Latest News

Monday, May 5, 2014

Model-model Kepemimpinan Politik

Model-model kepemimpinan politik kini penting untuk dikaji ulang. Indonesia sebentar lagi akan memilih presiden baru. Tanggal pemilihan tersebut 9 Juli 2014. Model-model kepemimpinan politik ditengarai penting untuk mengidentifikasi karakteristik masing-masing calon presiden yang akan bersaing nanti.

Sekurangnya terdapat 4 model kepemimpinan politik, yaitu: (1) Negarawan, (2) Demagog, (3) Politisi Biasa, dan (4) Citizen-Leader. [1] Negarawan adalah seorang pemimpin politik yang memiliki visi, karisma pribadi, kebijaksanaan praktis, dan kepedulian terhadap kepentingan umum yang kepemimpinannya itu bermanfaat bagi masyarakat. Demagog adalah seseorang yang menggunakan keahliannya memimpin untuk memeroleh jabatan publik dengan cara menarik rasa takut dan prasangka umum untuk kemudian menyalahgunakan kekuasaan yang ia peroleh tersebut demi keuntungan pribadi. Politisi seorang pemegang jabatan publik yang siap untuk mengorbankan prinsip-prinsip yang dimiliki sebelumnya atau mengesampingkan kebijakan yang tidak populer agar dapat dipilih kembali. Citizen-Leader Seseorang yang mempengaruhi pemerintah secara meyakinkan meskipun ia tidak memegang jabatan resmi pemerintahan.


Karakteristik Masing-masing Model Kepemimpinan Politik

Definisi masing-masing model kepemimpinan politik sudah diketahui. Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana melakukan perabaan guna mengidentifikasi seorang capres masuk ke kategori mana. Untuk itu diperlukan seperangkat indikator. Indikator ini penting demi melakukan pengukuran karakter seorang individu capres.

Karakteristik Negarawan adalah:

  • Mengejar kebaikan umum. Pemimpin terbaik termotivasi bukan oleh kepentingan diri sendiri yang kasar melainkan oleh kebaikan umum.
  • Kebijaksaan yang praktis. Visi kebaikan publik, semenarik apapun tidak akan berguna tanpa orang yang punya visi tersebut tidak tahu bagaimana cara mencapainya. Sebab itu, pemimpin yang baik harus memiliki kebijaksaan yang praktis, dengan mana lewat kebijaksanaan itu, pemimpin bisa memahami hubungan antara tindakan yang diambil dengan konsekuensi-konsekuensinya.
  • Keahlian politik. Pemimpin yang baik sekaligus pula seseorang yang punya bakat dalam menilai dan melakukan pendelegasian wewenang. Dalam memimpin negara, pemimpin harus menjalankan birokrasi raksasa, mengarahkan para staf, bekerja sama dengan para legislator demi meloloskan program pemerintahan, dan menggalang opini publik sehubungan dengan kebijakan administrasi. Tanpa keahlian politik yang menyukupi, mustahil tugas-tugas berat seperti ini dapat berjalan secara baik.
  • Kesempatan luar biasa. Negarawan lahir dari suatu kondisi kritis. Ketika suatu negara berada dalam pusaran kejenuhan, kebosanan, stagnasi, disorientsi, atau perang, dari sinilah negarawan umumnya lahir.
  • Nasib baik. Terkadang, seorang negarawan lahir karena nasib baik. Kadang pula disebutkan, bahwa ia dianugerahi berkah oleh Yang Mahakuasa untuk memikul beban masyarakat dan negaranya.

Karakteristik Demagog adalah:
  • Ia mengeksploitasi prasangka publik. Sebagai seorang tokoh, demagog sangat sensitif akan prasangka-prasangka sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Ia kemudian memerankan diri sebagai berdiri di sisi masyarakat sehubungan dengan prasangka yang muncul. Peran tersebut dibarengi dengan rangkaian janji bahwa ia akan memastikan bahwa prasangka tersebut akan ditanggulangi apabila ia menduduki jabatan politik.
  • Kerap melakukan distorsi atas kebenaran. Kebenaran adalah tidak lebih dari komoditas politik. Apabila kebenaran tersebut tidak sejalan dengan prakteknya untuk menggapai kekuasaan, ia akan mendistorsinya. Distorsi tersebut sebagian besar diperkuat dengan aneka fakta "kuat" yang ia susun sehingga distorsi tersebut masuk akal. Dengan kata lain, ia membuat "babad" yaitu rangkaian cerita historis yang menguatkan posisinya di atas kebenaran yang ada.
  • Mengumbar janji-janji manis untuk memeroleh kuasa politik. Terlebih, apabila janji tersebut cukup populis dengan pangsa pemirsa yang cukup besar. Sekali lagi, bagi seorang demagog, janji adalah komoditas politik yang akan digunakannya sebagai instrumen kampanye guna meneguhkan posisinya dibanding para kompetitornya yang lain.
  • Tidak canggung menggunakan metode yang dinilai kurang bermoral. Hal ini terkait dengan karakteristik-karakteristik sebelumnya. Masalah moral bukan masalah yang harus diprioritaskan. Moral bergantung pada tujuan, dan moral dalam diri seorang demagog adalah situasi di mana keinginannya untuk berkuasa terealisasi. Tidak ada penilaian moral untuk metode yang ia gunakan untk menyapai tujuan kekuasaan.
  • Memiliki daya tarik yang besar terhadap masyarakat banyak. Seorang demagog sekaligus adalah orang yang populer di mata publik. Aneka daya tarik bisa saja dimiliki seorang demagog. Daya tarik inilah yang sesungguhnya membuat publik memercayai seorang demagog. Publik tidak lagi kritis akan variabel ideosinkretik yang melekat di dalam diri demagog. Publik hanya memercayai apa dan bagaimana performance seorang demagog secara aktual.
  • Jika negarawan secara tulus peduli akan keadilan dan kebaikan umum, maka Demagog sekadar berpura-pura peduli dalam rangka memeroleh jabatan, yang begitu ia mendapatkannya, tanpa ragu ia akan mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan karakteristik seorang demagog, bahwa ia hanya ingin berkuasa. Setelah ia berkuasa, segala hal yang ia janjikan di masa-masa sebelumnya akan direnegosiasi ulang.

Karakteristik Politisi biasa adalah:
  • Tidak punya visi dan bakat yang cemerlang. Seorang politisi biasa tampak kurang bersinar. Ia hanya berada di "sekeliling" tanpa pernah menjadi pusat pengambilan arah suatu masyarakat. Visi yang ia miliki terlampau umum, kurang greget, "biasa", dan terkesan asal ambil. Bakat yang ia miliki mungkin alami atau "karbitan", tetapi publik memandangnya sebagai "datar", "umum", dan "kurang menarik."
  • Hidup cuma day-to-day, dengan upaya untuk mengatasi tekanan dan hambatan yang dialami dalam keseharian. Politisi biasa tidak hidup untuk long-term melainkan short-term. Ia hanya dipusingkan urusan bagaimana agar ia tetap bercokol di lingkaran kekuasaan. Ia tidak terlalu pusing apabila disebut tidak melakukan apa-apa di dalam jabatannya. Ia baru merasa pusing apabila menghadapi kemungkinan akan tidak dipakai kembali di masa mendatang.
  • Kendati ingin berbuat sesuatu yang baik, mereka selalu kesulitan menjaga isu-isu moral dan etika secara tegas. Politisi biasa janganlah diharapkan untuk bicara masalah moral ataupun etika. Masalah moral dan etika bukanlah prioritas di dalam jabatannya. Kerapkali memang, politisi biasa ingin berbuat sesuatu yang baik. Namun, kerap pula keinginan tersebut dibatasi oleh keinginannya untuk menyenangkan seluruh pihak. Ia ingin diterima oleh semua pihak dan moral serta etika kerap menjadi korban dari kehendaknya tersebut.
  • Mereka sulit mengatasi risiko politik. Karena itulah, mereka memosisikan diri mereka di titik aman. Ia berusaha netral bahkan di saat ia ada dalam posisi terjepit untuk memilih. Pilihan barulah ia buat apabila ada keyakinan bahwa pilihan tersebut membawanya ke titik aman lainnya. Bagi politisi biasa, perjuangan untuk tetap di pusaran kekuasaan adalah lebih penting ketimbang ia menunjukkan posisi dirinya yang asli.
  • Kendati mereka ini umumnya tidak korup, tetapi sesungguhnya mereka mudah sekali untuk disuap. Karena mereka enggan menanggulangi risiko politik, mereka menerapkan image tidak korup. Dan, ketidakkorupan ini bukanlah sesuatu yang mutlak kita tidak harus percaya. Sayangnya, mereka justru membuka diri untuk disuap. Kesediaan disuap ini tegas dilatarbelakangi oleh kehendak mereka untuk menyari aman. Toh, bukan saya yang meminta tetapi mereka.
  • Mereka ini tidak lebih baik atau lebih buruk dari manusia lainnya. Bedanya, mereka punya posisi untuk melakukan hal-hal buruk (ataupun baik) dengan dampak lebih besar. Secara umum, mereka sulit dibedakan dengan warganegara lain pada umumnya. Mereka terlampau biasa, sehingga perilaku yang mereka tunjukkan di layar kaca atau media massa sama persis dengan perilaku kita, keluarga kita, ataupun teman kita. Bedanya, kita, keluarga kita, ataupun teman kita tidak punya kuasa untuk membuat kebijakan umum. Para politisi biasa ini bisa.

Karakteristik Citizen-Leader adalah:
  • Punya pengabdian unik atas masyarakat. Mereka ini, dalam waktu lama, aktif memimpin suatu segmen dalam masyarakat dalam memerjuangkan keyakinan dan posisi mereka di dalam kepolitikan suatu negara. Mereka nyaris tidak lagi memiliki kehidupan privasi karena hampir di setiap saat, mereka harus bergerak, bekerja, dan mengatasi permasalahan segmen masyarakat yang mereka wakili. Mereka inilah yang kerap berhadapan dengan kuasa-kuasa formal, bersitegang, dan menerima sanksi atas keyakinan pengabdiannya. Sulit untuk meminta sesuatu yang sifatnya formalitas pada mereka karena kuasa negara yang formal itu pun dalam anggapan mereka sudah bersifat informal.
  • Punya magnet personal di dalam dirinya. Seorang citizen-leader diyakini memiliki daya tarik yang luar biasa di dalam diri mereka. Magnet inilah yang membuat para pengikutnya bahkan rela memberikan loyalitas mereka kepada dirinya. Daya tarik ini dapat merupakan perpaduan unik antara berkah dari Yang Mahakuasa dengan bakat-bakat kepimpimpinan yang ia miliki.
  • Keberaniannya di atas rata-rata, sehingga menarik orang-orang untuk menjadi pengikutnya. Dare to be different adalah pasti kualitas yang ada di dalam diri seorang citizen-leader. Keberanian yang ia miliki jauh di atas rata-rata orang di sekelilingnya. Keberanian yang ia miliki menular kepada para pengikutnya sehingga perjuangan yang ia bawakan memiliki stamina cukup untuk durasi panjang.


----------

[1] Thomas M. Magstadt, Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues (Belmont: Wadsworth, 2010) p.307.

Sunday, May 4, 2014

Partai Politik Pasca Reformasi antara Disalignment dan Realignment

Partai politik pasca reformasi berada dalam pilihan antara disalignment dan realignment. Tesis ini mengentara pasca Pileg 2014 kemarin. Kendati hanya berdasar rata-rata hasil quick-count dari 4 lembaga survei (terlampir), kelihatan bahwa posisi mereka semua mendatar. Tidak satu pun partai punya boarding-pass 25% agar bisa prerogatif mengusung capres-cawapres sendiri. Mereka semua harus negosiasi, baik dengan 1 atau lebih parpol lain guna mengusung kandidat kepala eksekutif negara 2014-2019. Hampir seluruh parpol harus mengadaptasi bentuk mereka menjadi "catch-all" party. Bentuk ini agar meluaskan spektrum pemilih agar suara mereka tidak mau jadi menyusut di pileg 2019 nanti.


Disalignment dan Realignment

Kembali ke judul tulisan. Disalignment dan realignment adalah konsep yang di antaranya bisa ditemukan dalam tulisan Charles S. Mack dalam bukunya "When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment" yang terbit tahun 2010 lalu. Mack mengaji fenomena disalignment dan realignment yang menimpa Whig Party (AS), Liberal Party (Inggris), dan Progressive Conservative Party (Kanada). Dalam tulisannya, Mack mendefinisikan disalignment sebagai: "A severe loss of support for a major political party among its core base voters."[1] Sementara itu, realignment didefinisikannya sebagai "A substantial, persistent, and pervasive transfer of support among medial voters from one major party to another."

Menurut Mack, suatu partai politik akan mengalami disalignment apabila ia kehilangan dukungan dari para pemilih yang menjadi basis partai tersebut. Misalnya, kalangan Nahdliyin pedesaan di Jawa Timur tidak lagi mau memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau aktivis tarbiyah yang meningggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di setiap pemilu. Sementara itu, realignment adalah suatu kondisi dengan mana terjadi transfer dukungan dari pemilih suatu partai ke partai lainnya. Misalnya, para pemilih Partai Amanat Nasional mengalihkan dukungan kepada PKS atau para pendukunga Partai Demokrat lebih memilih Partai Gerindra di suatu pemilu. Fenomena "perpindahan" dukungan adalah suatu hal yang mengentara baik pada disalignment maupun realignment.

Konsep kunci dalam kedua fenomena tersebut (disalignment dan realignment) adalah voter (pemilih dalam pemilu). Kategori pemilih dalam kedua peristiwa tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu core base voter (CBV), medial voter (MV), dan peripheral base voters (PBV). [2] CBV adalah suatu segment pemilih yang terbiasa dan normalnya selalu memilih para kandidat dari suatu partai tertentu, terkadang tidak peduli siapa kandidat yang partai itu tawarkan di setiap pemilu. Para CBV inilah yang sesungguhnya membuat suatu partai selalu memeroleh kursi di setiap pemilu. Kegagalan partai dalam memelihara CBV ini pula yang membuat suatu partai politik bangkrut suaranya. MV adalah para pemilih yang menjadi subyek yang potensial untuk ditarik oleh kandidat suatu partai karena mereka sesungguhnya bukan CBVpartai manapun. PBV adalah seperti CBV tetapi lebih kritis karena mereka sewaktu-waktu dapat berpindah pilihan ke partai lain apabila menurut mereka partai yang biasa mereka pilih melakukan suatu pengabaian.

Baik peristiwa disalignment dan realignment maupun karakteristik pemilih yaitu CBV, MV, dan PBV, seluruhnya membuat konstelasi stabilitas partai politik ibarat terus ada di ujung tanduk. Tidak ada jaminan resmi bahwa hasil di Pileg 2014 adalah serupa dengan Pileg 2019. Tidak ada jaminan bahwa CBV suatu partai politik akan terus menjadi CBV tanpa pernah beranjak menjadi PBV.

Disalignment Partai Politik

Mengapa partai politik bisa mengalami disalignment? Mack menginventarisasi sejumlah faktor selaku variabel bebas yang membuat partai politik mengalami peristiwa ini. Variabel-variabel tersebut adalah:

Gagalnya kepemimpinan
Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional
Alienasi partai atas CBV
Adanya partai(atau partai-partai) alternatif
Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP)

Gagalnya kepemimpinan. Gagalnya kepemimpinan partai politik dicurigai menjadi sumber dari disalignment partai tersebut dari pemilu ke pemilu. Gagalnya kepemimpinan ini dapat dilihat dari terjadinya kondisi ketika elit partai salah melakukan penilaian atas posisi dirinya saat diperhadapkan dengan konstituen dan konfigurasi kekuatan partai-partai secara aktual. Aneka korupsi yang dilakukan elit partai adalah salah satu dari gejala ini. Juga, inkompetensi elit (dan para kandidat partai) misalnya dalam melontarkan statement, mengatasi konflik internal partai, pembangunan aspirasi di level grass-root, eksklusivitas elit, merupakan ragam hal yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Gagalnya kepemimpinan ini bahkan semakin jelas di era informasi yang terbuka. Para CBV dapat mengamati dan mengevaluasi perilaku elit partai lewat blog, twitter, facebook, bbm, dan social media lain selain tentu saja televisi. Selain karena alamiah dilakukan elit partai, gagalnya kepemimpinan juga dapat di-framing secara sengaja oleh lawan politiknya dari partai lain karena punya kekuatan media.

Kerapnya terjadi pembelahan isu dan positioning terkait identitas nasional. Hal ini berkaitan dengan pengambilan posisi aktual partai atas isu-isu nasional dan identitas CBV diperhadapkan dengan posisi elit. Para CBV merasa bahwa mereka telah selesai dalam mengidentifikasi diri mereka dengan partai politik. Posisi partai politik diasumsikan telah fix sehingga CBV merasa aman dengan pilihannya. Namun, akibat dinamisasi perpolitikan dalam skala nasional dan global, partai terkadang harus mengambil posisi berbeda dengan pendirian konservatifnya. Apabila ini terjadi, CBV akan mempertanyakan hal tersebut dan apabila jawaban memuaskan tidak diperoleh, mereka akan mulai merasa diasingkan oleh partai.

Alienasi partai atas CBV. Situasi alienasi dapat dikatakan sebagai perulangan dua penyebab pertama, yang semakin intens, sehingga CBV seolah tidak memiliki kaitan afeksi lagi dengan partai. Dalam kondisi alienasi ini, CBV mungkin saja mulai bertransformasi menjadi PBV. Situasi CBV menjadi "galau" dan di titik inilah partai kompetitor mulai menyuguhkan diri mereka sebagai "pelipur lara." Atau, dapat saja CBV sama sekali menjadi apolitis dan ia pun bertransformasi menjadi MV. Mereka terombang-ambing, mengambang, dan baru menentukan pilihan apabila kepercayaan mereka kepada politik telah kembali.

Adanya partai(atau partai-partai) alternatif. Kendati pun CBV telah menjadi MVataupun PBV, jarangkali mereka menaruh pilihan kepada partai lain dengan melintasi garis ideologis. Mereka umumnya "menyeberang" ke partai lain yang memiliki ideologi sama kendati "gerbongnya" berbeda. Seorang CBV partai berbasis agama, yang mengaitkan pilihan politik dengan kesalehan agama, akan sulit menyeberangkan pilihan mereka kepada partai lain yang berbasiskan sekularitas. Hal yang demikian pun dapat terjadi sebaliknya. Pada variabel keempat ini, situasi disalignment mulai mengental.

Kemungkinan akibat penerapan sistem pemilu First Past the Post (FPP). Ini terjadi di negara-negara yang menganut sistem kepartaian dwi-partai seperti Inggris, Kanada, Australia, ataupun Amerika Serikat. Indonesia tidak menganut FPP dalam mekanisme Pileg. Namun, ini bukan berarti sistem proporsional tidak rentang mengakibatkan disalignment terhadap partai. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Belajar dari Empat Pileg

Analisis selanjutnya diketengahkan berdasarkan 4 Pileg yang diselenggarakan 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil tersebut dapatlah kiranya gambaran mengenai disalignment lebih terjelaskan.

Data untuk pileg 1999, 2004, 2009, dan 2014 diambil dari KPU.


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. PDIP memeroleh suara 33,74% di pileg 1999, kemudian turun menjadi 18,31% di pileg 2004, terus turun di pileg 2009 menjadi 14,01%, untuk kembali naik menjadi 18,95% di pileg 2014. Apakah terjadi disalignment atas PDIP? Jawabannya adalah jelas apabila diletakkan dalam rentang 1999 hingga 2009, yaitu dari 33,74% menjdi 14,01. Suara partai tersebut turun lebih dari setengahnya sejak 1999. Suara tersebut bahkan turun dari 2004 ke 2009 selama masa partai menjadi menjadi oposisi pemerintah. Pemulihan baru terjadi dari 2009 ke 2014 di mana partai ini naik dari 14,01% menjadi 18,95%. Lalu, apa yang bisa dikatakan kepada PDIP ini.

Pertama, apabila mundur ke determinan historis, PDIP adalah representasi dari PNI tahun 1955. Basis konstituen (CBV) partai PDIP sulit untuk dikatakan berasal dari luar partai ini. Di Pileg 1955, PNI berhasil memeroleh 22,32% sementara untuk Konstituante 23,97%. Apabila didasarkan pada asumsi tersebut, pada suara 33,74% di pileg 1999 terkesan agak berlebihan. CBV PDIP maksimal memang berada di sekitar 20%-an suara nasional. Pernyataan ini membawa dampak pada pernyataan selanjutnya: Disalignment terjadi pada PDIP sejak 2004, 2009 dan baru sedikit pulih pada 2014.

Kedua, elit partai di PDIP kurang berhasil bertindak selaku perekat CBV karena hanya mengandalkan trah Sukarno, yaitu Megawati S.P. (juga almarhum Taufik Kiemas). Kerja suatu partai politik tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan orang per orang sehingga menihilkan peran partai sebagai sebuah organisasi. Baru lah ketika PDIP melakukan kaderisasi di luar trah, seperti misalnya memroyeksikan elit-elit baru seperti Tri Rismaharini, Teras Narang, Rieke Dyah Pitaloka, Joko Widodo, ataupun Ganjar Pranowo, para CBV kembali bisa diyakinkan bahwa partai sesungguhnya memikirkan nasib mereka. Juga, ideologi yang diemban oleh tokoh-tokoh tadi tidak jauh dari ideologi yang juga ada di benak para CBV : Nasionalisme dengan tidak berpatokan pada disiplin agama tertentu.

Ketiga, fenomena anjloknya CBV PDIP dari 1999 hingga 2009 juga akibat terciptanya image bahwa PDIP berdiri di posisi "kapitalis" sehubungan isu-iso salah satu segmen PDIP yang cukup luas: Buruh dan tani. Isu keberpihakan Megawati atas outsourcing dan penjualan aset kepada asing merupakan dua isu yang menghempas para CBV sehingga mereka teralienasi dari melirik partai lain untk dipercayakan aspirasi mereka. Terlebih kini para CBV memiliki pilihan yaitu Partai Gerindra yang secara ideologi tidaklah berbeda jauh dengan PDIP yang mana mereka bersedia menjadi pilihan pengganti PDIP.

Partai Golkar. Partai Golkar adalah dominator dalam setiap pemilu Orde Baru, sejak 1971 hingga 1997. Begitu diadakah pemilu demokratis pertam 1999, suaranya anjlok menjadi 22,44%. Kendati ia menempati peringkat ke-2, dapat dipastikan bahwa partai ini sekedar memiliki CBV di kisaran 20%-an pemilih. Di Pileg 2004 suaranya turun menjadi 21,62%, terus turun di 2009 menjadi 14,45% dan stagnan-cenderung naik menjadi 14,75% di 2014. Pemilih Golkar di tiap-tiap pileg Orde Baru, kendati selalu mayoritas, ternyata bukanlah melukiskan CBV yang sebenarnya. Pemilih terbesar mereka di masa-masa tersebut kiranya hanya merupakan MV, dan ini ditunjukkan secara kuat pada pileg 1999: Dari 60%-an suara mereka di pileg 1997 segera anjlok menjadi 22,44% dan terus turun di masa-masa kemudian.

Disalignment benar-benar terjadi pada PG. Mayoritas pemilih mereka di Orde Baru adalah MV, yang "terpaksa" memilih partai ini karena sejumlah alasan. Pileg 1999 pun bukanlah menunjukkan siapa CBV mereka. Di antara 22,44% pemilih mereka di 1999 masihlah terdapat PBV. Ini segera ditunjukkan di Pileg 2004 di mana suara mereka menyusut 0,82%. Dilanjutkan dengan penyusutan sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Seperti dalam teori disalignment, faktor gagalnya elit mengentara di keanjlokan 2004 ke 2009 ini. Kepemimpinan PG pecah antara kubu Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Surya Paloh kemudian dikenal mengembangkan gerakan sosial Nasional Demokrat, Kalla fokus pada organisasi di luar PG (Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia), sementara Bakrie yang mengandalkan kekuatan finansial dan medianya memimpin PG yang kini kurang padu. Pemilih PG mengalami alienasi dan mereka yang mengalami hal ini benar-benar siap menransformasikan suara mereka kepada partai lain.

Disalignment PG di antaranya juga disebabkan berdirinya Partai Demokrat (PD). PD yang sejak Pileg 2004 sudah ikut serta diduga menjadi muara pemilih PG yang sudah menjadi PBV. Para pengikut Hayono Isman dan Susilo Bambang Yudhoyono kemungkinan besar masuk ke gerbong baru ini. Gagalnya elit PG dalam distribusi kekuasaan pun kian memermanensi dugaan CBV partai ini yang sekadar di kisaran 14% terkait perolehan suara mereka di Pileg 2014. Ini ditunjukkan dengan hadirnya 2 partai baru yang difigurisasi oleh bekas tokoh senior PG seperti Prabowo (Partai Gerindra/PGIR) dan Wiranto (Partai Hanura/PHNR). Kehadiran 2 partai inilah yang membuat PG benar-benar memiliki sekadar PBV di Pileg 2004. Banyak dari antara PBV ini yang dengan mudahlah menyeberang ke PGIR dan PHNR. Pileg 2014 tidak lebih sekadar membuktikan kecenderungan-kecenderungan ini secara lebih lanjut.

Partai Persatuan Pembangunan. PPP adalah partai fusi, yaitu dari partai-partai berbasis Islam yang dikompres oleh Orde Baru menjadi 1 partai Islam tunggal. Adalah Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (pewaris Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah menjadi pembangunnya. Dengan demikian, sejak awalnya, pemilih PPP adalah perpaduan dari CBV dan PBV yang cukup menarik. Di selama pileg Orde Baru, PPP mengalami efek depolitisasi dari pemerintah. Para pendukung partai Islam, untuk sebagian, memilih PPP sebagai pilihan minimal. Banyak pula di antara pemilih Islam yang melabuhkan suara mereka di partai korporatis PG.

Suara PPP cenderung stabil sejak Orde Baru hingga Pileg 1999 dengan posisi 10,71% suara. Namun, posisi pendukung partai Islam memiliki sejumlah kesempatan untuk menerjemahkan pilihan politik mereka secara lebih asertif. Hadir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasiskan kaum Nahdliyin, Partai Amanat Nasional (PAN) yang berbasisnya ormas Muhammadiyah, dan Partai Keadilan (PK) yang berbasiskan kalangan pergerakan Tarbiyah dan revivalis Islam internasional. Kemunculan PK, PKB, dan PAN ini mendorong pemilih Islam untuk lebih tegas memosisikan sikap Islam dan hidup politik mereka. PBV di tubuh PPP pun segera melabuhkan pilihan mereka ke ketiga partai tersebut, sementara CBV mereka menetap di PPP. Akibatnya, suara PPP menyusut sebesar 2,55% dari Pileg 1999 ke 2004. Untuk kemudian menyusut lagi sebesar 2,83% dari Pileg 2004 ke 2009.

Seperti telah diketahui, sesungguhnya PPP sendiri memiliki basis-basis pemilih yang berlainan di dalam tubuhnya. Dapat diprediksi bahwa kalangan NU di tubuh PPP berlabuh ke PKB, kalangan Muhammadiyah, PSII, dan Perti berlabuh ke PK(S) dan PAN. Kemungkinan juga banyak di antara PBV di tubuh PPP berlabuh ke partai-partai nasionalis yang mengiklankan diri sebagai juga religius (misalnya PD). Kini, CBV PPP dapat dikatakan sekadar berisikan 5 - 6% suara nasional. Hal ini pun dengan sejumlah catatan bahwa PPP benar-benar dapat mengendalikan konflik internal di dalam partai yang sesungguhnya memiliki CBV yang berasal dari basis berbeda.

Partai Kebangkitan Bangsa. PKB seharusnya menjadi labuhan partai NU yang berkembangan sejak tahun 1952 dan NU yang serupa yang difusikan Orde Baru tahun 1971. Pada Pileg 1955 partai Nahdlatul Ulama menguasai 18,71% suara nasional, sementara pada Pileg 1971 menguasai 18,68% suara. Sebagai partai, NU dahulunya dapat dikatakan memiliki CBV yang cukup "tulen." Basis mereka adalah para santri di wilayah pedesaan (terutama Jawa Tengah dan Timur). Suara NU cukup stabil di periode 1955 hingga 1971.

Manakala fusi dilakukan sejak 1971, kalangan NU seperti kehilangan pakem politik nasional. Para pemilihnya kemudian berubah menjadi MVhampir di sepanjang masa Orde Baru: Ada di antara mereka yang melabuhkan suara ke PG maupun PPP (mungkin juga bisa ke PDI, kendati kurang kuat). Di kedua partai tersebut, para pendukung NU sekadar bersifat MV.

Menjelang Pileg 1999 berdirilah PKB dimotori tokoh NU Abdurrahman Wahid (cucu K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU). Berbondong-bondong kaum Nahdliyin menuntaskan rindu-rendam mereka dalam politik nasional Indonesia. PKB langsung meraup suara sebesar 12,61% sekalig menempatkan dirinya sebagai pemenang ke-3 Pileg 1999. Dapatlah dikatakan bahwa suara ini memang sungguh-sungguh berasal dari CBV kalangan NU. Namun, PKB ternyata memiliki "rasa" berbeda dengan Partai NU, karena khittah 1984 menyatakan NU keluar dari arena politik. Namun, hengkangnya NU dari politik (sebagai partai) masih kurang dirasakan para CBV partai NU dahulu. Mereka tetap yakin bahwa PKB adalah partai NU itu sendiri. Hal ini ternyata tidak seperti diharapkan.

NU adalah salah satu aliran yang berkembang jauh sebelum reformasi 1998 terjadi. NU adalah pernyataan tegas kesalehan Islam versi masyarakat tradisional Islam di Indonesia. NU (kalangan Nahdliyin-nya) memegang saham cukup besar dalam peralihan politik dari kolonial ke kemerdekaan dan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai kekuatan politik, NU adalah kekuatan yang mandiri. Kemandirian ini dirasakan masih harus terdapat di PKB.

Ternyata, PKB bukanlah partai NU. Bentuk-bentuk pernyataan Islam yang tegas (versi NU) sulit diperoleh pada PKB. PKB lebih bernuansakan partai nasionalis dan sedikit sekuler. Akibatnya, para CBV NU merasa kegamangan sehubungan dengan pernyataan tegas kesalehan Islam ini. Hal ini kemudian terbukti berkurangnya suara PKB sebesar 2% dari 1999 ke 2004 dan 5,66% dari 2004 ke 2009. Sepanjang 2004 ke 2009, PKB dilanda konflik elit antara kubu Abdurrahman Wahid versus Muhaimin Iskandar. Dan bukan itu saja, kerindungan kalangan Nahdliyin akan kesalehan Islam yang lebih tegas disediakan oleh sebuah partai lain: Partai Keadilan Sejahtera. Banyak di antara tokoh-tokoh NU yang cukup simpatik terhadap PKS ini (misalnya Nurmahmudi Ismail dan kawan-kawan).

Akibatnya, para pendukung PKB (yang Nahdliyin) lekas menransformasikan diri mereka menjadi PBV dan melabuhkan suara mereka kepada PKS. Partai yang belakangan ini banyak mengelola basis-basis tradisional kalangan Nahdliyin seperti lembaga pendidikan dan masjid-masjid. Melonjaknya suara PKS dari 1999 (ketika masih PK) ke 2004 dan 2009 di antara dapat dilacak pada fenomena ini.

Begitu para tokoh NU di dalam PKB menjadi waspada, lekas mereka lakukan reorganisasi para CBV NU. Hal ini menghasilkan suara PKB yang mulai pulih di Pileg 2014 dari 4,95% (pileg 2009) menjadi 9,04% (pileg 2014). Perolehan suara PKB di Pileg 2014 menunjukkan kecenderungan realignment ini.

Partai Amanat Nasional. PAN sulit untuk tidak dikatakan sebagai sama sekali lepas dari ormas Muhammadiyah. Logo matahari PAN, kendati tanpa kaligrafi, adalah mirip dengan logo Muhammadiyah. Tokoh-tokoh PAN pun seperti M. Amien Rais atau Hatta Rajasa adalah bagian dari Muhammadiyah.

Dalam sejarah politik Indonesia, Muhammadiyah adalah gerakan sosial yang fokus pada bidang pendidikan dan kesehatan. Gerakan ini menjaga diri terhadap politik kendati membebaskan para anggota untuk memilih gerbong-gerbong politik yang sesuai. Dalam aliran politik, Muhammadiyah adalah representasi kalangan modernis, dengan basis utama pencaharian selaku pedagang di kota-kota (urban). Dengan demikian, aspirasi politik kalangan ini lebih dekat kepada Masyumi (dahulu) dan reinkarnasinya Parmusi di era awal Orde Baru.

Dengan demikian, kendati perlu lebih diteliti, pada CBV Parmusi di Pileg 1971 adalah sebagiannya berasal dari para pendukung Muhammadiyah. Suara Parmusi di Pileg 1971 sebesar 5,36%. Di Pileg 1999, PAN memeroleh suara sebesar 7,12% dan memosisikan dirinya sebagai 4 besar Pileg. Suara PAN di Pileg 1999 ini seharusnya dapat lebih bertambah apabila para pemilih Masyumi, PSII, atau PUI melabuhkan suara mereka ke partai Islam modernis ini.

Namun, serupa seperti PKB, PAN sendiri tidak memilih bentuk tegas sebagai representasi Muhammadiyah di dalam politik nasional. Posisi ini mendorong para berkurangnya suara partai sebesar 0,71% dari 1999 ke 2004, dan sebesar 0,38% dari 2004 ke 2009. Bahkan, suara PAN naik sebesar 1,56% dari 2009 ke 2014. Jumlah suara mereka di 2014 juga dapat dikatakan naik bahkan jika diperbandingkan dengan 1999 yaitu sebesar 0,47%.

Disalignment PAN serupa dengan yang dialami PKB di sepanjang Pileg 2004 dan 2009 kendati lebih kurang signifikan dibanding PKB. Melihat dari suara mereka sejak 1999 hingga 2014, PAN cenderung dapat memelihara CBV mereka. CBV mereka yang berubah menjadi PBV jauh lebih kecil ketimbang di kalangan PKB. Pelacakan PBV dari PAN sama seperti PKB, dapat dilacak pada munculnya PKS sebagai muara PBV partai-partai Islam.

Partai Demokrat. PD adalah sebuah partai catch-all. Fokusnya pada pemenangan Pemilu. Partai ini tumbuh sebagian besarnya dapat dilacak pada gagalnya kepemimpinan elit di tubuh PG. Terdapat organisasi sayap dan para bekas tokoh Golkar yang ikut memerkuat PD baik di masa awal pembentukan hingga selanjutnya.

Turunnya suara Golkar, terutama dari 2004 ke 2009, salah satunya dapat dilacak pada semakin stabilnya PD ini. Seperti diketahui sebelumnya, suara PG turun sebesar 7,17% dari 2004 ke 2009. Di sisi lain, suara PD cukup signifikan yaitu 7,46% begitu ikut Pileg 2004. Suara ini bahkan jauh naiknya dari 2004 (7,46%) menjadi 20,81% di Pileg 2009. Dari manakah suara PD berasal?

Sesuai dengan bentuk PD yaitu sebagai catch-all party, ia memanfaatkan MV yang berkeliaran menjadi pemilih PDIP, PG, PPP, PKB, dan PAN. Signifikansi suara PD hingga 20,81% untuk kemudian "terjun bebas" secara drastis menjadi 10,19% di Pileg 2014 mengindikasikan banyaknya pemilih MV di PD. CBV PD bukanlah pemilih true believer melainkan sekadar MV yang melihat Pileg sebagai suatu kepentingan an sich. PD relatif lebih mudah mengalami disalignment ketimbang PG, dengan mana ini dapat dilihat pada perolehan suara mereka yang fluktuatifnya lebih tinggi ketimbang PG.

PK dan PKS. Partai Keadilan (PK) adalah debutan baru di Pileg 1999. Namun, sejarah mereka adalah sejarah gerakan tarbiyah di perguruan-perguruan tinggi yang berkelindan dengan isu revivalisme Islam global. PK menawarkan kehausan kalangan Islam "santri" akan partai Islam yang lebih tegas perjuangannya dalam nuansa kesalehan agama. PK kemudian berubah nama (juga metamorfosis organisasional) di Pileg 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di Pileg tersebut, PKS mampu menaikkan suara PK dari sekadar 1,36% di Pileg 1999 menjadi 7,20% di Pileg 2004. Dalam konteks ini, PKS tentu tidak mengalami dealigment sama sekali.

Bahkan, suara PKS stabil-cenderung naik dari 2004 ke 2009. PKS memunculkan diri sebagai "genre" baru partai politik berbasis Islam yang lebih tegas. Dalam Pileg 2004, ketika PPP, PKB, dan PAN mengalami penurunan suara, PKS justru bertahan-cenderung naik. Juga, seperti telah dibahas sebelumnya, PKS memanfaatkan para PBV yang melingkari PPP, PKB, dan PAN. Ada kemungkinan bahwa kini, para PBV tersebut telah beralih menjadi CBV-nya PKS. Hal ini terungkap lewat suara PKS di Pileg 2014, yang kendatipun turun dari 2009 sebesar 1,10%, tetapi tidaklah signifikan. PKS tidak seperti PD yang fluktuatif dan cenderung punya MV yang besar. PKS kini siap berdiri sebagai salah satu pilihan politik umat Islam sejajar dengan PKB, PAN, dan PPP.

Fenomena PKS sulit untuk dimasukkan ke dalam gejala disalignment melainkan realignment. Kendati dapat saja PKS mengambil para PBV di PPP, PAN, dan PKB, sesungguhnya PKS kini telah membentuk CBV mereka sendiri. CBV ini merupakan khas karena mewakili generasi baru umat Islam yang terbuka atas isu-isu Islam di level global. Selain itu, PKS cenderung memiliki CBV yang kuat di perguruan-perguruan tinggi, kalangan intelektual, dan gerakan sosial yang bersifat akar rumput. Di masa mendatang, dapat diprediksi bahwa CBV PKS akan tetap stabil apabila tidak bisa dikatakan akan menaik.

Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai Gerakan Indonesia Raya (PGIR) adalah partai debutan baru. Ia baru ikut Pileg pertama kali tahun 2009. Fenomena munculnya PGIR hampir mirip dengan PD. Dimotori bekas tokoh PG (Prabowo), PGIR langsung memeroleh suara 4,46% di Pileg 2009. Hasil ini cukup lumayah mengingat bahkan PKB hanya memeroleh suara 4,95% di Pileg ini.

Secara ideologi, tentu sulit apabila dikatakan bahwa PGIR langsung memiliki CBV. Namun, dapat dilacak hilangnya suara PDIP dan PG di Pileg 2009 dapat ditelusuri ke partai ini. Prediksi suara PGIR bahkan meningkat tajam di Pileg 2014 di mana terjadi kenaikan sebesar 7,35%. Tentu saja, di Pileg 2009 ini, suara PGIR dapat dilacak pada berkurangnya secara signifikan suara PD. Karakter pemilih PD yang berupa MV mendorong mudahnya mereka untuk berpindah dari PD ke PGIR ini.

Serupa dengan PD, PGIR mengandalkan figur tokoh partai sebagai basis pemersatu elit. Secara karakter, para pemilih PGIR ini lebih mirip dengan PDIP ketimbang PD dan PG. PGIR lebih fokus pada isu-isu populis ketimbang isu-isu pemodal kendati Prabowo (dan adiknya) adalah juga berprofesi pengusaha. Berbeda dengan PKS, mengatakan bahwa PGIR memiliki CBV masihlah terlalu dini. Berkaitan dengan PD, kemampuan PGIR menyedot suara PD salah satunya dikuatkan oleh kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap elit PD yang memegang kuasa administrasi pemerintahan selama 10 tahun. Tokoh PGIR yaitu Prabowo muncul mengatasi kejenuhan tersebut untuk kemudian mampu tampil sebagai pemenang ke-3 Pileg 2014.

Partai Hati Nurani Rakyat. PHNR memulai debut baru berbarengan dengan PGIR. Sama seperti PGIR, lahirnya PHNR dimotori oleh para bekas elit PG. Jika PGIR dimotori Prabowo, maka PHNR dimotori oleh Wiranto. Eksistensi PHNR memanfaatkan PBV yang ada di tubuh PG. Di Pileg 2009 di mana PHNR ikut pemilu, suara diperoleh sebesar 3,77%. Besaran ini lebih kecil ketimbang partai sejenisnya, PGIR. Suara PHNR juga menaik sebesar 1,54%. Ada kemungkinan, sama seperti PGIR, suara PHNR memanfaatkan para MV yang di Pileg 2009 memilih PD. Hal ini menjadi mungkin karena suara PG di Pileg 2014 mengalami stagnasi dari 14,45% di Pileg 2009 menjadi 14,75% di Pileg 2014.

Juga serupa dengan PGIR agak sulit memrediksi apakah PHNR memiliki CBV ataukah sekadar MV mengingat baru kali kedua partai ini mengikuti Pileg. Pengandalan PHNR kepada seorang tokoh dirasakan akan sulit membuat partai ini memiliki CBV yang genuine.

Partai Nasional Demokrat. PND hadir sebagai bukti kegagalan PG dalam mengohesikan elitnya. Pasca Pileg 2009, seorang elit PND yaitu Surya Paloh mendirikan gerakan Nasional Demokrat. Gerakan yang kemudian bermetamorfosis menjadi PND ini lalu ikut serta dalam Pileg 2014. Suara PND dalam debutan pertama relatif lebih sukses ketimbang PHNR dan PGIR karena langsung menyabet 6,72% suara nasional.

Secara umum, pola yang digunakan PND dalam mengembangkan partai mirip dengan PGIR. Hanya saja, kekuatan PND disupport oleh kekuatan media yang dimiliki promotornya. PND relatif lebih mampu menjangkau para MV yang berkeliling di seputar PD. Cukup banyak kandidat yang ditawarkan PND yang awalnya merupakan para kandidat PD. Sama seperti PGIR, PND mengandalkan kejenuhan para MV di tubuh PD atas pola kepemimpinan nasional selama 10 tahun terakhir. PND hadir dengan gagasan-gagasan baru (restorasi Indonesia). Isu baru ini mendorong para MV di tubuh PD untuk menyeberangkan pilihan mereka kepada partai baru ini.

Fenomena Realignment Partai Politik

Peralihan CBV menjadi PBV mendorong beralihkan suara dari partai lama kepada partai baru. Fenomena ini ditunjang oleh terjadinya disalignment di tubuh partai-partai lama, terutama pada kalangan CBV-nya. Apabila CBV dinyatakan telah ada, maka itu dapat dikatakan terdapat pada partai-partai "senior" seperti PDIP, PG, PPP, PKB, PAN, dan PKS. PKS merupakan sebuah perkecualian karena partai ini secara genuine mampu membentk CBV yang cukup jelas dan sulit bagi mereka untuk bertranformasi menjadi PBV ataupun MV. Keenam partai ini, apabila mengikuti analisis pileg-pileg pasca reformasi dan sejarah politik aliran, dapat dikatakan telah membentuk CBV mereka sendiri. Persoalan utama keenam partai ini adalah melakukan pemeliharaan atas para CBV yang mereka miliki.

Pada pihak lain, kemunculan PD, PGIR, PHNR, dan PND, untuk sementara dapat dinyatakan sebagai efek dari disalignment yang terjadi di tubuh partai-partai senior. Akan tetapi adalah sulit apabila menyatakan bahwa disalignment yang terjadi di tubuh partai senior kemudian membentuk CBV di empat partai nasionalis ini. Fenomena anjloknya PD dari 2009 ke 2014 adalah contoh kasus bahwa pemilih mereka dapat saja hanya berupa PBV ataupun MV. Melonjaknya suara PGIR dari 2009 ke 2014 juga dapat dinyatakan sebagai sekadar kejenuhan para MV di tubuh PD terhadap pilihan mereka di 2009. Demikian pula, PHNR dan PND memeroleh limpahan suara dari fenomena serupa dengan PGIR.

Justru fenomena realignment mengalami siklus balik terhadap partai-partai senior. Misalnya, PDIP bertambah suara mereka dari 14,01% di Pileg 2009 menjadi 18,95% di Pileg 2014. Para PBV kelihatannya kembali menjadi CBV. Hal serupa juga terjadi dengan PKB, di mana terjadi "pemulihan" suara mereka dari 4,95% di Pileg 2009 menjadi 9,04% di Pileg 2014. PAN juga mengalaminya, dari 6,03% di Pileg 2009 menjadi 7,59% di Pileg 2014. Untuk kasus sedikit berbeda, PPP juga mengalami kenaikan dari 5,33% menjadi 6,53% dari 2009 ke 2014. Sejarah PPP yang cukup panjang, kendati organnya beragam, membuat PPP layak untuk dinyatakan sebagai punya CBV tersendiri berbeda dengan partai-partai berbasis Islam lainnya.

Fenomena realignment ini hanya akan terus terjadi apabila partai-partai seperti PDIP, PG, PPP, PAN, PKB, dan PKS gagal dalam mengantisipasi sebab-sebab terjadinya disalignment partai politik. Apabila hal ini tidak mampu dicegah oleh partai-partai itu, PD, PGIR, PHNR, dan PND kemungkinan besar akan membentuk CBV mereka sendiri untuk sama sekali lepas dari partai-partai induk.

----------------------------

Rujukan:

[1] Charles M. Mack, When Political Parties Die: A Cross-National Analysis of Disalignment and Realignment (Santa Barbara: Praeger, 2010) p. 8.

[2] ibid.

Thursday, May 1, 2014

Nasib Sistem Pemerintahan Presidensil Pasca Pemilihan Presiden 2014

Nasib sistem pemerintahan Presidensil Indonesia 2014-2019 dibayangi perolehan suara "horizontal" dalam Pileg 2014 kemarin. Tidak satu partai pun ditengarai memperoleh suara 51%. Akibatnya, transaksi-transaksi politik berkeliaran bebas. Jangankan untuk menyusun koalisi yang kuat di dalam parlemen (51%), untuk mengajukan Capres-Cawapres saja, yaitu 25% suara sah nasional, semua partai politik kalang-kabut. Tidak satu pun partai politik bisa menepuk dada, bahkan pemenang Pileg 2014 sekalipun. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana politik Indonesia 5 tahun ke depan dibenturkan dengan sistem Presidensil yang jelas-jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia 1945.

Ketidakpastian kini mengguyur Indonesia. Ketidakpastian yang melanda hampir seluruh aspek kehidupan: Ekonomi, inflasi yang terus membayang; Sosial, posisi hubungan antar-etnis dan antar-agama; Pertahanan, teritori perbatasan luar yang semakin mengabur; Hukum, kegamangan masyarakat akan peran agen-agennya; Keamanan, kekhawatiran apakah seseorang masih bisa menjalani perjalanan antar tempat; dan ketidakpastian politik, apa yang Republik ini dapat peroleh 5 tahun ke depan? Ketidakpastian-ketidakpastian belum memeroleh jawaban yang memuaskan dari hasil Pileg 2014 kemarin. Aksi jual-beli, tawar-menawar, kental sekali dilakukan antar tokoh, antar partai, dalam upaya mereka sekadar menangguk kuasa "sesaat" untuk 5 tahun ke depan. Pilihan yang publik lakukan dalam Pileg ibarat cek kosong, yang kini prerogatif isiannya ada di tangan oligarki partai politik.

Kembali kepada substansi makna Pemilu. Baik Pileg dan Pilpres sesungguhnya hanyalah media rekrutmen politik dan sirkulasi elit. Rekrutmen politik di mana rakyat memilih orang-orang yang mereka "percayai" untuk duduk di bangku eksekutif (presiden, wakil presiden, menteri-menteri) maupun bangku legislatif (DPR, DPD, DPRD I, DPRD II). Orang-orang ini harus konsisten, bahwa apabila sudah dipilih, mereka harus bekerja sesuai apa yang mereka janjikan tatkala kampanye kemarin. Sirkulasi elit adalah meniadakan "lumpen-elit", yaitu elit yang sudah menjadi "garbage" (entah karena cuma pentingkan diri sendiri, malas, tidak sensitif, atau cacat moral) dengan elit-elit baru yang segar, 'amanah, dan mau bekerja keras demi rakyat. Dari substansi makna Pemilu ini, maka tidak ada pilihan lain bagi para elit yang dipilih baik dari Pileg maupun Pilpres untuk bekerja demi rakyat. Tidak ada yang lain-lain. Mereka bekerja dengan pemerintahan yang sistemnya telah dibakukan dalam UUD 1945 yaitu dalam pola sistem pemerintahan Presidensil.


Presidensil-kah Indonesia?

Bagaimana suatu negara dikatakan menganut sistem pemerintahan Presidensil? Matthew Soberg Shugart menyatakan, suatu negara dinyatakan menganut sistem pemerintahan Presidensil apabila punya tiga ciri berikut: [1]

  1. Eksekutif dikepalai seorang presiden yang dipilih rakyat secara langsung sekaligus bertindak selaku kepala eksekutif;
  2. Istilah kepala eksekutif dan dewan legislatif telah dibatasi, dan keduanya bukan subyek yang saling bergantung; dan
  3. Presiden menyusun dan mengatur kabinet dilengkapi kemampuan merancang Undang-undang.

Mengenai butir pertama, yaitu "Eksekutif dikepalai seorang presiden yang dipilih rakyat secara langsung" dinyatakan dalam Pasal 6A ayat 1 yang bunyinya "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat." Sementara untuk "[presiden] bertindak selaku kepala eksekutif dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 1 yang bunyinya "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar." Presiden Indonesia dipilih rakyat secara langsung dan sebab itu, dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, bukan kepada parlemen. Hal ini dikarenakan presiden dipilih rakyat dalam Pemilu tersendiri, yang berbeda dengan Pemilu untuk memilih anggota legislatif.

Mengenai butir kedua, yaitu "Istilah kepala eksekutif dan dewan legislatif telah dibatasi, dan keduanya bukan subyek yang saling bergantung" hal ini telah tertera jelas di dalam konstitusi Indonesia. Tugas, wewenang, posisi, hak, dan kewajiban kepala eksekutif diatur dalam Pasal 4, 5, 6, 6A, 7, 7A, 7B, 7C, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Sementara untuk dewan legislatif diatur dalam Pasal-pasal 19, 20, 20A, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 22D. Bahwa DPR memiliki kuasa tersendiri juga dibuktikan dalam Pasal 20 ayat 1 yaitu "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang." Khusus mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat di Pasal 2 dan 3. Ada satu pasal krusial yaitu Pasal 7A bahwa Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. Namun, hal ini dengan sejumlah catatan yaitu apabila Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa:

  1. Pengkhianatan terhadap negara;
  2. Korupsi;
  3. Penyuapan;
  4. Tindak pidana berat;
  5. Perbuatan tercela; dan
  6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Apabila DPR menganggap bahwa hal-hal tersebut "terbukti" dilakukan Presiden/Wakil Presiden, maka alasan pemberhentian tersebut harus diajukan kepada MPR, hanya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa, mengadili, dan memutuskan itu terbukti. Dan, pengajuan kepada MK ini harus mendapat dukungan dari 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna untuk itu (apabila hadir semua, maka 373 orang harus setuju dari 560 total anggota). Juga, apabila memang MK memutus sesuai kesimpulan DPR, DPR harus mengajukan kembali kepada MPR yang nantinya bersidang. MPR yang bersidang dalam memutus usualan DPR tersebut harus dihadiri minimal 3/4 anggota MPR dan disetujui 2/3 dari anggota yang hadir tersebut. Tentu saja, dalam proses "impeachment" ini, Presiden/Wakil Presiden tetap diberi kesempatan memberikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR itu. Dengan demikian, proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden berdasarkan usulan DPR ini harus melalui "jalan panjang" dan melibatkan 4 institusi independen yaitu: MPR, DPD (bertindak di sidang MPR), DPR (selaku inisiator dan bersidang di MPR) dan MK.

Mengenai "Presiden menyusun dan mengatur kabinet dilengkapi kemampuan merancang Undang-undang" ditegaskan dalam Pasal 17 ayat 2 yaitu "menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden." Dalam hal menyusun undang-undang, pasal 5 ayat 1 menyatakan "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat." Pasal 20 ayat 2 menyatakan "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama."

Sehubungan dengan 3 ciri sistem pemerintahan presidensil seperti diujar oleh Shugart, maka Indonesia memanglah menganut sistem pemerintahan ini. Hal yang menjadi persoalan adalah sistem presidensil --- di mana presiden berposisi sebagai kuasa eksekutif --- membutuhkan peran DPR. Presiden menjalankan undang-undang yang telah disahkan secara bersama dengan DPR. Persetujuan atas suatu undang-undang hanya dapat efektif apabila parlemen menyerminkan posisi kuasa presiden. Artinya, presiden didukung oleh partai yang juga mayoritas di parlemen. Apabila hal ini tidak terjadi, dapat dipastikan sistem presidensil akan "terganggu." Misalnya, parlemen punya fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi ini menjadi bargain politik utama DPR dalam mengendalikan Presiden. Apabila DPR dikuasai oleh mayoritas partai presiden, maka jalannya ketiga fungsi ini mudah diselaraskan dengan tindakan-tindakan presiden. Begitu pula sebaliknya, apabila kekuatan politik DPR berkebalikan dengan Presiden, DPR justru akan mendikte Presiden dengan mudahnya. Terlebih, masih terdapat jaminan di dalam konstitusi bahwa parlemen dapat mengusulkan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Di masa lampau, rezim Orde Baru peka atas masalah "mayoritas simetris" ini yaitu dengan upayanya memerkuat Golkar agar selalu mayoritas di dalam parlemen. Tidaklah mengherankan bahwa di sepanjang Orde Baru, Presiden mampu memerintah hampir tanpa ganjalan berarti dari parlemen.

Dengan demikian, sistem presidensil di Indonesia sesungguhnya kini diperhadapkan dengan tantangan, terutama dalam jaminan efektivitas kerjanya. Apabila kekuatan presiden di DPR tidak simetris maka idiom "strong government menjadi mahal. Prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri misalnya, hanya leluasa dilakukan apabila komunikasi yang baik terjalin dengan DPR. Apabila presiden tetap memertahankan menteri yang tidak disukai parlemen, maka dapat dipastikan kinerja menteri tersebut akan mengalami gangguan seperti dialami Sri Mulyani di pemerintah Indonesia dahulu kala.


Hubungan Parlemen-Presiden di Sistem Pemerintahan Presidensil

Dalam sistem Presidensil, tidak ada hubungan hirarkis antara parlemen-presiden. Parlemen tidak bisa mendikte dan mengarahkan Presiden dan kabinet kerjanya. Presiden bukan subyek subordinasi parlemen seperti terjadi di sistem pemerintahan Parlementer. Presiden memiliki kekuatan bargaining utama terhadap DPR (juga DPR terhadap presiden) bahwa ia dipilih rakyat secara langsung. Presiden hanya bertanggung jawab kepada konstituennya (rakyat) yang memilihnya secara langsung, bukan kepada parlemen. Hubungan kuasa politik antara presiden - parlemen hanyalah transaksional. Transakasi tersebut terjadi antara dua struktur politik yang setara.

Pada prakteknya, hubungan parlemen-presiden menjadi lebih rumit manakala suatu negara yang menerapkan sistem presidensil sekaligus menerapkan sistem kepartaian multi partai. Kerumitan akan lebih bertambah manakala tidak satupun partai-partai tersebut mayoritas mutlak di parlemen. Sungguhpun demikian, apabila dikembalikan kepada raison d'etre-nya, dependensi presiden kepada parlemen hanya pada aras promosi dan pengawasan atas program-program yang ia susun dan laksanakan. "Tugas" presiden dalam sistem presidensil dalam sistem kepartaian multi partai hanyalah bagaimana presiden mampu menggolkan program-program yang ia janjikan selama masa kampanye. Bagaimana presiden "memengaruhi" parlemen agar mendukung program-programnya adalah warna utama yang seharusnya ada di sistem presidensil dengan banyak partai.

Berdasarkan aras program presiden ini, maka hubungan legislatif-eksekutif dalam sistem presidensil dapat diprediksi sebagai berikut: "Perluasan divergensi antara legislatif-eksekutif atas suatu kebijakan bergantung pada bagaimana kepentingan para konstituen (pemilih mereka masing-masing) diterjemahkan lewat proses pemilu." [2] Berdasarkan divergensi kepentingan ini, dapat diprediksi 3 hubungan antara presiden dengan parlemen dalam paragraf-paragraf di bawah.

Dominasi.Perluasan divergensi adalah perbedaan posisi politik antara presiden dengan [para anggota] legislatif terkait dengan program-program pemerintahan yang digadang presiden. Program-program ini dapat diselenggarakan presiden tanpa memandang apakah ia punya suara mayoritas di parlemen ataukah tidak. Atau, simetriskah antara kekuatan partai politik pengusung presiden dengan koalisi mayoritas di dalam parlemen? Program-program yang digadang presiden tersebut, apabila sebagian besarnya sesuai dengan aspirasi konstituen yang memilih para legislator, akan memunculkan koherensi hubungan presiden-legislatif. Terlebih, apabila presiden mampu menyosialisasikan program-program yang ia gadang kepada kantung-kantung utama para anggota legislatif. Apabila presiden bisa memengaruhi rakyat yang memilih para para legislator untuk mendukung programnya maka dapat dipastikan akan terselenggara hubungan legislatif-eksekutif di mana ia pihak eksekutif mendominasi. Presiden akan minus penentangan di DPR kendatipun partai pengusung presiden bukanlah mayoritas di kalangan parlemen. Ini dapat menjadi alternatif stabilitas politik eksekutif dalam sistem presidensil dengan multi partai. Kata kuncinya adalah "turun ke bawah" dan "pengaruhi konstituen" para anggota legislatif. Begitu presiden mengalami "permusuhan" dari kalangan parlemen, presiden akan keluar dari ruang parlemen dan menjelaskan konfliknya kepada rakyat secara langsung di kantung-kantung mereka. Rakyat lah yang nantinya melakukan pressure politik kepada para wakil mereka di parlemen untuk menyetujui program Presiden. Koalisi efektif dapat dibangun atas dasar similaritas kepentingan para konstituen. Hubungan jenis ini adalah bukan sesuatu hal yang sulit.

Anarki. Anarki akan terjadi karena dua hal. Pertama, kepentingan dari konstituen legislatif (rakyat yang memilih anggota legislatif) tidak diakomodasi oleh presiden dalam program-programnya. Kedua, partai (atau koalisi partai) yang mendukung presiden adalah kecil di parlemen. Konsekuensi yang pertama, presiden akan sibuk "kasak-kusuk", karena ia hanya punya program ad hoc yang bisa disepakati dengan legislatif. Kesepakatan yang terbangun pun hanya antara presiden dengan pimpinan faksi-faksi atau patron-patron tertentu dalam parlemen tanpa pernah membangun hubungan yang stabil dengan partai induk mereka untuk jangka panjang. Terbentuklah politik kartel, yang merupakan simbiosis antara presiden dengan oligarki partai di parlemen. Juga, presiden akan tergoda memanfaat kuasa de facto yang ia miliki (kuasa birokrasi, kuasa militer) untuk melakukan pemaksaan-pemaksaan tertentu atas parlemen guna menggolkan tujuan politiknya. Anarki ini membuat presiden kehilangan fokus pada program-program prioritas yang ia kampanyekan dan sekadar bertahan hidup selama 5 tahun pemerintahannya. Pemerintahan tidak efektif dan buang-buang waktu. Anarki juga berkesempatan besar untuk hadir apabila kabinet yang dibentuk oleh presiden tidak merefleksikan keragaman partai di dalam parlemen. Konsekuensi yang kedua, akibat kecilnya dukungan, presiden "terpaksa" mengorbankan" program yang dijanjikan dengan politik akomodasionis dengan cara membagi-bagi posisi kabinet kepada partai-partai yang potensial menghadang posisi politiknya. Istilah umum dari hal ini "bagi-bagi kursi dengan cara dagang sapi."

Transaksi. Transaksi yang dilakukan presiden-legislatif bersifat dua hal. Pertama, presiden memutuskan pembagian kursi kabinet sesuai komposisi suara partai-partai yang berkoalisi dengannya. Kedua, presiden memutuskan kursi kabinet yang diisi oleh orang-orang non partai. Jika opsi pertama yang dipilih maka presiden harus siap kehilangan arah suksesi program akibat besarnya kemungkinan partai yang menduduki kursi kabinet memanfaatkannya untuk kepentingan partai darimana anggota koalisi itu berasal. Kendati kehilangan fokus, presiden dapat memrediksi stabilitas suara di parlemen terkait kebijakan-kebijakannya. Orientasi pilihan jenis ini adalah pada kekuasaan, bukan program. Apabila opsi kedua yang dipilih, presiden harus menyiapkan insentif-insentif lain kepada partai anggota koalisi di luar keanggotaan dalam kabinet tetapi memiliki kans besar untuk tidak kehilangan fokus program pemerintahan. Orientasi opsi ini adalah pada program kerja presiden tetapi rentang "pemberontakan" di tubuh koalisi apabila "insentif" yang dijanjikan presiden dinilai "kurang" atau "harus ditambah." Mengenai "insentif" ini dapat saja berupa pembangunan atas kantung-kantung suara partai anggota koalisi, prioritas proyek pembangunan, atau pengangkatan isu-isu yang merupakan trade mark partai yang menjadi anggota koalisi dengan "stempel" partai tersebut, bukan eksekutif.


Bagaimana Presidensil Indonesia 2014 ke Depan ?

Berdasarkan hitung cepat, maka dapat dilihat komposisi Pileg sebagai berikut:

PDIP_______19,25
PGK________14,55
PGIR_______11,88
PD ________9,68
PKB________9,13
PAN________7,42
PKS________6,87
PPP________6,68
PND________6,55
PHNR_______5,31
PBB________1,49
PKdPI______0,99

*) akronim partai mengikuti nama dari partai-partai bersangkutan.

Hasil di atas diambil berdasarkan rata-rata survey hitung cepat yang diadakan 4 lembaga yang melakukannya pasca Pileg 9 April 2013, yaitu LSI (Lingkaran Survei Indonesia), IPI-MeTV (Indikator Politik Indonesia - Metro TV), HCK (Hitung Cepat Kompas), dan C-CSIS (Cyrus-CSIS). Dari hasil rata-rata tersebut PBB dan PKPI diprediksi tidak lolos electoral threshold 3,5 %. Sebab itu prediksi koalisi parlemen terjadi antara 10 partai politik.

Diasumsikan koalisi terbentuk antara 2 capres kuat yaitu pasangan Joko Widodo - Ryamizard Ryacudu (JWRR) dan pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa (PSHR). Penyebutan nama-nama capres/cawapres sepenuhnya sekadar upaya melakukan prediksi. Juga, berdasarkan alasan klasik seperti perpaduan Jawa-Luar Jawa dan Sipil-Militer. Juga diasumsikan persyaratan untuk ikut Pilpres sudah dapat dipenuhi baik oleh JWRR maupun PSHR.

Diasumsikan pula dalam kubu JWRR bergabung PDIP + PKB + PPP + PND = 19,25% + 9,13% + 6,68% + 6,55% = 41,61% suara parlemen. Sementara dalam kubu PSHR bergabung PGK + PGIR + PD + PAN + PKS + PHNR = 14,55% + 11,88% + 9,68% + 7,42% + 6,87% + 5,31% = 55,71%. Berdasarkan prediksi, JWRR yang didukung 4 partai politik hanya menguasai 41,61% suara parlemen sementara pasangan PSHR yang didukung 6 partai politik menguasai mayoritas parlemen atau 55,71%. Apabila terpilih, secara kuantitatif JWRR harus bekerja ekstra keras untuk memajukan program-programnya tetapi secara kualitatif lebih ringan upayanya dalam menjalin kesalingpengertian intra koalisi. Sebaliknya, secara kuantitatif PSHR lebih ringan pekerjaannya dalam menjamin suara mereka di parlemen, tetapi secara kualitatif lebih berat pekerjaannya dalam membina hubungan dan kekompakan intra koalisi.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dalam sistem pemerintahan presidensil, presiden dipilih dalam pemilu tersendiri, anggota legislatif pun tersendiri. Hasil dalam pileg bisa simetris ataupun tidak simetris dengan pilpres. Di atas semua kemungkinan, seorang presiden dalam sistem presidensil tidaklah bertanggung jawab kepada parlemen melainkan kepada rakyat yang memilihnya secara langsung. "Hukuman ringan" bagi seorang presiden di dalam sistem presidensil adalah didemonstrasi setiap hari oleh rakyat, "hukuman menengahnya" adalah diberhentikan oleh parlemen, dan "hukuman terberatnya" adalah tidak dipilih lagi oleh rakyat di pemilu kemudian. Presiden dalam sistem presidensil dapat mengatasi (dengan usaha keras berbeda) hukuman ringan dan menengahnya. Namun, sulit bagi presiden menerima hukuman terberat yaitu tidak dipilih lagi oleh rakyat di pemilu kemudian. Ketidakterpilihan presiden di pemilu berikutnya adalah bukti kegagalan seorang presiden di dalam sistem pemerintahan presidensil. Presiden dalam sistem presidensil akan berjuang semaksimal mungkin agar tidak menerima "hukuman berat."


Prediksi JWRR

Apabila pasangan JWRR yang terpilih maka pola apakah yang akan dipakai oleh pasangan ini dalam konteks hubungan legislatif-eksekutif? Pilihan model hubungan ada 3 yaitu dominasi, anarki, dan transaksi. Adalah sulit apabila langsung memberikan vonis seputar pola yang akan mereka ambil. Apabila yang pertama yaitu dominasi yang diambil, maka JWRR yang hanya didukung oleh 41,61 % suara fokus pada pembacaan kepentingan konstituen (para pemilih) partai-partai di luar kubunya. JWRR akan melihat kepentingan apa yang disuarakan oleh para pendukung PG, PGIR, PAN, PD, PKS, dan PHNR. JWRR akan mengambil jalan memutar: Membangun dukungan bukan dari dalam parlemen melainkan dari luar parlemen karena ada kemungkinkan bahwa para pemilihnya (JWRR) adalah rakyat yang di pileg memilih kubu lawan. Dari luar parlemen, JWRR menginventarisasi kepentingan mereka lalu menjadikannya portofolio tawar-menawar politik di dalam parlemen. Isu-isu agama mayoritas dapat diserahkan kepada PPP dan PKB untuk ditanggulangi, karena sesungguhnya basis konstituen PPP yang sebagiannya adalah Nahdliyin adalah serupa dengan PKB. Sementara itu, apabila isu modernis Islam disuarakan maka di kalangan PPP dalam melakukan counter politiknya. Di sisi lain, PDIP dan PND telah melakukan kritisi yang cukup atas pola pemerintahan rezim sebelumnya selama 10 tahun. PND dalam bentuk embrionya (gerakan Nasional Demokrat) tentu telah menginventarisasi isu-isu di akar rumput dan ini cukup berhasil mengingat sebagai partai baru, PND langsung beroleh suara cukup yaitu 6,68 (mengalahkan partai lama, PHNR). Hal serupa pun telah dilakukan oleh PDIP saat menjadi "oposisi", yaitu tidak bergabung di pemerintahan, yaitu dengan membangun pemerintahan lokal yang kuat dan populis lewat tokoh-tokohnya seperti Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, ataupun Teras Narang.

Apabila pasangan JWRR memilih opsi anarki, yaitu menetapkan bahwa kepentingan masing-masing partai lebih utama dari kepentingan program pemerintahan, maka masa pemerintahannya sekadar menjadi bulan-bulanan kubu lain. JWRR lebih sibuk mengurus intra koalisi ketimbang meraih konstituen ekstra koalisi mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di wilayah-wilayah "gemuk" konstituen masing-masing sehingga kehilangan isu-isu yang lebih berskala nasional. Kubu lainnya akan dengan mudah melakukan bulan-bulanan karena mereka menguasai 55,71 suara parlemen. Prestasi maksimal dari JWRR hanyalah kemampuannya bertahan selama 5 tahun dan setelah itu dilupakan masyarkat Indonesia. Tetapi, pilihan opsi ini tetap menarik mengingat apabila antar keempat partai ini benar-benar tidak bisa menjalin kesalingpahaman dan kesalingpengertian. Masa-masa pemerintahan selama 5 tahun kendati kehilangan fokus pemerintahan, dapat diisi dengan pengisian "logistik" partai masing-masing untuk menghadapi pileg 2019.

Apabila pasangan JWRR memilih opsi transaksi maka tetap akan beresiko. Dalam opsi ini, pilihan pertamanya adalah "menjinakkan parlemen" dengan mengambil orang dari luar kubu mereka sebagai menteri untuk duduk di kabinet. Hal ini sesungguhnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan kebutuhan partai-partai politik di luar kubu mereka akan kebutuhan logistik. Dapat saja JWRR mengambil menteri-menteri dari luar kubu untuk "memecah" konsentrasi kubu lain seperti misalnya memberikan posisi menteri kepada kaden PG, PKS, ataupun PD. Kompensasi transaksinya adalah suara mereka di parlemen diserahkan kepada JWRR. Pilihan lain dalam opsi ini adalah menawarkan isu dari konstituen kubu lain untuk dimasukkan ke dalam agenda pemerintahan. Pilihan ini sifatnya informal dan berbuah pada tekanan konstituen di luar parlemen untuk mendukung program JWRR, tetapi di sisi lain cenderung membuat program JWRR sendiri berpotensi ambigu.


Prediksi PSHR

Apabila pasangan PSHR memenangkan Pilpres 2014 dan memilih opsi pertama yaitu dominasi, maka dipersyaratkan bahwa di dalam internal mereka adalah solid terlebih dahulu. Membina hubungan 6 orang selalu lebih sulit ketimbang yang lebih sedikit. Elemen kubu ini seperti PD pernah punya pengalaman "tidak enak" akibat perilaku PKS dan PG di rezim pemerintahan sebelumnya. Hubungan antara PD dengan PKS-PG pernah kurang harmonis dalam isu Bank Century dan Kenaikan Harga BBM. Bagaimana PSHR menjembatani hubungan ketiganya, merupakan kata kunci yang harus diperhatikan apabila hendak menjalin soliditas internal. Soliditas internal ini adalah penting karena pilihan dominasi menghendaki PSHR sudah "tidak punya masalah" dalam tubuhnya sendiri. Pilihan dominasi menghendaki PSHR turun langsung kepada konstituen PDIP, PND, PKB, dan PPP, memberikan keyakinan kepada mereka bahwa PSHR pun membawakan kepentingannnya. Sama seperti JWRR, kubu PSHR pun punya tubuh yang relatif lengkap: Kalangan nasionalis direpresentasikan PG, PGIR, PD, dan PHNR, sementara kalangan agama diwakili PKS dan PAN. Persoalan utamanya adalah bagaimana PKS dan PAN mampu memasuki kalangan Nahdliyin? Mungkin itu dapat dilakukan PSHR dengan cara langsung memberikan keyakinan kepada tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama. Kalangan modernis sekiranya telah dapat terepresentasi oleh PKS dan PAN.

Apabila PSHR mengambil opsi anarki adalah pilihan yang tidak mungkin mengingat kubu ini telah memiliki 55,71% suara parlemen. Tentu ini dengan syarat bahwa benar-benar tidak ada masalah berarti intra koalisi. PSHR kiranya bukan memilih opsi anarki melainkan "tertimpa" opsi ini secara tidak disengaja. Opsi ini terjadi apabila terjadi kerenggangan antara bagian-bagian tubuhnya: Misalnya, PKS berseberangan dengan PD, PD berseberangan dengan PG, PHNR berseberangan dengan PGIR, ataupun sejenisnya. Apabila opsi ini terjadi, akan cukup mudah JWRR mengambil 1 atau 2 dari pecahannya untuk membalikkan posisi mereka menjadi mayoritas parlemen semisal menarik PHNR atau PAN ke dalam kubunya. Apabila ini terjadi, PSHR akan menjadi bulan-bulanan di dalam parlemen dalam menjalankan program-programnya.

Apabila PSHR mengambil opsi ketiga, sesungguhnya adalah lebih mudah karena tubuh dalam kubu ini yaitu PD, PKS, PG, dan PAN sudah pernah berkoalisi sebelumnya. Pola-pola transaksi antarmereka sudah pernah terbangun. Persoalannya adalah apakah PSHR dapat berperan selaku unsur kohesif koalisi di antara keempatnya ataukah tidak. Selain itu, PGIR dan PHNR dalam periode sebelumnya adalah "pasukan" oposisi terhadap 4 intra koalisi lainnya. Dalam pilihan pertama dalam opsi ini, PSHR hanya dipersyaratkan membangi kursi menteri secara adil dan mereka kepada 6 anggota koalisinya dan untuk hal tersebut adalah mudah karena pedoman utamanya adalah perolehan suara. Apabila opsi kedua yang dipilih yaitu transaksi bukan berdasarkan pembagian kursi kabinet melainkan sharing program, adalah cukup sulit. PSHR harus benar-benar menjembatani perbedaan kepentingan di antara PGIR, PG, PD, PHNR, PKS, dan PAN. Harus terjadi dialog-dialog "panjang" untuk menjalin kesepakatan dalam membangun pemerintahan transaksi bukan berdasarkan jumlah kursi melainkan program.

Lihat Juga:

Pengertian Jenis Kekuasaan Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
---------------------------

Referensi:
[1] Matthew Sögard Shugart, “Comparative Executive-Legislative Relations” dalam R.A.W. Rhodes, Sarah A. Binder, and Bert Rockman, eds., The Oxford Handbooks of Political Institutions (New York: Oxford University Press, 2006)
[2] Ibid.