Latest News

Friday, June 15, 2012

Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan Contoh Kasus Poso dan Maluku

Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan contoh kasus Poso dan Maluku terutama akan dibedah menggunakan pendekatan ekonomi politik dalam menganalisis konflik-konflik di Indonesia. Faktor-faktor ketimpangan keuntungan ekonomi relatif memicu munculnya prejudis-prejudis antarkelompok di dalam masyarakat.


1. Konflik Poso

Secara awam, banyak disangka konflik Poso berakar pada konflik agama. Namun, tatkala dilakukan kajian mendalam ternyata tidak persis demikian keadaannya. Konflik di Poso bersifat multi akar, satu sama lain berkelindan rumit. Untuk itu di dunia kepustakaan telah banyak hasil penelitian yang menyelidiki akar-akar konflik Poso sekaligus resolusi konfliknya.

Poso adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah. Komposisi utama penduduk Poso terdiri atas penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli terdiri atas suku Kaili, Pamona, Mori, dan Wana. Penduduk pendatang berasal dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja), Jawa, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur. Pendatang dari Jawa, Bali, dan Lombok masuk ke Poso lewat program transmigrasi, baik swakarsa maupun mobilisasi pemerintah. Khusus mengenai kaum pendatang, di Poso pun terbentuk sejumlah asosiasi mereka seperti Paguyuban Bugis-Makassar, Paguyuban Masyarakat Jawa, Paguyuban Masyarakat Gorontalo, Paguyuban Masyarakat Bali, Paguyuban Masyarakat Lombok, dan sebagainya kaum pendatang itu. Sesungguhnya aneka paguyuban ini dapat digunakan sebagai jembatan komunikasi antar etnis yang efektif jika perannya dimaksimalkan serta didukung penuh oleh pemerintah selaku regulator politik.

Agama dominan di Poso adalah Islam dan Kristen Protestan, di samping sejumlah pemeluk Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Proporsi penduduk penganut Kristen Protestan dan Islam relatif berimbang. Agama Islam utamanya dipeluk kaum pendatang Jawa, Lombok, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar) serta sebagian warga asli yaitu suku Kaili. Warga beragama Kristen umumnya merupakan penduduk asli suku Pamona dan Mori serta para pendatang Manado dan Minahasa (Sulawesi Utara), Toraja, dan Nusa Tenggara Timur. Tabel di bawah memuat komposisi penduduk tersebut.[1]

Komposisi Penganut Agama di Poso


Penyebab Konflik Poso. Terdapat sejumlah pendapat ahli seputar akar penyebab konflik horisontal di Poso. Pendapat pertama diajukan sosiolog Thamrin Amal Tomagola lewat konsepnya bertajuk piramida bertingkat tiga.[2] Menurut Tomagola, pada tingkat paling dasar terdapat dua transformasi utama yang secara fundamental mengubah wilayah. Pertama, transformasi demografi. Kendati Poso telah dimasuki pendatang Islam dan Kristen sejak prakolonial, proporsi migrasi yang cukup signifikan terjadi di masa Orde Baru pasca pembukaan Sulawesi oleh Jalan Trans-Sulawesi, di samping pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara baru. Para pendatang datang dari utara dan selatan Sulawesi. Akibatnya, proporsi pendatang, terutama yang menganut Islam, semakin membesar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang ada di tengah wilayah Poso mulai merasa terjepit dan terancam.[3] Kedua, transformasi ekonomi. Kegiatan ekonomi perdagangan secara perlahan mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan yang berpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Kenyataan ini memperkuat sentimen keterdesakan penduduk asli yang berbasis pertanian yang kebetulan beragama Kristen.


Piramida Akar Konflik Poso menurut Tomagola

Pada lapisan tengah piramida beroperasi sejumlah faktor suku dan agama yang berkelindan dengan faktor-faktor politik. Dua transformasi di lapisan bawah piramida lalu merembes ke atas dan menempatkan penganut Islam dan Kristen berbasis suku secara diametral. Transformasi struktural masuk dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Mulai lapisan tengah piramida konflik inilah warga setiap agama mulai bertarung. Pertama, pertarungan dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berbagai posisi strategis, baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi strategis dalam power-sharing secara berimbang, pertarungan tidak meletup dalam bentuk konflik fisik. Berakhirnya masa jabatan bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati (dan sekwilda baru) membuka arena pertarungan baru yang gagal diselesaikan secara politik. Kedua, pertarungan politik yang merambat ke bawah, dari elit ke tengah-tengah massa. Situasi ini menciptakan ketegangan tinggi (high tension) antara kedua komunitas – pendatang dan lokal – yang masing-masing menggunakan simbol agama sebagai identitas.

Puncak piramida diisi faktor-faktor penyulut konflik (aktivitas provokator) serta stereotip-stereotip labeling psikologi sosial serta dendam yang semakin menguat seiring bertambahnya durasi kekerasan. Perkelahian antar pemuda dari kedua pihak merupakan pemicu yang meletupkan ketegangan dan potensi konflik yang mengendap sebelumnya. Terlebih, ini ditambah kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru membuat suhu konflik meningkat tajam dan keharmonisan hidup Poso adalah pengganti tak ternilai harganya. Ketika korban berjatuhan, spiral kekerasan pun lepas kendali.

Piramida konflik Poso dikelilingi faktor lingkungan yang mempengaruhi intensitas konflik. Menurut Tomagola, lingkungan ini berupa aneka faktor kontekstual yang memfasilitasi terjadinya konflik komunal, yang terdiri atas faktor berkonteks lokal, nasional, dan internasional. Konteks lokal terdiri atas: Komposisi dan konfigurasi suku-suku yang bermukim di Poso; Pola pemukiman eksklusif dan tersegregasi menurut garis suku yang tumpang tindih dengan garis agama, pola tempat tinggal yang membedakan kita dan mereka, persaingan sengit antara lembaga-lembaga agama dalam memperluas teritori masing-masing dan membiakkan pengikut (Islamisasi, Kristenisasi), dan; Hancurnya lembaga-lembaga adat karena ulah pemerintah pusat dan sikap tidak bersahabat yang diperlihatkan oleh berbagai lembaga agama.

Konteks nasional terdiri atas tiga kondisi. Pertama, semakin dominannya para politisi Islam berbasis perkotaan di panggung perpolitikan nasional. Para politisi Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan) yang didominasi tokoh asal Bugis semakin menguat posisinya mengitari Habibie (presiden RI waktu itu). Kedua, perkembangan di panggung nasional memberi angin dan peluang para politisi Islam berbasis perkotaan yang berasal dari suku Bugis berperan di Sulawesi secara keseluruhan. Ketiga, mirip dengan kecenderungan Golkar merangkul para kiyai di Banjar (Kalimantan Selatan), di Poso juga terjadi hal yang sama. Dalam pemilihan Bupati Poso, jelas Golkar tidak akan mendukung calon PPP yang berbasis Islam pedesaan dan lebih memilih mendukung Abdul Muin Pusadan yang terhitung Islam modernis.

Faktor internasional berwujud ke dalam dua bentuk. Pertama adanya upaya pemanfaatan medan konflik Poso oleh jaringan Islam regional, yang menggunakannya sebagai training ground sekaligus mekanisme rekrutmen anggota baru jaringan mereka. Kedua, bias peliputan pers internasional yang merugikan umat Islam di Poso maupun di Maluku karena dikesankan seolah umat Islam-lah yang secara unilateral beraksi menyerang umat Kristen di wilayah itu.

Penyelesaian Konflik Poso. Menurut catatan Jusuf Kalla, konflik Poso dimulai sejak 1998 dan hingga 2001-2002, sehingga berlangsung kurang lebih tiga tahun. Jusuf Kalla yang saat itu menjabat Menkokesra di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri juga mencatat, konflik Poso yang awalnya masalah sosial-politik lokal dan konflik anak muda, berubah menjadi konflik agama yang sangat melebar.[4] Awaludin menulis, akibat berlarutnya konflik Poso menyebabkan opsi resolusinya menyempit menjadi tiga bagi kelompok-kelompok yang bertikai, meliputi:[5] 

  • Konflik berlangsung terus dalam bentuk perang gerilya dan pembakaran dengan korban dan penderitaan di masing-masing pihak;
  • Polri dan TNI bertindak keras; dan
  • Penyelesaian damai dengan masing-masing pihak adalah dengan duduk berunding dan kemudian mematuhi semua hasil perundingan. Pengungsi pulang dan pemerintah membantu rehabilitasi sarana serta rumah-rumah ibadah.

Tentu saja, pilihan yang paling manusiawi adalah opsi ketiga. Opsi pertama dan kedua memiliki cost sosial dan ekonomi yang sangat besar, baik bagi masyarakat Poso sendiri maupun pemerintah. Deklarasi Malino I yang ditandatangani pihak-pihak yang berseteru pada tanggal 20 Desember 2001 mengakhiri konflik tersebut. Poso mulai berbenah, melakukan rehabilitasi pasca konflik.

2. Konflik di Kepulauan Maluku

Pasca transisi politik 1998, Maluku mengalami pemekaran. Lewat Undang-undang Nomor 46 tahun 1999, provinsi Maluku Utara (Malut) resmi berdiri pada 12 Oktober 1999. Malut lalu dibagi ke dalam kabupaten/kota seperti: (1) Halmahera Barat, ibukota Jailolo; (2) Halmahera Tengah, ibukota Weda; (3) Kepulauan Sula, ibukota Sanana; (4) Halmahera Selatan, ibukota Labuha; (5) Halmahera Utara, ibukota Tobelo; (6) Halmahera Timur, ibukota Maba; (7) Ternate, ibukota Ternate; dan (8) Tidore Kepulauan, ibukota Soasiu. Sementara itu, Maluku terdiri atas sebelas kabupaten/kota, yaitu: (1) Kota Ambon; (2) Kota Tual; (3) Maluku Tengah, ibukota Masohi; (4) Maluku Tenggara, ibukota Langgur ; (5) Maluku Tenggara Barat, ibukota Saumlaki; (6) Aru, ibukota Dobo; (7) Buru, ibukota Namlea; (8) Seram Barat, ibukota Piru; (9) Seram Timur, ibukota Bula; (10) Maluku Barat Daya, ibukota Wonreli; (11) Buru Selatan, ibukota Namrole.

Deskripsi Konflik. Fase awal erupsi konflik Maluku (Ambon) pecah 19 Januari 1999 setelah dipicu perkelahian supir bus beretnis Ambon beragama Kristen dengan penumpang beretnis Bugis beragama Islam.[6] Konflik semakin intensif pada Juli 1999 dan ekstensif ke bagian-bagian provinsi Maluku lainnya hingga Januari 2000. Mulai saat itu, praktis Ambon terbelah menjadi zona-zona yang digarisi anutan agama.[7] Pada Mei 2000, konflik Ambon memasuki babak baru lewat dua perkembangan. Pertama, keterlibatan kekuatan bersenjata ke dalam kedua kelompok. Kedua, masuknya Lasykar Jihad dari Jawa yang berniat membantu saudara Muslimnya yang tertekan dalam konflik. Dengan ini, konflik Ambon bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata di mana peralatan amatir seperti bom-bom rakitan dan senjata buatan digantikan dengan persenjataan profesional. Pihak Muslim yang awalnya defensif kini ofensif. Akibatnya, pada Juni 2000 Maluku dimasukkan ke dalam Darurat Sipil. Ribuan tentara dan Brimob diturunkan ke provinsi ini guna mengatasi konflik.

Lewat perjanjian damai Malino II Pebruari 2002, pihak-pihak yang bertikai sepakat menjalin perdamaian. Kendati demikian, erupsi-erupsi kecil tetap saja terjadi, terutama di Ambon. Misalnya, pada April 2004 saat empat puluh orang meninggal dalam kerusuhan mengiringi penaikan bendera RMS di kediaman Alex Manuputty (pemimpin Front Kedaulatan Maluku). Namun, hal yang cukup melegakan adalah, erupsi-erupsi yang muncul pasca perjanjian damai Malino II tidak bereskalasi sebanding erupsi sebelum Deklarasi.

Di provinsi Maluku Utara (Malut), durasi konflik utama relatif lebih singkat ketimbang Maluku. Erupsi-erupsi konflik terutama mengiringi pemisahan Malut dari Maluku menjadi provinsi mandiri. Konflik di Malut dibayangi rivalitas lama antara Kesultanan Ternate dengan Tidore. Awalnya, pada bulan Agustus 1999 konflik terbatas muncul di daerah Kao antara penduduk lokal dengan pemukim Makian. Pokok konflik berkisar pada kendali atas Malifut, kecamatan yang baru terbentuk. Lewat intervensi Sultan Ternate, konflik segera padam. Namun, saat provinsi Malut resmi terbentuk pada Oktober 1999 konflik kembali mencuat. Konflik yang belakangan ini juga lalu menyebar ke Ternate dan bagian lain provinsi baru. Sama seperti di Ambon, erupsi-erupsi konflik Malut pun secara umum seolah bernuansa agama dan etnis, kendati khusus di Malifut, konflik lebih banyak bernuansa etnis ketimbang agama.

Akibat gencarnya perang provokasi lewat aneka selebaran, pamflet, dan propaganda kedua kelompok, aliansi para elit di sekitar rival politik Sultan Ternate membentuk Tentara Putih, yang berdiri di sisi kelompok Muslim.[8] Mereka berhasil mendesak kelompok Kristen ke utara Ternate, lalu menyeberang ke Sulawesi Utara. Di Ternate, kelompok Kristen meminta suaka kepada Sultan Ternate yang hasilnya terbentuklah Tentara Kuning yang sifatnya lintas agama. Tentara Putih dikomposisikan kelompok-kelompok etnis asal Tidore, Makian, dan kaum migran dari Gorontalo. Tentara Kuning dikomposisikan para pendukung Sultan Ternate, elemen pendukung Golongan Karya, dan kalangan Kristen dari Halmahera yang secara tradisional adalah aliansi politik Sultan Ternate. Pertempuran kedua kelompok tentara pecah pada Desember 1999.

Setelah konflik berlarut, muncul isu bahwa pasukan jihad akan tiba di Galela (Halmahera), wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim. Menurut isu yang lalu muncul mengiringi, pasukan ini akan membela warga Muslim yang tertekan di Tobelo. Akibatnya, pada bulan Desember 1999, pejuang kelompok Kristen mengalir dari Kao ke Tobelo dan menyerang kaum Muslim di sana. Di hari kemudian, kekerasan meledak di Galela, menyebar hingga Bacan, Obi, dan Morotai, Ibu, Sahu, dan Jailolo. Di Halmahera Selatan, kekerasan pecah Mei 2000 kala pasukan jihad (lokal, Ternate, Tidore) mengalami bentrokan di perkampungan Kristen. Akhirnya pada Juni 2000 Malut diberlakukan sebagai Darurat Sipil. Tentara tambahan dari pemerintah pun masuk ke provinsi baru ini. Hal yang melegakan adalah, konflik berhasil dilokalisir dan Malut relatif berangsur tenang sejak pemerintah dan para tokoh masyarakat terlibat proaktif mencari resolusi konflik..

Penyebab Konflik. Penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara dibagi menjadi tiga, seperti termuat dalam bagan.[9] Pertama, sebab-sebab struktural yang terdiri atas melemahnya struktur kekuasaan tradisional, ketimpangan horisontal, dan dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru.[10] Kedua, sebab-sebab langsung yang terdiri atas krisis ekonomi dan proses desentralisasi serta demokratisasi. Ketiga, sebab-sebab pemicu atau trigger, yang terdiri atas perseteruan politik lokal dan aktivitas gang-gang kriminal (di Ambon) serta selebaran dan pampflet gelap (di Malut).[11]

 Anatomi Konflik di Maluku dan Malut

Sebab-sebab Struktural. Struktur kekuasaan tradisional di Maluku (Ambon) misalnya pela-gandong dan sasi. Pela-gandong adalah sumpah yang memungkinkan dua desa di Ambon untuk saling membantu. Dengan pela-gandong, penduduk kedua desa menggunakan Ambon sebagai sebagai atribut utama hubungan sosial. Sejak 1974, sistem kekuasaan tradisional di Ambon memudar seiring diberlakukannya undang-undang pemerintah pusat yang mengatur tentang desa. Lurah (kepala desa) menggantikan posisi negeri sebagai entitas geografis dan raja sebagai kepalanya. Pemberlakuan tata admnistrasi pemerintahan baru ini juga mengubah kohesi sosial masyarakat Ambon, yang perubahannya telah beroperasi sejak dua dekade sebelum erupsi kekerasan. Kekosongan kohesi sosial tradisional ini dengan mudah diisi ideologi nasional Indonesia (Pancasila) yang bersaing dengan akselerasi Kristenisasi dan Islamisasi di kalangan masyarakat Maluku. Masalah agama lalu menjadi ideologis sehingga mampu membelah masyarakatnya.

Di Maluku Utara, konflik cenderung sepi dan hubungan antar kelompok relatif baik karena di wilayah ini lembaga adat masih kuat mengkohesi masyarakat. Kohesi tradisional ini tercermin pada masih diakuinya aliansi-aliansi politik tradisional.[12] Sultan Tidore memiliki aliansi dan demikian pula Sultan Ternate. Bahkan, di Halmahera Timur (kecamatan Maba Selatan), sejumlah desa Kristen justru dilindungi oleh kelompok Muslim, dan diketahui bahwa wilayah tersebut banyak dihuni penduduk asli yang setia kepada Sultan Tidore. Ketika konflik muncul, kesepakatan damai dapat segera dibuat lewat intervensi para kepala desa dan pemimpin adat lokal dari pihak yang bertikai.

Ketimpangan ekonomi juga merupakan sebab struktural, yang kendati sifatnya tidak langsung, memberi sumbangan besar kepada erupsi konflik. Sejak era Belanda, kalangan Kristen Ambon menikmati privilese sosial, ekonomi dan politik. Perimbangan privilese ini terus bertahan hingga saat Suharto kehilangan dukungan sebagian perwira militer di tingkat pusat. Untuk mengisi kekosongan dukungan, Soeharto mencari gantinya pada kelompok Islam (modernis) dalam ICMI. Bukti yang paling meyakinkan adalah diangkatnya Habibie sebagai wakil presiden sejak 1993.

Perubahan pola kekuasaan neopatrimonial tingkat pusat, posisi pimpinan daerah menjadi sangat penting mengingat distribusi kekayaan daerah banyak yang masuk ke tingkat kabupaten/kota. Dalam proses distribusi di daerah, peran gubernur menjadi signifikan. Di Maluku, pergeseran elit – dan kemudian distribusi sumber daya daerah – diindikasikan dengan diangkatnya Aqib Latuconsina sebagai gubernur Ambon. Figur Aqib dianggap merepresentasikan kalangan Muslim dan sipil. Lewat pengaruh Aqib, maka pada tahun 1996 seluruh bupati di Maluku berasal dari kalangan Muslim: Bahkan di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Kalangan Kristen di Maluku melihat status quo keuntungan ekonomi mereka menjadi labil. Mereka juga mempersepsikan banyak keuntungan ekonomi yang selama ini dinikmati akan jatuh kepada kelompok migran Muslim dari Sulawesi dan Jawa. Namun, pembalikan posisi ekonomi tidaklah revolutif melainkan berangsur-angsur, dan sesungguhnya telah jauh berlangsung sebelum Aqib menjadi Gubernur Maluku. Misalnya, disparitas pendidikan antar kelompok di Maluku yang pada 1991 berada di atas level 1,8 berubah menjadi di bawah 1,3 dan terus bertahan hingga 1997. Disparitas perumahan, yang berada di posisi 1,6 pada 1991, berubah menjadi di bawah 1,2 pada 1994 dan sedikit di bawah 1,1, pada 1997.[13] Kalangan Kristen di Ambon pun cukup menerima karena peningkatan tersebut merupakan bukti keberhasilan ekonomi daerah secara keseluruhan.

Namun, terdapat lonjakan dalam hal velocity (kecepatan) proses pembalikan keberuntungan ekonomi yang momentumnya berbarengan dengan peralihan politik di tingkat pusat: Dari kalangan sekular kepada kelompok Islam. Munculnya perimbangan baru level politik nasional berimbas pada tergesernya posisi kelompok Kristen di Ambon – yang awalnya dominan – menjadi setara. Hal ini memancing kegelisahan sosial dan ekonomi, terlebih kelompok Kristen memandang ketidakpastian status mereka di masa mendatang akibat kepemimpinan Aqib Latuconsina yang mereka anggap imbalance.

Situasi agak berbeda terjadi di Malut, di mana komposisi kelompok Islam meliputi 85% total populasi, sementara sisanya sebagian besar Protestan. Selain itu, sama seperti Maluku, di Malut juga banyak etnis-etnis migran seperti Jawa, Buton, Minang, Bugis, Gorontalo, dan Sunda. Tahun 1970 terjadi relokasi suku Makian (kebetulan beragama Islam) ke lokasi pemukiman suku Kao (kebetulan beragama Kristen) akibat aktivitas gunung berapi di Pulau Makian. Relokasi ini memunculkan kecurigaan di kalangan suku Kao bahwa terdapat agenda rahasia Islam – Islamisasi – di wilayah Kao. Kecurigaan ini semakin mengental sejak Soeharto mengalihkan dukungan politik kepada kelompok Islam modernis (dan setelah itu, rezimis menurut Robert W. Heffner). Ketegangan antar suku menguat kala pemerintah – tanpa rembug dengan wakil-wakil suku – membentuk kecamatan baru, Malifut. Kecamatan tersebut dimaksudkan untuk dihuni para migran dari suku Makian yang sebelumnya tinggal di pemukiman Kao. Hal ini dipandang suku Kao sebagai pengistimewaan atas suku Makian yang Muslim di mata pemerintah. Kekecewaan menjadi wajar karena wilayah yang digunakan untuk kecamatan Malifut adalah lima desa yang secara adat dibawah kekuasaan suku Kao. Selain itu, pembentukan kecamatan baru tersebut dianggap akan menghambat akses suku Kao ke arah selatan, ke arah saudara Kristiani mereka.

Sebab struktural terakhir adalah dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru. Selama Orde Baru, pemerintah selalu menunjuk kalangan Kristen dan Muslim dari Jawa untuk menjadi pimpinan politik di Maluku. Kondisi ini memunculkan keuntungan relatif kalangan Kristen di Maluku, sekaligus ketidakberuntungan relatif kalangan Islamnya. Kepemimpinan politik lokal di Maluku pun mengikuti garis neopatrimonial dari Jakarta.[14] Dengan kecepatan tinggi perimbangan ini berubah, saat sejumlah perwira tinggi ABRI (dikenal sebagai ABRI merah-putih) mulai kritis terhadap Soeharto (terutama perilaku bisnis anak-anaknya). Untuk itu, Soeharto menjadi dukungan pengganti dengan merangkul Muslim modernis yang diwaliki kelompok ICMI. Di kalangan Angkatan Bersenjata, Soeharto mengimbangi kekuatan ABRI merah-putih dengan mendekati ABRI hijau (ABRI yang santri atau dekat dengan kalangan Islam). Ini adalah kebiasaan Soeharto yang baru untuk mengimbangi dan memecah kelompok-kelompok yang kritis kepadanya.

Hal yang kurang disadari Soeharto adalah dampak dari peralihan politik istana ini di daerah. Hubungan neopatrimonial dan sentralisasi kekuasaan, membuat apapun yang terjadi di pusat lekas terasa efeknya di daerah. Terjadi revolusi politik di Maluku. Gubernur yang biasanya dijabat kalangan militer dan beragama Kristen digantikan dengan yang Muslim dan non-militer. Kelompok Islam menganggap peralihan politik istana sebagai kesempatan mereka menciptakan perimbangan baru atas keuntungan relatif di Maluku. Kalangan Kristen berada dalam posisi yang defensif dan galau. Sebuah kondisi matang untuk erupsi konflik telah tercipta.

Di Maluku Utara kondisi sedikit berbeda. Sultan Ternate Muddafar Sjah (kebetulan anggota DPR dari Golkar) mengkombinasikan kuasa politik formal dan informal. Ternate berhasil menjaga kelestarian kesultanan turun-temurun. Konflik Malifut pun tidak lepas dari intervensi sultan. Di Malifut, terdapat tambang emas yang digarap oleh perusahaan Australia, New Crest Mining. Dengan terbentuknya Malifut, akan terjadi perubahaan tata-kelola distribusi keuntungan dari tambang tersebut. Inilah katalisator kuat pemicu konflik di kalangan Makian dan Kao, dan lebih jauh antara elit-elit politiknya.[15]

Rival politik Sultan Ternate adalah Bahar Andili, birokrat keturunan Gorontalo dan Makian. Bahar Andili punya dukungan kuat dari PPP (partai berbasis Islam) dan oleh kelompok Makian dianggap representasi Islam di dalam politik. Mereka memandang Sultan Ternate lebih condong pada kelompok Kristen, karena aliansi adat tradisionalnya. Dukungan atas Bahar Andili juga berasal dari Tidore, Makian, Bacan, dan Kayoa yang diantaranya sama-sama memiliki kisah masa lalu atas Ternate. Dukungan pada Sultan Ternate, selain Golkar, juga datang dari sebagian besar penduduk Islam dan Kristen di Halmahera Utara. Kegagalan Sultan Ternate dalam meresolusi konflik Malifut diantaranya muncul akibat pandangan orang Makian bahwa sultan lebih pro kelompok Kao.

Ketimpangan sosial di Maluku Utara sekaligus ada baik dalam pola tradisional maupun migran. Sultan mewakili kalangan tradisional yang lintas sekat keagamaan, sementara kalangan migran Muslim berkumpul di kelompok Bahar Andili. Aliansi sultan terkemuka dalam pembentukan tentara kuning yang bercorak lintas agama, sementara aliansi Bahar Andili tercermin dalam tentara putih yang menggunakan simbol-simbol Islam.

Krisis ekonomi merupakan fenomena umum di Indonesia secara keseluruhan. Pada umumnya, dampak langsung krisis ekonomi kurang terasa baik di Maluku maupun Malut. Memang terjadi penurunan GDP Maluku sebesar 6% dalam periode 1997 – 1998. Namun, penurunan ini terjadi lintas agama dan aneka etnis yang ada di Maluku. Krisis ekonomi, kendati harus dilakukan studi lebih lanjut, dipandang sebagai penguat kompetisi sumber daya ekonomi antar kelompok-kelompok yang bertikai di Maluku.[16]

Desentralisasi dan demokratisasi, punya pengaruh kuat atas erupsi konflik baik di Maluku maupun Malut. Di Maluku, desentralisasi dan demokratisasi mendorong munculnya ketidakpastian di kalangan status quo Maluku. Desentralisasi berakibat pada makin signifikannya peran kekuatan kelompok daerah (politik lokal) dalam mengontrol sumber-sumber daya alam Maluku. Demokratisasi memungkinkan penduduk daerah sendiri yang menentukan kepada siapa kontrol daerah akan diberikan, yang terutama diberikan kepada elit-elit asli di dalam daerah. Desentralisasi dan demokratisasi mendorong menguatnya mobilisasi massa mengikuti garis agama dan suku.

Di Malut, tambang emas di Malifut adalah bukti kuatnya faktor desentralisasi politik dalam konteks nasional atas konflik. Pembentukan kecamatan Malifut dipandang sebagai upaya salah satu kelompok (Makian) di daerah untuk memonopoli trickle-down-effect tambang emas yang dikelola New Crest Mining asal Australia. Pembentukan Malifut untuk Makian tidak diiringi pemberian kesempatan serupa bagi niat kelompok Kao untuk membentuk distrik sendiri. Kecemburuan dan kesan pengistimewaan suku mengentara dalam kasus Malifut, terutama dari pandangan Suku Kao sebagai penduduk asli. Bahar Andili selaku orang Makian dan representasi kalangan migran, dianggap berada di belakang pembentukan Malifut, yang lalu mendorong Sultan Ternate melibatkan diri ke dalam konflik Malifut.

Trigger atau pemicu konflik, baik di Maluku ataupun Malut tergolong sama. Di Maluku, konflik terbilang merembet cukup cepat. Kecepatan ini dipicu oleh kondisioning yang matang berupa rivalitas yang terjadi antara Aqib Latuconsina (representasi Muslim Maluku) dengan Freddy Latumahina (representasi Kristen Maluku). Gerry van Klinken mencatat, kedua saingan tersebut memiliki jaringan klien agama dan kelompok kriminalnya masing-masing. Keduanya telah pula menyusun langkah-langkah antisipatif dalam menyikapi insiden antara supir dengan penumpang di awal episode konflik Ambon ini.[17]

Di Malut, pengaruh konflik Ambon yang mengkatalisasi konflik ada dalam aras sentimen agama. Namun, tulis Graham Brown, penyebab utama erupsi adalah peredaran pampflet-pampflet gelap yang diproyeksikan kepada pimpinan sinode Gereja Protestan Maluku yang dituduh mengajak perang suci umat Kristen melawan umat Islam.[18] Peran provokator yang mirip dengan di Ambon dicurigai mengambil peran besar dalam konflik Malut, dan diyakini berasal dari agen yang sama.

Penyelesaian Konflik. Deklarasi Perdamaian Malino II merupakan tonggak penting dalam penyelesaian konflik Maluku dan Malut. Sebelum sampai kepada deklarasi, telah muncul inisiatif sejumlah kalangan di Maluku dan Malut sendiri untuk mengadakan penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian.[19]

Perdamaian Malino II tanggal 12 Pebruari 2002, merupakan upaya gabungan wakil-wakil masyarakat Maluku dari kelompok Islam dan Kristen, pemerintah pusat (diwakili Jusuf Kalla dan SBY), serta pemerintah daerah untuk menciptakan perdamaian. Tiga puluh lima wakil kelompok Islam dan tiga puluh lima wakil kelompok Kristen menandatangani deklarasi yang draft-nya disusun selama tiga hari di pegunungan sejuk Malino, Sulawesi Selatan. Bukti kehendak rakyat Maluku untuk damai adalah berlangsungnya Pemilu 2004 yang hampir tanpa masalah. Pemilu ditujukan untuk mencari pemimpin yang mampu membangun Maluku, apapun garis etnis dan agamanya. Demikian pula di Malut, di mana masyarakatnya berhasil menyelenggarakan pilkada gubernur secara damai pada 28 Oktober 2002 di mana Thaib Armayin dan Madjid Abdullah terpilih selaku pemimpin daerah Malut.

Nils Bubant menyatakan, aneka kekerasan yang terjadi di Maluku dan Malut bukanlah disebabkan oleh agama maupun etnisitas, melainkan proses desentralisasi. Kekuasaan Orde Baru yang berdurasi lama dan sentralistik membuat daerah kehilangan kemampuan aslinya dalam mengelola kuasa politik lokal secara mandiri. Dengan desentralisasi, kohesi politik yang alamiah lambat-laun akan terbentuk dan mampu menjembatani hubungan etnis dan agama secara lebih harmonis.[20]

---------------------------------

[1] M. Tito Karnavian, Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso (Jakarta: Gramedia, 2008) h.5.
[2] Thamrin Amal Tomagola dikutip oleh M. Tito Karnavian dalam ibid. Bahasan tiap lapisan, jika tidak diseling footnote lain, mendasarkan pada sumber ini.
[3] George J. Aditjondro, Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya, Makalah, ProPatria, 7 Januari 2004.
[4] Hamid Awaludin, Perdamaian ala JK: Poso Tenang, Ambon Damai (Jakarta: Grasindo, 2010) h.6.
[5] Ibid., h. 7.
[6] Tamrin Amal Tomagola, The Bleeding of Halmahera of North Moluccas. Paper from the Workshop on Political Violence in Asia. (Oslo, 5-7 June 2000). Tulisan dari sumber ini digunakan sebagai acuan paparan mengenai konflik di Maluku Utara, jika tidak diseling footnote lain.
[7] Ibid.
[8] Tamrin Amal Tomagola,The Bleeding..., op.cit.
[9] Graham Wilson, Christopher Wilson, and Suprayoga Hadi, Overcoming Violent Conflict Volume 4: Peace and Development Analysis in Maluku and North Maluku (Jakarta: CPRU-UNDP, LIPI, BAPPENAS, 2005) p. 36.
[10] Ibid.
[11] Ibid. p. 20 – 36.
[12] Tamrin Amal Tomagola, The Bleeding ..., op.cit.
[13] Ibid., h. 28.
[14] Jacques Bertrand, Legacies of the Authoritarian Past: Religious Violence in Indonesia’s Moluccan Islands, Pacific Affairs: Spring 2002, 85.
[15] Nils Bubant, Menuju Sebuah Politik Tradisi yang Baru?: Desentralisasi, Konflik, dan Adat di Wilayah Indonesia Timur, Antropologi Indonesia 74, 2004, h. 19.
[16] Graham Brown, Overcoming ..., op.cit. p. 30.
[17] Ibid. p.32.
[18] Ibid. Hal ini kurang masuk akal mengingat para penganut agama ini adalah minoritas di Malut sehingga keotetikan pampflet-pampflet diragukan.
[19] Tri Ratnawati, Antara Kekerasan dan Konstetasi Politik: Membangun Demokrasi Pasca Konflik Kasus Ambon, Berita IPTEK, Tahun Ke-45, Nomor 1, 2006, h. 9–14. Uraian mengenai kelompok-kelompok ini berdasarkan sumber ini.
[20] Nils Bubant, Menuju ... op.cit. h. 27.