Latest News

Friday, May 15, 2020

Desentralisasi di Indonesia dan Kelemahannya

Desentralisasi untuk negara dengan karakter unik seperti Indonesia tidak terelakkan. Agar pemerintah pusat dapat “menghemat tenaga” dalam menggerakkan daerah, maka perlu desentralisasi. Jika pusat terus memonopoli kewenangan segala hal seperti era Orde Baru, maka di era saat ini dengan mana keterbukaan dan tingkat pendidikan masyarakat daerah meningkat daerah akan “meledak.” 

Desentralisasi dalam negara kesatuan Republik Indonesia dapat bergerak ke empat sasaran. Pertama, keadilan dalam mana daerah diberi kesempatan lewat peluang improvisasi atas aneka kebijakan daerah mereka, yang karakteristiknya satu sama lain adalah unik. Daerah-daerah di Indonesia sangat tidak seragam baik aspek budaya, ekonomi, maupun historisitasnya. Hanya daerah yang mampu memahami secara baik kebutuhan dan kekurangan mereka. Desentralisasi memberi peluang daerah untuk melakukan sinkronisasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pembangunan mereka.

Kedua, stabilitas politik yaitu dengan diterapkannya desentralisasi pada daerah maka kemacetan komunikasi pusat-daerah dalam hal kebijakan dapat dikurangi seminimal mungkin. Pengurangan komunikasi (politik) ini terjadi manakala daerah bisa leluasa menentukan sendiri kebijakan pembangunan yang cocok bagi mereka tanpa ditentukan melulu oleh pusat. Akibat lebih jauhnya adalah tingkat kepuasan politik daerah diasumsikan meningkat sehingga potensi disintegrasi dapat dinetralisasi.

Ketiga, pengurangan kemiskinan dan ekonomi yang lebih baik. Dalam desentralisasi terkandung makna aneka Urusan Konkuren yang apabila disimpulkan akan lebih banyak digerakkan daerah. Aneka Urusan Konkuren ini utamanya berkaitan dengan masalah pemungkinan pembangunan ekonomi yang lebih baik di level daerah. Asumsinya, hanya daerah yang mengenal diri mereka sendiri, kantong-kantong kemiskinannya sendiri, sehinga aneka urusan Konkuren dapat dimaksimalisasi pendayagunaannya oleh pemerintah daerah dalam melakukan pengurangan kemiskinan.

Keempat adalah pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat daerah tidak perlu selalu menunggu instruksi pusat, karena daerah sudah diberi kewenangan yang “dibagi” antara pusat-daerah yaitu desentralisasi tersebut. Masyarakat daerah akan “lebih dekat” dengan pemerintah daerah (sebagai wakil pemerintah pusat) dalam menikmati pelayanan publik secara lebih direct. 

Dari empat sasaran yang bisa dicapai ini, maka termuat aneka manfaat dari desentralisasi. Manfaat pertama adalah adanya akuntabilitas dan transparansi pemerintah. Jarak antara rakyat di aneka daerah dengan sentral pemerintahan (pusat/Jakarta) mengecil hingga ke hubungan antara rakyat daerah dan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Manfaat kedua adalah pemecahan masalah, yang akibat akuntabilitas dan transparansi semakin besar, maka diasumsikan pemecahan masalah akan lebih cepat dan tepat sasaran dengan kemungkinan distorsi yang lebih kecil (bayangkan pemecahan masalah Kota Sorong, itu lebih cepat diurus oleh pemerintah provinsi Papua Barat, ketimbang Jakarta).

Manfaat ketiga adalah adanya aneka peluang untuk berbagi keahlian teknis dan sosial dalam proses pembuatan kebijakan. Selama Orde Baru, Jakarta relatif memonopoli kemampuan-kemampuan ini. Namun, setelah dimulai Otonomi Daerah sejak 1999, Indonesia dibagi ke dalam tiga level pemerintahan: Pusat, Daerah Tingkat I, dan Daerah Tingkat II. Setiap urusan Konkuren yang hakikatnya mengurus bidang serupa (kesehatan, tenaga kerja, transmigrasi, kebersihan, ataupun ketertiban umum) ekspertisenya mau ataupun tidak, harus dikuasai oleh aparatur di setiap jenjang pemerintahan. Sharing of competency menjadi niscaya dan adalah buah manis dari desentralisasi. Manfaat keempat adalah munculnya pengaruh masyarakat terhadap pengambilan keputusan pemerintah. Jika selama Orde Baru rakyat daerah menjadi suatu yang abstrak di mata pemerintah pusat, maka di saat desentralisasi diberlakukan, rakyat daerah akan memiliki kans lebih besar dalam mempengaruhi keputusan pemerintah (daerah) karena jarak yang lebih “dekat” dan distorsi yang lebih “pendek.”

Manfaat kelima adalah adanya kontrol terhadap pengembangan aneka program kebijakan yang mungkin harus diimplementasikan oleh organisasi non pemerintah. Dengan delegasi, civil society daerah diasumsikan semakin berdaya karena mereka dapat ikut berperan serta dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan di level kabupaten/kota ataupun provinsi. Jika civil society ini harus terus menerus bergerak ke Jakarta, maka cost ekonomi akan besar, beda halnya jika mereka cukup mempengaruhinya di level daerah. 

Dimensi Desentralisasi 

Ada tiga dimensi desentralisasi yang perlu dikategorisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal. Pertama, yaitu mengenai desentralisasi politik. Desentralisasi politik adalah pemindahan kekuasaan pengambilan keputusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tujuan dari desentralisasi politik ini adalah upaya meningkatkan local accountability, local responsiveness, menjamin political equality, dan kesempatan training for political leadership baik bagi politik di parpol daerah maupun birokrat daerah.

Kedua, yaitu mengenai desentralisasi administratif. Desentralisasi administratif adalah delegasi kekuasaan atau wewenang urusan administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penekanan dari desentralisasi administratif ini adalah aspek efisiensi, efektivitas, dan akuntabiitas penyelenggaraan pemerintahan. Kini di hampir semua daerah tingkat I maupun II sudah dikenal terobosan-terobosan seperti kemudahan pelayanan Kartu Tanda Penduduk, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), penciptaan kawasan-kawasan khusus (pariwisata, ekonomi, ataupun cagar alam). Inilah buah dari delegasi administratif yang memungkinkan daerah berinovasi untuk kemajuan administrasi daerah masing-masing.

Ketiga, yaitu desentralisasi fiskal sebagai transfer tanggung jawab pengeluaran dan pendapatan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Wujud dari desentralisasi fiskal ini adalah pengenaan pajak lokal dan retribusi, pendapatan bukan pajak, pembiayaan bersama dengan sektor swasta (lewat pemda Tingkat I maupun II), transfer antarpemerintah, dan penyertaan modal ke dalam badan swasta maupun BUMN dan pinjaman lokal. Desentralisasi fiskal ini apabila bisa dimanfaatkan daerah secara efektif dan berkejujuran akan membuat daerah lebih makmur karena mereka bisa mengembangkan sektor penerimaan yang semata-mata bukan mengandalkan APBN. Satu daerah bisa lebih makmur daripada daerah lain bergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola desentralisasi fiskal ini. 

Secara umum ketiga macam desentralisasi ini (politik, administrasi, dan fiskal) sejalan dengan kecepatan perkembangan masyarakat dan keterbukaannya sejak era Revolusi 4.0. Ketiga desentralisasi ini pada intinya akan merasuk secara komprehensif menjadi desentralisasi ekonomi daerah. Dilema hubungan pusat-daerah sejak Indonesia merdekat 1945 adalah kesejahteraan daerah atau local welfare. Secara teoretis maka desentralisasi ekonomi (sebagai variabel bergantung dari tiga bidang desentralisasi) akan memacu percepatan kesejahteraan daerah. Ini tentu saja bukan hal mudah, melainkan sekadar “kail” yang harus dimanfaatkan daerah. Kemajuan daerah kini bukan lagi dimonopoli oleh pusat tetapi sudah dibagi tanggung jawabnya dengan daerah. Apabila suatu daerah masyarakatnya tidak kunjung sejahtera maka penyalahan tidak bisa sekonyong-konyong ditujukan pada pemerintah pusat, karena situasinya kini sudah berbeda. Masalah kesejahteraan masyarakat daerah mayoritas kini sudah ditentukan oleh pemerintah daerahnya, bukan lagi semata urusan pusat. 

Derajat Desentralisasi 

Desentralisasi adalah sebuah konsep umum yang di dalam pelaksanaannya perlu diteropon derajatnya. Tidak semua desentralisasi memiliki derajat yang sama. Cara melihat derajat desentralisasi ada beberapa cara. Pertama, dapat dilihat dari urusan yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Semakin banyak urusan yang didesentralisasikan maka semakin tinggi derajatnya. Indonesia dalam UU No. 23/2014 memiliki derajat desentralisasi yang tinggi di dalam urusan Konkuren sebab hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat telah diputuskan mekanisme desentralisasinya.

Kedua, dilakukan pembedaan jenis pendelegasian fungsi apakah itu general competence dan ultra-vires doctrine. Jika delegasi berlaku atas fungsi general competence maka derajat desentralisasi akan semakin besar. Ultra vires doctrine adalah tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangan yang tercantum di dalam aturan yang sudah disepakati.

Ketiga, dilakukan identifikasi atas jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Jenis kontrol ini bisa berupa represif ataukah preventif. Di era Orde Baru kontrol biasanya dilakukan secara represif melalui doktrin Teritorial, sementara di era pasca Orde Baru kontrol umumnya lebih dilakukan secara preventif lewat pembuatan aturan main (UU No. 23/2014 adalah aturan main yang sifatnya preventif).

Keempat, apakah keputusan soal keuangan daerah, yaitu penerimaan dan pengeluaran sudah didelegasikan secara penuh. Mengenai ini di Indonesia kini sudah berlaku RAPBD dan APBD daerah, yang penyepakatannya tidak diintervensi oleh pusat melainkan antara eksekutif dan parlemen daerah. Sebab itu dalam pengertian soal keuangan ini derajat desentralisasi di Indonesia bisa dibilang sebagai tinggi.

Kelima, dilihat dari metode pemerintahan daerah berkenaan dengan sumber otoritas daerah yang berasal dari ketetapan legislatif atau pendelegasian dari eksekutif. Keenam, ketergantungan finansial daerah terhadap pemerintah pusat apakah relatif tinggi atau rendah. Ini bisa bervariasi antar daerah, dengan mana daerah dengan potensi ekonomi besar cenderung minim ketergantungan atas pusat, dan sebaliknya, daerah dengan potensi ekonomi kecil semakin besar ketergantungannya atas pusat.

Ketujuh adalah besarnya wilayah pemerintahan daerah. Semakin besar suatu wilayah daerah maka desentralisasi derajatnya akan semakin mengecil. Daerah mensiasati ini dengan melakukan kegiatan pemekaran wilayah. Terakhir yaitu kedelapan adalah adanya partai politik, apakah yang dominan itu partai lokal atau partai nasional. Hingga kini di Indonesia, hanya Aceh yang memiliki partai lokal. Daerah-daerah lainnya ditengarahi masih didominasi oleh partai nasional yang bergerak di level daerah. 

Kelemahan Desentralisasi 

Desentralisasi kendati menjanjikan kesejahteraan yang lebih besar bagi daerah bukan tanpa kemungkinan negatif. Ada dikenal istilah defisiensi desentralisasi. Menurut B. C. Smith, desentralisasi adalah kebijakan “kampungan”, bersifat “daeraisme” dan separatisme. Bagi Smith dengan berlangsungnya desentralisasi maka aneka institusi lokal akan mudah dimanipulasi oleh elit-elit dominan. Dinasti politik di sejumlah daerah menunjukkan defisiensi ini. Kesejahteraan daerah potensinya disekat oleh oligarki penguasa lokal sehingga tidak “mengucur” ke warga daerah. Pusat tidak bisa berbuat banyak untuk hal ini karena yang memasukkan oligarki tersebut menjadi penguasa lokal adalah rakyat daerah sendiri melalui Pemilu Kepala Daerah dan Parlemen Daerah. Pendapat lain mengenai defisiensi desentralisasi diajukan oleh R. C. Wood. Bagi Wood, desentralisasi itu lekat dengan defisiensi, tidak efisien, tidak ekonomi. Wood banyak mengambil contoh kota-kota di Amerika Serikat yang akibat desentralisasi (dalam federalisme mereka) menjadi cenderung tidak teratur, ruang terbuka yang tidak memadai, macet, banjir (akibat sekat kebijakan irigasi antar daerah), dan sistem transportasi yang buruk. Kritik atas desentralisasi juga diajukan oleh R. P. Homune. Menurut Homune, dalam desentralisasi akan terjadi defisiensi kekuangan karena akan muncul kecenderungan alokasi keuangan daerah sesuai selera penguasa daerah yang akan berbeda antar satu rezim daerah dengan rezim lainnya secara periodik. Di Indonesia sendiri contohnya program Keluarga Berencana sudah terbengkalai, banyak sarana irigasi yang rusak, belanja aparatur daerah selalu lebih besar ketimbang belanja publik, dan yang paling umum: Korupsi oleh para kepala daerah maupun oknum parlemennya. 

Kelemahan desentralisasi dalam konteks adanya defisiensi ini berefek lebih lanjut pada identifikasi kita untuk mengakui adanya kelemahan dalam demokrasi lokal yang kini tengah dibangun. Dalam kontek demokrasi lokal, kelemahan ini dipicu pertama oleh konsepsi yang relatif terbatas tentang makna pemerintahan lokal. Pemerintahan lokal tidak dibarengi oleh meningkatnya pemahaman elit daerah akan konsekuensi dari pemerintahan dan demokrasi lokal. Bahwa dengan adanya demokrasi lokal, maka mereka bukan menjadi bebas berkuasa malah sebaliknya akan lebih mudah dilihat transparansinya dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari yang mereka lakukan. Pemerintahan lokal masih banyak dipersepsi elit daerah sebagai “otonomi tanpa batas” sehingga kerap bahkan banyak muncul aneka Perda yang bertentangan dengan Perda di atasnya: Perda Dati II bertentangan dengan Perda Dati I, Perda Dati I bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat, bahkan Perda Dati II langsung bertentangan dengan Perda Pemerintah Pusat.

Kelemahan kedua dari pemerintahan lokal ini adalah terbatasnya basis perwakilan. Kendati sudah “dikecilkan” hingga level daerah, basis perwakilan masyarakat di daerah masih lemah. Ini diakibatkan civil society di level daerah belum sepenuhnya kuat. Padahal civil society dalam konteks pemerintahan lokal justru harus kuat untuk mengimbangi aktivitas politisi daerah yang duduk baik di eksekutif daerah maupun parlemen daerah.

Kelemahan ketiga adalah masih terbatasnya konsepsi atau pemahaman mengenai demokrasi perwakilan. Ini merupakan masalah umum, bukan hanya di daerah melainkan juga di parlemen pusat. Wakil rakyat masih memposisikan diri sebagai wakil partai politik atau fraksi, bukan rakyat yang memilih mereka. Kelemahan keempat adalah terbatasnya pendekatan demokrasi yang sifatnya praktis dan partisipatoris. Rakyat daerah cenderung hanya beraktivitas politik di saat Pemilu Kepala Daerah dan Pileg Daerah. Setelah pemilu selesai, masyarakat cenderung kembali ke aktivitas normal mereka (profesi sehari-hari). Ini merupakan hal wajar tetapi menjadi salah satu pemicu lemahnya demokrasi lokal. Hal yang dianjurkan untuk dibentuk dalam konteks demokrasi lokal adalah didirikannya saluran efektif para pemimpin informal daerah, forum-forum komunitas, pertemuan atau rapat rakyat daerah, kelompok-kelompok mediasi, monitoring pelaksanaan pemerintahan daerah yang dibentuk oleh civil society daerah, inovasi untuk melakukan referendum sebanyak mungkin atas isu-isu lokal (mencontoh kanton-kanton Swis, sehingga dalam 1 tahun mereka bisa melakukan hingga 7 kali referendum untuk pengambilan keputusan di tingkat kanton), dan kemungkinan penciptaan teledemocracy

Aneka kelemahan, baik dalam konteks defisiensi desentralisasi maupun pembangunan demokrasi lokal tingkat daerah mendorong munculnya analisis mengenai the danger of decentralization (bahaya desentralisasi). Bahaya ini sudah dilansir oleh R. P. Homune tahun 1995. Menurut Homune sekurangnya ada tiga bahaya dari desentralisasi. Bahaya pertama, desentralisasi memiliki kekurangan yang dapat menyebabkan disparitas antar-daerah, ketidakstabilan ekonomi, dan inefesiensi. Misalnya, apabila Kota dan Kabupaten Bogor menitikberatkan pembangunan pada perumahan di kawasan kantong air, maka DKI Jakarta akan terus menghadapi besarnya volume air dari tahun ke tahun. Juga, ada kemungkinan masyarakat Larantuka di NTT akan banyak pindah ke Kepulauan Riau karena besarnya income di Kepulauan Riau ketimbang di Larantuka. Desentralisasi akan mengakibatkan munculnya rasa iri antara masyarakat daerah satu dengan daerah lain akibat masalah kemakmuran ekonomi yang dimensinya cukup liberal dalam desentralisasi ini. Bahaya kedua adalah, pada sistem desentralisasi pemerintah pusat tidak lagi memegang tanggung jawab untuk meredistribusi program-program atau memiliki kekuasaan penuh untuk mengawasi pajak dan pengeluaran daerah. Bahaya ketiga adalah bahwa menurut Homune, di banyak kasus kapasitas lokal rata-rata masih terbatas atau banyaknya kemungkinan pemerintah daerah yang tidak responsif dan korup sehingga mengakibatkan inefesiensi dalam pelayanan publik. 

Bahaya-bahaya inilah yang membuat desentralisasi disebut sebagai kebijakan yang liberal atau neoliberal. Kalangan spektrum kiri dalam politik lebih mendukung gagasan sentralistik dalam pengelolaan negara. Cina saat ini adalah potret dari berhasilnya sistem politik sentralistik dalam membangun kesejahteraan masyarakatnya. Dengan sistem politik yang sentralistik, pemerintah Cina mengembangkan blueprint seksama yang dikenal sebagai rencana pembangunan ekonomi komprehensif bagi seluruh daerah Cina. Hasilnya adalah, Cina secara perlahan mampu meningkatkan PDB warganegara lintas daerah mereka sambil di sisi lain meliberalisasi ekonominya secara perlahan dan terukur (tidak membabi-buta). Sekurangnya hingga kini sudah 39% perusahaan milik negara yang beroperasi di Cina telah diswastanisasi dengan tetap tunduk kepada aturan pemerintah pusat (bukan daerah). Kritik lain atas desentralisasi adalah pemerintah pusat tidak lagi bisa memonopoli dampat kemiskinan, pengangguran, peningkatan ketidakadilan, dan penyediaan sarana publik yang buruk di sejumlah daerah. Wewenang untuk itu, dalam konteks desentralisasi UU No. 23/2014 tidak lagi ada di pemerintah pusat melainkan di pemerintah daerah.

Disclaimer:
Artikel ini adalah catatan penulis atas perkuliahan Politik Lokal yang disampaikan Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A.