Latest News

Sunday, July 24, 2016

DURI DIALOG INDONESIA TENTANG PAPUA


Rabu, 20 Juli, 2016, Aksi solidaritas dari Jaringan Salatiga Peduli Papua (JSPP) yang mendukung agar mahasiswa Papua di Yogyakarta dapat bebas menyerukan aspirasinya, tanpa intervensi verbal maupun fisik. Mimbar bebas ini digelar di muka gerbang kampus UKSW. | Dok.scientiarum.com/David Adhyaprawira



Untuk berdialog tentang Papua, baiknya membaca buku “Kita Lebih Bodoh Dari Generasi Soekarno-Hatta”. Buku ini berlatar kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dan bagaimana kelanjutan nasib berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Menariknya, di dalam buku ini ada wawancara sejumlah tokoh dari Romo Mangun, Gus Dur, Daniel S. Lev dan sosiolog Arief Budiman. Arief Budiman, menerangkan, bahwa, “Protes adalah politik, ya harus dihadapi dengan dialog bukan dengan senjata dan kekerasan.”

Kurang lebih 18 tahun buku tersebut telah terbit dan era reformasi telah datang. Salah satu tanda hadirnya reformasi adalah kebebasan berekspresi yang tidak lagi takut ditangkap, dipenjara bahkan hilang entah kemana. Indonesia pasca 1998 adalah surga bagi kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu mungkin barang yang mahal bagi mahasiswa Papua di Yogyakarta dan sebagian orang lainnya.

Beritanya sudah di mana-mana. 15 Juli 2016, kekerasan masih terjadi untuk Papua. Memang, kekerasan represif di tubuh Republik Indonesia ini tidak saja dialami oleh orang-orang Papua secara tunggal, namun kebijakan reformasi bagi Papua dirasa masih jauh dari rasa keadilan pun kesejahteraan. Tak pelak, pemberitaan media dan cara pandang perorangan terhadap Papua pun menjurus pada diskriminasi. Kenapa hal ini terjadi?

Sejarah Indonesia di masa lampau baik dari zaman kolonial ke Soekarno, kemudian diamanatkan ke Presiden Soeharto, adalah sejarah kekerasan. Indonesia akan berumur 71 tahun pada bulan Agustus tahun 2016 ini, akan tetapi kekuasaan dan kekerasan masih saja menyertainya. Jika dihitung tahun 1945 ke 1966, 21 tahun Presiden Soekarno berkuasa dan di era tersebut adalah masa konsolidasi kekuasaan ideologi-ideologi yang saling bersaing untuk mendukung revolusi. Kemudian pasca G30S pada 1965, “Jenderal yang Selalu Tersenyum” itu menjadi presiden menggantikan Soekarno sampai lengser di tahun 1998. Akumulasi masa pemerintahannya? Jelas, 32 tahun. Semasa Soeharto memerintah, ada ragam persoalan. Mulai tentang Papua, Aceh dan Timor-Timur. Persoalan disintegrasi ini berlangsung mulai 1975 dan belum selesai hingga kini. Hantu Daerah Operasi Militer (DOM) masih melanglangbuana. Inilah yang masih menjadi soal silang sengkarutnya. Wajah dan cerita kekerasan dari Aceh, Papua dan Timor Leste kini adalah sebuah sejarah yang masih dituliskan dan dituturkan secara turun temurun dari generasi tua ke muda.

Saya pernah mengalami sendiri apa yang sebenarnya dirasakan oleh mahasiswa Tim-Tim saat menjelang referendum 1999 di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saat itu, saya bertanya dalam suatu diskusi soal referendum, apakah jalan satu-satunya harus merdeka,  dan kenapa? Jawabannya pun beraneka ragam namun satu yang terngiang adalah: “Kamu di Jawa tidak merasakan bagaimana rumahmu diambil, kakakmu dibunuh dan tetanggamu ditembak di depan matamu sendiri sedangkan kamu dalam keadaan terikat dan disuruh melihat apa yang terjadi.”

Cerita tersebut adalah fakta; dan suka tidak suka, Orde Baru dengan DOM-nya meninggalkan fakta yang pedih bagi generasi selanjutnya di Indonesia. Kekerasan, stigma dan segregasi berdasarkan agama dan warna kulit itu adalah fakta. Kenyataan lain yang tak bisa dihindarkan adalah kesenjangan ekonomi antara pulau Jawa dengan daerah-daerah lain yang masih dianggap tertinggal. Dan sayangnya, persoalan seputar kesejahteraan warga negara seharusnya dapat dibicarakan, namun nyatanya cuma mimpi. Jadi dapatlah dikatakan, berdasarkan fakta-fakta di atas, bahwa rekonsiliasi baru terjadi pada tahun 1998 dan itu berarti masih berumur 18 tahun usianya. Setua era reformasi. Di kala provinsi Papua sedang belajar berdialog, sebaliknya, kebijakan negara masih belum berevolusi dari insting predatornya.

Bagaimana ke depannya? Elit dan aparatur negara, khususnya Kepolisian Republik Indonesia lebih dapat menahan diri, mengedepankan dialog bernuansa sejarah etnik keindonesian yang memang plural sejak mulanya. Sejatinya sambil menunggu buah-buah dari Otonomi Khusus itu menjadi ranum dan siap dipetik dan bagi publik dan media agar lebih berhati-hati dalam menyajikan fakta dan berita dari provinsi-provinsi yang mana wajah kekerasan masih menghantui sebagai akibat dari kebijakan di masa lampau. Terakhir, yang tidak kalah penting adalah masalah ideologi yang tidak mudah dikalahkan begitu saja oleh pendekatan ekonomi semata, apalagi dengan kekerasan. Jalan yang beradab satu-satunya bagi Indonesia modern adalah dengan DIALOG. Walaupun menyakitkan dan panjang, dialog pasti akan berbuah manis.


Sunny Batubara, alumni Fakultas Ekonomi UKSW. Kini menetap di Denpasar, Bali. Staf Jangkang Riset Institute.

Sumber : http://scientiarum.com/2016/07/21/duri-dialog-indonesia-tentang-papua/