Latest News

Monday, December 2, 2019

Teori Pluralisme Politik


Teori Pluralisme Politik adalah teori yang menekankan pada penerimaan, pertimbangan, dan pelembagaan atas adanya aneka kelompok dan perspektif berbeda yang sesungguhnya aktual di dalam suatu negara. Gagasan dasar para pendukung pluralisme politik adalah kesepakatan untuk memberikan legitimasi atas adanya cara pandang berbeda di dalam suatu negara.[1] Akar dari pluralisme politik adalah William James, seorang filsuf politik asal Amerika Serikat sekaligus eksponen pluralis utama yang anti-absolutis.

Anthony Harold Birch[2] menyatakan bahwa Pluralisme adalah teori khas Amerika, yang menjelaskan dampak konflik yang bersifat seksionalis (bagian tertentu di dalam suatu negara) dan kelompok dalam pembuatan kebijakan.[3] Birch juga menyatakan bahwa Pluralisme mencukupi untuk disebut sebagai teori. Pluralisme politik, menurut Birch, memiliki obyek studi berupa aneka kasus negara bagian, kelompok kepentingan, dan promotional groups yang berupaya mempengaruhi pengambilan keputusan di Amerika Serikat. Karena Pluralisme politik dapat digeneralisasi sekaligus diverifikasi entitas studinya maka ia dapat disebut sebagai teori politik yang utuh. 

Pluralisme Politik 

Menurut Paul Q. Hirst, kendati lebih populer di Amerika Serikat, dalam konteks ilmu politik, studi Pluralisme politik juga berkembang di Inggris lewat tiga tokohnya G. D. H. Cole, John Neville Figgis, dan Harold J. Laski.[4] Pluralisme politik Inggris menyerang teori kedaulatan negara dari Thoman Hobbes dan Jean Bodin. Pusat perhatian teoretisi pluralisme Inggris terletak pada keyakinan atas vitalitas dan legitimasi self-governing dari berbagai asosiasi (di level civil society) sebagai cara mengorganisir kehidupan sosial dan juga keyakinan bahwa representasi politik harus menghargai prinsip fungsi asosiasi seperti serikat buruh, gereja, dan badan-badan sukarela yang sesungguhnya menjalankan tugas mendasar kehidupan sosial.[5] Hirst juga menulis bahwa karakter Pluralisme politik Inggris secara prinsip cenderung anti-Statist (anti negara), penghargaan atas otonomi asosiasi bebas yang didirikan warganegara (masyarakat sipil), dan prinsip representasi fungsional, yang membatasi --- bukan malah meningkatkan --- lingkup kekuasaan negara. Kaum Pluralis Inggris menentang teori kedaulatan negara yang tak terbatas serta negara yang disentralisasisakan secara unitaris dengan mana terdapat hirarki otoritas di dalamnya.[6]

Sementara itu, Pluralisme Amerika (seperti terdapat dalam tulisan Birch ini) memandang asosiasi sebagai bagian dari proses kompetisi politik dan cenderung menyikapi negara dan pemerintah sebagai jaringan penghubung lewat mana aneka kepentingan yang bersaing berusaha untuk mempengaruhi kebijakan dan melalui mana tujuan dari kepentingan terorganisir dominan di setiap isu khusus dibawakan.[7] Jika di Inggris, asosiasi civil society dipandang sebagai oposan negara, maka di Amerika Serikat asosiasi civil society dipandang sebagai pelengkap fungsionalitas negra. Obyek studi Birch mengenai Pluralisme politik adalah fenomena negara bagian dan kelompok penekan (pressure group) di Amerika Serikat, bukan Inggris. Bagi Birch masalah yang menyertai proses integrasi negara bagian ke dalam Serikat merupakan rujukan faktual awal studi Pluralisme politik. Setelah membahas masalah negara bagian ini, Birch mengkaji fenomena pressure group di Amerika Serikat. 

Pluralisme Negara Bagian Amerika Serikat: Kasus Bergabungnya Konfederasi ke dalam Federasi

Birch mencatat, pemikir Pluralis pertama di Amerika Serikat adalah James Madison dan Alexander Hamilton. Keduanya umum dianggap sebagai founding fathers Amerika Serikat dan aneka tulisan mereka (juga Ben Franklin, Andrew Jackson) kerap disebut The Federal Papers. Obyek dari Pluralisme mereka adalah kasus negara bagian Amerika Serikat. Madison dan Hamilton mengajukan proposal yang hendak mengubah konfederasi longgar negara bagian menjadi Federal. 

Secara metodologis, Birch mengungkap 4 hipotesis, 1 pernyataan normatif, dan konklusi terhadap proposal Madison dan Hamilton. Empat hipotesisnya sebagai berikut:[8]
  1. Para politisi tidak termotivasi oleh altruisme ataupun kepentingan publik, sebaliknya, mereka menikmati penggunaan kekuasaan dan cenderung akan memaksimalisasinya manakala memperoleh kesempatan.
  2. Konflik kepentingan dalam masyarakat tidak terelakkan, lalu konflik akan mendorong pertikaian antar faksi. Kepentingan tersebut misalnya tanah, pabrik, perdagangan, atau masalah keuangan.
  3. Aneka faksi dalam masyarakat, apabila tidak dikoreksi pihak lain, cenderung memaksimalisasi kepentingan sendiri dan merugikan pihak lain. 
  4. Aneka faksi dipimpin atau diwakili para politisi yang diharapkan menggunakan kekuasaannya untuk mempromosikan kepentingan faksionalnya.
Pernyaataan normatif dari Madison dan Hamilton adalah, Amerika harus mengorganisir sistem pemerintahannya sehinga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain. Dominasi disebut Madison sebagai perampasan hak (deprivation of rights). Konklusinya adalah, penggabungan 13 negara bagian ke dalam Federasi sangat dikehendaki, atas dasar peningkatan jumlah dan perbedaan faksi mereduksi kemungkinan satu faksi mendominasi faksi lain.

Jika Madison dan Hamilton adalah ‘suara dari Utara’ maka John C. Calhoun adalah ‘suara dari Selatan.’ Calhoun khawatir apabila pihak Utara mendominasi Kongres, maka mereka akan memanfaatkan kemayoritasannya untuk menghapus perbudakan (cara produksi penting bagi pihak Selatan). Calhoun menyatakan apabila konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) diterapkan pada pemerintahan perwakilan, maka kepentingan minoritas geografis di Amerika akan terlindungi 

Calhoun menganggap konsep mayoritas bersaing ini termaktub dalam konstitusi Amerika. Setiap negara bagian punya perwakilan yang sama di Senat. Pengakuan lainnya adalah, harus ada 2/3 suara dari seluruh negara bagian sebelum amandemen konstitusi diloloskan. Esensi argumentasi Calhoun adalah prinsip kesetaraan suara harus diperluas lewat konvensi, sehingga mayoritas numerik di Kongres tidak akan pernah menggunakan kekuasaannya untuk memotong kepentingan negara bagian tertentu. Calhoun memperingatkan, jika pihak Utara menolak konvensi ini semata karena hendak menghapus perbudakan, maka Selatan akan keluar dari Federasi. Setelah perdebatan di atas, meletuslah Perang Saudara di Amerika, perang antara Utara versus Selatan. 

Birch menarik suatu garis, bahwa fenomena perdebatan Utara-Selatan sebagai bentuk Pluralisme politik yang didasarkan atas seksional (geografis). Pasca Perang Saudara, Amerika mengalami reintegrasi dan Pluralisme yang obyeknya isu kepentingan negara bagian meredup. Keredupan ini, catat Birch, akibat meningkatnya teknologi komunikasi dan industri, yang membuat Amerika semakin homogen.[9] Homogenisasi ini membuat egosektoral Utara dan Selatan berkurang secara signifikan. 

Namun, tahun 1950 Pluralisme negara bagian ini kembali muncul lewat Herbert Agar. Agar menyatakan “kebijakan federal yang sukses cenderung mengikuti aturan Calhoun tentang mayoritas bersaing. Setiap kepentingan yang cukup kuat untuk menimbulkan permasalahan harus dipuaskan dahulu sebelum melakukan hal lainnya.”[10] Catatan lainnya diajukan A. N. Holcombe, yang menyatakan bahwa penyederhanaan partai politik (secara tidak alamiah) tidak diharapkan dan mungkin tidak bisa berjalan di negara yang sangat heterogen seperti Amerika Serikat. Nilai dari Federasi adalah penerimaan hak minoritas untuk memveto kebijakan dianggap tidak bisa ditoleransi. 

Pluralisme Kelompok Penekan (Pressure-Group)

Birch mencatat sejak 1950an terjadi peralihan lokus studi Pluralisme politik dari aspek seksional (geografis, negara bagian) menjadi peran kelompok kepentingan yang terorganisir. Kelompok-kelompok ini berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 

Studi awal mengenai kelompok penekan ini adalah The Group Basis of Politics dari E. Latham tahun 1952. Bagi Latham, pressure-group (kelompok penekan) adalah entitas politik yang mendasar, sehingga proses politik tidak lain adalah perjuangan antara kelompok ini.[11] Latham melanjutkan, tugas Legislator sebagai wasit pertarungan antar kelompok, meratifikasi kemenangan dari koalisi antarkelompok yang sukses, dan mencatatnya ke dalam statuta negara. Dalam proses pemungutan suara, suara Legislatif di setiap isu cenderung mereprentasikan komposisi kekuatan (perimbangan kekuatan) dari pressure-group yang saling bersaing. Kebijakan publik adalah equilibrium, hasil pertarungan aneka pressure-group ini. [12]

Bagi Birch, satu buku yang cukup berpengaruh tentang fenomena pressure-group ini The Governmental Process yang ditulis Harry Truman tahun 1951. Truman melakukan sintetisasi atas aneka studi di dalam lokus pressure-group ini. Truman enggan menggunakan konsep ‘pressure-group’ (kelompok penekan) karena maknanya yang pejoratif (berarti political abuse), dan menggantinya dengan interest-group (kelompok kepentingan) Bagi Truman, istilah interest-group lebih netral ketimbang pressure-group

Birch membantah permainan istilah dari Truman. Bagi Birch, istilah interest-group apabila diterapkan di era kekinian akan menyebabkan kerancuan bagi ilmuwan politik. Bagi Birch, pressure-group adalah seluruh kelompok yang berusaha menggunakan kekuatannya saat suatu kebijakan tengah dibuat atau dilaksanakan.[13] Pressure-group terdiri atas interest-group dan promotional-group. Interest-group adalah kelompok yang fungsinya mempertahankan atau memajukan kepentingan material anggotanya. Promotional-group adalah kelompok yang ingin mempromosikan nilai atau posisi khusus mereka.[14]

Birch mencontohkan, dalam kebijakan pertahanan, ada dua posisi berbeda sehubungan dengan pressure-group ini. Ada kelompok yang berusaha mempertahankan kepentingan perusahaan yang lingkup bisnisnya di area pertahanan. Kelompok lainnya berposisi menentang persenjataan, yang setiap anggotanya berbagi sikap moral dan perilaku terkait kebijakan pertahanan. Contoh lainnya, masih menurut Birch, dalam masalah hukum aborsi. Ada kelompok yang mewakili kepentingan paramedis (dokter, perawat, dan pemilik klinik aborsi). Di sisi lain, ada kelompok lain yang menganggap aborsi itu sebagai masalah moral: Benar ataukah salah. 

Perbedaan antar kelompok ini tercermin dari kekuataan finansial, akses atas sumberdaya, dan aneka taktik yang mereka terapkan dalam mempengaruhi kebijakan. Interest-group kerap diajak konsultasi oleh agen-agen pemerintah sehingga kelompok ini memiliki jejak dalam proses pembuatan keputusan. Pada sisi lain, promotional-group lebih fokus pada kampanye dan demonstrasi publik dalam menyikapi kebijakan.[15] Dengan demikian, pressure-group adalah konsep yang dianggap Birch lebih tepat dalam analisis Pluralisme politik kelompok. 

Kajian pressure-group dalam studi Pluralisme politik tahun 1950an bersifat lebih metodologis. Masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ilmuwan politik apakah posisi pressure-group di luar atau di pinggiran proses pemerintahan. Namun, Pluralisme politik memandang eksistensi pressure-group ini terletak di jantung proses pembuatan keputusan pemerintah.[16]

Pentingnya pressure-group dalam politik Amerika tidak lepas dari kemampuan sistem Demokrasi Amerika menciptakan equilibrium atas aneka tekanan aneka kelompok masyarakat yang saling bersaing. Dengan demikian, yang hebat itu bukanlah pressure-group melainkan sistem Demokrasi Amerika. Birch juga mencatat, Truman memperkenalkan konsep potential interest-group yang dapat dianalogikan dengan konsep invisible hand Adam Smith.[17] Dalam konsepnya, Adam Smith menunjukkan bahwa benturan kepentingan ekonomi para kapitalis tidak akan meruntuhkan sistem ekonomi Amerika karena ada ‘tangan tak telihat’ yang mengaturnya. Demikian pula dalam konteks benturan kepentingan antar pressure-group, sistem Demokrasi Amerika akan menciptakan equilibrium, sehingga benturan tadi tidak akan meruntuhkan sistem Demokrasinya. 

Faktor lain yang membuat benturan antar pressure-group adalah overlaping keanggotaan mereka, yang mencakup overlaping keanggotaan aktual maupun potensial. Salah satu konklusi Truman yang dicatat Birch dalam hal overlaping ini adalah, keanggotaan ganda dalam aneka kelompok potensial yang didasarkan atas kepentingan para anggotanya sendiri. Inilah yang berfungsi sebagai roda penyeimbang dalam sistem politik Amerika. Konklusi ini ditafsirkan sebagai Teori Demokrasi Amerika sebagai sistem perimbangan tekanan berbagai kelompok. Era 1950an sistem politik Amerika ditandai kuatnya pengaruh kelompok yang mewakili kepentingan petani, dokter, dan bisnis. Pengaruh mereka ini lebih besar ketimbang kelompok lain yang mewakili kepentingan penghuni daerah kumuh, ras minoritas, klien medis atau klien hukum.[18] Warna kebijakan politik Amerika era tersebut akan lebih diwarnai oleh kepentingan kelompok yang banyak melakukan tekanan ketimbang yang tidak. 

Sehubungan dengan tingginya peran pressure-group dalam politik Amerika, Max Lerner, seperti dikutip Birch, menyatakannya dalam buku American as a Civilization. Dalam buku tersebut Lerner menyatakan bahwa kekuasaan di Amerika adalah Plural dan cair, ia bercorak banyak faset ketimbang seragam dan terpecah ke dalam sejumlah kelompok. Lerner melanjutkan, Pluralis, Pragmatis, dan Federalis adalah karakter politik Amerika. Karakter ini mendorong perkembangan seni kompromi dan pencapaian kesetimbangan antar kekuatan yang bersaing.[19] Dahl menambahkan, seperti dikutip Birch, setelah membandingkan sistem politik Amerika dengan negara lain, terkuak satu fitur menonjol yaitu memungkinkan minoritas terorganisir untuk memblok, memodifikasi, atau menunda sebuah kebijakan yang mereka tentang.[20]

Birch mencatat, di Amerika, suatu organisasi bernama National Rifle Association berhasil mempertahankan kendali kepemilikan senjata api secara efektif selama bertahun-tahun, kendati mayoritas publik Amerika tidak menyetujuinya. Ini merupakan wujud minoritas yang bisa mempertahankan kepentingannya tatkala berhadapan dengan mayoritas. Bagi Birch, pembelaan Dahl atas Pluralisme dalam hal ‘menangnya’ minoritas ini karena kemampuan Pluralisme Amerika dalam memberi kesempatan warganegara atau kelompok yang ingin kepentingannya terlindungi, kendati terbatas, dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. 

Birch juga melansir pendapat Charles Lindbloom, yang menyatakan Pluralisme politik tidak hanya Demokratis tetapi juga menghasilkan kebijakan yang dihendaki. Pluralisme politik menciptakan kondisi partisan mutual adjusment.[21] Bagi Lindbloom masyarakat industri modern sudah sangat rumit strukturnya sehingga pemerintah sangat sulit menerapkan kebijakan politik terencana yang komprehensif. Akibatnya, mereka menyerahkan pada mekanisme penyesuaian kepentingan (partisan mutual adjusment). Dari partisan mutual adjusment ini legislatif dan eksekutif dapat banyak masukan untuk merancang suatu kebijakan. 

Namun, seperti dicatat Birch, kecenderungan tahun 1950an ini berubah di era 1960an. Robert Dahl menerbitkan Who Governs? yang mengalihkan perhatian dari peran pressure-group di Kongres menuju politik kewilayahan (municipal politics). Kajian Dahl ini, menurut Birch, adalah reaksi Dahl atas penelitian sejumlah sosiolog atas fenomena struktur kekuasaan dalam komunitas. Para sosiolog tersebut menyimpulkan municipal politics didominasi para Elit mapan yang berasal dari kelompok warganegara kelas atas. Para sosiolog ini menyatakan bahwa para Elit ini berposisi mengatur masalah masyarakat lokal, mengatur kerja para politisi dan pejabat yang terpilih. Para sosiolog, secara lebih lanjut, menyatakan terdapat power elite dalam municipal politics di Amerika.

Birch kemudian melanjutkan, Dahl dan juniornya Nelson Polsby, memeriksa metodologi penelitian yang dilakukan para sosiolog tersebut dan menyimpulkan terjadi kesalahan metodologis sehingga mendorong pengambilan kesimpulan yang keliru.[22] Dahl kemudian melakukan studi mengenai temuan power elite ini di New Haven. 

Dari studi Dahl, seperti dicatat Birch, pemerintahan di New Haven adalah arena konflik antara kelompok dan faksi kecil. Terdapat sejumlah faksi berbeda yang menjadi pemenang di wilayah kebijakan berbeda. Studi Dahl juga memperlihatkan bahwa justru anggota Elit sosial di kota tersebut tidak terlalu aktif atau berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, menurut Dahl tidak tepat apabila Elit sosial secara otomatis diidentifikasi sebagai pula Elit politik.[23] Tiga temuan lain Dahl dari New Haven, seperti dicatat Birch adalah: (1) Tidak terdapat bukti bahwa semua kelas dan kelompok di New Haven punya kekuasaan atau akses yang sama pada kekuasaan; (2) Tidak terdapat bukti pengambilan keputusan tidak didominasi oleh nilai-nilai kelas menengah; (3) Tidak terdapat bukti bahwa New Haven adalah tipikal seluruh kota Amerika atau struktur politiknya dapat mikrokosmos seluruh struktur politik Amerika.[24] Temuan Dahl ini, kemudian akan dijadikan patokan Birch dalam analisisnya mengenai Elitisme politik. 

Pluralisme dan Demokrasi

Dalam menghubungkan konsep Pluralisme dan Demokrasi, Birch mengajukan dua pertanyaan berikut: (1) Apakah sistem pemerintahan yang Pluralis pasti Demokratis? dan (2) Apakah sistem pemerintahan yang Demokratis pasti Pluralis? Bahasan Birch selanjutnya akan didasarkan pada dua pertanyaan ini.[25]

Bagi Birch, jawaban pertanyaan pertama adalah negatif. Pluralisme sudah pasti cocok untuk Demokrasi tetapi tidak cocok untuk Totalitarianisme. Selanjutnya Birch membahas mengapa Plurarisme tidak cocok bagi pemerintahan Totalitarian.

Apabila mengizinkan Pluralisme, pemerintahan Totalitarian tentu tidak dapat secara total mengendalikan masyarakat apabila aneka organisasi otonom diizinkan mengeksekusi pengaruh sosial dan politik mereka. Bagi Birch, tidaklah sulit membayangkan sebuah sistem pemerintahan yang dicirikan oleh persaingan antar kelompok terorganisir yang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan sehingga apa jadinya suatu rezim Totalitarian? Namun, apabila hanya sebagian kecil warganegara yang diizinkan berpartisipasi dalam kehidupan politik kondisi tersebut adalah tidak Demokratis. Ketidakdemokratisan ini juga terjadi apabila terdapat kelompok dominan yang memanfaatkan kekuatan negara untuk mengeksklusi kelompok lain dari persaingan. 

Birch merujuk hal semacam ini terjadi di Inggris pada periode 1688 – 1867, Jerman di bawah kekuasaan Otto von Bismarck, dan Perancis di era Kekaisaran Kedua. Birch juga melansir, sistem-sistem pemerintahan pra moderen sebagai Pluralis manakala terjadi perjuangan politik antara gereja, pemilik tanah, petani, dan pedagang. Namun, manakala mereka tidak melibatkan warganegara secara luas, tidaklah mereka dapat disebut Demokratis. 

Selanjutnya, Birch membahas pertanyaan kedua, yaitu apakah sistem Demokratis pasti Pluralis? Bagi Birch itu bergantung pada apa definisi Pluralis yang digunakan.[26] Tidak semua pemerintahan Demokratis ditandai fenomena seksional negara bagian seperti Amerika (Pluralisme geografis). Eropa justru memiliki wilayah geografis lebih kecil dan masyarakatnya relatif homogen. Eropa (kecuali Swiss) ditandai sistem pemerintahan yang lebih sentralistik. Dengan demikian, sulit apabila menerapkan lokus Pluralisme pada aspek geografis di Eropa. Juga, ini bukan berarti negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Denmark, atau Swedia kurang Demokratis ketimbang Amerika karena tidak munculnya Pluralisme berdasar seksionalisme (geografis). 

Sebaliknya, apabila definisi Pluralisme versi Truman dan Latham diterapkan, yaitu sistem politik dengan mana pressure-group bersaing dalam mempengaruhi pengambilan keputusan negara, maka semua Demokrasi moderen punya dimensi Pluralis.[27] Pressure-group ini mungkin lebih menonjol di satu negara ketimbang lainnya. Pressure-group ini juga berbeda variasinya akibat kepemilikan sumberdaya dan taktik yang dipergunakan. Namun, terlepas dari hal tersebut, pada suatu sistem pemerintahan yang dicirikan kemerdekaan berorganisasi dan komunikasi politik yang bebas, pressure-group menemui eksistensinya. Hal penting yang harus dikemukakan, menurut Birch, adalah sejauh mana kegiatan pressure-group ini menguntungkan atau justru merugikan kepentingan publik. Bagi Birch hal ini semata masalah penilaian politik (political judgement) bukan masalah analisis konsep maupun teoretik Pluralisme.[28]

Bagi Birch, beberapa sistem negara Demokrasi lebih nyata kadar Pluralismenya ketimbang negara lainnya. Amerika adalah satu contoh ekstrim, tidak hanya akibat seksionalisme geografis dan desentralisasi sistem pemerintahan, melainkan juga di Washington, cabang eksekutifnya cenderung lebih lemah ketimbang di negara Demokrasi Eropa. Konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikombinasikan lemahnya disiplin partai di Kongres, membuat eksekutif sulit mewujudkan draft legislasi menjadi undang-undang manakala ada satu atau beberapa kelompok berpengaruh menentangnya. Eksekutif bahkan sulit memperoleh persetujuan anggaran tahunan, sementara di negara Demokrasi Parlementer, proposal anggaran ini justru diterima secara taken for granted.[29]

Di negara-negara Eropa, Pluralisme politik akibat seksionalisme geografis kurang signifikan ketimbang pressure-group. Pressure-group mendapat posisi penting di Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan Australia.[30] Namun, hasil kerja dari pressure-group di Eropa berhadapan dengan suara Parlemen. Kerap suara pressure-group kurang ditanggapi dan sehubungan dengan isu yang mereka suarakan, pemerintah dapat saja melakukan sosialisasi kepada seluruh warganegara sehingga mentransfer isu yang dibawa pressure-group ini ke dalam collective mind. Sebab itu pemerintahan Demokrasi di Eropa mampu mengimbangi peran pressure-group ketimbang di Amerika. [sb] 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] David Schlosberg, “The Pluralist Imagination” dalam John S. Dryzek, Bonnie Honig and Anne Phillips, eds., The Oxford Handbook of Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 2006) p. 143. 
[2] Anthony Harold Birch, Concepts and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London: Routledge, 2001) pp. 177– 212. 
[3] Ibid., p. 177. 
[4] Paul Q. Hirst, ed., The Pluralist Theory of the State: Selected Writings of G. D. H. Cole, J. N. Figgis, and H. J. Laski (London: Routledge, 1993) p. 1. 
[5] Ibid., p. 2 
[6] Ibid. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid., pp. 177 – 8. 
[9] Ibid., p. 179. 
[10] Calhoun seperti dikutip dalam ibid., p. 179. 
[11] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.,., p. 179. 
[12] Ibid. p. 179 – 80. 
[13] ibid., p. 180. 
[14] ibid. 
[15] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 180. 
[16] Ibid.., p. 180. 
[17] Ibid. 
[18] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 181. 
[19] Max Lerner seperti dikutip Birch dalam ibid. p. 181 – 2. 
[20] Robert Dahl seperti dikutip Birch dalam ibi.d, p. 182. 
[21] Charles Lindbloom seperti dikutip Birch dalam ibid. 
[22] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 183. 
[23] ibid., p. 183. 
[24] Temuan Dahl ada empat, tetapi untuk membuat tulisan ini tidak terlampau panjang hanya dimuat 3 saja. Dahl dalam ibid., p. 183. 
[25] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 183 – 4. 
[26] ibid., p. 184. 
[27] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 184. 
[28] ibid., p. 185. 
[29] ibid. 
[30] Pemerintahan Australia banyak dijalankan oleh orang Eropa, kendati secara geografis wilayahnya di pasifik, bukan Atlantik.

No comments:

Post a Comment