Latest News

Monday, March 10, 2014

Bandwagoning dalam Tahun Politik Indonesia 2014

Fenomena bandwagoning melanda Indonesia dalam menyambut tahun politik 2014. Tahun yang konon kabarnya adalah momentum kebangkitan Indonesia yang sesungguhnya. Kebangkitan itu secara formal dimulai 9 April 2014 dan dipastikan lewat Pilpres 2014. Dalam penyambutan ini, seluruh pemain politik sudah tidak kepalang tanggung memeriahkannya. Terbukti dari banyaknya para "penghuni pohon", "penghuni jembatan", "penghuni pagar", dan yang bermodal besar "iklan aktor produk suara pemilu" di televisi iklan berbayaran besar. Tentu para penghuni tersebut biasa, sebiasa pemilu-pemilu sebelumnya. Perbedaannya adalah, dari kesemakinbanyaknya para penghuni di tahun ini. Dan, semakin semaraknya pola "dompleng-mendompleng."

"Dompleng-mendompleng" ini merupakan fenomena menarik di tahun 2014. Atau, baiklah apabila hendak dikatakan secara lebih "sekolahan" dapatlah dikatakan sebagai fenomena "politik bandwagoning." Vsevolod Gunitsky menyebut bandwagoning ini sebagai [terjadi] dalam politik pemilihan umum ... mengacu pada pemberian dukungan atas kandidat atas posisi tertentu karena ianya telah populer sebelumnya." [1] Dukungan diberikan dengan harapan akan muncul dampak otomatis, yang harapannya adalah bahwa "kebaikan" dari kandidat yang didukung merupakan bukti benarnya dukungan yang diberikan. Lebih lanjut Gunitsky berujar bahwa pihak yang bergabung ke dalam "bandwagon" bertindak sebagai pengendara yang bebas. Mereka ini hanya berbagi "benefit" apabila yang ditumpanginya menang, sementara terhindar dari risiko apabila terjadi hal yang sebaliknya.

"Bandwagoning" adalah peristiwa pendomplengan sementara "wagon" adalah individu politik (juga dapat saja partai politik) yang didomplengi. Para pendompleng mengambil efek positif sementara kerugian tetap menjadi milik si "wagon." Seperti itulah apa yang terjadi pada Indonesia menyambut tahun politik 2014. Hal ini mirip dengan aksi "profit-taking" yang dilakukan para pialang di bursa saham. Si wagon adalah lembar saham, yang dibeli atau dilepas kepemilikannya hanya semata penilaian profit-loss.

Fenomena bandwagoning yang cukup mengemuka adalah tatkala Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyalonkan Rhoma Irama sebagai bakal calon presiden (bacapres 2014). Keputusan melakukan bandwagoning ini sangat realistis bagi PKB. Pertama, apabila electoral threshold (ET) untuk lolos ke parlemen adalah 3,5%, Rhoma dianggap memiliki kebaikan untuk melakukan leverage. Kedua, apabila hendak dicalonkan sebagai capres, maka PKB mendorong Rhoma untuk mampu mengelevasi suara PKB hingga minimum 20%. Rhoma kini dipekerjakan PKB sebagai "pemasar" dan sebagai pemasaran ia dijatuhi target oleh supervisornya. Serupa dengan pemasar di dunia asuransi ataupun kartu kredit, Rhoma tampaknya lebih banyak mengeluarkan modal dari kantung-kantung finansial pribadinya demi mencapai kedua target ini.

Hal seirama dengan Rhoma pun terjadi pada Jusuf Kalla (JK), yang juga dibacapreskan. JK, mirip dengan Rhoma, memiliki modalitas personal. Apabila Rhoma bermodalkan popularitas selaku raja dangdut dan pendakwah agama, JK bermodalkan sebagian massa Golkar, jaringan masjid di Indonesia, dan perusahaan yang "menjamin" sejumlah pengeluaran di masa-masa kampanye. PKB dapat ambil untung apabila Rhoma dan JK berhasil melakukan pemasaran, dan terhindar dari kerugian apabila nantinya kalah karena sebagian besar dana kampanye yang dikeluarkan tentu bukan berasal dari kantung partai preseden Gus Dur ini.

Bandwagoning serupa pun terjadi pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Joko Widodo, manakala ia menjadi Gubernur DKI, dengan popularitas yang dimilikinya, menjadi wagon PDIP. Ia dijadikan juru kampanye di Sumatera Utara, Riau, Jawa Tengah, dan Bali. Harapan PDIP adalah, kebaikan yang ada di personal Joko Widodo akan memengaruhi perilaku pemilih di propinsi-propinsi tersebut. Ada yang berhasil dan ada pula yang tidak, karena tidak di seluruh pilkada yang dijurkami Joko Widodo, calon-calon yang diusung PDIP ini menang.

Bahkan beban terus ditambah dengan munculnya fenomena mendorong Joko Widodo menjadi capres 2014. Kendati benar-tidaknya pencapresan Joko Widodo oleh PDIP, tetapi hal yang terlihat jelas adalah, PDIP memosisikan Joko Widodo selaku "pemasar" partai agar mampu menjadi mayoritas di Pileg 2014. Dari sisi politik kekuasaan, adalah wajar apabila Joko Widodo dijadikan "wagon" oleh PDIP. Namun, masalah etika politik akan runyam apabila ia dibacapreskan untuk Pilpres 2014. Masanya sebagai gubernur DKI Jakarta belumlah tuntas untuk periode pertama, dan belumlah pasti pula apakah PDIP akan mampu meraih 20% suara apabila hendak mengajukan capres sendiri. Namun, sesuai prinsip bandwagoning, risiko partai adalah minimal karena apabila "proyek" gagal maka yang banyak mengalami kerugian adalah Joko Widodo (apabila maju capres). Cap "kutu-loncat" akan mudah disematkan publik kepada. Di sisi lain, PDIP akan lebih aman karena hanya Joko Widodo yang mengalaminya. PDIP memiliki cukup banyak stok "wagon" lain seperti Teras Narang di Kalimantan, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, atau Tri Risma di Surabaya.

Bandwagoning ini kelihatannya menjadi pola partai-partai politik dalam memaksimalisasi keuntungan dan meminimalisasi risiko. Tentu saja tidak dapat dikatakan bahwa setiap "wagon" benar-benar adalah korban "eksploitasi" karena sesungguhnya para "wagon" ini pun "mewagonisasi" partai politik yang mengendarai mereka. Mungkin, terdapat simbiosis mutualistis di antara kedua pihak. Bandwagoning secara lebih lanjut juga mengisyaratkan kuatnya faktor individidu/figur dalam tubuh partai politik. Fenomena JK yang diajukan PKB adalah salah satu bukti bahwa suatu partai "terpaksa" harus keluar dari kantungnya sendiri, merambah kantung-kantung lain guna memertahankan eksistensinya. Juga, fenomena bandwagoning ini merupakan isyarat bahwa model rekrutmen partai harus diubah: Mencari figur-figur bagus di luar tubuh partai lalu mempromosikan mereka ke jabatan tertentu, sehingga figur-figur tersebut menjadi leverage bagi partai yang mengusungnya.

[1] Vsevolod Gunitsky, "Bandwagoning" dalam George Thomas Kurian, ed., The Encyclopedia of Political Science, (Washington: CQ Press, 2011) p. 120.