Latest News

Thursday, April 30, 2020

Devolusi Negara Kesatuan Indonesia, Jalan ke Prinsip Federalisme?

Rod Hague, et al. menyatakan:

federalism usually works best either in large or deeply divided countries” dan “unitary systems have emerged naturally in societies with a history of rule by sovereign monarchs and emperors, such as Britain, France, and Japan. In such circumstances, authority radiates from a historic core … are also norm in smaller democracies, particularly those without strong ethnic divisions.” (Hague, et al., 2017: 186). 

Devolusi di Indonesia

Secara faktual Indonesia dekat yang dengan pertama ketimbang kedua. Inilah inti utama bahasan esay ini. Disclaimer perlu saya sebutkan bahwa bentuk kesatuan atau federasi adalah masalah pragmatis, bukan ideologis. Ini beda dengan masalah ideologi negara, misalnya mengubah Pancasila jadi Globalisme. Perlu pula disebutkan, ubahan bentuk negara di konstitusi, kendati bisa saja, hemat saya akan kurang produktif. Bukan formal penyebutan federasi di konstitusi yang penting, tapi beberapa prinsip federalisme yang punya kebaikan, dijadikan prinsip hubungan pusat-daerah, untuk secara gradual diterapkan lewat kebijakan ekstensifikasi devolusi atas seluruh daerah tingkat pertama di Indonesia. 

Hampir sebagian besar pemberontakan di Indonesia berakar pada pola hubungan pusat-daerah. Tahun 1953, Aceh berontak akibat ‘pusat’ menghapus status provinsial Aceh jadi sekadar bagian dari Sumatera Bagian Utara. Akibatnya Aceh mempersepsi tradisi Islam lokal Aceh dan posisi Ulama serta Zuama dalam posisi terancam oleh sikap pusat (Sjamsuddin, 1985: 3-7). Baru setelah 1957 saat ‘pusat’ memulihkan status provinsial Aceh pemberontakan mereda, kendati ‘api dalam sekam tetap ada.’ Daerah menginginkan perhatian pusat atas otonomi daerah, dan ini juga akar PRRI-Permesta 1958. Pusaran isunya selalu sama: Daerah menghendaki otonomi politik berkenaan karakteristik unik provinsi, kepentingan ekonomi, dan sikap pusat yang kurang proporsional atas kedua hal tersebut. 

Seluruh hal ini dapat dikembalikan pada dimensi historis, bahwa Indonesia yang merdeka tahun 1945 sekadar terdiri atas ‘keping-keping’ provinsi yang dahulunya, sebelum dirusak Belanda (Kahin, 1995: 1-59), adalah komunitas politik mandiri. Indonesia bukanlah peninggalan imperium kesatuan Jawa-Majapahit, tetapi kalau boleh dikatakan, sekadar federasi longgar Majapahit. Saat Majapahit menerapkan Sumpah Palapa Gadjah Mada, Ratu Tribhuwana Tunggadewi karena besarnya pasukan dimiliki (Jawa adalah pulau terpadat nusantara pada abad ke-13) coba menarik upeti dari daerah target. Setelah upeti disepakati, pasukan Majapahit cenderung bersikap leave them alone dalam arti daerah-daerah tersebut tetap mengelola ‘kerajaannya’ sendiri selama upeti masuk ke ‘pusat.’ Paling maksimal, Majapahit mendirikan vassal politik di sejumlah wilayah taklukan. Setelah Islamisasi, komunitas politik itupun segera pulih dan kembali berdaulat. Kedaulatan mereka yang tengah tumbuh lalu secara semena-mena dirusak Belanda lewat proyek adu-domba elit feodal kepanjangan tangan penjajah versus elit tradisional lain melawan Belanda, elit tradisional ini lebih mengakar di setiap komunitas politik Indonesia era perdagangan nusantara. 

Faktor psikologis berupa komunitas politik "masa lampau" inilah yang membuat otonomi daerah jadi isu mendesak pasca transisi politik 1998 lewat terbitnya UU No. 22/1999. Semangat UU tersebut menurut pemahaman subyektif saya, bukan absurditas demokrasi melainkan letupan ‘api dalam sekam’ daerah yang ingin leluasa mengurus diri sendiri layaknya era nusantara masa lampau dengan tradisi politik mereka yang unik. UU No. 22/1999 juga dapat dipandang sebagai upaya daerah menaikkan posisi tawar mereka atas pusat dan secara resiprokal, upaya pusat untuk meredam disintegrasi wilayah. Setelah UU ini terbentuk, tuntutan otonomi daerah sudah tidak bisa direm lagi. Ideal typhus negara kesatuan versi Orde Baru hilang momentumnya. Segera setelah itu, hadir UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua (dan sedikit perubahan lewat UU No. 35/2008 setelah diseing terbitnya Perppu No. 1/2008). Hadir pula UU No. 11/2016 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan politik akomodasi pusat guna memitigasi konflik panjang dengan Aceh sejak 1953. Yogyakarta, ibukota perjuangan, menuntut hak istimewa mereka sebagai mantan ibukota Republik di usia muda (dengan kekhasan komunitas politik masa lampau mereka) lewat redefinisi status devolusi mereka melalui UU No. 13/2012. Juga Jakarta, ibukota negara, yang aturan kekhususannya perlu kembali diperjelas lewat terbitnya UU No. 27/2007. Sebagai tanggapan komprehensif atas tuntutan otonomi daerah, pusat sampai perlu menerbitkan UU No. 23/2014 (berikut lampirannya, untuk menjelaskan urusan Konkuren agar tidak disalahpahami) yang membagi urusan pemerintahan menjadi tiga: Absolut, Konkuren, dan Umum.

Namun, UU Otsus dan Istimewa yang sudah dimiliki Aceh, Papua, Papua Barat, Yogyakarta, dan DKI Jakarta membuat Indonesia tidak bisa melangkah mundur. Setiap daerah yang sudah menikmati Otsus dan Istimewa cenderung mempertahankan status quo yang mereka peroleh lewat payung UU mereka masing-masing. Penghapusan atau pembatalah UU "devolusi" tersebut akan sangat tidak populer karena setiap daerah akan cenderung mempertahankan bahkan justru malah menambah kewenangan mereka di setiap revisinya kelak di kemudian hari. Kecenderungan yang muncul adalah daerah lain pun, selain 5 daerah ini, mengalami diseminasi konsep devolusi untuk diterapkan di provinsi masing-masing. 

Pada lini politik, embrio ‘senator negara bagian’ hadir lewat DPD yang dipilih langsung rakyat provinsi, kendati wewenangnya masih "kerdil" tetapi ia adalah kamar tersendiri dalam parlemen Indonesia. Gubernur, bupati, dan walikota dipilih rakyat daerah sudah dipilih secara langsung. Kendali pusat terus tergerus dan mereka perlahan tetapi pasti, dituntut fokus pada perannya pokoknya sendiri: Urusan Absolut dan Umum. Ini akibat urusan Konkuren, dapat saja lewat ‘akrobat’ politik kepala daerah, ditafsirkan lain dari apa yang ditafsirkan pusat. Energi pusat nantinya hanya akan habis pada aneka manuver kepala daerah ‘mengakali’ urusan Konkuren ini.

Kerumitan pun ditambah oleh munculnya harapan daerah-daerah ‘non-Otsus/Istimewa’ untuk turut menikmati devolusi daerah selain yang lima. Sumatera Barat mengharapkan Otsus berdasar budaya; Riau berdasar ekonomi; Surakarta berdasar budaya ---ini wajar saja karena Pakubuwono secara ‘trah’ turunan lebih tua dan dekat dengan Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam, ketimbang Hamengku Buwono atau Pangeran Mangkubumi; Bali dengan dasar ekonomi, sebenarnya juga budaya dan agama; Kalimantan Timur berdasar ekonomi; dan Maluku Utara berdasar budaya (agaknya plus komunitas politik lokal pra Belanda seperti kesultanan Tidore, Bacan Jailolo, dan Ternate. (Djohan, 2020; tambahan interpretasi oleh saya sendiri, karena sumber hanya menyebut 6 provinsi ini saja). Kalau terkabul maka akan ada 11 provinsi dengan status devolusi, dari 34 provinsi, jadi 1/3 provinsi di Indonesia. Jumlah devolusi yang diberikan ini tidak akan berkurang, malah berpotensi terus meningkat karena menurut pandangan penulis, sekurangnya Banten, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Kepulauan Riau punya signifikansi kuat meminta devolusi. Negosiasi politik tentu adalah terbaik untuk mengatasi ini, bukan konflik senjata atau kekerasan. 

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa integrasi pusat-daerah belum selesai melainkan terus berproses. Dalam teori negara kesatuan memang ada istilah dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Lewat UU No.24/2014, delegasi cukup mengentara, yaitu “central government responsibilities are shifted to semi-autonomous bodies accountable to central government.” (Hague et al., 2017: 184-5). Posisi pemerintah pusat memang masih relatif kuat. Namun, mengingat gubernur, walikota, dan bupati (juga hampir seluruh kandidat pilkada) adalah politisi, berpontensi besar untuk selalu diusung parpol atau koalisi parpol dan bukan birokrat pemerintah yang terikat disiplin pusat, maka urusan Konkuren adalah komoditas politik yang akan selalu merongrong energi pemerintah pusat. Sebagai politisi, para kepala daerah cenderung untuk menambah kekuasaan, bukan mengurangi. Titik masuk mereka adalah di Urusan Konkuren yang punya celah besar untuk diakrobatisasi. Bahkan banyak kasus, partai pengusung kepala daerah adalah oposan di luar koalisi partai pengusung presiden karena pemerintahan kita memang sunggug tidak simetris (presidensial ada di persimpangan parlementer, kesatuan ada di persimpangan federasi). Perda yang saling bertabrakan adalah buah dari kompetisi potensial kepala daerah versus pemerintah pusat. Dalih urusan Konkuren sebagai komoditas politik kepala daerah punya justifikasi signifikan akibat mereka dipiih rakyat secara langsung, bukan diangkat presiden atau pusat. Desentralisasi asimetris ini lambat-laun akan mewujud menjadi devolusi menyeluruh, sebagai gerbang menuju adopsi aneka prinsip negara federal. 

Devolusi sendiri dinyatakan “occur when the centre grants decision-making autonomy (including some legislative powes) to lower levels.” (Hague et al., 2017: 185). Dengan kepala daerah dan parlemen daerah yang dipilih langsung, maka daerah bisa mandiri menyusun Peraturan Daerah. Selalu ada kemungkin setiap Perda bertentangan dengan Peraturan Pusat karena tidak semua kepala daerah dan anggota parlemen daerah menguasai aturan perundang-undangan secara komprehensif. Wajad untuk selalu ada upaya baik sengaja atau tidak sengaja dalam formulasi Peraturan Daerah yang setelah tersusun malah bertabrakan dengan aturan pemerintah pusat.

Juga, dasar devolusi itu sangat kuat karena diberikan oleh konstitusi Indonesia. Kendati sejumlah pemerintah pusat, seperti Inggris contohnya, dapat menarik atau menunda devolusi atas dua wilayah mereka (Irlandia Utara dan Skotlandia), tetapi di Indonesia kita tidak bisa bayangkan apabila Otsus Aceh dan dua Papua direvisi, ditunda, apalagi dibatalkan. Konflik pasti kembali muncul dan sebab itu, devolusi sulit untuk siklis kembali ke posisi sebelum Otsus. Tanpa devolusi pun, desentralisasi lewat UU No. 23/2014 sudah menguatkan posisi daerah non Otsus/Istimewa.

Untuk itu diperlukan suatu cara pandang baru dalam memandang hubungan pusat-daerah. Masing-masing daerah Indonesia apabila dikaji mendalam, punya keunikan masing-masing, baik tradisi, bahasa, dan keunikan kegiatan ekonomi. Kajian klasik David Easton dalam General System Theory menempatkan dua variabel independen pada kinerja sistem politik. Kedua variabel tersebut adalah lingkungan intra-societal dan extra-societal (Chilcote , 1981, h. 145-182). Khusus variabel lingkungan intra-societal, maka aneka sub sistem dalam suatu negara seperti sistem ekologi, sistem sosial, dan sistem psikologis berperan besar mempengaruhi kinerja sistem politik. Di Indonesia ketiga sistem tersebut adalah faktual dan saling berkelindan. 

Dalam sistem ekologi, garis batas provinsi Indonesia bila dicermati adalah garis politik masa pra perusakan komunitas politik lokal oleh Belanda: Aceh mantan Samudera Pasai; Maluku Utara mantan konfederasi kesultanan Bacan, Ternate, Tidore, dan Jailolo; Yogyakarta didirikan Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I); Papua sendiri diperdebatkan apakah masuk Indonesia di awal kemerdekaan dan dalam UU Otsus-nya bahkan ditegaskan bahwa ras mereka berbeda, Melanesia; Jakarta adalah Sunda Kelapa, urat nadi perdagangan nusantara masa lampau dan kini; Bali mantan 9 kerajaan dengan Klungkung sebagai sesepuh; Kalimantan Selatan mantan kesultanan Banjar; dan daftar ini bisa lebih panjang lagi.

Hakikat dari ini semua adalah, kenyataan bahwa sebelum Belanda datang merusak, setiap provinsi dalam derajat tertentu, pernah punya kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya sendiri. Bukankah isu-isu semacam ini pula yang menjadi dasar mitigasi konflik Aceh dan dua Papua, pemberian status istimewa pada Yogyakarta, juga pemberian status khusus pada Jakarta sebagai ibukota. Masih dalam logika Easton, ada semacam sistem psikologis yang terbentuk pada daerah bahwa secara kesejarahan mereka bukan bagian dari ‘imperium zakelijk’ Indonesia seperti Inggris, Jepang, ataupun Spanyol. Integrasi awal Indonesia 1945 adalah integrasi elit yang belum melibatkan massa. Sekarang massa sudah terlibat dan persepsi rakyat daerah berubah soal posisi daerah mereka dalam ‘rumah’ Indonesia. Pengalaman mereka dahulu tatkala masih mandiri sebagai komunitas politik paling maksimal adalah memberi upeti kepada Majapahit dan membantu pengiriman pasukan dan logistik perang Majapahit. Dan, manakala Indonesia diproklamasikan, spiritnya adalah bergabungnya daerah ke dalam Indonesia, bukan mengembalikan kembali imperium "nusantara" Indonesia. Daerah mau memberi upeti, tetapi imbal-baliknya, mereka diperkenankan mengurus urusan Konkuren secara otonom dan ‘relatif berdaulat’ dalam urusan tersebut. Monopoli wajib pusat adalah Urusan Absolut dan Umum.

Menuju Prinsip Federalisme secara Gradual, Tetap dalam Bentuk Negara Kesatuan

Federasi cocok sebagai bentuk negara, di mana region tinggi multikulturalitasnya, lokasi geografis yang rumit (pemisahan oleh lautan dan pengunungan), besar wilayah, kompleksitas etnis dan bahasa, dan yang tidak boleh luput dimensi historis, dengan mana aneka komunitas politik lebih dulu lahir sebelum Indonesia. Indonesia mengalami seluruh hal tersebut, kecuali bahasa. Bahasa Indonesia adalah tumbuh alamiah, bukan bahasa penjajah, karena ia adalah bahasa Melayu pasar yang sudah berkembang lama sebagai lingua franca perdagangan nusantara, terutama setelah Islam masuk dan berkembang di nusantara. Bahasa Indonesia adalah bahasa egaliter yang penggunaannya tidak bisa dipersepsi sebagai dominasi suatu etnis atas etnis lain. Bahasa Indonesia adalah bahasa pergaulan antar komunitas politik masa lampau nusantara. Ini berbeda dengan di Spanyol, dimana etnis Basque dan Catalan menganggap bahasa Spanyol adalah bahasa pendominasi. Spanyol adalah negara kesatuan yang hingga kini terancam disintegrasi oleh dua wilayahnya (Basque dan Catalan) yang salah satunya dipicu sentimen bahasa ini. 

Secara teoretis, dilihat dari kerumitan lingkungan intra-societal Indonesia adalah kebun subur bagi tumbuhnya federalisme. Namun, lemahnya komunitas politik lokal akibat penetrasi Belanda dan kuatnya elit setiap daerah dalam memimpin massa, membuat Indonesia, segera setelah proklamasi didrive terdiri atas 8 provinsi. Dalam integrasi model ini, daerah ---melalui elit mereka--- yang menyerahkan "sebagian" kedaulatannya pada pusat, bukan sebaliknya yaitu menghidupkan kembali "monarki" Indonesia. Pasca 1945, kesatuan diputuskan secara elitis dan politis, dalam perjuangan kemerdekaan dan alasannya cukup pragmatis, sesuai kebutuhan perjuangan masa itu. Daerah-daerah bersatu melawan penjajah Belanda yang merupakan musuh bersama.

Namun, daerah kembali meminta "kewenangan" mereka segera setelah Indonesia merdeka. Baik lewat serangkaian pemberontakan maupun negosiasi. Kendati seluruh pemberontakan bersenjata yang ditujukan untuk segregasi wilayah gagal, mitigasi konflik di Aceh dan dua Papua substansinya adalah ‘pengembalian kewenangan’ pada daerah, itulah esensinya dan itu pragmatis (sesuai kebutuhan naturenya). Jadi, Indonesia ini seolah berputar-putar jalan, terjebak dilema, apabila langsung diklaim atau diubah bentuk menjadi federasi, maka diasumsikan ruang perpecahan politis tercipta. Namun, apabila terus diterapkan konsep kesatuan, secara dimensi intra-societal seperti dimaksud Easton sukar dilakukan pembenaran teoretisnya. Ternyata setiap daerah (provinsi) di Indonesia memiliki keunikan-keunikannya tersendiri, baik dalam hal sistem sosial, sistem ekonomi, maupun sistem budaya. Sebab itu, devolusi yang diterapkan di dalam negara kesatuan Indonesia lewat aneka kebijakan Otsus/Istimewa adalah middle-way yang sehat dan rasional untuk mengadopsi prinsip federasi, tanpa upaya yang lebih meletihkan dan beresiko polemik tak berkesudahan seperti mengamandemen pasal bentuk negara di konstitusi.

Persoalan inti dalam esay ini adalah, bukan mengubah sebutan bentuk negara di konstitusi dari kesatuan menjadi federasi. Tidak ada persoalan basic maupun ideologis, mengapa Indonesia di konstitusi disebut negara Kesatuan. Justru secara politis pun, sebutan "kesatuan" terasa lebih strong dan tegas. Namun, dalam manajemen pragmatis daerah, Indonesia perlu terus konsisten mengadopsi aneka prinsip federasi yang memiliki kebajikan, baik itu diinisiasi pusat maupun daerah. Sjamsuddin misalnya menyebutkan ada sejumlah prinsip federasi yang bisa diterapkan di Indonesia. (Sjamsuddin, 2002: 48-60) yang salah satunya adalah sharing of power. 

Prinsip sharing of power dalam federasi akan memberi elit politik lokal rasa aman dalam memanajemen wilayah tanpa intervensi politis mendadak pusat, kecuali dalam hal moneter dan fiskal daerah lewat BPK dan Bank Indonesia. Pasal 18 ayat (3) dan (5) juga Pasal 18A ayat (1), 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah jaminan konstitusi untuk eksekutif dan parlemen lokal, dan rincian sharing of power tersebut didefinisikan secara relatif rinci dalam UU No. 23/2014 (dan lampirannya) juga aneka UU Otsus/Istimewa yang sudah diterbitkan dan diprediksi akan terus bertambah di masa mendatang.

Dengan adanya pembagian tegas urusan, tuntutan malpraktek pemerintahan akan jelas dialamatkan. Misalnya, apabila suatu daerah tidak kunjung sejahtera itu akibat salahnya pusat atau pimpinan daerah? Kejelasan pembagian urusan pemerintahan sebab itu penting untuk mudah menunjuk ‘hidung.’ Situasi status quo adalah ada dilematik dalam Urusan Konkuren, dengan mana peribahasa ‘kepala dilepas, ekor dipegang’ dapat melukiskannya. Tumpang-tindihnya Urusan Konkuren antara pusat-daerah menjadi jalur mudah bagi kepala daerah dalam melakukan condemnation atas pusat. Dengan kata lain, penerapan sharing of power berupa dilepaskannya Urusan Konkuren kepada daerah, sebagai salah satu prinsip federasi, akan membuka keran akuntabilitas yang besar pada rakyat daerah vis a vis pemerintah pusat. Rakyat daerah akan mudah melacak mismanajemen pemerintahan daerah. Prinsip sharing of power ini juga akan membentuk psikologis daerah agar lebih bertanggung jawab terhadap rakyat mereka dengan tidak lagi secara mudah menyalahkan pusat. Eksekutif dan parlemen daerah harus lebih instrospeksi diri. Sebagai contoh, mismanajemen dana Otsus di Papua dan Aceh misalnya, harus dipersalahkan kepada daerah, bukan pusat. Adapun kesalahan pusat adalah dalam menyediakan perangkat monitoring dan evaluasi. Namun, eksekusi penggunaan dana tersebut murni tanggung jawab eksekutif dan parlemen daerah dalam konteks devolusi. Dengan sharing of power ini, pusat bisa lebih fokus dalam menyiapkan perangkat monitoring, evaluation, dan judgment.  

Sharing of power juga membuat pusat jangan terlampau pusing akan teknis manajemen daerah. Pusat tinggal menyatakan secara resmi pada rakyat Aceh dan Papua, bahwa tidak maksimalnya penggunaan dana Otsus adalah kepala daerah mereka dan sebab itu “tuntutlah mereka, jangan kami.” Terhadap pemerintah daerah Aceh dan dua Papua, apabila tidak perform dalam menggunakan dana Otsus dari APBN, pusat seyogyanya lebih fokus merancang sanksi finansial atas mereka, bisa dalam bentuk dianggap hutang ataupun kompensasi lain untuk mengganti kas pusat yang tidak efektif dananya mereka gunakan. Apabila tidak mau, kekuasaan Abolut pusat, yaitu moneter dan fiskal bisa jadi opsi sanksi, tentu setelah dilakukan penyelidikan adil dan independen seputar indikator wanprestasi itu. Sedapat mungkin dihindari penggunaan instrumen kekuatan pertahanan (militer). Dengan sharing of power ini Pusat tidak perlu lagi terlalu sibuk dengan urusan Konkuren, cukup mereka fokus pada urusan Absolut dan Umum saja. Konsentrasi Repubik Indonesia untuk mengurus 6 Urusan Absolut dan Urusan umum adalah sangat penting, karena urusan-urusan itu adalah sokoguru republik ini. Dalam prinsip federasi, urusan Konkuren rata-rata dilepaskan saja sepenuhnya kepada daearh lewat aneka UU Otsus/Istimewa tanpa menunggu tuntutan ‘ribut’ daerah. Apabila pemerintah ‘federasi di negara kesatuan’ tersebut, atau daerah, kesejahteraan rakyatnya melorot, pemerintah pusat tinggal ciptakan mekanisme sanksi. Sebab, buat apa sulit-sulit dibuat pilkada langsung gubernur, walikota, dan bupati, apabila pusat masih saja sibuk mengurusi urusan Konkuren? Pusat tinggal memetik upeti dan mengalokasikannya pada 6 urusan Absolut dan aneka urusan Umumnya serta menggunakan aneka pemasukan dari daerah untuk melakukan subsidi silang atas daerah yang kurang sejahtera.  

Jika urusan Konkuren diserahkan full pada daerah, sebagai konsekuensi dari sharing of power, maka satu hal akan lantas terjadi: Tidak semua daerah siap akan sumber daya manusia. Sumber daya daerah pasti saat ini belum merata. Daerah pasti membutuhkan tenaga "pemikir" dan "teknis" dalam mengelola urusan konkuren mereka. Sebab itu permintaan sumber daya manusia dari daerah satu kepada daerah lain akan menjadi fenomena umum pasca lepasnya urusan Konkuren dari pusat. Pemerintah pusat fokus pada negosiasi berasan fee yang layak saat daerah mengambil-alih urusan Konkuren. Dengan kondisi rumit ekologis, sosial, dan psikologis Indonesia yang memang cocok bagi prinsip federasi, sudah waktunya Pusat fokus memanajemen urusan Absolut dan Umumnya. Urusan Konkuren diserahkan sepenuhnya kepada daerah lewat Otsus menyeluruh, tetapi pusat fokus pada mekanisme resiprokalnya (misalnya fee yang ditarik dari daerah, yaitu daerah makmur fee lebih tinggi dari daerah kurang makmur), mirip seperti dilakukan federasi Majapahit dahulu. Devolusi yang diperluas penerapannya adalah gerbang aman menuju berlakunya sejumlah kebaikan prinsip federalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan sebab itu justru akan memperkuat kohesi daerah terhadap pusat.[sb]

--------------------
Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik di laman bps.go.id

Chilcote, Ronald H. (1981). Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm. Colorado: Westview Press.

DPR-RI. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini. Retrieved March 3rd 2020, from dpr.go.id/jdih/uu1945.

Djohan, Djohermansyah. (2020). Materi Politik Lokal dan Otonomi Daerah. 

Easton, David. (1976). The Relevance of Biopolitics to Political Theory. In Albert Somit (Ed.), Biology and Politics Mouton: International Social Science Council. pp. 240 – 245. 

Hague, Rod, et.al. (2016). Comparative Government and Politics. 10th Edition. London: Palgrave & Macmillan Education. 

--------, Rod, et.al. (2017). Political Science: A Comparative Introduction. 8th Edition. New York: Palgrave.

Heywood, Andrew. (2013). Politics. Fourth Edition. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Joshua, John. (2017). China’s Economic Growth: Towards Sustainable Economic Development and Social Justice Volume I Domestic and International Economic Policy. London: Palgrave Macmillan.

Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Sebelas Maret University Press & Pustaka Sinar Harapan.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2020. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Retrieved March 5th 2020, from https://www.kemendagri.go.id/files/2020/PMDN%2072%20TH%202019+lampiran.pdf 

Peraturan Pemerintah Nomor Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Rodee, Carlton Clymer, et.al. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali Press.

Roskin, Michael G., et.al. (2012). Political Science: An Introduction.Twelfth Edition. Boston: Longman.

Sjamsuddin, Nazaruddin. (2002). Mengapa Indonesia Harus Menjadi Negara Federasi. Depok: UI Press.

-------------, Nazaruddin. (1984). The Republican Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion. Singapore: ISEAS. 

Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 

Undang-undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. 

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Undang-undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang.