menengah telah meningkatkan harapan dan aspirasi yang kerap memunculkan reaksi tatkala tidak menemui pencapaiannya. Meluaskan partisipasi politik meningkatkan tuntutan terhadap pemerintah. Juga, perluasan penikmatan barang-jasa di kalangan anak muda dan kaum “intelektual” kelas professional telah meningkatkan porsi adaptasi nilai-nilai sosial politik dan gaya hidup baru. Akibat munculnya efek-efek demokrasi ini, ketiga peneliti memperkenalkan konsep “Anomic Democracy.”

    Meningginya derajat ketidakpuasan warganegara dan ketidakpercayaan diri pemerintah, adalah efek dari kesuksesan demokrasi itu sendiri. Ini misalnya kentara tatkala banyak kebijakan pemerintah yang “dicemooh” kalangan warganegara (khususnya kelas menengah) dan problematika implementasi kebijakan. Salah satu hal yang mengakibatkan ini adalah ketiadaan “common purpose” atau tujuan bersama. Partai, warganegara, dan kelompok-kelompok warganegara memiliki visi dan tujuan sendiri dalam aktivitas politik. Ini akibat meluas dan bervariasi kepentingan akibat hal-hal yang sudah disebut di bagian atas. Ketiadaan tujuan bersama berakibat pada berkurangnya legitimasi dan support yang seharusnya diberikan kepada pemerintah.

    Pemerintahan di Negara-negara demokrasi tidak lagi bermasalah dalam hal konsensus (kesepakatan) dalam aturan main demokrasi. Masalah yang muncul kemudian adalah, apa yang seharusnya dicapai suatu kelompok di dalam permainan tersebut. Atau, apa yang seharusnya dicapai oleh suatu partai atau kelompok warganegara di dalam suatu periode pemerintahan.

    Demokrasi, sebagai mesin pemerintahan, tetap berjalan. Namun, kemampuan orang-orang yang menjalankan mesin tersebut guna membuat keputusan cenderung menurun. Tanpa adanya tujuan bersama, tidak ada dasar bagi prioritas bersama. Tanpa prioritas, tidak ada dasar guna membedakan kepentingan dan klaim pribadi dengan Negara. Sebab itu, Anomic Democracy terjadi apabila terjadi konflik antara tujuan bersama (Negara) dengan kepentingan pribadi/kelompok, yang terjadi antara eksekutif, kabinet, parlemen, dan birokrat. Anomic Democracy adalah politik demokrasi menjadi sekadar arena penegasan kepentingan yang saling berkonflik tersebut, bukan lagi sebagai arena di mana proses pembangunan tujuan bersama dilakukan. Anomic Democracy ini muncul, sekali lagi, akibat kesuksesan demokrasi itu sendiri.

    Guna meringkas proses sebab akibat, antara keberhasilan demokrasi dan masalah yang dilahirkannya, dapat diperhatikan beberapa poin berikut: 
    1. Pengejaran keutamaan demokrasi atas persamaan hak dan individualitas membawa pada delegitimasi otoritas secara umum, juga hilangnya kepercayaan pada suatu kepemimpinan;
    2. Perluasan partisipasi politik dan keterlibatan warganegara, telah menciptakan “overload” di sisi pemerintah serta ketidakseimbangan perluasan di sisi aktivitas pemerintahan, termasuk memperburuk kecenderungan inflasi di tingkat ekonomi; Overload ini akibat: (a) Perluasan partisipasi politik warganegara; (b) Terbentuknya kelompok dan kesadaran baru dari kelompok lama, termasuk pemuda, kelompok regional, dan minoritas etnik; (c) Diversivikasi alat dan taktik politik yang digunakan tiap kelompok dalam memenuhi kepentingannya; (d) Meningkatknya harapan sebagian kelompok bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan mereka; dan (e) Peningkatan pada apa yang disebut sebagai “kebutuhan.”
    3. Persaingan politik, yang jadi esensi demokrasi, terus menjadi intensif, yang membawa pada polarisasi kepentingan dan fragmentasi partai-partai politik;
    4. Responsivitas pemerintah demokratis akan masalah pemilu dan tekanan masyarakat meningkatkan parokialisme-nasionalistik
      Problem dari demokrasi, di antaranya lagi adalah akibat persaingan, masalah “menang-kalah” menjadi krusial. Setiap konstituen pemilu selalu ingin menang dan menguasai pemerintahan. Namun, sesungguhnya terdapat sejumlah fenomena di mana yang justru menjadi pengendali kebijakan pemerintah adalah konstituen yang kalah dari suatu pemilu lewat koalisi. Kajian ini secara dirangkum di dalam sebuah buku bertajuk Loser’s Consent (terbit 2005) yang disusun oleh Christopher J. Anderson, Andre Blais, Shaun Bowler, Todd Donovan, dan Ola Listhaug.[3] Artikel ini tidak bermaksud membahas konten buku tersebut untuk sementara waktu.

      Kesimpulan
      • Perlu dibedakan pengertian tatkala pembicaraan mengenai demokrasi dilakukan.
      • Pengertian demokrasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : (1) Demokrasi secara Konstitusional, (2) Demokrasi secara Substantif, (3) Demokrasi secara Prosedur, dan (4) Demokrasi secara Orientasi-Proses. Perbedaan pengertian berefek pada perbedaan fokus kajian dan kritisi.
      • Demokrasi juga berhubungan dengan masalah State-Capacity, yaitu kemampuan Negara dan pejabatnya dalam mengubah distribusi sumber daya, kegiatan, dan hubungan antarorang. Sebab itu, ada yang dinamakan Strong State dan Weak State.
      • Kelemahan atau keterbatasan demokrasi yang diperlihatkan di sini bercorak Demokrasi secara Substansial. Ternyata justru suksesnya demokrasi itu sendiri yang memunculkan keterbatasan dan kelemahan dirinya sendiri.
      • Anomic Democracy atau demokrasi anomik adalah kondisi disfungsi demokrasi anomic democracy. Anomic democracy terjadi apabila tercipta konflik antara tujuan bersama (Negara) dengan kepentingan pribadi/kelompok, yang terjadi antara eksekutif, cabinet, parlemen, dan birokrat. Anomic Democracy adalah politik demokrasi menjadi sekadar arena penegasan kepentingan yang saling berkonflik tersebut, bukan lagi sebagai arena di mana proses pembangunan tujuan bersama dilakukan
      -------------------------------------------
      Referensi
      • Charles Tilly, Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007)
      • Christopher J. Anderson, et.al, Loser’s Consent: Elections and Democratic Legitimacy, (Oxford: Oxford University Press, 2005).
      • David Adesnik and Michael McFaul, Engaging Autocratic Allies to Promote Democracy, The Center for Strategic and International Studies and the Massachusetts Institute of Technology, The Washington Quartertly Spring 2006.
      • Michel Crozier, Samuel P. Huntington, and Joji Watanuki, The Crisis of Democracy: Report on the Governability of Democracies to the Trilateral Commision, (New York: New York University Press, 1975)
      • The Swedish Collegium fo Advanced Study, “The Democratic Boundary Problem”, Université Paris Descartes.
      tags
      pengertian demokrasi kelemahan demokrasi definisi demokrasi anomik jenis-jenis demokrasi prosedural proses konstitusional kapasitas negara michael parenti michael walzer poliarki robert dahl anne philips

      No comments:

      Post a Comment