Latest News

Monday, December 2, 2019

Teori Elit dalam Politik


Teori Elit dalam politik adalah sebuah teori politik yang memandang Elit sebagai aktor politik inti di setiap masyarakat yang terstruktur secara hirarkis. Dengan demikian Elitisme (paham tentang adanya kaum elit) berarti cara yang berguna untuk mengidentifikasi dan mempromosikan aneka kondisi yang menguatkan efektivitas Elit.[1] Anthony Harold Birch memandang Elitisme adalah teori yang melihat masyarakat selalu diperintah oleh kaum elit yang berasal dari kelompok atau kelas tertentu.[2] Menurut Birch, studi Elitisme terbagi dua: Pandangan NonMarxis dan Marxis. Bagi Birch, untuk disebut sebagai teori Elit yang lengkap, baik ontologi maupun epistemologinya, adalah teori Elit dari pandangan kaum Marxis. Teori elit dari kalangan non Marxis tidak bisa disebut teori secara penuh.

Birch menyatakan bahwa Elitisme dalam politik yang kerap disebut sebagai "teori Elit" (Pareto, Mosca, Michels, dan Mills) secara metodologis sesungguhnya tidak mencukupi untuk disebut demikian. Keempatnya berbeda dalam hal ontologi dan epistemologi. Sebaliknya, kaum Marxis tentang Elit yang muncul dari kelas penguasa, yang didasarkan atas determinisme ekonomi punya ontologi dan epistemologi yang jelas: Elit selalu berasal dari kelas borjuis (lalu bermetamorfosis menjadi kelas kapitalis.  Pareto, Mosca, Michels, dan Mills diuji Birch menggunakan 3 proposisi elit yang ia susun (akan dibahas di bagian bawah).  

Elitisme

Elit politik didefinisikan sebagai kelompok individual, yang jumlahnya kecil, komunitasnya relatif kohesif, stabil, dengan mana mereka yang memiliki kekuasaan disproporsional untuk mempengaruhi outcome politik nasional dan supranasional secara berkelanjutan.[3] Namun, Birch hanya mengkritisi 4 eksponen teori Elit klasik, tidak menguji teori Elit yang masuk kategori Neo-Elitisme dan Demo-Elitisme. 

Elemen awal teoretisi Elit klasik secara sekaligus melakukan kritik atas visi kaum Marxis-Sosialis tentang masyarakat egalitarian yang utopis serta kaum Liberal dengan Demokrasi puritannya yang pragmatis.[4] Bagi teoretisi Elit, kedua kaum itu melontarkan gagasan yang delutif, menipu, dan dapat berbahaya. Kaum Marxis-Sosialis dikritik karena masyarakat egaliter yang paripurna (mencakup seluruh warganegara tanpa kecuali) tidak pernah ada dalam sejarah dan sebab itu dikatakan sebagai penipuan. Karena kaum Liberal dikritik sebagai berbahaya karena visi mereka tentang Demokrasi murni tanpa Elit akan berakibat anarki. Inilah titik tolak pandangan teoretisi elit klasik. 

Seperti telah disebut sebelumnya, teori Elit klasik ditantang oleh dua teori baru: Pada perkembangannya, teori Elit terbagi menjadi dua: Neo-Elitisme dan Demo-Elitisme. Neo-Elitisme dekat dengan pemikiran Pareto dan Mosca, sementara Demo-Elitisme dekat dengan pemikiran Weber dan Schumpeter. Neo-Elitisme menekankan pentingnya otonomi Elit sebagai syarat agar posisi mereka secara politik dapat efektif. Ini penting mengingat tidak terelakkannya konsentrasi power di tangan para Elit, kepentingan pribadi para individu ataupun kelompok Elit, dan kebutuhan serta perlindungan atas perbedaan pola interaksi Elit yang dapat atau tidak dapat disediakan oleh para individu ataupun kelompok Elit.[5] Bagi kalangan Neo-Elitisme seluruh rezim politik aktual selalu dipimpin Elit politik yang secara jumlah kecil dan kepentingan para elit ini selalu berbeda dengan warganegara biasa. Neo-Elitisme tidak anti Demokrasi dan justru mereka menggunakan definisi prosedural Demokrasi sebagai titik awalnya pembangunan teorinya. Namun, Demokrasi prosedural dianggap sekadar sebagai ajang kompetisi para Elit untuk memimpin negara atau pemerintahan. Setelah mereka duduk di kursi kekuasaan, penerjemahan kepentingan para pemilih sepenuhnya ada di tangan mereka. Neo-Elitisme berusaha melakukan rekonsiliasi terhadap konsep Demokrasi, yang digunakan untuk membenarkan bahwa Elit tidak ujug-ujug muncul, karena para Elit ini dipilih sendiri oleh warganegara.[6]  Praktek Demokrasi apapun juga pastik akan menghasilkan Elit, apapun alasannya.

Di lain pihak, Demo-Elitisme menekankan power dan aliansi resiprokal antara Elit dan nonElit, baik aliansi tersebut bersifat top-down atau bottom-up. Demo-Elitisme memandang Elit sebagai penjaga lembaga Demokrasi dan polyarchies of merit yang kompetitif.[7] Bagi Demo-Elitisme, Demokrasi dianggap cocok dengan pemerintahan oleh para Elit atas tiga asumsi. Pertama, kaum Demokrat mengakui kekuasaan dan otonomi relatif para Elit yang menjadi pemimpin politik. Kedua, pemimpin yang menjadi Elit tersebut, sekurangnya di sistem Parlementarian, harus menjalin aliansi dengan aneka kategori warganegara. Salah satu eksponen Demo-Elitisme, Karl Popper, menerjemahkan Demokrasi sebagai sistem yang memungkinkan akan hadirnya counter Elit yang mampu memobilisasi suara rakyat guna menumbangkan penguasa inkumben secara damai. [8]

Kembali pada kasus teori Elit klasik yang dikritisi Birch. Studi Birch terletak pada studi klasik tentang Elit, bukan pada Neo-Elitisme maupun Demo-Elitisme. Sebelum mengkritisi pemikiran Pareto, Mosca, Michels, dan Mills[9], Birch terlebih dahulu mengajukan tiga proposisinya sendiri mengenai Elitisme politik, yang kemudian ia gunakan untuk mengevaluasi pandangan Elitisme dari keempat tokoh yang ia bahas.

  • Proposisi A: Bahwa akses ke jabatan politik hanya terbatas pada anggota kelompok sosial kohesif dan relatif kecil, mereka punya kepentingan dan nilai identik yang berdampak politik, dan tidak merefleksikan kepentingan dan nilai mayoritas warganegara.[10] 
  • Proposisi B: Pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik secara umum.[11] 
  • Proposisi C: Pemegang jabatan, kendatipun tidak mencari kepentingan pribadi, secara teratur mengambil keputusan demi kepentingan kelas atau kelompok warganegara yang relatif kecil.[12]
Elitisme dalam Pandangan Pareto: Sirkulasi Elit

Pareto adalah sosiolog, tetapi manakala diperbandingkan dengan Max Weber dan Emile Durkheim, oleh Birch dianggap kurang berhasil. Kendati ambisius, Pareto mengembangkan kerangka analisis sosial yang rumit dan banyak menggunakan terminologi yang hanya ia pahami sendiri. Tidak seperti Weber dan Durkheim, bagi Birch Pareto hanya dilirik oleh sedikit sosiolog moderen dan 'lirikan' itu pun hanya akibat ia dianggap salah satu pendiri disiplin Sosiologi. Birch menambahkan bahwa aneka istilah yang ia (Pareto) kembangkan kini sudah terkesan outdated dan irrelevant.[13]

Pareto, menurut Birch, menyatakan setiap bidang dalam masyarakat punya Elitnya sendiri. Elit yang dimaksud Pareto adalah mereka yang paling berbakat dalam bidang tertentu. Untuk menjadi Elit, kata kuncinya adalah keahlian (skill) bukan kebajikan (virtue). Elit adalah mereka yang masuk ke jajaran atas setiap bidang. Sebab itu terdapat Elit pengacara, ilmuwan, penyair, bahkan pencuri. Di antara sekian macam Elit, terdapat Elit pemerintah, yang terdiri atas orang yang menunjukkan bahwa mereka adalah yang paling berbakat dalam seni politik. Pareto merujuk pada Machiavelli dalam hal skill seni politik: Kelicikan seekor rubah dan kekerasan seekor singa.[14] Politisi yang sukses adalah yang mereka yang mampu memadukan keahlian ini (rubah dan singa) dan melancarkan taktik.

Pandangan Pareto yang paling terkenal adalah pendapatnya mengenai sirkulasi Elit dalam bukunya The Treatise on General Sociology. Bagi Pareto, sejarah menunjukkan sirkulasi Elit yang terus berulang. Baik itu sirkulasi individu dari strata bawah ke strata atas di bidang yang sama ataupun sirkulasi antara elit yang memerintah dan tidak memerintah. Saat suatu Elit masuk ke dalam posisi kekuasaan politik, Elit lain harus keluar. Pareto menolak analisis kaum Marxis dan kaum Liberal bahwa sejarah peradaban bergerak progresif. Sebaliknya, Pareto hanya menjelaskan bahwa kekuasaan politik selalu jatuh ke tangan orang yang memiliki keahlian politik dan tidak ada kejelasan mengenai peradaban yang bergerak progresif. Bagi Pareto, menurut Birch, sejumlah Elit cenderung progresif, tetapi sebagian besar lainnya konservatif, dan bagi Birch, Pareto tidak memberikan dasar ilmiah atas penilaiannya terhadap dua kecenderungan Elit tersebut. 

Penulis lain seperti Jan Pakulski menyatakan, Pareto membuat sketsa elite penguasa yang mencakup partai-partai lawan dan sekutu yang bergiliran masuk dan keluar dari pemerintahan. Mereka ini  tanpa bertengkar tanpa henti mengenai kebijakan publik. Pareto bersikeras bahwa aneka faksi dan kelompok yang bersaing "terpaksa" membentuk jaringan patron-klien yang saling terkait. Jaringan tersebut disatukan oleh "kesepakatan bersama" yang berasal dari "akumulasi tindakan kecil yang terus-menerus, yang masing-masingnya ditentukan oleh keuntungan sesaat" [15] Dengan demikian, bagi Pareto, satu Elit tidak lantas eksklusif dan stabil, melainkan berupaya keras untuk tetap menggenggam kekuasaan kendati untuk itu mereka harus menjalin kerjasama dengan Elit lainnya. Standar ukuran jaringan ini adalah keuntungan sesaat yang akan mereka peroleh, karena mereka khawatir apabila tidak menjalin kerjasama (bertarung sendirian) mereka akan kalah.

Birch menilai bahwa Pareto tidak menunjukkan bahwa Elit yang memerintah (baik di Italia atau negara lain) memang mendominasi publik sehubungan dengan Proposisi A, B, dan C yang telah diajukan sebelumnya. Bahwa ada implikasi Proposisi B, yaitu pemerintah memerintah demi tujuan dirinya (para elit sendiri), tetapi Pareto tidak memberikan bukti-bukti yang sistematis. Pareto terlalu banyak memberikan ilustrasi (terutama dari sejarah Kuno), tetapi tidak terkoneksi dengan upayanya memvalidasi argumentasi yang ia ajukan bahwa memang para Elit itu memerintah untuk tujuannya sendiri. Mengenai sistem pikir Pareto ini, Birch mengutip Tom B. Bottomore, “there are historical examples which appear at once to invalidate Pareto’s generalization.”[16] Bagi Birch, apa yang Pareto sampaikan mengenai Elitisme, akan lebih baik dianggap sebagai suatu upaya melakukan elaborasi atas sebuah kerangka konseptual saat menganalisis kasus-kasus khusus, bukan general. Karena generalitas adalah penting agar  sebuah konsep dapat disebut sebagai teori. 

Kendati sumbangan Pareto dalam memahami ilmu politik tidak terlalu besar, tetapi tetap diapresiasi karena Pareto berupaya menyerang gagasan umum di masa hidupnya. Bagi Birch, maksud utama Pareto adalah membuat para pembacanya menolak apa yang ia anggap sebagai ilusi Liberalisme, bahwa semua orang dapat memerintah lewat lembaga Demokratis, padahal hanya Elit saja yang benar-benar memerintah. Pareto menyerang ilusi kaum Marxis bahwa kesetaraan dan kemerdekaan manusia bisa dicapai lewat revolusi pekerja. Pareto menggambarkan skenario Mordecai Marx sebagai ilusi ideologis yang mengabaikan Elit dan siklus politik-ekonominya yang membuat sejarah tidak lain sebagai kuburan para Elit yang gagal.[17] Pareto juga menyerang pandangan Mordecai Marx yang kaku bahwa keteraturan masyarakat bersifat bottom-up, padahal menurut Pareto, struktur sosial-politik masyarakat bersifat top-down dengan Elit berada di atas dan mengarahkan massa, yang kekuatan dan kelemahannya menentukan nasib masyarakat.[18] Serangannya terhadap kedua gagasan mainstream di masanya ini (gagasan Liberal dan Marxis) memiliki derajat orisinalitas tersendiri sehingga karyanya layak memperoleh tempat dalam khasanah pemikiran. 

Mosca dan Gagasan The Ruling Elite

Tidak tepat apabila dianggap pikiran Pareto dan Mosca dalam Elitisme dianggap sama. Pareto dan Mosca cukup berbeda dalam hal karir, teori, dan preferensi politik.[19] Pareto adalah orang ‘kecewa’, karena ia awalnya begitu mendukung unifikasi dan Liberalisme Italia secara bersemangat, tetapi segera setelah gagal bersaing masuk menjadi anggota Parlemen, sikapnya berubah: Pareto justru berbalik mengkritik Liberalisme dan Demokrasi seumur hidupnya. Pareto juga eksponen pendukung rezim Mussolini saat didirikan dan beroleh penghormatan atas dukungan itu. 

Mosca sebaliknya, ia adalah bagian dari kemapanan politik Liberal Italia.[20] Mosca juga merupakan editor jurnal Chamber of Deputy, bekerja 10 tahun selaku anggota Liberal-Konservatif kamar tersebut, dan ditunjuk sebagai anggota Senat. Ia mengkritisi gagasan Demokrasi partisipatoris tetapi mengagumi sistem Parlementer. Berbeda dengan Pareto, ia tidak menyukai rezim Fasis yang mengambil-alih kekuasaan Italia tahun 1923.[21] Mosca juga seorang profesor dan politisi, dengan mana aneka tulisannya banyak berisikan refleksi penuh pemikiran tentang sejarah dan politik Eropa. 

Dalam The Ruling Class Mosca mengamati bahwa setiap masyarakat selalu terbagi ke dalam dua bagian: Minoritas yang mengendalikan pemerintahan dan Mayoritas yang diperintah oleh Minoritas.[22] Kondisi tersebut selalu terjadi akibat dua alasan. Pertama, Minoritas dapat mengorganisir diri ketimbang Mayoritas. Menurut Mosca, seperti dikutip Birch, ‘seratus orang yang punya kesamaan pemahaman saat melakukan aksi bersama di sebuah konser, selalu menang atas ribuan orang yang tidak terorganisir.’[23] Kedua, para anggota dari Minoritas yang memerintah punya atribut yang berpengaruh di mata masyarakat tempat mereka hidup.

The ruling class yang dimaksud Mosca bukan semata pemegang jabatan tinggi, tetapi juga kelas tempat pemegang jabatan tersebut berasal. Kelas dalam pikiran Mosca bukan melulu ekonomi seperti Mordecai Marx dan pengikutnya pikirkan, tetapi lebih bervariasi: Aristokrat herediter, pendeta, prajurit, pemilik tanah, penguasa keuangan, juga termasuk mereka yang menjadi Elit akibat bakat dan pendidikan. 

Bagi Mosca, setiap kelas yang memerintah mengembangkan formula politik.[24] Formula politik adalah pembenaran bahwa mereka layak memerintah suatu populasi. Mosca menulis, seperti dikutip Birch, formula politik Elit Cina Mandarin adalah ‘penafsir kehendak Putra Surga’, Elit Islam ‘penafsir kehendak Allah,’ Aristokrat Perancis ‘hak ketuhanan para raja’, Politisi Inggris ‘kedaulatan Parlemen’, Penguasa Amerika ‘kehendak rakyat.’[25]

Propaganda lalu digunakan setiap Elit untuk mempropagasi dan melestarikan formula politik agar memperoleh legitimasi. Juga, formula politik digunakan saat satu Elit berupaya melengserkan Elit lain yang kerap dilakukan dalam periode tertentu. Kendati kelas yang memerintah punya kesempatan untuk mentransfer formula politik kepada anak cucunya, tetapi sejarah membuktikan bahwa kerap terjadi pergeseran kekuasaan politik dari suatu kelas kepada kelas lain. Juga, terdapat sejumlah faktor penyebab yang membuat sebuah formula politik tidak lagi punya legitimasi. Misalnya, formula politik Gereja digugurkan oleh formula politik dari Martin Luther tahun 1517 saat ia menempelkan tuntutannya di pintu Gereja Wuttenberg, Jerman. Saat rakyat mempertanyakan formula politik kalangan gereja yaitu ‘penafsir kehendak Tuhan’ maka terjadi potensi pergeseran Elit: Sejak itu kaum Lutheran dan Calvinis tidak lagi tunduk pada Vatikan. Juga, kelas aristokrat yang memerintah di Perancis hilang cengkeramannya saat rakyat Perancis tidak lagi percaya pada hak ketuhanan dari para raja pasca Revolusi Perancis. 

Tidak seperti Pareto, Mosca percaya atas progresivitas manusia. Bagi Mosca, kendati kemajuan peradaban kadang retrogresif, tetapi secara umum terjadi kemajuan di level peradaban. Eropa mengalami kemunduran peradaban setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Timur Tengah mengalami kejumudan pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam. Ini, bagi Mosca, sekadar kasus-kasus khusus karena segera setelah itu terjadi indikasi ke arah kemajuan secara umum. 

Saat Mosca menulis The Ruling Class, sejumlah negara telah mengembangkan sistem pemerintahan perwakilan. Kendati ia memiliki sejumlah keberatan, secara umum ia memberikan cukup perhatian atas sistem perwakilan politik ini.[26] Ia mengkontraskan prinsip pemerintahan perwakilan Demokrasi dengan yang ia maksudkan dengan Demokrasi partisipatoris yang ia breakdown langsung dari pemikiran Rousseau. Demokrasi Rousseau bagi Mosca tidak layak diterapkan. Ini pun selaras dengan anggapan saat ini bahwa Demokrasi partisipatoris (dalam pemahaman Rousseau) tidak mungkin diterapkan dalam masyarakat industri di mana wilayah negara sedemikian luas dan jumlah penduduk sedemikan besar. Demokrasi a la Rousseau hanya cocok untuk unit pemerintahan yang kecil atau perusahaan swasta ketimbang pemerintahan dalam skala nasional.[27]

Bagaimana tepatnya pandangan Mosca atas Demokrasi perwakilan? Mosca, menurut Birch, secara prinsip adalah pengagum Montesquieu. Ia menerima pandangan Montesquieu bahwa kebebasan manusia terjamin lewat pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif). Ia juga menerima pandangan Montesquieu bahwa pemerintahan perwakilan dan sistem Parlementer adalah bentuk pemerintahan yang paling menjanjikan. Ia mengakuti ini kendati pemerintahan perwakilan di Italia belum terancang dengan baik. Parlemen Italia baru didirikan tahun 1871 saat Italia masih bersatu. Namun, Parlemen tersebut adalah sistem perwakilan dan pemerintahan akuntabel hanya di atas kertas. Hak pilih, saat Parlemen Italia baru dibentuk, dibatasi menurut kualifikasi kepemilikan properti, yang hanya meliputi 2% orang dewasa Italia saja. Proporsi ini meningkat jadi 7% tahun 1912. Di masa Mosca sendiri, hak pilih baru meliputi 5% populasi orang dewasa saja. Ini akibat Gereja Katolik Roma memboikot Pemilu sehingga penggunaan hak pilih tidak pernah lebih dari 50% dari total pemilik hak suara (yang cuma 5% itu).[28]

Hal lain yang dipetik Mosca dari pengamatannya, seperti dicatat Birch, adalah banyaknya anggota Parlemen yang melakukan korupsi serta aktivitas-aktivitas yang meragukan[29]selama proses pemilihan. Hal-hal inilah mungkin yang membuat pemerintah Italia yang berkuasa tidak pernah kalah Pemilu di seluruh masa hidup rezim Liberal Italia 1871 hingga 1923. Birch mencatat bahwa unsur pertanggungjawaban pemerintah sekadar tertulis di dalam konstitusi tetapi tidak pernah dipraktekkan di aktivitas politik sehari-hari. 

Ada beberapa kritik Mosca atas kondisi politik selama rezim Liberal Italia 1871–1923. Pertama, nominasi untuk ikut Pemilu dikendalikan oleh aneka minoritas kecil di setiap wilayah (mungkin mafia atau tuan tanah feodal). Kedua, mayoritas Parlemen cenderung tidak akuntabel. Ketiga, secara individual anggota Parlemen kerap ikut campur secara berlebihan dalam administrasi publik, administrasi pengadilan, dan pengendalian lembaga bank serta karitas publik. Bagi Mosca, seperti dicatat Birch, bentuk-bentuk perilaku ini, seiring kurang sempurnanya sistem Pemilu, mendorong publik kecewa terhadap pemerintahan Parlementer Italia di masanya.[30] Inilah yang mendorong Benito Mussolini memperoleh dukungan luas atas tawaran Fasismenya. 

Dalam masalah kesetaraan hak pilih, pandangan Mosca agak paradoks. Di satu sisi ia menghendaki jumlah pemilih yang cukup besar. Mosca berargumen bahwa besarnya jumlah pemilih (pemilih ini juga berhak untuk dipilih), maka hanya sebagian kecil pemilih tersebut yang menduduki jabatan politik. Sementara pemilih lain, yang jumlahnya besar (mayoritas pemilih) bertindak sebagai penilai obyektif terhadap setiap kandidat yang bersaing. Namun, pada sisi lain Mosca berpikir apabila hak pilih bersifat universal akan mendorong setiap pimpinan partai menjadi demagog: Bahwa untuk menyenangkan massa, mereka akan memainkan insting terkasarnya serta memunculkan segala keserakahan dan prasangka mereka untuk ditularkan pada publik.[31] Konklusinya bagi Mosca adalah, pemilih terbatas adalah mencukupi sebagai syarat Liberalisme, ‘bahwa mereka yang mewakili dapat bertanggung jawab terhadap yang diwakili.’

Apakah Mosca dapat disebut sebagai seorang Elitis, seorang yang menolak pemerintahan Demokratis, akibat kehati-hatiannya seputar perluasan hak pilih? Jawabannya adalah ya karena di era hidupnya, pandangan Mosca ini tidaklah aneh.[32] Alexis de Tocqueville sendiri bicara kemungkinan tirani mayoritas akibat hak pilih yang meluas bagi seluruh elemen rakyat. Kekhawatiran Tocqueville ini mirip saat Aristoteles menggambarkan Demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas kaum miskin. Karena kaum miskin banyak, mereka akan memilih pejabat publik dari kaummnya sendiri dan akan membahayakan posisi kelas menengah-kaya. Tocqueville sendiri berasal dari kelas menengah dan ia khawatir, kendati mendukung Demokrasi perwakilan, negara akan dijalankan oleh kaum miskin. Ia tidak mampu menerima kenyataan ini. Selain Tocqueville, kekhawatiran lain diungkap oleh John Stuart Mill, bahwa ketimbang meluaskan hak pilih bagi seluruh rakyat, cukup pemilih yang berpendidikan saja diberikan hak suara ekstra. Tocqueville dan Mill adalah Elitis dalam hal pandangan mereka dalam konteks kesetaraan hak pilih. Namun, pandangan ini lumrah di era ketika sebagian besar kelas pekerja masih buta huruf dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, kendati pun berpandangan Elitis, teori Demokrasi dari Tocqueville dan Mill tidak dapat dikategorikan Elitisme. 

Pendapat Mosca, dalam pandangan Birch, dapat dimasukkan ke dalam Proposisi A dan Proposisi B. Mosca banyak menggunakan contoh dari sejarah Eropa dan Asia. Saat Mosca menulis The Ruling Elite Eropa baru dalam fase awal perkembangan Demokrasi dan Asia sendiri bahkan sama sekali belum tersentuh gagasan jenis pemerintahan ini. Di Eropa, Feodalisme masih menggejala sehingga pemerintahan yang ada sarat kepentingan kelas pemilik tanah. Di Asia, masih terdapat pemerintahan yang dijalankan oleh kalangan agama. 

Mosca yakin bahwa bahkan di pemerintahan Demokratis awal Eropa, yang berkuasa adalah ruling Elite. Ia juga yakin bahwa kekuasaan pemerintahan akan terkonsentrasi di tangan kelas berkuasa yang jumlahnya kecil dan bertindak demi kepentingan mereka sendiri. Namun bagi Birch, Mosca tidaklah meyakinkan apabila disebut menelurkan teori. Ia tidak mencoba memformulasi jawaban spesifik mengenai sejauh mana minoritas yang berkuasa benar-benar terdiri atas kelas yang definitif dengan kepentingannya yang khas. Analisis Mosca mengenai Elit yang berkuasa, bagi Birch, berserakan di mana-mana sehingga pembacanya tidak menemukan kejelasan mengenai aspek ontologi maupun epistemologi Elitnya. 

Argumen Birch bahwa Mosca tidak definitif atas teori Elitnya dapat ditemui dalam dua pernyataanyaanya. Pertama, pada satu kasus Mosca menyatakan bahwa dalam sistem perwakilan ‘pintu terbuka lebar bagi seluruh kelas yang diperintah untuk masuk menjadi kelas yang berkuasa.’[33] Lebarnya pintu yang terbuka ini memungkinkan siapa pun untuk menjadi Elit, apa pun latar belakangnya. Kedua, pada kasus lainnya Mosca menyatakan bahwa di dalam sistem perwakilan dengan hak pilih universal (atau hampir universal) ‘tugas utama dari organisasi partai ke dalam mana kelas yang berkuasa terpecah adalah untuk memenangkan suara dari kelas-kelas lain yang jumlahnya lebih besar.’[34] Birch melanjutkan, dari kedua pernyataan ini Mosca mengakui dua hal. Pertama, dalam sistem Demokratis kelas yang memerintah akan terbuka untuk dipenetrasi oleh ‘kelas yang diperintah’ dan tentu oleh seluruh warganegara lainnya. Kedua, bagi Mosca kelas yang memerintah tidak menyatu secara politik tetapi terpecah-pecah ke dalam sejumlah partai yang saling bersaing. 

Birch menganggap buku Mosca tidak menunjukkan sebuah teori Elit yang bertentangan dengan teori Demokrasi moderen. Memang Mosca berpendapat bahwa di masa lampau, pemerintahan selalu berada di tangan Elit yang berupaya memenuhi kepentingan dirinya sendiri, tetapi Mosca tidak menunjukkan (bahkan mengklaim) bahwa kondisi tersebut akan terus terjadi. Bottomore menyatakan “‘dalam teori Mosca, seorang Elit tidak lantas memerintah lewat kekuatan dan kecurangan, tetapi mewakili, dalam satu pengertian, kepentingan dan tujuan kelompok penting dan berpengaruh di suatu masyarakat.”[35] Birch setuju dengan Bottomore yang menyatakan bahwa Mosca ‘siap untuk mengakui, dan bahkan menyetujui, fitur-fitur khusus dari Demokrasi modern.’[36] Sejalan dengan Birch bahwa Mosca tidak berhasil menunjukkan teori Elit yang lengkap, John Higley juga menyatakan “jauh dari menyodorkan teori, nilai lestari karya Mosca terletak pada ajakannya untuk memfokuskan analisis politik pada dinamika elit.”[37]

Robert Michels dan The Iron Law of Oligarchy

Menurut Birch, Michels seorang Sosialis radikal yang kecewa akibat pandangan politik yang ia miliki menjadi penghalang untuk menempati jabatan di sejumlah universitas Jerman, kendati sesungguhnya ia memenuhi kualifikasi.[38] Bukunya Political Party memuat serangannya bukan pada pemerintah dan universitas yang menolak dirinya memperoleh jabatan tertentu, melainkan terhadap pola kepemimpinan di SPD (German Social Democratic Party) dan kecenderungan oligarki di partai-partai lain secara umum. 

Dalam bagian pertama bukunya, Michels menyatakan apapun ukurannya, birokrasi dan oligarki tidak bisa dihindari oleh partai politik. Partai juga harus punya organizer profesional dan pemimpin. Agar berhasil dalam sistem pemerintahan perwakilan, pemimpin tersebut diberi kebebasan bermanuver politik dan ‘partai yang tengah berjuang perlu struktur yang hirarkis.’[39]

Dalam bagian kedua bukunya, Michels bicara tentang sebab psikologis munculnya pemimpin. Michels secara sinis memandang kapasitas politik massa, (termasuk anggota partai sendiri) yang baginya, mereka tidak berpengalaman, kurang terdidik, apatis, dan inferior terhadap pimpinannya. Michels melanjutkan ‘ketidakkompetenan massa dalam kehidupan politik hampir bersifat universal, dan disinilah fundasi kuat kekuasaan para pemimpin partai.’[40] Demokratis dalam pemahaman Michels adalah kumpulan rakyat, bukan proses Demokrasi ataupun sistem pembuatan keputusan yang Demokratis. [41]

Bagi Michels, bukan hanya pemimpin partai saja yang memposisikan diri mereka di atas pengikutnya, melainkan juga wakil-wakil terpilih pun melakukan hal serupa. Anggota Parlemen menjadi arogan, membuat deal politik dengan partai-partai lain, dan mengorbankan garis ideologis partai demi mengembangkan basis pemilih mereka.[42] Birch menganggap menarik pemilih yang justru penting di dalam Demokrasi tidak terbersit dalam pikiran Michels. Perhatian utama Michels, menurut Birch, pada Demokrasi di dalam partai ketimbang Demokrasi di dalam sistem politik secara luas. 

Contoh kasus yang diberikan Michels mayoritas diambil dari partai-partai Sosialis dan serikat buruh di Eropa Barat, dan banyak diantaranya berasal dari SPD (partainya sendiri).[43] Saat Michels menulis, SPD secara formal berkomitmen pada serangkaian tujuan Marxis, tetapi pimpinannya ‘menerima rezim politik, ekonomi dan sosial yang berlaku.’ Diskrepansi antara tujuan partai dan praktik politik pemimpin SPD ini yang disebut Michels sebagai tidak Demokratis.[44] Pada titik ini Michels bukan bicara sebagai teoretisi melainkan aktivis partai. 

Bagi Birch, sehubungan dengan proposisinya, maka Michels dapat dimasukkan ke dalam Proposisi B, bahwa anggota dari Elit partai mengganti nilai dan strategi mereka sendiri dengan yang kemungkinan besar bisa diterima oleh massa.[45] Namun, bagi Birch, jika Michels hendak mempertahankan pandangan bahwa pemimpin partai itu Elitis, maka ia harus membuktikan bahwa jajaran anggota partai (selain para Elit pemimpin) dalam kondisi tetap berpegang pada prinsip dasar partai. Michels tidak menunjukkan hal tersebut dan sebab itu sulit menyatakan bahwa pandangan si pemimpin partai Elitis (berbeda dengan anggota partai biasa lainnya). Birch menyimpulkan bahwa Michels gagal menemukan kasus Elitisme dalam argumentasinya mengenai pemimpin partai ini.[46]

Di akhir bukunya, catat Birch, Michels membangun dua proposisi umum dan berstatus scientific law berdasarkan analytic explanation.[47] Pertama, bahwa setiap partai politik membangun organisasi dan ‘siapapun bicara organisasi, maka ia bicara adanya Oligarki.’ Kedua, Oligarki bermakna kepemimpinan dan setiap sistem kepemimpinan Oligarki tidak cocok dengan postulat esensial Demokrasi.’[48] Birch membantah proposisi pertama dengan menyatakan bahwa tidak salah suatu partai punya birokrasi dan sekelompok pemimpin. Birch juga membantah proposisi kedua bahwa mereka (sekelompok pemimpin) ini baru bisa disebut tidak Demokratis apabila gagal merefleksikan pandangan para anggotanya atau tidak mampu menjawab pertanyaan mereka seputar tindakannya. Michels, bagi Birch, tidak bisa membuktikan kedua proposisinya, bahkan di dalam kasus SPD sekalipun. Bahkan, lanjut Birch, andaipun terjadi ketidakDemokratisan di dalam partai, tidak lantas membuat sistem pemerintahan di mana terjadi persaingan antarpartai menjadi tidak Demokratis (Jerman saat itu bersistem multipartai, termasuk juga ada Partai Komunis). 

Michels sendiri bagi Birch kurang familiar dengan makna Demokrasi dalam kehidupan politik Jerman mengingat negara tersebut baru menerapkan pemerintahan Demokratis yang bertanggung jawab 9 tahun setelah Michels menerbitkan bukunya. Sebelum 1919, di Jerman memang sudah terdapat Pemilu berdasarkan kompetisi antar partai politik, tetapi pemerintahan yang terbentuk belumlah bertanggung jawab pada Parlemen. Birch menyayangkan Michels yang tidak melakukan studi di Inggris, negara-negara Skandinavia, Australia, dan Selandia baru yang telah memiliki mekanisme pertanggungjawaban pemerintah kepada Parlemen.[49]

Tibalah kini Birch mempertanyakan apakah yang diinformasikan Michels mengenai Elitisme.[50] Perlu dicatat bahwa partai politik perlu pimpinan, dan pimpinan ini harus punya pengetahuan dan pengalaman politik yang lebih ketimbang pengikutnya. Pimpinan ini boleh saja memiliki kemampuan menyusun ulang kebijakan partai dengan tujuan bertarung demi memperoleh dukungan para pemilih. Bukan masalah Konservatif atau Liberal, melainkan pimpinan partai sekadar memoderasi kebijakan radikal dari tujuan-tujuan politik mereka dari mana partai ini berasal. Mengenai ini, apa yang dinyatakan Michels sekadar klaim, bahwa tindakan-tindakan pimpinan partai ini disebut sebagai tidak Demokratis. 

The iron law of oligarchy yang terkenal, yang dihasilkan Michels, bagi Birch adalah tetap kurang signifikan keberlakuannya ketimbang yag diduga oleh para pengagumnya .[51] Ini akibat pernyataan-pernyataan Michels atas Oligarki yang dipraktekkan pimpinan SDP merupakan hal lumrah di dalam politik. Pimpinan partai mungkin adalah pihak yang paling tahu kondisi di Parlemen dan masalah-masalah pemerintahan, yang lalu melakukan manuver politik. Dalam membenarkan manuver ini, agar diterima anggota lainnya, ia harus berargumentasi terlebih dahulu dengan mereka. Argumentasi antara pemimpin dan anggota ini membuat hukum besi oligarki elit partai Michels gugur dengan sendirinya. 

Michels hanya melakukan generalisasi atas satu kasus (SPD), dan andai kata pun konklusinya benar, the iron law of oligarchy sekadar berstatus hipotesis, bukan hukum (teori) karena ia menggunakan sampel yang kasuistik, bukan general. Namun, bagi Birch, ada hal berharga yang bisa diambil dari pikiran Michels dari bukunya, yang sayangnya tidak ia (Michels) elaborasi lebih lanjut. Hal tersebut adalah saran Michels bahwa persaingan elektoral dapat mendorong partai politik memoderasi kebijakan-kebijakan mereka. Birch menyatakan dalam sistem dua partai, di mana pemilih dapat diletakkan dalam kontinum ideologi dari kiri ke kanan, adalah logis apabila setiap partai melakukan framing kebijakan agak di tengah spektrum politik demi memperoleh basis suara yang lebih luas. 

Pandangan C. Wright Mills dan The Power Elite

Pandangan Mills tentang power elite fokus di Amerika Serikat. Amerika Serikat dalam tulisan Mills adalah sebagai keseluruhan, bukan bagian-bagian seperti partai politik atau proses-proses Demokrasi.[52] Tesis utama Mills adalah, menurut Birch, penekanan sejarah dan kelembagaan negara. Apa yang ia asumsikan sebagai power untuk mengambil keputusan sifatnya institusional (kelembagaan), yaitu yang berada di tiga domain: Industri, pemerintah, dan militer. 

Tiga lembaga ini menurut Mills semakin lama semakin terkonsentrasi dan saling berinterrelasi. Akibat dari hal ini menurut Mills ada dua: Pertama, kekuasaan (power) di setiap domain semakin dipegang oleh sedikit orang. Kedua, terdapat kecenderungan powerful few, untuk saling berkomunikasi satu sama lain (lintas domain) dan saling berganti peran dengan berpindah antar domain.[53] Amerika tahun 1950an didominasi oleh power elit, yaitu individu berkuasa yang tidak bisa lagi disebut sebagai Demokratis. Elit ini tidak lagi menganggap Demokrasi sebagai suatu hal penting. 

Menurut Birch, Mills berbeda dengan kaum Marxis, karena ia menolak sejarah sekadar produk kekuatan sosial. Bagi Mills, sejarah dibentuk oleh individu manusia yang memegang posisi kekuasaan. Di Amerika sendiri, menurut Mills, individu ini berasal dari kalangan atas. Bukunya Power Elite, menurut Birch, sekitar 40%nya berisikan narasi jurnalistik tentang gaya hidup para individu ini.[54] Maksud Mills menulis gaya hidup ini adalah mengkaitkan antara kesatuan aspek sosial dan psikologis yang memberi ciri khas atas keputusan yang diambil oleh para Elit. Anggota Kongres tidak dimasukkan Mills ke dalam Elit ini karena mereka sekadar mewakili kepentingan lokal, dan kurang terorganisir dan terinformasikan secara baik manakala ada isu-isu nasional.

Power yang dimaksud Mills diartikan sebagai kekuasaan eksekutif.[55] Mills lebih menekankan kekuasaan eksekutif di bidang kebijakan pertahanan dan luar negeri. Mills tidak percaya argumen Marxis tentang ekonomi sehingga kaum Korporasi kaya hanya dimasukkan Mills ke dalam triuviratnya manakala mereka menduduki posisi pemerintahan (eksekutif) puncak. [56] Birch menilai kajian Mills mengenai kelompok Elit Amerika ini masuk ke dalam Proposisi A, bahwa yang masuk ke dalam posisi puncak kekuasan terbatas pada anggota dari kelas sosial yang kohesif dan berukuran kecil.[57] Mereka ini berasal dari kelas atas. Birch coba membantah tesis Mills seputar asal-usul kelas para Elit dengan merujuk salah satu triumvirat power Elit yaitu Presiden.

Menurut Birch hanya 2 dari 10 presiden Amerika pasca Perang Dunia yang berasal dari kelas atas yaitu Kennedy dan Bush. Ke-8 lainnya yaitu Truman, Eisenhower, Johnson, Nixon, Ford, Carter, Reagan, dan Clinton berasal dari level atas lower-middle class atau middle-class.[58] Manakala kasus Mills dimasukkan Birch ke dalam Proposisi B, bahwa pembuat keputusan puncak memformulasi kebijakan menurut kepentingan dan nilai mereka sendiri, tanpa memandang kepentingan publik secara umum. Mills menekankan bahwa mereka (para elit ini) seolah terputus dari opini publik dan dari waktu ke waktu mengambil keputusan tanpa melakukan debat publik terlebih dahulu.

Mills mencontohkan keputusan ‘otoriter’ ini adalah keputusan Roosenvelt ikut serta dalam Perang Dunia II, keputusan Truman menggunakan bom atom atas Jepang, keputusan Amerika untuk tidak mempertahankan dua pulau lepas pantai di dekat Cina kendati ada kemungkinan Cina melakukan invasi, dan keputusan tidak menggunakan senjata nuklir tahun 1954 untuk menyelamatkan tentara Perancis yang dikepung di Vietnam.[59] Birch kemudian membantah bahwa keputusan-keputusan para presiden tersebut, apabila pun dilakukan debat publik, akan disetujui, dan mengenai mengapa dilakukan seolah sepihak, Birch menyatakannya karena urgensi semata: Keputusan militer yang harus diambil secara cepat. Birch menilai bahwa Mills gagal menunjukkan bukti agar memenuhi Proposisi B yang ia ajukan.[60]

Hal berharga yang bisa diambil dari studi Mills adalah bahwa etos Elit bisnis punya pengaruh yang tidak semestinya atas pembentukan nilai dan opini Amerika. Anggota Elit ini kenal satu sama lain sebagai teman, tetangga ataupun anggota klub. Posisi mereka lebih penting sebagai pemimpin opini informal ketimbang anggota militer ataupun organisasi politik.[61] Mereka juga, lanjut Mills, secara kolektif menerapkan derajat kekuasaan dalam melakukan manipulasi, sehingga nilai-nilai korporatnya merasuki mereka yang punya pengaruh di bidang politik ataupun keputusan-keputusan ekonomi. Birch menutup kajiannya mengenai Mills dengan menyatakan bahwa kendati kontribusi utama Mills bukan pada teori Elit, tetapi ia menyumbangnya informasi seputar fitur khusus dari masyarakat Amerika.

Review Teoretisi Elit

Ke-4 teoretisi Elit yang sudah dibicarakan (Pareto, Mosca, Michels, dan Mills), bagi Birch, heterogen. Tidak seorang pun mengkontribusi teori yang mampu mengancam teori Demokrasi, bahwa Demokrasi tidak lebih sebagai pemerintahan oleh segelintir Elit. Pareto menawarkan kerangka konseptual, bukan teori. Mosca adalah anasir Liberal abad ke-19 yang lebih mungkin membela gagasan Demokrasi apabila hidup di masa kekinian. Michels sekadar menulis tentang aneka dilema ideologis Partai Sosial Demokrasi Jerman ketimbang tentang prosedur-prosedur Demokrasi. Mills sekadar menulis tentang apa itu Amerika dari seorang yang begitu teralienasi dari masyarakat Amerika, memusuhi aneka nilainya, aneka kebijakannya, sistem ekonominya, dan kondisi Amerika secara umum. [sb]

-----------------------------------------------------

DAFTAR KUTIPAN:

[1] John Higley, “Continuities and Discontinuities in Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave Handbook of Political Elites (London: Palgrave MacMillan, 2018) p. 30. 
[2] Anthony Harold Birch, Concepts and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London: Routledge, 2001)., p. 186. 
[3] Heinrich Best and John Higley, ”The Palgrave Handbook of Political Elites: Introduction” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave …, op.cit., p. 3. Jan Pakulski menyatakan, pelacakan teori Elit dapat dirujuk hingga tulisan Niccolo Machiavell dan Thomas Hobbes, yang kemudian dilanjutkan oleh kalangan Liberal Eropa seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels, Max Weber, Joseph Schumpeter, dan Ortega y Gasset yang berkembang dari 1890an hingga 1940an. Lihat Jan Pakulski, “The Development of Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave …, op.cit., p. 9. 
[4] Jan Pakulski, op.cit., p. 10. 
[5] Jan Pakulski, “The Development … op.cit., p. 13. 
[6] A. KÓ§rÓ§senyi, “Political Elites and Democracy” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave MacMillan Handbook of Political Elites (London: Routledge, 2018) p. 47 – 8. 
[7] Jan Pakulski, “The Development … op.cit.p. 13. 
[8] A. KÓ§rÓ§senyi, “Political Elites … op.cit., p. 48. 
[9] Vilfredo Pareto adalah sosiologi Italia dalam masa pembentukan ilmu tersebut. Gaetano Mosca adalah pengacara konstitusi yang kerap dipandang sebagai Bapak ilmu politik Italia yang menerbitkan The Ruling Class tahun 1896. Robert Michels adalah sosiolog Jerman yang karya utamanya terbit tahun 1911. C. Wright Mills adalah sosiolog Amerika yang menulis The Power Elite tahun 1956. Dari 4 penulis ini, 3 orang teridentifikasi sebagai sosiolog sementara hanya 1 (Mosca) yang dekat dengan studi ilmu politik. Sebagai sosiolog, tentu saja mereka akan berbeda dalam memandang fenomena politik seperti Birch (yang berasal dari disiplin Ilmu Politik). Dengan demikian, penilaian Birch atas teori Elit mereka layak untuk dikritisi. 
[10] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 187. 
[11] ibid
[12] ibid
[13] ibid., p. 188. 
[14] ibid.
[15] Jan Pakulski, “The Development … op.cit., p. 19. 
[16] Tom B. Bottomore seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit..., p. 189. 
[17] Jan Pakulski, “Classical Elite Theory: Pareto and Weber” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave MacMillan Handbook of Political Elites (London: Routledge, 2018) P. 17. 
[18] Jan Pakulski., “Classcical … op.cit., p. 17. 
[19] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 189. 
[20] Kendati ia kerap mengkritik sejumlah aspeknya. 
[21] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 190. 
[22] Mosca seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit, p. 190. 
[23] Ibid., p. 190. 
[24] Mosca seperti dikutip Birch Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit, p. 190. 
[25] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit, p. 190. 
[26] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 191. 
[27] ibid
[28] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 192. 
[29] Mungkin dengan kelompok mafia Italia atau suap. 
[30] Mosca seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 192. 
[31] Ibid
[32] Mengenai pembatasan hak pilih. 
[33] Mosca seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 193. 
[34] Ibid. 
[35] Bottomore seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 194. 
[36] Ibid
[37] John Higley, “Continuities and Discontinuities in Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave Handbook of Political Elites (London: Palgrave MacMillan, 2018) p. 33. 
[38] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 194 – 5. 
[39] Michels seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 195. 
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid., p. 195. 
[43] Ibid
[44] Ibid.
[45] Ibid., p. 196. 
[46] Ibid
[47] Ibid
[48] Ibid., p. 196 – 7. 
[49] Ibid, p. 197. 
[50] Ibid., p. 198. 
[51] Ibid
[52] Ibid., p. 199 
[53] Ibid
[54] Ibid
[55] Ibid., p. 200 
[56] Ibid
[57] Ibid
[58] Ibid
[59] Ibid., p. 220 – 1. 
[60] Ibid., p. 201. 
[61] Ibid.


Teori Pluralisme Politik


Teori Pluralisme Politik adalah teori yang menekankan pada penerimaan, pertimbangan, dan pelembagaan atas adanya aneka kelompok dan perspektif berbeda yang sesungguhnya aktual di dalam suatu negara. Gagasan dasar para pendukung pluralisme politik adalah kesepakatan untuk memberikan legitimasi atas adanya cara pandang berbeda di dalam suatu negara.[1] Akar dari pluralisme politik adalah William James, seorang filsuf politik asal Amerika Serikat sekaligus eksponen pluralis utama yang anti-absolutis.

Anthony Harold Birch[2] menyatakan bahwa Pluralisme adalah teori khas Amerika, yang menjelaskan dampak konflik yang bersifat seksionalis (bagian tertentu di dalam suatu negara) dan kelompok dalam pembuatan kebijakan.[3] Birch juga menyatakan bahwa Pluralisme mencukupi untuk disebut sebagai teori. Pluralisme politik, menurut Birch, memiliki obyek studi berupa aneka kasus negara bagian, kelompok kepentingan, dan promotional groups yang berupaya mempengaruhi pengambilan keputusan di Amerika Serikat. Karena Pluralisme politik dapat digeneralisasi sekaligus diverifikasi entitas studinya maka ia dapat disebut sebagai teori politik yang utuh. 

Pluralisme Politik 

Menurut Paul Q. Hirst, kendati lebih populer di Amerika Serikat, dalam konteks ilmu politik, studi Pluralisme politik juga berkembang di Inggris lewat tiga tokohnya G. D. H. Cole, John Neville Figgis, dan Harold J. Laski.[4] Pluralisme politik Inggris menyerang teori kedaulatan negara dari Thoman Hobbes dan Jean Bodin. Pusat perhatian teoretisi pluralisme Inggris terletak pada keyakinan atas vitalitas dan legitimasi self-governing dari berbagai asosiasi (di level civil society) sebagai cara mengorganisir kehidupan sosial dan juga keyakinan bahwa representasi politik harus menghargai prinsip fungsi asosiasi seperti serikat buruh, gereja, dan badan-badan sukarela yang sesungguhnya menjalankan tugas mendasar kehidupan sosial.[5] Hirst juga menulis bahwa karakter Pluralisme politik Inggris secara prinsip cenderung anti-Statist (anti negara), penghargaan atas otonomi asosiasi bebas yang didirikan warganegara (masyarakat sipil), dan prinsip representasi fungsional, yang membatasi --- bukan malah meningkatkan --- lingkup kekuasaan negara. Kaum Pluralis Inggris menentang teori kedaulatan negara yang tak terbatas serta negara yang disentralisasisakan secara unitaris dengan mana terdapat hirarki otoritas di dalamnya.[6]

Sementara itu, Pluralisme Amerika (seperti terdapat dalam tulisan Birch ini) memandang asosiasi sebagai bagian dari proses kompetisi politik dan cenderung menyikapi negara dan pemerintah sebagai jaringan penghubung lewat mana aneka kepentingan yang bersaing berusaha untuk mempengaruhi kebijakan dan melalui mana tujuan dari kepentingan terorganisir dominan di setiap isu khusus dibawakan.[7] Jika di Inggris, asosiasi civil society dipandang sebagai oposan negara, maka di Amerika Serikat asosiasi civil society dipandang sebagai pelengkap fungsionalitas negra. Obyek studi Birch mengenai Pluralisme politik adalah fenomena negara bagian dan kelompok penekan (pressure group) di Amerika Serikat, bukan Inggris. Bagi Birch masalah yang menyertai proses integrasi negara bagian ke dalam Serikat merupakan rujukan faktual awal studi Pluralisme politik. Setelah membahas masalah negara bagian ini, Birch mengkaji fenomena pressure group di Amerika Serikat. 

Pluralisme Negara Bagian Amerika Serikat: Kasus Bergabungnya Konfederasi ke dalam Federasi

Birch mencatat, pemikir Pluralis pertama di Amerika Serikat adalah James Madison dan Alexander Hamilton. Keduanya umum dianggap sebagai founding fathers Amerika Serikat dan aneka tulisan mereka (juga Ben Franklin, Andrew Jackson) kerap disebut The Federal Papers. Obyek dari Pluralisme mereka adalah kasus negara bagian Amerika Serikat. Madison dan Hamilton mengajukan proposal yang hendak mengubah konfederasi longgar negara bagian menjadi Federal. 

Secara metodologis, Birch mengungkap 4 hipotesis, 1 pernyataan normatif, dan konklusi terhadap proposal Madison dan Hamilton. Empat hipotesisnya sebagai berikut:[8]
  1. Para politisi tidak termotivasi oleh altruisme ataupun kepentingan publik, sebaliknya, mereka menikmati penggunaan kekuasaan dan cenderung akan memaksimalisasinya manakala memperoleh kesempatan.
  2. Konflik kepentingan dalam masyarakat tidak terelakkan, lalu konflik akan mendorong pertikaian antar faksi. Kepentingan tersebut misalnya tanah, pabrik, perdagangan, atau masalah keuangan.
  3. Aneka faksi dalam masyarakat, apabila tidak dikoreksi pihak lain, cenderung memaksimalisasi kepentingan sendiri dan merugikan pihak lain. 
  4. Aneka faksi dipimpin atau diwakili para politisi yang diharapkan menggunakan kekuasaannya untuk mempromosikan kepentingan faksionalnya.
Pernyaataan normatif dari Madison dan Hamilton adalah, Amerika harus mengorganisir sistem pemerintahannya sehinga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain. Dominasi disebut Madison sebagai perampasan hak (deprivation of rights). Konklusinya adalah, penggabungan 13 negara bagian ke dalam Federasi sangat dikehendaki, atas dasar peningkatan jumlah dan perbedaan faksi mereduksi kemungkinan satu faksi mendominasi faksi lain.

Jika Madison dan Hamilton adalah ‘suara dari Utara’ maka John C. Calhoun adalah ‘suara dari Selatan.’ Calhoun khawatir apabila pihak Utara mendominasi Kongres, maka mereka akan memanfaatkan kemayoritasannya untuk menghapus perbudakan (cara produksi penting bagi pihak Selatan). Calhoun menyatakan apabila konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) diterapkan pada pemerintahan perwakilan, maka kepentingan minoritas geografis di Amerika akan terlindungi 

Calhoun menganggap konsep mayoritas bersaing ini termaktub dalam konstitusi Amerika. Setiap negara bagian punya perwakilan yang sama di Senat. Pengakuan lainnya adalah, harus ada 2/3 suara dari seluruh negara bagian sebelum amandemen konstitusi diloloskan. Esensi argumentasi Calhoun adalah prinsip kesetaraan suara harus diperluas lewat konvensi, sehingga mayoritas numerik di Kongres tidak akan pernah menggunakan kekuasaannya untuk memotong kepentingan negara bagian tertentu. Calhoun memperingatkan, jika pihak Utara menolak konvensi ini semata karena hendak menghapus perbudakan, maka Selatan akan keluar dari Federasi. Setelah perdebatan di atas, meletuslah Perang Saudara di Amerika, perang antara Utara versus Selatan. 

Birch menarik suatu garis, bahwa fenomena perdebatan Utara-Selatan sebagai bentuk Pluralisme politik yang didasarkan atas seksional (geografis). Pasca Perang Saudara, Amerika mengalami reintegrasi dan Pluralisme yang obyeknya isu kepentingan negara bagian meredup. Keredupan ini, catat Birch, akibat meningkatnya teknologi komunikasi dan industri, yang membuat Amerika semakin homogen.[9] Homogenisasi ini membuat egosektoral Utara dan Selatan berkurang secara signifikan. 

Namun, tahun 1950 Pluralisme negara bagian ini kembali muncul lewat Herbert Agar. Agar menyatakan “kebijakan federal yang sukses cenderung mengikuti aturan Calhoun tentang mayoritas bersaing. Setiap kepentingan yang cukup kuat untuk menimbulkan permasalahan harus dipuaskan dahulu sebelum melakukan hal lainnya.”[10] Catatan lainnya diajukan A. N. Holcombe, yang menyatakan bahwa penyederhanaan partai politik (secara tidak alamiah) tidak diharapkan dan mungkin tidak bisa berjalan di negara yang sangat heterogen seperti Amerika Serikat. Nilai dari Federasi adalah penerimaan hak minoritas untuk memveto kebijakan dianggap tidak bisa ditoleransi. 

Pluralisme Kelompok Penekan (Pressure-Group)

Birch mencatat sejak 1950an terjadi peralihan lokus studi Pluralisme politik dari aspek seksional (geografis, negara bagian) menjadi peran kelompok kepentingan yang terorganisir. Kelompok-kelompok ini berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 

Studi awal mengenai kelompok penekan ini adalah The Group Basis of Politics dari E. Latham tahun 1952. Bagi Latham, pressure-group (kelompok penekan) adalah entitas politik yang mendasar, sehingga proses politik tidak lain adalah perjuangan antara kelompok ini.[11] Latham melanjutkan, tugas Legislator sebagai wasit pertarungan antar kelompok, meratifikasi kemenangan dari koalisi antarkelompok yang sukses, dan mencatatnya ke dalam statuta negara. Dalam proses pemungutan suara, suara Legislatif di setiap isu cenderung mereprentasikan komposisi kekuatan (perimbangan kekuatan) dari pressure-group yang saling bersaing. Kebijakan publik adalah equilibrium, hasil pertarungan aneka pressure-group ini. [12]

Bagi Birch, satu buku yang cukup berpengaruh tentang fenomena pressure-group ini The Governmental Process yang ditulis Harry Truman tahun 1951. Truman melakukan sintetisasi atas aneka studi di dalam lokus pressure-group ini. Truman enggan menggunakan konsep ‘pressure-group’ (kelompok penekan) karena maknanya yang pejoratif (berarti political abuse), dan menggantinya dengan interest-group (kelompok kepentingan) Bagi Truman, istilah interest-group lebih netral ketimbang pressure-group

Birch membantah permainan istilah dari Truman. Bagi Birch, istilah interest-group apabila diterapkan di era kekinian akan menyebabkan kerancuan bagi ilmuwan politik. Bagi Birch, pressure-group adalah seluruh kelompok yang berusaha menggunakan kekuatannya saat suatu kebijakan tengah dibuat atau dilaksanakan.[13] Pressure-group terdiri atas interest-group dan promotional-group. Interest-group adalah kelompok yang fungsinya mempertahankan atau memajukan kepentingan material anggotanya. Promotional-group adalah kelompok yang ingin mempromosikan nilai atau posisi khusus mereka.[14]

Birch mencontohkan, dalam kebijakan pertahanan, ada dua posisi berbeda sehubungan dengan pressure-group ini. Ada kelompok yang berusaha mempertahankan kepentingan perusahaan yang lingkup bisnisnya di area pertahanan. Kelompok lainnya berposisi menentang persenjataan, yang setiap anggotanya berbagi sikap moral dan perilaku terkait kebijakan pertahanan. Contoh lainnya, masih menurut Birch, dalam masalah hukum aborsi. Ada kelompok yang mewakili kepentingan paramedis (dokter, perawat, dan pemilik klinik aborsi). Di sisi lain, ada kelompok lain yang menganggap aborsi itu sebagai masalah moral: Benar ataukah salah. 

Perbedaan antar kelompok ini tercermin dari kekuataan finansial, akses atas sumberdaya, dan aneka taktik yang mereka terapkan dalam mempengaruhi kebijakan. Interest-group kerap diajak konsultasi oleh agen-agen pemerintah sehingga kelompok ini memiliki jejak dalam proses pembuatan keputusan. Pada sisi lain, promotional-group lebih fokus pada kampanye dan demonstrasi publik dalam menyikapi kebijakan.[15] Dengan demikian, pressure-group adalah konsep yang dianggap Birch lebih tepat dalam analisis Pluralisme politik kelompok. 

Kajian pressure-group dalam studi Pluralisme politik tahun 1950an bersifat lebih metodologis. Masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ilmuwan politik apakah posisi pressure-group di luar atau di pinggiran proses pemerintahan. Namun, Pluralisme politik memandang eksistensi pressure-group ini terletak di jantung proses pembuatan keputusan pemerintah.[16]

Pentingnya pressure-group dalam politik Amerika tidak lepas dari kemampuan sistem Demokrasi Amerika menciptakan equilibrium atas aneka tekanan aneka kelompok masyarakat yang saling bersaing. Dengan demikian, yang hebat itu bukanlah pressure-group melainkan sistem Demokrasi Amerika. Birch juga mencatat, Truman memperkenalkan konsep potential interest-group yang dapat dianalogikan dengan konsep invisible hand Adam Smith.[17] Dalam konsepnya, Adam Smith menunjukkan bahwa benturan kepentingan ekonomi para kapitalis tidak akan meruntuhkan sistem ekonomi Amerika karena ada ‘tangan tak telihat’ yang mengaturnya. Demikian pula dalam konteks benturan kepentingan antar pressure-group, sistem Demokrasi Amerika akan menciptakan equilibrium, sehingga benturan tadi tidak akan meruntuhkan sistem Demokrasinya. 

Faktor lain yang membuat benturan antar pressure-group adalah overlaping keanggotaan mereka, yang mencakup overlaping keanggotaan aktual maupun potensial. Salah satu konklusi Truman yang dicatat Birch dalam hal overlaping ini adalah, keanggotaan ganda dalam aneka kelompok potensial yang didasarkan atas kepentingan para anggotanya sendiri. Inilah yang berfungsi sebagai roda penyeimbang dalam sistem politik Amerika. Konklusi ini ditafsirkan sebagai Teori Demokrasi Amerika sebagai sistem perimbangan tekanan berbagai kelompok. Era 1950an sistem politik Amerika ditandai kuatnya pengaruh kelompok yang mewakili kepentingan petani, dokter, dan bisnis. Pengaruh mereka ini lebih besar ketimbang kelompok lain yang mewakili kepentingan penghuni daerah kumuh, ras minoritas, klien medis atau klien hukum.[18] Warna kebijakan politik Amerika era tersebut akan lebih diwarnai oleh kepentingan kelompok yang banyak melakukan tekanan ketimbang yang tidak. 

Sehubungan dengan tingginya peran pressure-group dalam politik Amerika, Max Lerner, seperti dikutip Birch, menyatakannya dalam buku American as a Civilization. Dalam buku tersebut Lerner menyatakan bahwa kekuasaan di Amerika adalah Plural dan cair, ia bercorak banyak faset ketimbang seragam dan terpecah ke dalam sejumlah kelompok. Lerner melanjutkan, Pluralis, Pragmatis, dan Federalis adalah karakter politik Amerika. Karakter ini mendorong perkembangan seni kompromi dan pencapaian kesetimbangan antar kekuatan yang bersaing.[19] Dahl menambahkan, seperti dikutip Birch, setelah membandingkan sistem politik Amerika dengan negara lain, terkuak satu fitur menonjol yaitu memungkinkan minoritas terorganisir untuk memblok, memodifikasi, atau menunda sebuah kebijakan yang mereka tentang.[20]

Birch mencatat, di Amerika, suatu organisasi bernama National Rifle Association berhasil mempertahankan kendali kepemilikan senjata api secara efektif selama bertahun-tahun, kendati mayoritas publik Amerika tidak menyetujuinya. Ini merupakan wujud minoritas yang bisa mempertahankan kepentingannya tatkala berhadapan dengan mayoritas. Bagi Birch, pembelaan Dahl atas Pluralisme dalam hal ‘menangnya’ minoritas ini karena kemampuan Pluralisme Amerika dalam memberi kesempatan warganegara atau kelompok yang ingin kepentingannya terlindungi, kendati terbatas, dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. 

Birch juga melansir pendapat Charles Lindbloom, yang menyatakan Pluralisme politik tidak hanya Demokratis tetapi juga menghasilkan kebijakan yang dihendaki. Pluralisme politik menciptakan kondisi partisan mutual adjusment.[21] Bagi Lindbloom masyarakat industri modern sudah sangat rumit strukturnya sehingga pemerintah sangat sulit menerapkan kebijakan politik terencana yang komprehensif. Akibatnya, mereka menyerahkan pada mekanisme penyesuaian kepentingan (partisan mutual adjusment). Dari partisan mutual adjusment ini legislatif dan eksekutif dapat banyak masukan untuk merancang suatu kebijakan. 

Namun, seperti dicatat Birch, kecenderungan tahun 1950an ini berubah di era 1960an. Robert Dahl menerbitkan Who Governs? yang mengalihkan perhatian dari peran pressure-group di Kongres menuju politik kewilayahan (municipal politics). Kajian Dahl ini, menurut Birch, adalah reaksi Dahl atas penelitian sejumlah sosiolog atas fenomena struktur kekuasaan dalam komunitas. Para sosiolog tersebut menyimpulkan municipal politics didominasi para Elit mapan yang berasal dari kelompok warganegara kelas atas. Para sosiolog ini menyatakan bahwa para Elit ini berposisi mengatur masalah masyarakat lokal, mengatur kerja para politisi dan pejabat yang terpilih. Para sosiolog, secara lebih lanjut, menyatakan terdapat power elite dalam municipal politics di Amerika.

Birch kemudian melanjutkan, Dahl dan juniornya Nelson Polsby, memeriksa metodologi penelitian yang dilakukan para sosiolog tersebut dan menyimpulkan terjadi kesalahan metodologis sehingga mendorong pengambilan kesimpulan yang keliru.[22] Dahl kemudian melakukan studi mengenai temuan power elite ini di New Haven. 

Dari studi Dahl, seperti dicatat Birch, pemerintahan di New Haven adalah arena konflik antara kelompok dan faksi kecil. Terdapat sejumlah faksi berbeda yang menjadi pemenang di wilayah kebijakan berbeda. Studi Dahl juga memperlihatkan bahwa justru anggota Elit sosial di kota tersebut tidak terlalu aktif atau berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, menurut Dahl tidak tepat apabila Elit sosial secara otomatis diidentifikasi sebagai pula Elit politik.[23] Tiga temuan lain Dahl dari New Haven, seperti dicatat Birch adalah: (1) Tidak terdapat bukti bahwa semua kelas dan kelompok di New Haven punya kekuasaan atau akses yang sama pada kekuasaan; (2) Tidak terdapat bukti pengambilan keputusan tidak didominasi oleh nilai-nilai kelas menengah; (3) Tidak terdapat bukti bahwa New Haven adalah tipikal seluruh kota Amerika atau struktur politiknya dapat mikrokosmos seluruh struktur politik Amerika.[24] Temuan Dahl ini, kemudian akan dijadikan patokan Birch dalam analisisnya mengenai Elitisme politik. 

Pluralisme dan Demokrasi

Dalam menghubungkan konsep Pluralisme dan Demokrasi, Birch mengajukan dua pertanyaan berikut: (1) Apakah sistem pemerintahan yang Pluralis pasti Demokratis? dan (2) Apakah sistem pemerintahan yang Demokratis pasti Pluralis? Bahasan Birch selanjutnya akan didasarkan pada dua pertanyaan ini.[25]

Bagi Birch, jawaban pertanyaan pertama adalah negatif. Pluralisme sudah pasti cocok untuk Demokrasi tetapi tidak cocok untuk Totalitarianisme. Selanjutnya Birch membahas mengapa Plurarisme tidak cocok bagi pemerintahan Totalitarian.

Apabila mengizinkan Pluralisme, pemerintahan Totalitarian tentu tidak dapat secara total mengendalikan masyarakat apabila aneka organisasi otonom diizinkan mengeksekusi pengaruh sosial dan politik mereka. Bagi Birch, tidaklah sulit membayangkan sebuah sistem pemerintahan yang dicirikan oleh persaingan antar kelompok terorganisir yang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan sehingga apa jadinya suatu rezim Totalitarian? Namun, apabila hanya sebagian kecil warganegara yang diizinkan berpartisipasi dalam kehidupan politik kondisi tersebut adalah tidak Demokratis. Ketidakdemokratisan ini juga terjadi apabila terdapat kelompok dominan yang memanfaatkan kekuatan negara untuk mengeksklusi kelompok lain dari persaingan. 

Birch merujuk hal semacam ini terjadi di Inggris pada periode 1688 – 1867, Jerman di bawah kekuasaan Otto von Bismarck, dan Perancis di era Kekaisaran Kedua. Birch juga melansir, sistem-sistem pemerintahan pra moderen sebagai Pluralis manakala terjadi perjuangan politik antara gereja, pemilik tanah, petani, dan pedagang. Namun, manakala mereka tidak melibatkan warganegara secara luas, tidaklah mereka dapat disebut Demokratis. 

Selanjutnya, Birch membahas pertanyaan kedua, yaitu apakah sistem Demokratis pasti Pluralis? Bagi Birch itu bergantung pada apa definisi Pluralis yang digunakan.[26] Tidak semua pemerintahan Demokratis ditandai fenomena seksional negara bagian seperti Amerika (Pluralisme geografis). Eropa justru memiliki wilayah geografis lebih kecil dan masyarakatnya relatif homogen. Eropa (kecuali Swiss) ditandai sistem pemerintahan yang lebih sentralistik. Dengan demikian, sulit apabila menerapkan lokus Pluralisme pada aspek geografis di Eropa. Juga, ini bukan berarti negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Denmark, atau Swedia kurang Demokratis ketimbang Amerika karena tidak munculnya Pluralisme berdasar seksionalisme (geografis). 

Sebaliknya, apabila definisi Pluralisme versi Truman dan Latham diterapkan, yaitu sistem politik dengan mana pressure-group bersaing dalam mempengaruhi pengambilan keputusan negara, maka semua Demokrasi moderen punya dimensi Pluralis.[27] Pressure-group ini mungkin lebih menonjol di satu negara ketimbang lainnya. Pressure-group ini juga berbeda variasinya akibat kepemilikan sumberdaya dan taktik yang dipergunakan. Namun, terlepas dari hal tersebut, pada suatu sistem pemerintahan yang dicirikan kemerdekaan berorganisasi dan komunikasi politik yang bebas, pressure-group menemui eksistensinya. Hal penting yang harus dikemukakan, menurut Birch, adalah sejauh mana kegiatan pressure-group ini menguntungkan atau justru merugikan kepentingan publik. Bagi Birch hal ini semata masalah penilaian politik (political judgement) bukan masalah analisis konsep maupun teoretik Pluralisme.[28]

Bagi Birch, beberapa sistem negara Demokrasi lebih nyata kadar Pluralismenya ketimbang negara lainnya. Amerika adalah satu contoh ekstrim, tidak hanya akibat seksionalisme geografis dan desentralisasi sistem pemerintahan, melainkan juga di Washington, cabang eksekutifnya cenderung lebih lemah ketimbang di negara Demokrasi Eropa. Konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikombinasikan lemahnya disiplin partai di Kongres, membuat eksekutif sulit mewujudkan draft legislasi menjadi undang-undang manakala ada satu atau beberapa kelompok berpengaruh menentangnya. Eksekutif bahkan sulit memperoleh persetujuan anggaran tahunan, sementara di negara Demokrasi Parlementer, proposal anggaran ini justru diterima secara taken for granted.[29]

Di negara-negara Eropa, Pluralisme politik akibat seksionalisme geografis kurang signifikan ketimbang pressure-group. Pressure-group mendapat posisi penting di Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan Australia.[30] Namun, hasil kerja dari pressure-group di Eropa berhadapan dengan suara Parlemen. Kerap suara pressure-group kurang ditanggapi dan sehubungan dengan isu yang mereka suarakan, pemerintah dapat saja melakukan sosialisasi kepada seluruh warganegara sehingga mentransfer isu yang dibawa pressure-group ini ke dalam collective mind. Sebab itu pemerintahan Demokrasi di Eropa mampu mengimbangi peran pressure-group ketimbang di Amerika. [sb] 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] David Schlosberg, “The Pluralist Imagination” dalam John S. Dryzek, Bonnie Honig and Anne Phillips, eds., The Oxford Handbook of Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 2006) p. 143. 
[2] Anthony Harold Birch, Concepts and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London: Routledge, 2001) pp. 177– 212. 
[3] Ibid., p. 177. 
[4] Paul Q. Hirst, ed., The Pluralist Theory of the State: Selected Writings of G. D. H. Cole, J. N. Figgis, and H. J. Laski (London: Routledge, 1993) p. 1. 
[5] Ibid., p. 2 
[6] Ibid. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid., pp. 177 – 8. 
[9] Ibid., p. 179. 
[10] Calhoun seperti dikutip dalam ibid., p. 179. 
[11] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.,., p. 179. 
[12] Ibid. p. 179 – 80. 
[13] ibid., p. 180. 
[14] ibid. 
[15] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 180. 
[16] Ibid.., p. 180. 
[17] Ibid. 
[18] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 181. 
[19] Max Lerner seperti dikutip Birch dalam ibid. p. 181 – 2. 
[20] Robert Dahl seperti dikutip Birch dalam ibi.d, p. 182. 
[21] Charles Lindbloom seperti dikutip Birch dalam ibid. 
[22] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 183. 
[23] ibid., p. 183. 
[24] Temuan Dahl ada empat, tetapi untuk membuat tulisan ini tidak terlampau panjang hanya dimuat 3 saja. Dahl dalam ibid., p. 183. 
[25] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 183 – 4. 
[26] ibid., p. 184. 
[27] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 184. 
[28] ibid., p. 185. 
[29] ibid. 
[30] Pemerintahan Australia banyak dijalankan oleh orang Eropa, kendati secara geografis wilayahnya di pasifik, bukan Atlantik.

Saturday, November 9, 2019

Demokrasi Pemerintahan Rakyat atau Mayoritas


Demokrasi pemerintahan rakyat atau mayoritas adalah wujud dilematis bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dipraktekkan di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis, dinyatakan Rousseau sebagai bukan Demokrasi, tetapi perbudakan. Bagi Rousseau, Demokrasi sekadar menghasilkan oligarki para wakil rakyat yang cuma memberi perhatian pada kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Lalu, bagaimana kemudian Demokrasi meski dikritik secara keras oleh Rousseau, tetap jadi pilihan cara memerintah suatu negara ?

Pendahuluan 

Jawaban atas kritik Rousseau dapat kita temukan pada tulisan Jack Lively. Tulisan Jack Lively mengenai Demokrasi, tepatnya mengenai pemerintahan oleh rakyat dan mayoritas, mengantarkan kita ke dalam pemahaman Demokrasi di era saat ini. Lively menyodorkan aneka argumentasi praktis sekaligus kritis dalam membedah kedua konsep tersebut. Ia tidak lagi bicara apakah Demokrasi itu bentuk pemerintahan yang baik atau tidak, melainkan Demokrasi diterima sebagai sistem pemerintahan yang aktual berlaku di negara moderen dan bagaimana aspek pragmatisnya. 

Sejak awal, Lively tidak menampakkan sulitnya pendefinisian Demokrasi. Baginya, konsep ini punya sejarah panjang dan secara konsisten telah sering dipergunakan.[1] Inti dari Demokrasi adalah demos yaitu rakyat melakukan pemerintahan, dan pihak yang banyak (many) memegang kekuasan lebih besar ketimbang yang sedikit (few). Pembedaan ini bukan merupakan hal baru mengingat di era lebih lampau, Aristoteles sudah menggunakan pengertian ini. Namun, penambahan konsep political equality (kesetaraan politik) yang membuat kebaruan dari konsep Demokrasi di era kini. Penambahan konsep ini mendorong munculnya konsep baru yaitu ‘Demokratis’, yaitu dengan mana demokrasi dijalankan berdasarkan kesetaraan politik. 

Lively lebih lanjut mengelaborasi dua konsep, yaitu rule dan the people. Kedua konsep inilah yang nantinya membedakan antara Demokrasi dalam pikiran Lively dengan apa yang terdapat dalam pemikiran Aristoteles atau aneka filsuf politik lainnya saat bicara mengenai Demokrasi. Lively lebih dahulu menetapkan batasan, apakah konsep the people diartikan sebagai adanya kehendak yang homogen bagi seluruh anggota komunitas, sehingga keputusan politik dapat disepakati oleh keseluruhan? Bagi Lively, konsep kedaulatan rakyat kerap diselewengkan oleh rezim berkuasa untuk membenarkan pembungkaman atas oposisi, yang perilakunya oleh sang rezim dinilai bertentangan dengan kehendak rakyat. Kehendak rakyat ini tentunya seperti ditafsirkan oleh sang rezim sendiri.[2] 

Untuk keluar dari dilema ‘kehendak rakyat’ ini, atau dalam bahasa Rousseau disebut general will, Lively kemudian memberi penekanan praktis atas apa yang ia sebut prinsip mayoritas. Tentu saja, prinsip mayoritas yang dimaksud Lively berbeda dengan apa yang diajukan Aristoteles di masa lampau.[3] Lively juga berbeda pendapat dengan Rousseau karena ia melepaskan diri dari konsep general will yang mungkin dinilainya terlampau abstrak. Secara tegas, bagi Lively, yang dimaksud kedaulatan di dalam negara adalah kedaulatan mayoritas, bukan rakyat. Namun, prinsip mayoritas ini disikapi Lively secara hati-hati dan dipahami lebih secara pragmatis ketimbang ideologis layaknya Rousseau manakala memperkenalkan konsep general will yang tidak pernah bisa salah dan Daulat sebagai wujud aktifnya dalam negara. 

Ambiguitas lain yang dipersoalkan Lively adalah konsep rule. Lively beranggapan bahwa pada satu sisi, many (yang banyak) tidak bisa memerintah secara totalitas, tetapi pada sisi lain, yang banyak ini mungkin dan dapat saja memerintah pada sebuah sistem politik dengan sejumlah kondisi yang harus dipertimbangkan secara pragmatis.[4] 

Lively melanjutkan, apabila di saat memerintah negara menghendaki keberlakuan haknya (otoritas) untuk memerintah pihak lain, sistem Demokrasi tidak bisa mengelak dari terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan sedikit orang. Persoalan-persoalan ini sesungguhnya tidaklah baru, karena Rousseau di era sebelumnya sudah mempermasalahkan ini dalam pembahasannya mengenai pejabat yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Lively secara lebih pragmatis menyadari, bahwa kendati mayoritas adalah pihak yang patut mengambil keputusan pemerintahan dan penyusunan legislasi, secara empiris hal tersebut tetap tidak mungkin, sebab secara aktual, keputusan selalu diambil oleh sekelompok kecil pemimpin. Pada sisi lain, Lively mengajukan argumen, jika yang dimaksud dengan pemerintahan rakyat adalah pemerintah yang bertindak dan mengikuti keinginan dari yang banyak, maka dapat saja sistem politik seperti itu (dimana eksekutif dan legislatif adalah mewakili rakyat) disebut sebagai pemerintahan rakyat. Di sini letak pragmatisme Lively ketimbang Rousseau. 

Sebelum masuk pada analisis kritis atas pemikiran Lively, perlu disampaikan bahwa tema tulisannya yang akan dikritisi telah dispesifikasi. Dua tema besar tulisan Lively adalah Prinsip Pemerintahan oleh Mayoritas dan Pemerintahan oleh Rakyat. Tema pertama dielaborasinya menjadi sejumlah sub tema seperti tingkat kewarganegaan, keputusan mayoritas, dan kesetaraan politik, Tema kedua dipecah menjadi sub-sub tema persyaratan yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, persyaratan yang tidak mencukupi, dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Critical review ini akan mengikuti alur tema dan sub-sub tema tulisan Lively di dalam bukunya, Democracy. 

Prinsip Mayoritas 

Bahasan Lively mengenai prinsip mayoritas diawali tanggapannya atas definisi Demokrasi yang diajukan Lord Bryce.[5] Bryce mendefinisikan Demokrasi sebagai “pemerintahan dengan mana kehendak mayoritas warganegara yang memenuhi syarat, melakukan pemerintahan.”[6] Pertama, bagi Lively definisi tersebut dekat dengan prinsip mayoritas, sebab agar Demokratis, pembuat keputusan harus terdiri atas pihak mayoritas dalam komunitas. Kedua, prosedur yang diikuti pembuat keputusan harus merupakan hasil dari ketetapan mayoritas pula. Problem dari definisi Bryce, bagi Lively, adalah dicantumkannya konsep warganegara (citizen) yang olehnya kemudian dielaborasi secara lebih lanjut. 

Tingkatan Kewarganegaraan 

Baik Aristoteles maupun Rousseau secara khusus menyinggung konsep warganegara saat bicara mengenai Demokrasi.[7] Lively, pun serupa bahwa konsep ini memegang peran cukup penting untuk dielaborasi dalam kaitannya dengan konsep Demokrasi. Secara sederhana, Lively mendefinisikan warganegara sebagai “one who takes part in political decision-making.”[8] Masalah bagi Lively adalah, warganegara mana yang ambil bagian dalam pengambilan keputusan tersebut? 

Untuk merespon pertanyaan ini, Lively melakukan sejumlah perumpamaan. Manakala mayoritas anggota suatu komunitas berusia non dewasa, apakah pembatasan warganegara yang bisa mengambil keputusan politik hanya pada mereka yang berkategori dewasa saja, dapat disebut Demokratis? Perumpamaan lainnya adalah kondisi dimana: (a) minoritas kecil anggota komunitas adalah kulit hitam dan wanita yang ditolak kewarganegaraannya; (b) yang diakui kewarganegaraannya adalah kulit putih dan pria. Dari dua kondisi (a dan b) tersebut apakah ‘Demokratis’ layak disandangkan pada komunitas tersebut? Menurut Lively, kasus usia non dewasa dan minoritas kecil (wanita dan kulit hitam) merupakan konsekuensi akibat penerapan prinsip mayoritas dalam Demokrasi. Demokrasi di sini dikaitkan dengan proses politik. Lively ingin menunjukkan bahwa dalam Demokrasi, mayoritas mungkin saja dikecualikan dari proses politik (kasus non dewasa) dan apabila terjadi di kasus minoritas wanita dan kulit hitam yang dikecualikan, maka sistem politik dinyatakan tidak Demokratis. 

Bagi Lively, ‘banyak’ (many) dalam konteks pemerintahan oleh yang banyak bukan semata masalah mayoritas secara numerik, melainkan lebih kepada masalah prinsip. Mereka yang di bawah umur harus dikecualikan dari proses politik, sementara kendati mereka minoritas, kaum kulit hitam dan wanita harus diikutsertakan dalam proses politik apabila sudah memenuhi syarat usia (dewasa). Masalah dalam pemerintahan oleh yang banyak di sini bukanlah bersifat rasial, melainkan kompetensi. Kaum wanita dan kulit hitam dewasa memiliki kompetensi politik yang sama dengan kulit putih dan laki-laki dewasa, sementara mereka yang belum dewasa dinyakan belum memilikinya. 

Dalam masalah kompetensi ini, Lively melanjutkan argumentasinya mengenai tingkat kewarganegaraan. Bagi Lively, tingkatan kewarganegaraan bergantung pada kualitas individu seperti apa yang perlu ada bagi sebuah kompetensi politik dan bagaimana cara mendistribusikannya di tengah komunitas (sistem politik atau negara).[9] Lively menjawab persoalan ini dengan menyatakan bahwa kualitas kompetensi politik sangat bergantung pada tujuan dari sistem politik. Jika tujuan dari sistem politik adalah pengamanan properti, maka individu yang cenderung memperjualbelikan properti negara harus dikecualikan dari proses politik. Parameter tujuan dari sistem politik ini pun berimplikasi pada batasan kewarganegaraan yang juga ditentukan berdasarkan distribusi kualitas relevan seperti apa yang harus dipenuhi. Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis bahwa seperti apa kualitas yang harus dikuasai warganegaranya harus sejalan dengan tujuan sistem politik. 

Masalah korelasi antara kualitas warganegara dengan tujuan sistem politik pun terjadi di era Demokrasi Yunani Kuno tahun 528 – 322 sM.[10] Tentu saja, warganegara yang dimaksud terbatas pada laki-laki merdeka, bukan budak. Kompetensi warganegara yang diharapkan adalah mereka yang mampu menerima panggilan tugas menjadi pasukan hoplite (tombak panjang), mendukung keuangan negara kota dengan sejumlah cara, menghargai orang tuanya, patuh pada hukum negara kota, dan melakukan perilaku seksual sesuai norma. Dengan demikian, masalah tingkatan kewarganegaraan seperti diujarkan oleh Lively dalam konteks Demokrasi sesungguhnya punya akar sejarah yang sangat panjang. 

Dalam proses politik komunitas, Lively tidak sepakat bahwa masalah rasial, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi menjadi tolak ukur pengecualian dalam prinsip mayoritas. Bagi Lively, ras bukan masalah kompetensi individual karena merupakan unsur primordial manusia: Setiap ras adalah setara. Juga, Lively tidak sepakat dengan pernyataan stereotip bahwa masyarakat dari satu budaya lebih terbelakang dari anggota budaya lain. Lively dengan demikian dapat disebut sebagai pemikir politik yang egaliter. Bagi Lively, pengecualian kesetaraan warganegara sebagai syarat untuk terlibat dalam proses politik harus ditempatkan semata pada kualitas individual. Bagi Lively, mereka yang gila atau di bawah usia sangat memungkinkan untuk dikecualikan sebagai kategori warganegara yang dapat terlibat dalam proses politik. Mereka tetap warganegara tetapi harus dikecualikan dari proses politik karena kompetensinya tidak memadai untuk memilih atau dipilih ke dalam jabatan publik. 

Keputusan Mayoritas 

Lebih lanjut, Lively mengetengahkan bahasan seputar keputusan mayoritas. Secara pragmatis, Lively menganggap bahwa masalah keputusan mayoritas bukan monopoli Demokrasi saja. Masalah ini selalu akan muncul baik suatu pemerintahan menganut Demokrasi atau tidak.[11] Lively mencontohkan, kelompok bangsawan herediter (mungkin maksudnya Aristokrasi) juga memiliki masalah ini, tetapi mereka cenderung dapat membuat keputusan secara damai mengingat satu sama lain sudah saling mengenal, berhubungan kerabat, dan jumlahnya hanya sedikit. 

Parameter utama dalam prosedur pembuatan keputusan, menurut Lively, adalah harus adanya kesetaraan di antara individu yang membuat keputusan tersebut.[12] Setelah parameter ini terpenuhi, Lively kemudian mengidentifikasi lima macam prosedur pembuatan keputusan, yaitu: (1) Syarat suara bulat (unanimity requirement); (2) Syarat mayoritas yang ditetapkan (stipulated majority requirement); (3) Syarat minoritas (minority requirement); (4) Minoritas yang tertarik (interested minority); dan (5) Keputusan mayoritas sederhana (simple majority decisision).[13] 

Untuk prosedur yang pertama, syarat suara bulat, diberlakukan saat tidak ada kebijakan yang bisa diambil melainkan harus disetujui oleh semua yang terlibat. Dapat saja terjadi bahwa setiap individu memiliki hak veto, sekurangnya saat kebijakan tersebut baru dalam tahap perancangan. Dalam syarat mayoritas yang ditetapkan maka jumlah yang setuju terhadap kebijakan terlebih dahulu ditetapkan persentasenya sebelum sebuah kebijakan diadopsi. Bagi Lively, prosedur ini memiliki sejumlah varian. Salah satunya adalah absolut majority yaitu lebih dari 50% menyetujui manakala terdapat lebih dari dua alternatif pilihan. Prosedur ini juga dapat diberikan kepada kalangan minoritas yang diberikan hak veto atas suatu keputusan, yang tentunya ukuran minoritas seperti apa yang dapat melakukannya, harus pula ditetapkan sebelumnya. 

Prosedur ketiga adalah syarat minoritas, yang menetapkan bahwa alternatif keputusan dengan jumlah suara yang mendapatkan dukungan minoritas dapat menang. Prosedur keempat yaitu minoritas yang tertarik , yang dalam konteks ini, kelompok minoritas tertentu memegang kekuasaan pengambilan keputusan di area kebijakan khusus, dan kalangan minoritas lainnya di area berbeda. Prosedur yang kelima adalah keputusan mayoritas sederhana, yaitu alternatif kebijakan yang memperoleh suara terbanyak sajalah yang diadopsi. Lively berujar bahwa kelima prosedur pengambilan keputusan seperti telah diuraikan, harus diterapkan sesuai kondisi pragmatis tertentu. Ada kondisi-kondisi yang membuat satu atau beberapa prosedur tersebut tidak bisa diterapkan. Secara umum, apa yang disampaikan Lively mengenai kelima prosedur pembuatan keputusan bersifat sangat teknis. 

Hal prinsipil yang sesungguhnya hendak dijelaskan Lively melalui aneka prosedur pengambilan keputusan ini adalah, prinsip mayoritas dalam pembuatan keputusan tidak bisa ditetapkan secara hantam kromo melainkan harus memperhatikan kondisi komunitas keseluruhan, keberadaan kelompok minoritas, dan karakter alternatif kebijakan yang ingin dipilih. Kondisi-kondisi inilah yang menentukan dipilihnya salah satu atau lebih prosedur pembuatan keputusan. Satu prinsip yang ditekankan Lively dalam pemilihan prosedur pengambilan keputusan ini adalah kesetaraan politik, karena Demokrasi concern dengan maksimasi kesetaraan politik, yaitu harus meliputi baik kaum mayoritas dan minoritas.[14] Saat menghubungkan prosedur pengambilan keputusan dengan kesetaraan politik ini, Lively mengajukan konsep kesetaraan retrospektif dan kesetaraan prospektif.[15] 

Kesetaraan retrospektif berkenaan dengan keputusan yang telah dibuat, yang dianggap terjadi apabila setiap orang secara bersama ikut serta dalam menentukan keputusan tersebut. Kesetaraan prospektif sedikit lebih rumit karena merupakan prakondisi saat keputusan dalam posisi belum diambil. Kesetaraan ini terjadi (prospektif) apabila tidak ada orang atau kelompok, yang secara sengaja dibuat mereka tereksklusi manakala tiba saatnya keputusan diambil. 

Masih dalam konteks kesetaraan retrospektif, Lively menjelaskan, bahwa dalam sistem keputusan mayoritas, apabila terdapat minoritas yang tidak ikut menentukan sebuah keputusan, maka sejauh keputusan tersebut menjadi fokus perhatian minoritas, dapat dikatakan minoritas tersebut tidak mengalami kesetaraan retrospektif. Hanya jika tercapai suara bulat, dengan mana kesepakatan penuh atas sebuah keputusan terjadi, maka kesetaraan paripurna dalam (pengertian retrospektif) tercapai. Jadi, bagi Lively, hanya suara bulat saja (dimana kelompok minoritas dan mayoritas ikut serta) yang merupakan jaminan bahwa kesetaraan retrospektif terjadi. 

Namun secara paradoks, deadlock dalam prosedur pengambilan keputusan berdasarkan suara bulat sangat besar kemungkinannya. Lively mencontohkan, apabila terdapat dua pilihan kebijakan, di mana satu hendak mempertahankan dan lainnya hendak mengubah status quo, dan suara bulat merupakan prosedurnya, maka dapat diramalkan tidak akan terjadi kesepakatan bulat. Di sinilah deadlock akan terjadi akibat perbedaan pendapat yang niscaya dalam kasus tersebut. 

Lively menulis bahwa masalah deadlock akibat keharusan prosedur suara bulat ini pernah ditengarai Rousseau.[16] Tujuan Rousseau, menurut Lively, adalah merancang sistem politik yang mampu mengeliminasi segala bentuk ordinasi dan subordinasi antarsesama manusia. Rousseau beranggapan tujuan ini hanya dapat tercapai jika semua orang terikat oleh aturan sosial. Hanya jika terdapat kesepakatan penuh atas aturan sosial, maka semua orang dapat diangap sama kemerdekaan penuhnya. Lively menganggap Rousseau sangat mengupayakan terjadinya kesetaraan retrospektif, yang hanya dapat tercapai melalui prosedur suara bulat. Bagi Rousseau, (menurut Lively) pihak yang berbeda pendapatnya dalam pengambilan keputusan berdasarkan suara bulat , dinyatakan keliru dalam memandang kebaikan bersama (common good) karena telah keluar dari general will. 

Dalam politik pragmatis, Lively menyinggung masalah pengaturan oleh minoritas.’[17] Kondisi ini hanya dapat terjadi di dalam situasi poliarki, berupa aktivitas yang ditunjukkan oleh aneka kelompok penekan (pressure-group), yang aktivitasnya merambah pada pemerintahan, birokrasi, para legislator, partai politik, maupun opini publik. Tujuan mereka adalah memenuhi kepentingan kelompoknya melalui kebijakan tertentu dalam politik negara. Pengaturan (baca: proses pengambilan keputusan) oleh minoritas ini tentu tidak dilakukan oleh seluruh kelompok minoritas, melainkan hanya oleh kelompok tertentu yang cenderung bersikeras saja. Juga biasanya hanya berlingkup pada area kebijakan yang secara nyata mempengaruhi kepentingan atau eksistensi kelompok mereka. Kemungkinan adanya pengaturan oleh minoritas ini diterima secara positif oleh Lively, karena baginya justru hal tersebut dapat menjamin suara minoritas mereka terdengar di setiap tahap krusial dalam proses pengambilan keputusan. 

Gerakan politik dari kelompok minoritas yang berusaha memberikan pengaruh atas keputusan politik ini cukup menarik. Hasrat utama mereka untuk terlibat dalam aktivitas politik bergantung pada persepsi individu atau kelompok mengenai hubungan antara aktivitas yang ia (atau mereka) lakukan dengan sarana pencapaian kepentingannya.[18] Eksistensi kegiatan yang mereka lakukan relatif dipengaruhi tingkat pendidikan, keterampilan berorganisasi, waktu, uang, dan kemudahan akses mereka terhadap pemerintah, media massa, dan partai politik yang kelompok tersebut miliki. Apabila resources ini dimiliki, maka mereka akan mampu menjalankan partisipasi politik yang efektif. Lively mencatat bahwa aneka resources ini tidak dimiliki oleh the many (yang banyak). Hanya kelompok yang mampu memberikan benefit bagi anggota organisasinya, yang Lively yakini, akan lebih memiliki kekuatan ketimbang yang tidak. 

Lively kemudian melakukan bahasan khusus atas prosedur pengambilan keputusan oleh minoritas. Terlebih dahulu ia membedakan antara siapa yang memutuskan dan bagaimana mereka memutuskan.[19] Bagi Lively tidaklah absurd bahwa minoritas kecil yang mendorong diambilkan keputusan pemerintah mengenai suatu isu dalam komunitas. Namun, adalah absurd apabila dinyatakan bahwa siapapun yang mengambil keputusan harus menggunakan prosedur keputusan oleh minoritas. Jika pemberi suara paham prosedur, secara praktis ia akan mengkonversinya menjadi prosedur keputusan mayoritas. 

Bahasan Lively kemudian adalah prosedur pembuatan keputusan mayoritas sederhana. Secara kritis Lively menyatakan memang seolah-olah prosedur ini yang paling berkorelasi dengan kesetaraan politik. Bagi Lively, prosedur ini tidak memenuhi syarat kesetaraan retrospektif sejauh kelompok minoritas tidak ikut menentukan keputusan. Syarat kesetaraan retrospektif baru terpenuhi manakala konsensus lengkap atas sejumlah alternatif dihadirkan, tetapi kondisi konsensus ini tidak ada jaminannya dalam proses politik. 

Lively kemudian membahas kekhawatiran James Madison dan Alexis de Tocqueville akan adanya tirani mayoritas akibat pemberlakuan prinsip pemerintahan oleh mayoritas.[20] Lively membantah kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa keputusan oleh mayoritas merupakan prinsip operatif dalam Demokrasi Barat. Lively menyodorkan fakta bahwa secara kelompok (dalam konteks pemberian suara) tidak pernah ada mayoritas yang terus-menerus bersifat homogen (satu sikap) dalam memutuskan aneka isu. Indikasi yang aktual adalah mayoritas tersebut justru cairnya sifatnya akibat perubahan isu yang kerap terjadi antarwaktu. Lively menandaskan bahwa kelompok mayoritas ini tidak berbentuk tetap atau dapat diuraikan secara baku. Mayoritas ini juga tidak akan mengecualikan kelompok lain dalam pengambilan suatu keputusan. Lively menyebutnya sebagai kondisi kesetaraan prospektif, di mana hampir setiap individu tidak pernah melulu jadi minoritas dalam setiap isu kenegaraan. Tirani mayoritas hanya akan terjadi manakala minoritas sudah diidentifikasi sebelumnya, sementara mayoritas selalu terdiri atas komposisi kelompok yang sama dan bersikap sama di seluruh atau sebagian besar isu.[21] 

Kekhawatiran lain Madison dan Tocqueville, yang juga direspon Lively adalah, akan terjadi opresi atas ‘si kaya’ (yang minoritas) oleh ‘si miskin’ (yang mayoritas). Lively berargumentasi bahwa opresi yang keduanya maksud belum pernah terbukti aktualitasnya. Bagi Lively, justru ‘si kaya’ yang malah menguasai aneka taktik dalam mempengaruhi pengambilan keputusan selain metode konvensional (melalui kotak suara). Opresi bagi Lively baru mungkin terjadi manakala ‘si kaya’ yang minoritas tidak punya sarana dalam mempengaruhi kebijakan selain kotak suara. Fenomena tirani mayoritas juga baru akan terjadi manakala kelompok minoritas tidak punya sarana dalam mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Lively mencontohkan kaum Katolik di Irlandia Utara dan kulit hitam di Amerika Serikat, di mana tirani mayoritas terjadi. Kaum Katolik Irlandia Utara dikelilingi kaum Protestan Inggris, sementara kulit hitam Amerika Serikat dikepung oleh kulit putih. Kedua kasus ini berkisar di dalam sphere primordial ketimbang kompetensi individual: Kaum Katolik di Irlandia Utara dan kaum kulit hitam di Amerika tidak memiliki resource yang mencukupi untuk mempengaruhi kebijakan negara. 

Masalah tirani oleh minoritas atau mayoritas ini, bagi Lively, bukanlah masalah norma Demokrasi. Hal yang menjadi masalah adalah ternyata prinsip mayoritas tidak lantas menjamin operasionalisasi salah satu prinsip Demokrasi: kesetaraan politik. Kaum Katolik Irlandia Utara dan kaum kulit hitam Amerika adalah contohnya. Apapun prosedur pengambilan keputusan yang dipilih, apabila secara permanen tidak memasukkan kelompok-kelompok khusus akibat masalah primordial (yang berbeda dengan mayoritas) agar dapat mempengaruhi atau menentukan kebijakan komunal, maka komunitas tersebut tidak bisa disebut Demokratis.[22] Amerika Serikat, dalam pengertian, belum Demokratis hingga tahun 1964 manakala kaum kulit hitam diberikan hak pilih dalam Pemilu. Agak ironis memang. 

Kesetaraan Politik 

Lively menganggap aneka pembicaraan seputar konsep kesetaraan politik hingga di masanya masih bersifat abstrak. Ia menginginkan sesuatu definisi yang lebih operasional terhadap konsep ini. Anggapan Lively mengenai abstraknya pembicaraan konsep kesetaraan politik, dilukiskannya lewat dua kritik berikut: Pertama, kesetaraan politik tidak dapat dicapai oleh ketetapan konstitusional semata, tetapi bergantung pada nilai-nilai pengaturan sosial (norma masyarakat) yang tumbuh dari masyarakat sehingga diyakini mampu mempengaruhi pemerintah; Kedua, di negara moderen yang besar dan kompleks, akan sangat bermanfaat untuk dilakukan audiensi dengan warganegara saat keputusan bersama hendak dibuat.[23] 

Bagi Lively, baik hak pilih universal maupun pilihan prosedur pengambilan keputusan yang dianggap cocok, keduanya tidaklah cukup untuk menjamin terciptanya kesetaraan politik. Kesetaraan politik bergantung pada distribusi kehendak dan kemampuan warganegara untuk menggunakan hak-hak kewarganegaraan mereka sebagai sumber daya potensial untuk mempengaruhi keputusan yang berdampak pada masyarakat. 

Ironisnya, dalam hal kesetaraan politik ini, setiap individu ternyata berbeda tingkat keterlibatannya dalam proses politik. Perbedaan ini terletak pada aspek individualitas masing-masing individu, baik berupa sikap mereka akan posisi dirinya di dalam sistem politik maupun atas resource politik yang mereka miliki. Setiap individu memiliki perbedaan dalam kapasistas political efficacynya.[24] Political efficacy adalah pemahaman hingga tingkat mana seorang individu merasa dapat mengubah keputusan pemerintah yang mempengaruhi hidupnya, akses dirinya atas informasi dan kompetensinya dalam melakukan penilaian berdasarkan informasi tersebut, kemampuan dan kemauannya mencurahkan waktu dan uang guna melakukan partisipasi politik, serta pengalamannya dalam berorganisasi sosial. Tinggi rendahnya political efficacy dalam diri invidu dapat saja diakibatkan oleh pengaruh sistem politik. 

Lively juga menyatakan bahwa tumbuhnya sikap (political efficacy) yang mendorong partisipasi politik tidaklah tersebar merata (Lively mencontohkannya di Demokrasi Barat).[25] Latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, status sosial, adalah sejumlah faktor yang mempengaruhi kecenderungan individu untuk bertindak secara politik. Kesetaraan politik, dengan demikian, akan bervariasi antarindividu paralel dengan derajat kesetaraan sumber daya atau pengalaman di bidang lain. Bagi Lively adalah jelas, kesetaraan didasarkan atas parameter penguasaan kemakmuran ataupun kendali atas media massa yang mampu memberikan pengaruh langsung atas para pembuat keputusan, ketimpangan dalam penguasaan ini dapat berujung pada ketidaksetaraan politik warganegara. 

Namun, Lively juga melakukan pembelaan atas Demokrasi Barat manakala berhadapan dengan rivalnya dari rezim Sosialis-Komunis. Rezim terakhir ini kerap menyerang pihak pertama bahwa di negara Demokrasi Barat, kendati terdapat kesetaraan formal atas hak pilih, sumber kekuasaan politik yang nyata, yaitu penguasan alat dan cara produksi, sesungguhnya hanya dikuasai oleh kelas yang kecil jumlahnya. Pada sisi lain, lanjut Lively, terdapat klaim bahwa di negara Sosialis-Komunis, ketidaksetaraan penguasaan alat dan cara produksi telah diberantas oleh konsep Demokrasi Rakyat dan negara hanya punya satu kepentingan yang harus dilayani: Kepentingan ‘rakyat.’ Lively menyimpulkan bahwa kesetaraan politik bukan bergantung pada slogan kosong Demokrasi Barat atau Demokrasi Rakyat, melainkan pada prasyarat kesetaraan lain yang wajib ada terlebih dahulu, sebelum kesetaraan politik dapat tercapai. Dengan demikian, penentuan suatu rezim dinyatakan Demokratis atau tidak, bukan bergantung pada slogan, melainkan pada proses aktual yang dilaksanakan setiap rezim dalam menjamin terciptanya kesetaraan politik. 

Pemerintahan oleh Rakyat 

Dalam pembahasannya mengenai pemerintahan oleh rakyat, Lively membaginya menjadi sejumlah subtopik seperti persyaratan yang mungkin untuk pemerintahan rakyat dan persyaratan yang tidak mencukupi. Tulisan selanjutnya akan mengelaborasi konten dari tulisan Lively mengenai dua subtopik ini. 

Persyaratan Demokrasi agar dapat disebut Pemerintahan oleh Rakyat 

Lively langsung mengajukan syarat operasional mengenai apa yang dimaksud dengan pemerintahan oleh rakyat. Syarat tersebut bergradasi, dari yang paling kuat kaitannya dengan pemerintahan oleh rakyat hingga yang terlemah, sebagai berikut:[26] 

  1. Bahwa semua orang harus memerintah, dalam pengertian semua harus terlibat dalam proses legislasi, dalam menentukan kebijakan umum, dalam menerapkan undang-undang, dan dalam administrasi pemerintahan. 
  2. Bahwa semua orang harus secara personal terlibat dalam pembuatan keputusan yang krusial, yaitu dalam memutuskan perundang-undangan umum dan materi kebijakan umum. 
  3. Bahwa penguasa harus akuntabel dihadapan yang diperintah; mereka harus, dengan kata lain, wajib menjelaskan setiap tindakannya pada yang diperintah dan dapat diberhentikan oleh mereka. 
  4. Bahwa penguasa harus akuntabel di hadapan para wakil pihak yang diperintah. 
  5. Bahwa penguasa harus dipilih oleh yang diperintah. 
  6. Bahwa penguasa harus dipilih oleh wakil pihak yang diperintah. 
  7. Bahwa penguasa harus bertindak sesuai kepentingan pihak yang diperintah. 
Lively menjelaskan bahwa ketujuh premis di atas merupakan elaborasinya atas konsep pemerintahan oleh rakyat. Ketujuhnya sekaligus menjelaskan relasi yang berbeda-beda antara yang memerintah dengan yang diperintah. Semakin lemah hubungan, maka semakin sulit dikatakan suatu negara disebut Demokrasi. 

Lively kemudian memaparkan bahwa cukup sulit menerapkan premis 1, 2, dan 3 dalam konteks bernegara. Masalah utama yang muncul adalah efisiensi waktu, efisiensi lokasi pertemuan, dan kemungkinan banyaknya perdebatan. Dengan demikian, rasionalisasi atas penerapan aneka premis di atas salah satunya adalah pada besar-kecilnya asosiasi juga komunitas politik yang hendak menerapkannya. Juga, atas alasan ekonomi dan efisiensi, orang mungkin lebih memilih premis yang lebih terbatas seperti misalnya bahwa penguasa harus dipilih oleh pihak yang diperintah atau penguasa harus dipilih oleh wakil pihak yang diperintah. Pilihan pertama berlaku di sistem presidensil, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat seperti di Amerika. Pilihan kedua berlaku bagi Inggris, di mana perdana menteri dipilih oleh anggota Parlemen berdasarkan komposisi kursi partai politiknya. 

Konsep pemerintahan oleh rakyat juga kontroversial dalam hal pengejawantahannya di alam nyata. Berdasarkan ketujuh premis yang ia sampaikan, Lively mempertanyakan hingga tingkat dan cara mana seharusnya tindakan White House (pusat kegiatan Eksekutif) menjadi subyek kendali Kongres? Apakah kabinet Inggris sekadar bertanggung jawab kepada para pemilih mereka di parlemen? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa konsep pemerintahan oleh rakyat tidak boleh disikapi sebagai sekadar jargon melainkan sesuatu yang harus memiliki makna pragmatis. Operasionalisasi ketujuh premis tersebut, menurut Lively, adalah kondisi pragmatis-aktual yang membuat konsep pemerintahan oleh rakyat dinyatakan sulit untuk diterapkan secara begitu saja dalam politik negara sehari-hari. 

Demokrasi yang tidak Tercukupi Syaratnya

Tulisan Lively dalam subtopik ini masih berhubungan dengan ketujuh premis pemerintahan oleh rakyat yang ia ajukan. Menurut Lively, premis yang lebih kuat (premis 1 dan 2) dapat saja cocok diaplikasikan dalam konteks pemerintahan lokal atau komunitas kecil ketimbang pemerintahan pusat suatu negara. Namun, premis 1 yang menyatakan semua orang harus memerintah agaknya cukup berlebihan. Bahkan bagi komunitas kecil, menurut Lively, kendati mungkin saja semua warganegara terlibat dalam pembuatan legislasi, tetapi tidak mungkin juga mereka seluruhnya ikut menerapkannya (menjadi eksekutif). Lively mencontohkan bahwa bahkan di dalam Demokrasi Athena, hanya 500 orang anggota Council of Five Hundred yang menjalankan administrasi pemerintahan.[27] Bahkan Rousseau pun menyatakan, seperti diujar Lively, “It is against the natural order for the many to govern and the few to be governed.” 

Sebagai seorang utilitarian, Lively berpendapat ketujuh premis pemerintahan oleh rakyat harus dirasionalisasi berdasarkan kasus-kasusnya yang spesifik. Misalnya, di Amerika adalah mungkin melibatkan warganegara secara langsung dalam proses pemerintahan melalui kegiatan penjurian dalam proses pengadilan terhadap seorang terdakwa. Juri diambil dari warganegara biasa, yang kompetensinya dianggap memenuhi syarat, untuk memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah ataukah tidak, berikut hukumannya. Ini merupakan bentuk pelibatan warganegara untuk turut memerintah kendati tidak meliputi jumlah yang besar. Lively melanjutkan contoh lainnya, bahwa di Inggris, badan Justice of the Peace yang ternyata anggotanya terdiri atas para magistrat amatir yang berasal dari rakyat yang dipilih akibat kompetensinya. Lalu, masih dilanjutkan Lively, para wakil rakyat terpilih di pemerintahan lokal ternyata punya kekuasaan administrasi dan tanggung jawab yang luas. Lively, sekali lagi secara pragmatis, menekankan pentingnya pelibatan warganegara untuk mengalami bagaimana ‘rasanya’ memerintah dan diperintah.[28] 

Namun, Lively tetap menekankan, ketujuh premisnya dapat menjadi pisau analisa untuk menetapkan apakah suatu negara dapat dikategorikan Demokratis atau tidak. Lively menyatakan bahwa tiga premis terakhir yaitu premis 5, 6, dan 7 tidak mencukupi untuk dikategorikan sebagai Demokratis. Untuk mendukung pernyataannya, Lively melontarkan dua pernyataan berikut: (1) Pemerintah yang bertindak atas nama kepentingan yang banyak adalah Demokrasi dan (2) Demokrasi tidak lain ketimbang sistem yang mengizinkan rakyat atau perwakilannya memilih penguasanya. Dua pernyataan ini memisahkan Demokrasi Barat (pernyataan 2) dengan Demokrasi Rakyat (pernyataan 1) yang banyak dianut oleh negara-negara Sosialis-Komunis. 

Untuk pernyataan pertama, Lively merujuk pada C. B. Macpherson,[29] yang menyebut Demokrasi hakikatnya adalah pemerintahan kelas, karena ia dikuasai oleh, dan berada dalam, kepentingan kaum miskin ‘tertindas.’ Bagi Lively, jika merujuk pada pendapat ini, maka Marx akan secara keliru dinyatakan sebagai seorang Demokrat (ini cukup lucu). Masih dalam logika Demokrasi Rakyat, bahwa di negara-negara proletariat, kekuasaan oleh yang banyak adalah sinequanon dengan rezim kelas yang berusaha memenuhi kepentingan yang banyak. Namun, kepentingan kelas ini adalah menghancurkan kepemilikan kapitalis dan anasirnya (yang sedikit). Negara Demokrasi Rakyat ini lalu membangun sistem satu partai. Secara lebih lanjut, klaim negara Sosialis-Komunis sebagai Demokrasi hanya tersisa pada asumsi ‘kosong’ bahwa tujuan utamanya adalah kesetaraan manusia, dan apabila benar, diperintah berdasarkan kepentingan yang banyak. Benarkah demikian kenyataan yang ada? 

Fakta sesungguhnya menjelaskan bahwa Demokrasi Rakyat di negara Sosialis-Komunis berawal dari utopia dan manakala terbentuk sebuah negara komunis (pasca Revolusi Bolshevik, misalnya) segera berubah menjadi distopia. Rusia manakala diperintah Tsar Nicholas II cenderung lebih menerapkan kebebasan bagi rakyatnya, misalnya dalam hal memeluk agama, memajukan pertanian, memulai rintisan industri, dan kemerdekaan beragama. Segera setelah Revolusi Bolshevik terjadi, yang diawali dengan utopia kesetaraan politik, pemihakan atas pertanian digantikan dengan industri, rintisan industri dipercepat tanpa memandang nilai-nilai agraris masyarakt Rusia, dan ibadah agama justru dianggap cacat masyarakat.. Ini dilanjutkan dengan pembentukan Cheka (pasukan paramiliter) yang pekerjaannya adalah mencari ‘minoritas’, yaitu orang-orang yang dicurigai sebagai “musuh mayoritas”. Banyak di antara ‘minoritas’ ini adalah dokter, pendeta, ilmuwan, seniman, budayawan, guru, profesor untuk kemudian dieksekusi dengan tuduhan anti terhadap yang banyak. Rusia setelah itu mengalami defisit kalangan ahli (meritokrat). Utopia juga terjadi pada jargon pemerintahan oleh yang banyak, yang terbukti sekadar ilusi karena sesungguhnya diktator proletariat Rusia yang terbentuk pasca 1917 dikomposisikan oleh sebuah oligarki politik yang terdiri atas yang sedikit: Lenin, Leon Trotsky (Leoba Bronstein), Martov, dan politbiro lainnya (umumnya mereka beretnis Yahudi Ashkenazi ketimbang Rusia). Dalam Demokrasi Rakyat Rusia yang Komunis, yang banyak ternyata tidak berkuasa melainkan sekadar yang sedikit.[30] 

Kembali Lively melakukan negasi atas logika Demokrasi MacPershon yang menyatakan bahwa tujuan akhir Demokrasi Rakyat adalah kesetaraan manusia. Lively menggunakan silogisme Aristoteles, yang dinyatakan dalam premis-premis dan konklusi berikut: (P1) Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang banyak; (P2) Di setiap negara yang banyak adalah yang miskin dan yang sedikit adalah yang kaya; (C) Sebab itu Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang miskin.[31] Logika Aristoteles ini serupa dengan yang dikembangkan oleh para pendukung Demokrasi Rakyat: (P1) Demokrasi Rakyat adalah pemerintahan oleh yang banyak; (P2) Di Rusia Komunis yang banyak adalah yang miskin dan yang sedikit adalah yang kaya; (C) Sebab itu Demokrasi Rakyat adalah pemerintahan oleh yang miskin. Premis Aristoteles tidak menemukan faktanya di Rusia Komunis. Kendati rezim Komunis mengatasnamakan rakyat, tetapi rakyat (yang banyak) tidak pernah memilih mereka. Mereka mengangkat diri mereka sendiri sebagai penguasa lewar Revolusi Bolshevik dan mempertahankan kekuasaanya melalui lewat intrik intra Oligarki. Oligarki Komunis lalu menafsirkan kepentingan yang miskin (kaum proletar, yang tidak punya alat produksi) menurut dogma Komunisme yang tidak bisa ditawar-tawar. Menutup kritiknya mengenai Demokrasi Rakyat, Lively menyatakan secara agak sinis: Jika pemerintahan bertindak demi kepentingan penguasanya maka tidak mencukupi pemerintahan jenis itu menggunakan kata Demokrasi.[32] 

Selain mengkritik konsep Demokrasi Rakyat yang didengungkan simpatisan Sosialis-Komunis, Lively juga mengkritik definisi Joseph Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis.[33] Schumpeter mendefinisikan “metode Demokratis adalah pengaturan kelembagaan guna mencapai keputusan politik, di mana individu (political leader) memperoleh kekuasaan untuk memutuskan, melalui persaingan kompetitif mereka dalam meraih suara rakyat.[34] Lively menyatakan bagi Schumpeter, dari ketujuh premisnya mengenai pemerintahan oleh rakyat, ia (Schumpeter) menganggap Demokrasi sudah mencukupi apabila premis ke 6 dan 7 terpenuhi. Bagi Lively, pendapat Schumpeter mengenai Demokraasi sangat lemah.[35] 

Lively lebih lanjut mengelaborasi pemikiran Schumpeter. Pikiran Schumpeter mengenai keberhasilan Demokrasi sifatnya Elitis. Mengapa Shumpeter disebut Elits? Bagi Schumpeter, politisi sebaiknya berasal dari kelas sosial yang secara tradisional berhubungan dengan penguasa. Pemerintahan Demokrasi harus menerima informasi, bahkan harus diarahkankan oleh Birokrasi, yang dijiwai semangat atas tugas dan esprit de corps, karena bagi Schumpeter, pelayanan publik (dalam Birokrasi) terjamin kualitasnya para Birokrat banyak yang berasal dari kelas sosial tertentu. Schumpeter juga menandaskan bahwa pemilih dalam Demokrasi harus menghormati pembagian kerja politik dengan membiarkan pengambilan keputusan atas suatu isu diserahkan pada pemimpin yang telah mereka pilih. Bagi Lively, pandangan Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis ini mainstream dalam realitas Demokrasi Liberal aktual di Eropa, saat Schumpeter mengajukan pemikirannya.[36] 

Lively memandang definisi Demokrasi Schumpeter mengabaikan faktor akuntabilitas penguasa oleh para pemilihnya. Dalam logika Schumpeter, segera setelah pemilihan penguasa dan wakil rakyat selesai, rakyat kembali ke aktivitas harian dan masalah-masalah negara dipercayakan saja kepada wakil yang sudah mereka pilih.[37] Lively juga menganggap Schumpeter menganalogikan secara agak serampangan, antara ekonomi pasar dengan mekanisme Demokrasi. Ini akibat Schumpeter menganggap bahwa, apabila pelaku pasar bisa melakukan deal di bisnis minyak, maka politisi bisa melakukan deal suara. Lively mengkritik Schumpeter bahwa apabila politisi dianggap sebagai pengusaha, adalah tidak jelas komoditas apa yang mereka jual atau bahkan, apakah mereka benar-benar tengah menjual sesuatu? Bagi Lively, Schumpeter seperti mempromosikan pemikiran tentang adanya konsumen politik, yaitu warganegara selaku pemberi suara, yang memilih antara ‘komoditas’ yang ditawarkan politisi (yaitu kebijakan), ataukah kinerja mereka saat duduk di jabatan mereka. Analogi ini wajar saja diajukan oleh Schumpeter karena ia lebih memilih konsep Manufactured Will dari pengalamannya sebagai pengusaha ketimbang General Will yang dicetuskan Rousseau.[38] 

Menurut Lively, definisi Demokrasi Schumpeter inilah yang banyak dipraktekkan di Demokrasi Barat. Tesis dasar Schumpeter adalah Elitis, karena menganggap warganegara biasa adalah tidak kompeten, dan sebab itu janganlah mereka diserahi kekuasan untuk memutuskan isu-isu politik.[39] Lively masih mentoleransi pemikiran ini karena masih ada satu jaminan yang diberikan Schumpeter dalam Demokrasi versinya, yaitu tetap ada Pemilu dan Pemilu tersebut terus diadakan secara periodik, di mana seluruh warganegara berhak mengikutinya. Pemilu ini merupakan mekanisme minimal dengan mana pemberi suara masih dapat melakukan kontrol atas penguasa, kendati sebatas untuk memilih atau tidak memilih mereka. Ini tentu lebih baik ketimbang di dalam Demokrasi Rakyat. Juga, Schumpeter masih memberikan ruang bagi terjadinya kompetisi antar kandidat.[40] 

Masih mengkritik Schumpeter, Lively menyatakan definisinya dalam kasus pemerintahan oleh rakyat cukup lemah karena ekskulivitasnya, dan akibat kelemahan ini, Lively menyebut Schumpeter mempromosikan Demokrasi Elitis. Lively kemudian membandingkan pemikiran C. B. Macpershon mengenai Demokrasi Rakyat dengan Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis, yaitu bahwa keduanya memiliki sejumlah kesamaan.[41] Pertama, keduanya berbagi konsep minimal mengenai Demokrasi, yaitu menghendaki keterlibatan minimal rakyat dan hanya sedikit memberikan jaminan dalam hal kesetaraan politik sekadar hanya agar bisa disebut Demokrasi. Kedua, konsep minimal Demokrasi keduanya didasarkan atas ketidakpercayaan bahwa warganegara biasa mampu memahami kepentingannya sendiri serta melakukan penilaian-penilaian orisinil mereka atas masalah-masalah politik. 

Pemerintahan yang Bertanggung Jawab 

Lively kembali pada tujuh premisnya mengenai pemerintahan oleh rakyat. Baginya, premis 1 hingga 4 paling memuaskan bagi sistem politik agar disebut Demokratis.. Keempat premis ini dapat diagregasikan ke dalam dua konsep yang lebih luas yaitu Demokrasi Langsung (premis 1 dan 2) dan Pemerintahan yang Bertanggung Jawab (premis 3 dan 4).[42] 

Lively melanjutkan, agar dapat menciptakan pemerintahan yang bertanggung (responsible government), maka sejumlah kontrol harus dapat dipraktekkan para pemilih terhadap aneka tindakan pemerintah. Kontrol ini masih dapat diperdebatkan apakah berwujud pada pemerintah yang diberi mandat untuk menginisiasi kebijakan, wakil rakyat sekadar menjadi juru bicara para pemilih, ataukah bisa wakil rakyat secara independen melakukan penilaian orisinilnya. Terlepas dari perdebatan wujudnya, tetap saja harus ada kendali para pemilih atas aneka tindakan pemerintah sebagai hal yang wajib ada. 

Lively lalu melangkah pada sejumlah kondisi yang memungkinkan tumbuhnya responsible government. Pertama, pemerintahan harus bisa dirotasi melalui keputusan para pemilih. Kedua, sejumlah alternatif kebijakan harus bisa diajukan oleh para pemilih. Ketiga, harus terdapat alternatif siapa kelompok yang memerintah. Keempat, harus adalah Pemilu bebas, dengan mana bebas dari intimidasi, kecurangan, dan sogokan. Kelima, harus ada kemerdekaan berasosiasi. Keenam, harus ada kemerdekaan berpendapat, karena alternatif kebijakan tidak akan hadir apabila tidak disuarakan.[43] Kelima hal ini, apabila diterapkan, akan membuat pemerintah selalu mengukur tindakannya atas nama kepentingan yang mereka perintah. 

Masih dalam hubungannya dengan masalah responsible government, Lively menyinggung eksistensi partai politik. Posisi partai politik menjadi penting, menurut Lively, akibat kegiatan Pemilu bukan berkontestan tunggal satu warganegara melainkan sejumlah besar warganegara kompeten yang mewakil rakyat dan mereka ini berasal dari aneka kelompok yang punya kepentingan berbeda di dalam masyarakat. Banyaknya perbedaan ini mempengaruhi tercapainya alternatif kebijakan yang koheren sulit disusun. Di sinilah signifikansi partai politik di mata Lively, yaitu memobilisasi sekaligus mengagregasi aneka kepentingan dari aneka kelompok di dalam masyarakat untuk diformulasikan ke dalam sejumlah kebijakan yang koheren. 

Terdapat tiga pola sistem kepartaian yang dirujuk Lively, yaitu satu partai, dua partai, dan multi partai.[44] Satu partai, menurut Lively, tidak cocok bagi munculnya responsible government karena tidak mengizinkan adanya kebijakan yang koheren (sesuai dengan yang diinginkan rakyat pemilih). Namun, lanjut Lively, bisa saja sistem satu partai ini menciptakan responsible government, apabila sejumlah kondisi dipenuhi. Pertama, keanggotaan partai harus terbuka seluas-luasnya dan komprehensif (meliputi aneka bidang hidup masyarakat). Tidak boleh ada individu ataupun kelompok yang dieksklusikan dari keanggotaan dan tidak boleh ada halangan penyampaian ekspresi politik. Kedua, faksionalisme dalam tubuh partai harus dibiarkan ada, karena faksi yang berbeda tersebut mampu mengorganisir diri, guna menyampaikan kebijakan berbeda yang mereka kehendaki. Ketiga, kecuali keanggotaannya sesuai dengan persyaratan Demokrasi, satu partai ini harus melaksanakan Pemilu ekstra, dengan mana kandidatnya sangat dimungkinkan untuk bersentuhan dengan segmen spektrum masyarakat yang lebih luas. Secara umum, Lively memandang, apabila diproyeksikan menjadi responsible government, sistem satu partai harus memungkinkan Pemilus ekstra yang diadakan dapat menjadikan masyarakat sebagai komunitas politik yang mampu melakukan tindakan pemilihan serta mentoleransi adanya derajat oposisi internal partai sebagai dampak dari kegiatan Pemilu ekstra. 

Sistem dua partai menunjukkan sejumlah kondisi yang dapat bersinggungan dengan responsible government.[45] Pertama, sistem dua partai mengupayakan akuntabilitas pemerintahan dengan cara menghadirkan aneka alternatif kebijakan secara cukup jelas, yang memungkinkan para pemilih memprediksi hubungan langsung antara suara yang ia berikan dengan seperti apa tindakan pemerintah di masa kemudian. Kedua, sistem dua partai menghadirkan dua model pemimpin secara cukup kontras, dengan mana para pemilih dapat memprediksi kebijakan pemerintah di masa mendatang berdasarkan siapa yang mereka pilih saat Pemilu. Ketiga, sistem dua partai mampu mengisolasi besarnya jumlah alternatif kebijakan yang ditawarkan kepada para pemilih melalui seperangkat posisi kebijakan politik kedua partai. 

Bagi Lively, sistem multipartai memiliki sejumlah karakteristik.[46] Pertama, sistem ini kemungkinan besar berasal dari distribusi multimodal politik di kalangan para pemilih, atau situasi di mana terjadi bipolarisasi opini publik atas sejumlah isu yang saling tumpang-tindih, dan bipolarisasi ini mendorong munculnya sejumlah posisi politik baru. Kedua, tidak ada insentif bagi partai-partai untuk berkongregasi di sekitar kebijakan yang sama dan setiap insentif hanya berhubungan dengan posisi ideologis dari para pendukungnya. Ketiga, dalam multipartai, partai cenderung memelihara serta memberi penekanan atas ideologi dan program yang khas mereka saja. Keempat, posisi ideologi dan program setiap partai yang koheren mendorong para pemilih mudah mengenali mereka. Kelima, hanya sedikit kemungkinan adanya satu partai yang sepenuhnya mengendalikan pemerintahan (kecuali dalam pemiihan presiden) dan dengan demikian akan sulit bagi pemilih mengatribusikan akuntabilitas tindakan pemerintah kepada partai politik tertentu (partai politik dapat cuci tangan, dan membiarkan Eksekutif atau presiden menjadi kambing hitam, dalam sistem presidensil). Keenam, para pemilih kemungkinan hanya akan memilih berdasarkan posisi ideologi mereka sendiri saja. 

Dari ketiga macam sistem kepartaian, Lively cenderung memberi kesan positif atas sistem dua partai dan multipartai. Bagi Lively, akuntabilitas pemerintahan dapat lebih mudah dilacak oleh para pemilih dalam sistem dua partai. Pejabat yang menjalankan kekuasaan eksekutif dan legislatif relatif lebih jelas dalam sistem dua partai ketimbang lainnya. Dalam sistem multipartai, hal positif yang dapat diambil adalah adanya kemungkinan stabilitas koalisi. Dalam sistem dua partai, lanjut Lively, terdapat korelasi kuat antara pilihan partai dengan dengan tindakan pemerintah. Dalam sistem multipartai, terdapat pilihan nyata antara aneka partai dengan jaminan bahwa pemerintahan akan terbentuk melalui formasi partai-partai tertentu sehingga melibatkan spektrum kepentingan warganegara yang lebih luas dan tidak terlampau dikotomis seperti sistem dua partai. 

Pandangan Lively atas tiga sistem kepartaian seperti telah dibahas sesungguhnya berkisar pada dua cara pandang terhadap fungsi representasi politik menurut Huber and Powell.[47] Cara pandang ini adalah khas prinsip perwakilan politik dalam Demokrasi Liberal, yang menekankan terciptanya koneksi antara warganegara dengan pembuat kebijakan. 

Pandangan pertama adalah Majority Control dan yang kedua Proportionate Influence. Dalam pandangan Majority Control pemilihan Demokratis dirancang untuk menciptakan pemerintahan satu partai yang kuat dan secara esensial tidak terhambat pekerjaannya, oleh partai-partai lain, saat proses pembuatan keputusan.[48] Dalam pandangan Proportionate Influence, pemilihan dirancang untuk menghasilkan anggota legislatif yang merefleksikan pilihan seluruh warganegara dari aneka spektrum kepentingan, sebab segera setelah pemilu legislatif, tawar-menawar antarpartai disyaratkan dalam pembuatan keputusan dan koalisi. Dalam tawar-menawar ini pengaruh aneka partai pasca Pemilu akan menentukan sejauh mana pembuat kebijakan melakukan apa yang warganegara ingin mereka melakukannya.[49] Dari pandangan Huber and Powell ini, maka apa yang Lively maksudkan sebagai sistem satu partai dan dua partai masuk ke dalam kategori pandangan Majority Control, sementara sistem multipartai sejalan dengan Proportionate Influence. 

Kesimpulan 

Lively menyampaikan sejumlah penekanan dalam tulisannya mengenai makna Demokrasi. Pertama, tidak ada prosedur pembuatan keputusan yang secara paripurna menjamin bahwa seluruh kehendak rakyat akan terwujud melalui pengambilan keputusan. Kedua, dalam masalah kesetaraan politik, secara tidak terelakkan, tidak akan sepenuhnya terjadi, karena dalam politik pun (sama halnya dalam proses produksi) dibutuhkan pembagian kerja. Ketiga, ketidaksetaraan politik terjadi akibat ketergantungannya pada area selain politik yaitu kondisi ekonomi, sosial, dan budaya warganegara. 

Selanjutnya, Lively merangkum, bagaimana Demokrasi dapat mewujud secara pragmatis. Pertama, tingkatan di mana setiap kelompok konstituen terserap ke dalam proses-proses pengambilan keputusan, sehingga kesetaraan warganegara dapat lebih dijamin. Kedua, tingkatan di mana keputusan pemerintah merupakan subyek kendali publik, sehingga responsible government dapat lebih dijamin. Ketiga, derajat mana warganegara biasa terlibat dalam administrasi publik, sehingga menjamin (kendati minimal) adanya pemerintahan oleh rakyat. 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] Jack Lively, Democracy (Oxford: Basil Blackwell, 1974), p. 8. 
[2] Ibid., p. 9. 
[3] Bagi Aristoteles, mayoritas diartikan bagian terbanyak dari masyarakat berdasarkan kelas ekonomi,yaitu kaum miskin. 
[4] Jack Lively, Democracy, op.cit. p. 9. 
[5] James Bryce adalah sejarawan, ahli hukum, dan negarawan Inggris. Bryce, atau dikenal pula sebagai Viscount Bryce (1838-1922), terkenal karena karyanya "American Commonwealth", studi terhadap lembaga-lembaga politik Amerika Serikat. Dia juga mendorong kebangkitan minat (renesans) terhahap hukum Romawi. Sumber: https://biography.yourdictionary.com/james-bryce 
[6] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 9. 
[7] Bagi Aristoteles, warganegara yang dimaksud terdiri atas kaum laki-laki bebas (bukan budak), tidak meliputi wanita dan budak. Bagi Rousseau, warganegara adalah seluruh mereka yang mengikatkan diri ke dalam komunitas politik, Rousseau tidak mengakui perbudakan, tetapi posisi wanita masih kurang jelas dalam tulisannya. 
[8] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 10. 
[9] Ibid., p. 11. 
[10] Matthew Robert Christ, The Bad Citizen in Classical Athens (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) pp. 1 -2 . 
[11] Jack Lively, Democracy, op.cit.,. p. 12. 
[12] Ibid.. p. 13. 
[13] Ibid., p. 13 – 4 . 
[14] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 16. 
[15] Ibid.., p. 16 – 7 
[16] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 18. 
[17] Ibid., p. 21. 
[18] Ibid., p. 22. 
[19] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 24. 
[20] Ibid., p. 25. 
[21] Ibid., p. 26. 
[22] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 26. 
[23] Ibid., p. 27. 
[24] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 28. 
[25] Ibid., p. 28. 
[26] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 30. 
[27] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 32. 
[28] ibid., p. 33. 
[29] Inti dari pemikiran C.B. Macpherson (1911-1987) adalah kritiknya terhadap budaya 'individualisme posesif' dan pembelaannya terhadap sosialisme liberal-demokratis. Bangkitnya minat pada karya-karyanya merupakan reaksi terhadap kebangkitan neoliberalisme dan upaya untuk menemukan alternatif bagi masyarakat yang didominasi oleh pasar kapitalis. Sumber: https://www.palgrave.com/gp/book/9783319949192 
[30] Kisah Rusia ini bukan analisis Lively, melainkan tambahan dari penulis. 
[31] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 34. 
[32] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 35. 
[33] Joseph Schumpeter menulis pikirannya mengenai Demokrasi dalam bukunya Two Theories of Democracy. Buku ini merupakan karya lengkap pertama pemikiran politik Schumpeter. Teori demokrasi Schumpeter dikenal sebagai kompetisi di antara para elit yang telah memengaruhi beberapa generasi ilmuwan politik. Sumber: https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674186439 
[34] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 37. Definisi Schumpeter ini terdapat dalam Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy (London: Routledge, 2003) p. 269. 
[35] Premis ke-6 menyatakan penguasa harus dipilih oleh yang diperintah. Premis ke-7 menyatakan pemerintah dipilih oleh wakil rakyat. 
[36] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 38. 
[37] Kritik Lively ini mirip dengan kritik Rousseau atas rakyat Inggris, di mana Rousseau menyatakan bahwa rakyat Inggris sesungguhnya hanya bebas selama saat mereka memilih wakil-wakilnya, dan setelah Pemilu selesai, mereka menjadi tidak bebas. 
[38] Joseph A. Schumpeter, Socialism …, op.cit. p. 263. Manufactured Will adalah versi Schumpeter mengenai General Will, bahwa kehendak bersama dapat diciptakan, seperti di dalam fenomena iklan, yang menyentuh alam bawah sadar manusia, dibangkitkan ke level kesadaran, lalu manusia menganggap apa yang disampaikan iklan itu sebagai kehendak sadarnya. 
[39] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 40. 
[40] ibid., p. 41. 
[41] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 42. 
[42] ibid., p. 42. 
[43] ibid., p. 43 – 4. 
[44] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 45. 
[45] ibid., p. 45. 
[46] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 47 – 8. 
[47] John D. Huber and G. Bingham Powell, Jr., “Congruence between Citizens and Policymakers in Two Vision of Liberal Democracy” dalam Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose Antonio Cheibub, The Democracy Sourcebook (Cambridge: Massachussetts Institute of Technology, 2003) pp. 330 – 42. 
[48] John D. Huber and G. Bingham Powell, Jr., “Congruence …” op.cit., p. 330. 
[49] ibid., p. 330.