Latest News

Friday, February 13, 2009

Penjelasan Sejarah Hidup Gajah Mada Lewat Novel

Sejarah mungkin salah satu disiplin dengan sedikit peminat. Kerap pelajaran sejarah disambut kantuk dan pemindahan konsentrasi lain dari siswa (misalnya: corat-coret di kertas). Sejarah yang kaku dan berbicara "fakta" tampak memang menjemukan. Demikiankah pendapat kita ?

Sejarah adalah konstruksi masa lalu di alam kekinian. Fakta-fakta yang kaku dan tampak tidak berhubungan, dijalin oleh sejarawan (sejarawati) agar tampak saling berhubungan. Upaya inilah yang membuatnya bernasib seperti disiplin ilmu sosial lainnya, sejarah rentan bias peneliti. Hal ini tampak dalam pengupayaan pembuatan sebuah babad dalam sejarah raja-raja Jawa. Babad yang notabene mirip dengan tulisan sejarah dikonstruksi untuk membenarkan kekuasaan seorang raja. "Babad-babad" ini banyak bertebaran di Indonesia hingga kini: Babad September 1965, Babad Peristiwa Mei 1998, Babad Timor Timur (Leste), dan sejenisnya.

Potret Indonesia Lebih jauh lagi, "nasib" sejarah atau pelajaran sejarah makin terpuruk dengan pembicaraan yang kaku akan fakta. Seolah hendak meninggikan nilai obyektivitas, seorang sejarawan (sejarawati) menekankan pembahasan pada tanggal, lokasi, tokoh, hampir tanpa perasaan (perasaan ini tampaknya tidak boleh ada dalam sains?). Fakta satu lekas disambung oleh fakta lain agar dirasa saling berhubungan. Fakta dan fakta, inilah mungkin yang membuat jemu para pembaca atau pembelajar sejarah. Kendati demikian, mau apa lagi sejarah kalau bukan bicara fakta ? Kalau tidak bicara fakta tentu bukan sains namanya, bisa-bisa disebut fiksi.

Tidak demikian halnya ketika saya "hampir rampung" membaca Pentalogi Gajah Mada. Meskipun baru saja merampungkan seri 1, 2, dan 3, sejarah "Gajah Mada" tampak tidak membosankan. Jalinan kisah dari mulai redupnya kekuasaan Singasari hingga menjelang kecemerlangan kekuasaan Majapahit, terjalin dalam konteks novel yang "manusiawi". Meski di sana sini Langit Kresna Hariadi (penulisnya) "terpeleset" dalam penyebutan fakta, itu tidak mengurangi daya tarik novel ini. Khusus mengenai fakta sejarah, penulis novel Gajah Mada mencoba untuk melakukan penyempurnaan dengan penambahan catatan kaki mulai di karya seri 2 dan selanjutnya.

Jalinan kisah sejarah dalam novel jadi tidak membosankan karena ada keterlibatan unsur manusia (tepatnya, perasaan) di sana. Tentu saja, bagaimana ketika tokoh Gajah Mada marah, Ra Kuti yang licik berbicara dalam hati, itu semua rekaan penulis. Di situlah nilai ketidak membosankan muncul. Terlebih, dalam karya pertama, ketika kita penasaran dengan siapa para informan Ra Kuti yang sekaligus merupakan anggota Bhayangkara. Hampir 2/3 tebal halaman novel kita habiskan untuk mencari tahu para informan.

Langit Kresna Hariadi bukan satu-satunya penulis novel berlatar sejarah. S.H. Mintardja (Api di Bukit Menoreh), Arswendo Atmowiloto (Senopati Pamungkas), merupakan 2 nama yang punya kecenderungan sama : Bermaksud menulis novel, tapi berkonteks sejarah. Idealnya, mereka bukan sejarawan tetapi penulis novel. Dengan kata lain, penulis novel yang mampu menghidupkan sejarah. Nama lain yang pula patut disebut adalah Pramudya Ananta Toer. Karya-karya Pram banyak yang kental nuansa sejarahnya. Penulis amat suka dengan novelnya Arus Balik dan Arok Dedes.

Genre buku yang sama pun ada dari penulis Jepang. Eiji Yoshikawa secara komprehensif melukiskan pertarungan politik Jepang abad ke-16 lewat TAIKO. Meskipun buku lain Eiji yaitu MUSASHI lebih terkenal, tetapi jika penulis bandingkan, justru TAIKO inilah justru magnum opus buat Eiji Yoshikawa. Atau masih ada yang lain ? Entahlah, di cuma 2 buku Eiji tersebut yang pernah penulis baca, lainnya belum.

Dalam TAIKO, hampir secara komprehensif Eiji bicara seputar kondisi Jepang lewat 3 tokoh politiknya : Oda Nobunaga, Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu. Penokohan ketiganya dilukiskan secara hidup dan spesifik oleh penulis. Oda Nobunaga dengan tipikal politik bumi hangus, Hideyoshi yang terampil bernegosiasi, atau Tokugawa Ieyasu yang diam tapi penuh muslihat. Belakangan, Tokugawa Ieyashu inilah yang menjadi shogun termashur Jepang. Buku terjemahan TAIKO ini di atas 1000 halaman dan sangat menarik. Sangat menarik, sekali lagi.

Penulisan sejarah lewat novel kiranya perlu dikembangkan sebagai genre baru. Buku-buku teks yang rigid akan fakta tetap diperlukan. Namun, guna menghidupkan perlu kiranya disampaikan pula dalam bentuk novel. Apakah Asvi Warman Adam atau Anhar Gonggong tertarik untuk membuat kontroversi September 1965 dalam bentuk novel ? Kalau benar, wah saya sangat tunggu sekali itu. Selama ini kecenderungannya novelis yang menulis sejarah dalam bentuk novel, bukan ? Kalau bisa sebaliknya, mengapa tidak.


No comments:

Post a Comment