Latest News

Saturday, November 9, 2019

Demokrasi Pemerintahan Rakyat atau Mayoritas


Demokrasi pemerintahan rakyat atau mayoritas adalah wujud dilematis bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dipraktekkan di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis, dinyatakan Rousseau sebagai bukan Demokrasi, tetapi perbudakan. Bagi Rousseau, Demokrasi sekadar menghasilkan oligarki para wakil rakyat yang cuma memberi perhatian pada kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Lalu, bagaimana kemudian Demokrasi meski dikritik secara keras oleh Rousseau, tetap jadi pilihan cara memerintah suatu negara ?

Pendahuluan 

Jawaban atas kritik Rousseau dapat kita temukan pada tulisan Jack Lively. Tulisan Jack Lively mengenai Demokrasi, tepatnya mengenai pemerintahan oleh rakyat dan mayoritas, mengantarkan kita ke dalam pemahaman Demokrasi di era saat ini. Lively menyodorkan aneka argumentasi praktis sekaligus kritis dalam membedah kedua konsep tersebut. Ia tidak lagi bicara apakah Demokrasi itu bentuk pemerintahan yang baik atau tidak, melainkan Demokrasi diterima sebagai sistem pemerintahan yang aktual berlaku di negara moderen dan bagaimana aspek pragmatisnya. 

Sejak awal, Lively tidak menampakkan sulitnya pendefinisian Demokrasi. Baginya, konsep ini punya sejarah panjang dan secara konsisten telah sering dipergunakan.[1] Inti dari Demokrasi adalah demos yaitu rakyat melakukan pemerintahan, dan pihak yang banyak (many) memegang kekuasan lebih besar ketimbang yang sedikit (few). Pembedaan ini bukan merupakan hal baru mengingat di era lebih lampau, Aristoteles sudah menggunakan pengertian ini. Namun, penambahan konsep political equality (kesetaraan politik) yang membuat kebaruan dari konsep Demokrasi di era kini. Penambahan konsep ini mendorong munculnya konsep baru yaitu ‘Demokratis’, yaitu dengan mana demokrasi dijalankan berdasarkan kesetaraan politik. 

Lively lebih lanjut mengelaborasi dua konsep, yaitu rule dan the people. Kedua konsep inilah yang nantinya membedakan antara Demokrasi dalam pikiran Lively dengan apa yang terdapat dalam pemikiran Aristoteles atau aneka filsuf politik lainnya saat bicara mengenai Demokrasi. Lively lebih dahulu menetapkan batasan, apakah konsep the people diartikan sebagai adanya kehendak yang homogen bagi seluruh anggota komunitas, sehingga keputusan politik dapat disepakati oleh keseluruhan? Bagi Lively, konsep kedaulatan rakyat kerap diselewengkan oleh rezim berkuasa untuk membenarkan pembungkaman atas oposisi, yang perilakunya oleh sang rezim dinilai bertentangan dengan kehendak rakyat. Kehendak rakyat ini tentunya seperti ditafsirkan oleh sang rezim sendiri.[2] 

Untuk keluar dari dilema ‘kehendak rakyat’ ini, atau dalam bahasa Rousseau disebut general will, Lively kemudian memberi penekanan praktis atas apa yang ia sebut prinsip mayoritas. Tentu saja, prinsip mayoritas yang dimaksud Lively berbeda dengan apa yang diajukan Aristoteles di masa lampau.[3] Lively juga berbeda pendapat dengan Rousseau karena ia melepaskan diri dari konsep general will yang mungkin dinilainya terlampau abstrak. Secara tegas, bagi Lively, yang dimaksud kedaulatan di dalam negara adalah kedaulatan mayoritas, bukan rakyat. Namun, prinsip mayoritas ini disikapi Lively secara hati-hati dan dipahami lebih secara pragmatis ketimbang ideologis layaknya Rousseau manakala memperkenalkan konsep general will yang tidak pernah bisa salah dan Daulat sebagai wujud aktifnya dalam negara. 

Ambiguitas lain yang dipersoalkan Lively adalah konsep rule. Lively beranggapan bahwa pada satu sisi, many (yang banyak) tidak bisa memerintah secara totalitas, tetapi pada sisi lain, yang banyak ini mungkin dan dapat saja memerintah pada sebuah sistem politik dengan sejumlah kondisi yang harus dipertimbangkan secara pragmatis.[4] 

Lively melanjutkan, apabila di saat memerintah negara menghendaki keberlakuan haknya (otoritas) untuk memerintah pihak lain, sistem Demokrasi tidak bisa mengelak dari terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan sedikit orang. Persoalan-persoalan ini sesungguhnya tidaklah baru, karena Rousseau di era sebelumnya sudah mempermasalahkan ini dalam pembahasannya mengenai pejabat yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Lively secara lebih pragmatis menyadari, bahwa kendati mayoritas adalah pihak yang patut mengambil keputusan pemerintahan dan penyusunan legislasi, secara empiris hal tersebut tetap tidak mungkin, sebab secara aktual, keputusan selalu diambil oleh sekelompok kecil pemimpin. Pada sisi lain, Lively mengajukan argumen, jika yang dimaksud dengan pemerintahan rakyat adalah pemerintah yang bertindak dan mengikuti keinginan dari yang banyak, maka dapat saja sistem politik seperti itu (dimana eksekutif dan legislatif adalah mewakili rakyat) disebut sebagai pemerintahan rakyat. Di sini letak pragmatisme Lively ketimbang Rousseau. 

Sebelum masuk pada analisis kritis atas pemikiran Lively, perlu disampaikan bahwa tema tulisannya yang akan dikritisi telah dispesifikasi. Dua tema besar tulisan Lively adalah Prinsip Pemerintahan oleh Mayoritas dan Pemerintahan oleh Rakyat. Tema pertama dielaborasinya menjadi sejumlah sub tema seperti tingkat kewarganegaan, keputusan mayoritas, dan kesetaraan politik, Tema kedua dipecah menjadi sub-sub tema persyaratan yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, persyaratan yang tidak mencukupi, dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Critical review ini akan mengikuti alur tema dan sub-sub tema tulisan Lively di dalam bukunya, Democracy. 

Prinsip Mayoritas 

Bahasan Lively mengenai prinsip mayoritas diawali tanggapannya atas definisi Demokrasi yang diajukan Lord Bryce.[5] Bryce mendefinisikan Demokrasi sebagai “pemerintahan dengan mana kehendak mayoritas warganegara yang memenuhi syarat, melakukan pemerintahan.”[6] Pertama, bagi Lively definisi tersebut dekat dengan prinsip mayoritas, sebab agar Demokratis, pembuat keputusan harus terdiri atas pihak mayoritas dalam komunitas. Kedua, prosedur yang diikuti pembuat keputusan harus merupakan hasil dari ketetapan mayoritas pula. Problem dari definisi Bryce, bagi Lively, adalah dicantumkannya konsep warganegara (citizen) yang olehnya kemudian dielaborasi secara lebih lanjut. 

Tingkatan Kewarganegaraan 

Baik Aristoteles maupun Rousseau secara khusus menyinggung konsep warganegara saat bicara mengenai Demokrasi.[7] Lively, pun serupa bahwa konsep ini memegang peran cukup penting untuk dielaborasi dalam kaitannya dengan konsep Demokrasi. Secara sederhana, Lively mendefinisikan warganegara sebagai “one who takes part in political decision-making.”[8] Masalah bagi Lively adalah, warganegara mana yang ambil bagian dalam pengambilan keputusan tersebut? 

Untuk merespon pertanyaan ini, Lively melakukan sejumlah perumpamaan. Manakala mayoritas anggota suatu komunitas berusia non dewasa, apakah pembatasan warganegara yang bisa mengambil keputusan politik hanya pada mereka yang berkategori dewasa saja, dapat disebut Demokratis? Perumpamaan lainnya adalah kondisi dimana: (a) minoritas kecil anggota komunitas adalah kulit hitam dan wanita yang ditolak kewarganegaraannya; (b) yang diakui kewarganegaraannya adalah kulit putih dan pria. Dari dua kondisi (a dan b) tersebut apakah ‘Demokratis’ layak disandangkan pada komunitas tersebut? Menurut Lively, kasus usia non dewasa dan minoritas kecil (wanita dan kulit hitam) merupakan konsekuensi akibat penerapan prinsip mayoritas dalam Demokrasi. Demokrasi di sini dikaitkan dengan proses politik. Lively ingin menunjukkan bahwa dalam Demokrasi, mayoritas mungkin saja dikecualikan dari proses politik (kasus non dewasa) dan apabila terjadi di kasus minoritas wanita dan kulit hitam yang dikecualikan, maka sistem politik dinyatakan tidak Demokratis. 

Bagi Lively, ‘banyak’ (many) dalam konteks pemerintahan oleh yang banyak bukan semata masalah mayoritas secara numerik, melainkan lebih kepada masalah prinsip. Mereka yang di bawah umur harus dikecualikan dari proses politik, sementara kendati mereka minoritas, kaum kulit hitam dan wanita harus diikutsertakan dalam proses politik apabila sudah memenuhi syarat usia (dewasa). Masalah dalam pemerintahan oleh yang banyak di sini bukanlah bersifat rasial, melainkan kompetensi. Kaum wanita dan kulit hitam dewasa memiliki kompetensi politik yang sama dengan kulit putih dan laki-laki dewasa, sementara mereka yang belum dewasa dinyakan belum memilikinya. 

Dalam masalah kompetensi ini, Lively melanjutkan argumentasinya mengenai tingkat kewarganegaraan. Bagi Lively, tingkatan kewarganegaraan bergantung pada kualitas individu seperti apa yang perlu ada bagi sebuah kompetensi politik dan bagaimana cara mendistribusikannya di tengah komunitas (sistem politik atau negara).[9] Lively menjawab persoalan ini dengan menyatakan bahwa kualitas kompetensi politik sangat bergantung pada tujuan dari sistem politik. Jika tujuan dari sistem politik adalah pengamanan properti, maka individu yang cenderung memperjualbelikan properti negara harus dikecualikan dari proses politik. Parameter tujuan dari sistem politik ini pun berimplikasi pada batasan kewarganegaraan yang juga ditentukan berdasarkan distribusi kualitas relevan seperti apa yang harus dipenuhi. Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis bahwa seperti apa kualitas yang harus dikuasai warganegaranya harus sejalan dengan tujuan sistem politik. 

Masalah korelasi antara kualitas warganegara dengan tujuan sistem politik pun terjadi di era Demokrasi Yunani Kuno tahun 528 – 322 sM.[10] Tentu saja, warganegara yang dimaksud terbatas pada laki-laki merdeka, bukan budak. Kompetensi warganegara yang diharapkan adalah mereka yang mampu menerima panggilan tugas menjadi pasukan hoplite (tombak panjang), mendukung keuangan negara kota dengan sejumlah cara, menghargai orang tuanya, patuh pada hukum negara kota, dan melakukan perilaku seksual sesuai norma. Dengan demikian, masalah tingkatan kewarganegaraan seperti diujarkan oleh Lively dalam konteks Demokrasi sesungguhnya punya akar sejarah yang sangat panjang. 

Dalam proses politik komunitas, Lively tidak sepakat bahwa masalah rasial, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi menjadi tolak ukur pengecualian dalam prinsip mayoritas. Bagi Lively, ras bukan masalah kompetensi individual karena merupakan unsur primordial manusia: Setiap ras adalah setara. Juga, Lively tidak sepakat dengan pernyataan stereotip bahwa masyarakat dari satu budaya lebih terbelakang dari anggota budaya lain. Lively dengan demikian dapat disebut sebagai pemikir politik yang egaliter. Bagi Lively, pengecualian kesetaraan warganegara sebagai syarat untuk terlibat dalam proses politik harus ditempatkan semata pada kualitas individual. Bagi Lively, mereka yang gila atau di bawah usia sangat memungkinkan untuk dikecualikan sebagai kategori warganegara yang dapat terlibat dalam proses politik. Mereka tetap warganegara tetapi harus dikecualikan dari proses politik karena kompetensinya tidak memadai untuk memilih atau dipilih ke dalam jabatan publik. 

Keputusan Mayoritas 

Lebih lanjut, Lively mengetengahkan bahasan seputar keputusan mayoritas. Secara pragmatis, Lively menganggap bahwa masalah keputusan mayoritas bukan monopoli Demokrasi saja. Masalah ini selalu akan muncul baik suatu pemerintahan menganut Demokrasi atau tidak.[11] Lively mencontohkan, kelompok bangsawan herediter (mungkin maksudnya Aristokrasi) juga memiliki masalah ini, tetapi mereka cenderung dapat membuat keputusan secara damai mengingat satu sama lain sudah saling mengenal, berhubungan kerabat, dan jumlahnya hanya sedikit. 

Parameter utama dalam prosedur pembuatan keputusan, menurut Lively, adalah harus adanya kesetaraan di antara individu yang membuat keputusan tersebut.[12] Setelah parameter ini terpenuhi, Lively kemudian mengidentifikasi lima macam prosedur pembuatan keputusan, yaitu: (1) Syarat suara bulat (unanimity requirement); (2) Syarat mayoritas yang ditetapkan (stipulated majority requirement); (3) Syarat minoritas (minority requirement); (4) Minoritas yang tertarik (interested minority); dan (5) Keputusan mayoritas sederhana (simple majority decisision).[13] 

Untuk prosedur yang pertama, syarat suara bulat, diberlakukan saat tidak ada kebijakan yang bisa diambil melainkan harus disetujui oleh semua yang terlibat. Dapat saja terjadi bahwa setiap individu memiliki hak veto, sekurangnya saat kebijakan tersebut baru dalam tahap perancangan. Dalam syarat mayoritas yang ditetapkan maka jumlah yang setuju terhadap kebijakan terlebih dahulu ditetapkan persentasenya sebelum sebuah kebijakan diadopsi. Bagi Lively, prosedur ini memiliki sejumlah varian. Salah satunya adalah absolut majority yaitu lebih dari 50% menyetujui manakala terdapat lebih dari dua alternatif pilihan. Prosedur ini juga dapat diberikan kepada kalangan minoritas yang diberikan hak veto atas suatu keputusan, yang tentunya ukuran minoritas seperti apa yang dapat melakukannya, harus pula ditetapkan sebelumnya. 

Prosedur ketiga adalah syarat minoritas, yang menetapkan bahwa alternatif keputusan dengan jumlah suara yang mendapatkan dukungan minoritas dapat menang. Prosedur keempat yaitu minoritas yang tertarik , yang dalam konteks ini, kelompok minoritas tertentu memegang kekuasaan pengambilan keputusan di area kebijakan khusus, dan kalangan minoritas lainnya di area berbeda. Prosedur yang kelima adalah keputusan mayoritas sederhana, yaitu alternatif kebijakan yang memperoleh suara terbanyak sajalah yang diadopsi. Lively berujar bahwa kelima prosedur pengambilan keputusan seperti telah diuraikan, harus diterapkan sesuai kondisi pragmatis tertentu. Ada kondisi-kondisi yang membuat satu atau beberapa prosedur tersebut tidak bisa diterapkan. Secara umum, apa yang disampaikan Lively mengenai kelima prosedur pembuatan keputusan bersifat sangat teknis. 

Hal prinsipil yang sesungguhnya hendak dijelaskan Lively melalui aneka prosedur pengambilan keputusan ini adalah, prinsip mayoritas dalam pembuatan keputusan tidak bisa ditetapkan secara hantam kromo melainkan harus memperhatikan kondisi komunitas keseluruhan, keberadaan kelompok minoritas, dan karakter alternatif kebijakan yang ingin dipilih. Kondisi-kondisi inilah yang menentukan dipilihnya salah satu atau lebih prosedur pembuatan keputusan. Satu prinsip yang ditekankan Lively dalam pemilihan prosedur pengambilan keputusan ini adalah kesetaraan politik, karena Demokrasi concern dengan maksimasi kesetaraan politik, yaitu harus meliputi baik kaum mayoritas dan minoritas.[14] Saat menghubungkan prosedur pengambilan keputusan dengan kesetaraan politik ini, Lively mengajukan konsep kesetaraan retrospektif dan kesetaraan prospektif.[15] 

Kesetaraan retrospektif berkenaan dengan keputusan yang telah dibuat, yang dianggap terjadi apabila setiap orang secara bersama ikut serta dalam menentukan keputusan tersebut. Kesetaraan prospektif sedikit lebih rumit karena merupakan prakondisi saat keputusan dalam posisi belum diambil. Kesetaraan ini terjadi (prospektif) apabila tidak ada orang atau kelompok, yang secara sengaja dibuat mereka tereksklusi manakala tiba saatnya keputusan diambil. 

Masih dalam konteks kesetaraan retrospektif, Lively menjelaskan, bahwa dalam sistem keputusan mayoritas, apabila terdapat minoritas yang tidak ikut menentukan sebuah keputusan, maka sejauh keputusan tersebut menjadi fokus perhatian minoritas, dapat dikatakan minoritas tersebut tidak mengalami kesetaraan retrospektif. Hanya jika tercapai suara bulat, dengan mana kesepakatan penuh atas sebuah keputusan terjadi, maka kesetaraan paripurna dalam (pengertian retrospektif) tercapai. Jadi, bagi Lively, hanya suara bulat saja (dimana kelompok minoritas dan mayoritas ikut serta) yang merupakan jaminan bahwa kesetaraan retrospektif terjadi. 

Namun secara paradoks, deadlock dalam prosedur pengambilan keputusan berdasarkan suara bulat sangat besar kemungkinannya. Lively mencontohkan, apabila terdapat dua pilihan kebijakan, di mana satu hendak mempertahankan dan lainnya hendak mengubah status quo, dan suara bulat merupakan prosedurnya, maka dapat diramalkan tidak akan terjadi kesepakatan bulat. Di sinilah deadlock akan terjadi akibat perbedaan pendapat yang niscaya dalam kasus tersebut. 

Lively menulis bahwa masalah deadlock akibat keharusan prosedur suara bulat ini pernah ditengarai Rousseau.[16] Tujuan Rousseau, menurut Lively, adalah merancang sistem politik yang mampu mengeliminasi segala bentuk ordinasi dan subordinasi antarsesama manusia. Rousseau beranggapan tujuan ini hanya dapat tercapai jika semua orang terikat oleh aturan sosial. Hanya jika terdapat kesepakatan penuh atas aturan sosial, maka semua orang dapat diangap sama kemerdekaan penuhnya. Lively menganggap Rousseau sangat mengupayakan terjadinya kesetaraan retrospektif, yang hanya dapat tercapai melalui prosedur suara bulat. Bagi Rousseau, (menurut Lively) pihak yang berbeda pendapatnya dalam pengambilan keputusan berdasarkan suara bulat , dinyatakan keliru dalam memandang kebaikan bersama (common good) karena telah keluar dari general will. 

Dalam politik pragmatis, Lively menyinggung masalah pengaturan oleh minoritas.’[17] Kondisi ini hanya dapat terjadi di dalam situasi poliarki, berupa aktivitas yang ditunjukkan oleh aneka kelompok penekan (pressure-group), yang aktivitasnya merambah pada pemerintahan, birokrasi, para legislator, partai politik, maupun opini publik. Tujuan mereka adalah memenuhi kepentingan kelompoknya melalui kebijakan tertentu dalam politik negara. Pengaturan (baca: proses pengambilan keputusan) oleh minoritas ini tentu tidak dilakukan oleh seluruh kelompok minoritas, melainkan hanya oleh kelompok tertentu yang cenderung bersikeras saja. Juga biasanya hanya berlingkup pada area kebijakan yang secara nyata mempengaruhi kepentingan atau eksistensi kelompok mereka. Kemungkinan adanya pengaturan oleh minoritas ini diterima secara positif oleh Lively, karena baginya justru hal tersebut dapat menjamin suara minoritas mereka terdengar di setiap tahap krusial dalam proses pengambilan keputusan. 

Gerakan politik dari kelompok minoritas yang berusaha memberikan pengaruh atas keputusan politik ini cukup menarik. Hasrat utama mereka untuk terlibat dalam aktivitas politik bergantung pada persepsi individu atau kelompok mengenai hubungan antara aktivitas yang ia (atau mereka) lakukan dengan sarana pencapaian kepentingannya.[18] Eksistensi kegiatan yang mereka lakukan relatif dipengaruhi tingkat pendidikan, keterampilan berorganisasi, waktu, uang, dan kemudahan akses mereka terhadap pemerintah, media massa, dan partai politik yang kelompok tersebut miliki. Apabila resources ini dimiliki, maka mereka akan mampu menjalankan partisipasi politik yang efektif. Lively mencatat bahwa aneka resources ini tidak dimiliki oleh the many (yang banyak). Hanya kelompok yang mampu memberikan benefit bagi anggota organisasinya, yang Lively yakini, akan lebih memiliki kekuatan ketimbang yang tidak. 

Lively kemudian melakukan bahasan khusus atas prosedur pengambilan keputusan oleh minoritas. Terlebih dahulu ia membedakan antara siapa yang memutuskan dan bagaimana mereka memutuskan.[19] Bagi Lively tidaklah absurd bahwa minoritas kecil yang mendorong diambilkan keputusan pemerintah mengenai suatu isu dalam komunitas. Namun, adalah absurd apabila dinyatakan bahwa siapapun yang mengambil keputusan harus menggunakan prosedur keputusan oleh minoritas. Jika pemberi suara paham prosedur, secara praktis ia akan mengkonversinya menjadi prosedur keputusan mayoritas. 

Bahasan Lively kemudian adalah prosedur pembuatan keputusan mayoritas sederhana. Secara kritis Lively menyatakan memang seolah-olah prosedur ini yang paling berkorelasi dengan kesetaraan politik. Bagi Lively, prosedur ini tidak memenuhi syarat kesetaraan retrospektif sejauh kelompok minoritas tidak ikut menentukan keputusan. Syarat kesetaraan retrospektif baru terpenuhi manakala konsensus lengkap atas sejumlah alternatif dihadirkan, tetapi kondisi konsensus ini tidak ada jaminannya dalam proses politik. 

Lively kemudian membahas kekhawatiran James Madison dan Alexis de Tocqueville akan adanya tirani mayoritas akibat pemberlakuan prinsip pemerintahan oleh mayoritas.[20] Lively membantah kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa keputusan oleh mayoritas merupakan prinsip operatif dalam Demokrasi Barat. Lively menyodorkan fakta bahwa secara kelompok (dalam konteks pemberian suara) tidak pernah ada mayoritas yang terus-menerus bersifat homogen (satu sikap) dalam memutuskan aneka isu. Indikasi yang aktual adalah mayoritas tersebut justru cairnya sifatnya akibat perubahan isu yang kerap terjadi antarwaktu. Lively menandaskan bahwa kelompok mayoritas ini tidak berbentuk tetap atau dapat diuraikan secara baku. Mayoritas ini juga tidak akan mengecualikan kelompok lain dalam pengambilan suatu keputusan. Lively menyebutnya sebagai kondisi kesetaraan prospektif, di mana hampir setiap individu tidak pernah melulu jadi minoritas dalam setiap isu kenegaraan. Tirani mayoritas hanya akan terjadi manakala minoritas sudah diidentifikasi sebelumnya, sementara mayoritas selalu terdiri atas komposisi kelompok yang sama dan bersikap sama di seluruh atau sebagian besar isu.[21] 

Kekhawatiran lain Madison dan Tocqueville, yang juga direspon Lively adalah, akan terjadi opresi atas ‘si kaya’ (yang minoritas) oleh ‘si miskin’ (yang mayoritas). Lively berargumentasi bahwa opresi yang keduanya maksud belum pernah terbukti aktualitasnya. Bagi Lively, justru ‘si kaya’ yang malah menguasai aneka taktik dalam mempengaruhi pengambilan keputusan selain metode konvensional (melalui kotak suara). Opresi bagi Lively baru mungkin terjadi manakala ‘si kaya’ yang minoritas tidak punya sarana dalam mempengaruhi kebijakan selain kotak suara. Fenomena tirani mayoritas juga baru akan terjadi manakala kelompok minoritas tidak punya sarana dalam mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Lively mencontohkan kaum Katolik di Irlandia Utara dan kulit hitam di Amerika Serikat, di mana tirani mayoritas terjadi. Kaum Katolik Irlandia Utara dikelilingi kaum Protestan Inggris, sementara kulit hitam Amerika Serikat dikepung oleh kulit putih. Kedua kasus ini berkisar di dalam sphere primordial ketimbang kompetensi individual: Kaum Katolik di Irlandia Utara dan kaum kulit hitam di Amerika tidak memiliki resource yang mencukupi untuk mempengaruhi kebijakan negara. 

Masalah tirani oleh minoritas atau mayoritas ini, bagi Lively, bukanlah masalah norma Demokrasi. Hal yang menjadi masalah adalah ternyata prinsip mayoritas tidak lantas menjamin operasionalisasi salah satu prinsip Demokrasi: kesetaraan politik. Kaum Katolik Irlandia Utara dan kaum kulit hitam Amerika adalah contohnya. Apapun prosedur pengambilan keputusan yang dipilih, apabila secara permanen tidak memasukkan kelompok-kelompok khusus akibat masalah primordial (yang berbeda dengan mayoritas) agar dapat mempengaruhi atau menentukan kebijakan komunal, maka komunitas tersebut tidak bisa disebut Demokratis.[22] Amerika Serikat, dalam pengertian, belum Demokratis hingga tahun 1964 manakala kaum kulit hitam diberikan hak pilih dalam Pemilu. Agak ironis memang. 

Kesetaraan Politik 

Lively menganggap aneka pembicaraan seputar konsep kesetaraan politik hingga di masanya masih bersifat abstrak. Ia menginginkan sesuatu definisi yang lebih operasional terhadap konsep ini. Anggapan Lively mengenai abstraknya pembicaraan konsep kesetaraan politik, dilukiskannya lewat dua kritik berikut: Pertama, kesetaraan politik tidak dapat dicapai oleh ketetapan konstitusional semata, tetapi bergantung pada nilai-nilai pengaturan sosial (norma masyarakat) yang tumbuh dari masyarakat sehingga diyakini mampu mempengaruhi pemerintah; Kedua, di negara moderen yang besar dan kompleks, akan sangat bermanfaat untuk dilakukan audiensi dengan warganegara saat keputusan bersama hendak dibuat.[23] 

Bagi Lively, baik hak pilih universal maupun pilihan prosedur pengambilan keputusan yang dianggap cocok, keduanya tidaklah cukup untuk menjamin terciptanya kesetaraan politik. Kesetaraan politik bergantung pada distribusi kehendak dan kemampuan warganegara untuk menggunakan hak-hak kewarganegaraan mereka sebagai sumber daya potensial untuk mempengaruhi keputusan yang berdampak pada masyarakat. 

Ironisnya, dalam hal kesetaraan politik ini, setiap individu ternyata berbeda tingkat keterlibatannya dalam proses politik. Perbedaan ini terletak pada aspek individualitas masing-masing individu, baik berupa sikap mereka akan posisi dirinya di dalam sistem politik maupun atas resource politik yang mereka miliki. Setiap individu memiliki perbedaan dalam kapasistas political efficacynya.[24] Political efficacy adalah pemahaman hingga tingkat mana seorang individu merasa dapat mengubah keputusan pemerintah yang mempengaruhi hidupnya, akses dirinya atas informasi dan kompetensinya dalam melakukan penilaian berdasarkan informasi tersebut, kemampuan dan kemauannya mencurahkan waktu dan uang guna melakukan partisipasi politik, serta pengalamannya dalam berorganisasi sosial. Tinggi rendahnya political efficacy dalam diri invidu dapat saja diakibatkan oleh pengaruh sistem politik. 

Lively juga menyatakan bahwa tumbuhnya sikap (political efficacy) yang mendorong partisipasi politik tidaklah tersebar merata (Lively mencontohkannya di Demokrasi Barat).[25] Latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, status sosial, adalah sejumlah faktor yang mempengaruhi kecenderungan individu untuk bertindak secara politik. Kesetaraan politik, dengan demikian, akan bervariasi antarindividu paralel dengan derajat kesetaraan sumber daya atau pengalaman di bidang lain. Bagi Lively adalah jelas, kesetaraan didasarkan atas parameter penguasaan kemakmuran ataupun kendali atas media massa yang mampu memberikan pengaruh langsung atas para pembuat keputusan, ketimpangan dalam penguasaan ini dapat berujung pada ketidaksetaraan politik warganegara. 

Namun, Lively juga melakukan pembelaan atas Demokrasi Barat manakala berhadapan dengan rivalnya dari rezim Sosialis-Komunis. Rezim terakhir ini kerap menyerang pihak pertama bahwa di negara Demokrasi Barat, kendati terdapat kesetaraan formal atas hak pilih, sumber kekuasaan politik yang nyata, yaitu penguasan alat dan cara produksi, sesungguhnya hanya dikuasai oleh kelas yang kecil jumlahnya. Pada sisi lain, lanjut Lively, terdapat klaim bahwa di negara Sosialis-Komunis, ketidaksetaraan penguasaan alat dan cara produksi telah diberantas oleh konsep Demokrasi Rakyat dan negara hanya punya satu kepentingan yang harus dilayani: Kepentingan ‘rakyat.’ Lively menyimpulkan bahwa kesetaraan politik bukan bergantung pada slogan kosong Demokrasi Barat atau Demokrasi Rakyat, melainkan pada prasyarat kesetaraan lain yang wajib ada terlebih dahulu, sebelum kesetaraan politik dapat tercapai. Dengan demikian, penentuan suatu rezim dinyatakan Demokratis atau tidak, bukan bergantung pada slogan, melainkan pada proses aktual yang dilaksanakan setiap rezim dalam menjamin terciptanya kesetaraan politik. 

Pemerintahan oleh Rakyat 

Dalam pembahasannya mengenai pemerintahan oleh rakyat, Lively membaginya menjadi sejumlah subtopik seperti persyaratan yang mungkin untuk pemerintahan rakyat dan persyaratan yang tidak mencukupi. Tulisan selanjutnya akan mengelaborasi konten dari tulisan Lively mengenai dua subtopik ini. 

Persyaratan Demokrasi agar dapat disebut Pemerintahan oleh Rakyat 

Lively langsung mengajukan syarat operasional mengenai apa yang dimaksud dengan pemerintahan oleh rakyat. Syarat tersebut bergradasi, dari yang paling kuat kaitannya dengan pemerintahan oleh rakyat hingga yang terlemah, sebagai berikut:[26] 

  1. Bahwa semua orang harus memerintah, dalam pengertian semua harus terlibat dalam proses legislasi, dalam menentukan kebijakan umum, dalam menerapkan undang-undang, dan dalam administrasi pemerintahan. 
  2. Bahwa semua orang harus secara personal terlibat dalam pembuatan keputusan yang krusial, yaitu dalam memutuskan perundang-undangan umum dan materi kebijakan umum. 
  3. Bahwa penguasa harus akuntabel dihadapan yang diperintah; mereka harus, dengan kata lain, wajib menjelaskan setiap tindakannya pada yang diperintah dan dapat diberhentikan oleh mereka. 
  4. Bahwa penguasa harus akuntabel di hadapan para wakil pihak yang diperintah. 
  5. Bahwa penguasa harus dipilih oleh yang diperintah. 
  6. Bahwa penguasa harus dipilih oleh wakil pihak yang diperintah. 
  7. Bahwa penguasa harus bertindak sesuai kepentingan pihak yang diperintah. 
Lively menjelaskan bahwa ketujuh premis di atas merupakan elaborasinya atas konsep pemerintahan oleh rakyat. Ketujuhnya sekaligus menjelaskan relasi yang berbeda-beda antara yang memerintah dengan yang diperintah. Semakin lemah hubungan, maka semakin sulit dikatakan suatu negara disebut Demokrasi. 

Lively kemudian memaparkan bahwa cukup sulit menerapkan premis 1, 2, dan 3 dalam konteks bernegara. Masalah utama yang muncul adalah efisiensi waktu, efisiensi lokasi pertemuan, dan kemungkinan banyaknya perdebatan. Dengan demikian, rasionalisasi atas penerapan aneka premis di atas salah satunya adalah pada besar-kecilnya asosiasi juga komunitas politik yang hendak menerapkannya. Juga, atas alasan ekonomi dan efisiensi, orang mungkin lebih memilih premis yang lebih terbatas seperti misalnya bahwa penguasa harus dipilih oleh pihak yang diperintah atau penguasa harus dipilih oleh wakil pihak yang diperintah. Pilihan pertama berlaku di sistem presidensil, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat seperti di Amerika. Pilihan kedua berlaku bagi Inggris, di mana perdana menteri dipilih oleh anggota Parlemen berdasarkan komposisi kursi partai politiknya. 

Konsep pemerintahan oleh rakyat juga kontroversial dalam hal pengejawantahannya di alam nyata. Berdasarkan ketujuh premis yang ia sampaikan, Lively mempertanyakan hingga tingkat dan cara mana seharusnya tindakan White House (pusat kegiatan Eksekutif) menjadi subyek kendali Kongres? Apakah kabinet Inggris sekadar bertanggung jawab kepada para pemilih mereka di parlemen? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa konsep pemerintahan oleh rakyat tidak boleh disikapi sebagai sekadar jargon melainkan sesuatu yang harus memiliki makna pragmatis. Operasionalisasi ketujuh premis tersebut, menurut Lively, adalah kondisi pragmatis-aktual yang membuat konsep pemerintahan oleh rakyat dinyatakan sulit untuk diterapkan secara begitu saja dalam politik negara sehari-hari. 

Demokrasi yang tidak Tercukupi Syaratnya

Tulisan Lively dalam subtopik ini masih berhubungan dengan ketujuh premis pemerintahan oleh rakyat yang ia ajukan. Menurut Lively, premis yang lebih kuat (premis 1 dan 2) dapat saja cocok diaplikasikan dalam konteks pemerintahan lokal atau komunitas kecil ketimbang pemerintahan pusat suatu negara. Namun, premis 1 yang menyatakan semua orang harus memerintah agaknya cukup berlebihan. Bahkan bagi komunitas kecil, menurut Lively, kendati mungkin saja semua warganegara terlibat dalam pembuatan legislasi, tetapi tidak mungkin juga mereka seluruhnya ikut menerapkannya (menjadi eksekutif). Lively mencontohkan bahwa bahkan di dalam Demokrasi Athena, hanya 500 orang anggota Council of Five Hundred yang menjalankan administrasi pemerintahan.[27] Bahkan Rousseau pun menyatakan, seperti diujar Lively, “It is against the natural order for the many to govern and the few to be governed.” 

Sebagai seorang utilitarian, Lively berpendapat ketujuh premis pemerintahan oleh rakyat harus dirasionalisasi berdasarkan kasus-kasusnya yang spesifik. Misalnya, di Amerika adalah mungkin melibatkan warganegara secara langsung dalam proses pemerintahan melalui kegiatan penjurian dalam proses pengadilan terhadap seorang terdakwa. Juri diambil dari warganegara biasa, yang kompetensinya dianggap memenuhi syarat, untuk memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah ataukah tidak, berikut hukumannya. Ini merupakan bentuk pelibatan warganegara untuk turut memerintah kendati tidak meliputi jumlah yang besar. Lively melanjutkan contoh lainnya, bahwa di Inggris, badan Justice of the Peace yang ternyata anggotanya terdiri atas para magistrat amatir yang berasal dari rakyat yang dipilih akibat kompetensinya. Lalu, masih dilanjutkan Lively, para wakil rakyat terpilih di pemerintahan lokal ternyata punya kekuasaan administrasi dan tanggung jawab yang luas. Lively, sekali lagi secara pragmatis, menekankan pentingnya pelibatan warganegara untuk mengalami bagaimana ‘rasanya’ memerintah dan diperintah.[28] 

Namun, Lively tetap menekankan, ketujuh premisnya dapat menjadi pisau analisa untuk menetapkan apakah suatu negara dapat dikategorikan Demokratis atau tidak. Lively menyatakan bahwa tiga premis terakhir yaitu premis 5, 6, dan 7 tidak mencukupi untuk dikategorikan sebagai Demokratis. Untuk mendukung pernyataannya, Lively melontarkan dua pernyataan berikut: (1) Pemerintah yang bertindak atas nama kepentingan yang banyak adalah Demokrasi dan (2) Demokrasi tidak lain ketimbang sistem yang mengizinkan rakyat atau perwakilannya memilih penguasanya. Dua pernyataan ini memisahkan Demokrasi Barat (pernyataan 2) dengan Demokrasi Rakyat (pernyataan 1) yang banyak dianut oleh negara-negara Sosialis-Komunis. 

Untuk pernyataan pertama, Lively merujuk pada C. B. Macpherson,[29] yang menyebut Demokrasi hakikatnya adalah pemerintahan kelas, karena ia dikuasai oleh, dan berada dalam, kepentingan kaum miskin ‘tertindas.’ Bagi Lively, jika merujuk pada pendapat ini, maka Marx akan secara keliru dinyatakan sebagai seorang Demokrat (ini cukup lucu). Masih dalam logika Demokrasi Rakyat, bahwa di negara-negara proletariat, kekuasaan oleh yang banyak adalah sinequanon dengan rezim kelas yang berusaha memenuhi kepentingan yang banyak. Namun, kepentingan kelas ini adalah menghancurkan kepemilikan kapitalis dan anasirnya (yang sedikit). Negara Demokrasi Rakyat ini lalu membangun sistem satu partai. Secara lebih lanjut, klaim negara Sosialis-Komunis sebagai Demokrasi hanya tersisa pada asumsi ‘kosong’ bahwa tujuan utamanya adalah kesetaraan manusia, dan apabila benar, diperintah berdasarkan kepentingan yang banyak. Benarkah demikian kenyataan yang ada? 

Fakta sesungguhnya menjelaskan bahwa Demokrasi Rakyat di negara Sosialis-Komunis berawal dari utopia dan manakala terbentuk sebuah negara komunis (pasca Revolusi Bolshevik, misalnya) segera berubah menjadi distopia. Rusia manakala diperintah Tsar Nicholas II cenderung lebih menerapkan kebebasan bagi rakyatnya, misalnya dalam hal memeluk agama, memajukan pertanian, memulai rintisan industri, dan kemerdekaan beragama. Segera setelah Revolusi Bolshevik terjadi, yang diawali dengan utopia kesetaraan politik, pemihakan atas pertanian digantikan dengan industri, rintisan industri dipercepat tanpa memandang nilai-nilai agraris masyarakt Rusia, dan ibadah agama justru dianggap cacat masyarakat.. Ini dilanjutkan dengan pembentukan Cheka (pasukan paramiliter) yang pekerjaannya adalah mencari ‘minoritas’, yaitu orang-orang yang dicurigai sebagai “musuh mayoritas”. Banyak di antara ‘minoritas’ ini adalah dokter, pendeta, ilmuwan, seniman, budayawan, guru, profesor untuk kemudian dieksekusi dengan tuduhan anti terhadap yang banyak. Rusia setelah itu mengalami defisit kalangan ahli (meritokrat). Utopia juga terjadi pada jargon pemerintahan oleh yang banyak, yang terbukti sekadar ilusi karena sesungguhnya diktator proletariat Rusia yang terbentuk pasca 1917 dikomposisikan oleh sebuah oligarki politik yang terdiri atas yang sedikit: Lenin, Leon Trotsky (Leoba Bronstein), Martov, dan politbiro lainnya (umumnya mereka beretnis Yahudi Ashkenazi ketimbang Rusia). Dalam Demokrasi Rakyat Rusia yang Komunis, yang banyak ternyata tidak berkuasa melainkan sekadar yang sedikit.[30] 

Kembali Lively melakukan negasi atas logika Demokrasi MacPershon yang menyatakan bahwa tujuan akhir Demokrasi Rakyat adalah kesetaraan manusia. Lively menggunakan silogisme Aristoteles, yang dinyatakan dalam premis-premis dan konklusi berikut: (P1) Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang banyak; (P2) Di setiap negara yang banyak adalah yang miskin dan yang sedikit adalah yang kaya; (C) Sebab itu Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang miskin.[31] Logika Aristoteles ini serupa dengan yang dikembangkan oleh para pendukung Demokrasi Rakyat: (P1) Demokrasi Rakyat adalah pemerintahan oleh yang banyak; (P2) Di Rusia Komunis yang banyak adalah yang miskin dan yang sedikit adalah yang kaya; (C) Sebab itu Demokrasi Rakyat adalah pemerintahan oleh yang miskin. Premis Aristoteles tidak menemukan faktanya di Rusia Komunis. Kendati rezim Komunis mengatasnamakan rakyat, tetapi rakyat (yang banyak) tidak pernah memilih mereka. Mereka mengangkat diri mereka sendiri sebagai penguasa lewar Revolusi Bolshevik dan mempertahankan kekuasaanya melalui lewat intrik intra Oligarki. Oligarki Komunis lalu menafsirkan kepentingan yang miskin (kaum proletar, yang tidak punya alat produksi) menurut dogma Komunisme yang tidak bisa ditawar-tawar. Menutup kritiknya mengenai Demokrasi Rakyat, Lively menyatakan secara agak sinis: Jika pemerintahan bertindak demi kepentingan penguasanya maka tidak mencukupi pemerintahan jenis itu menggunakan kata Demokrasi.[32] 

Selain mengkritik konsep Demokrasi Rakyat yang didengungkan simpatisan Sosialis-Komunis, Lively juga mengkritik definisi Joseph Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis.[33] Schumpeter mendefinisikan “metode Demokratis adalah pengaturan kelembagaan guna mencapai keputusan politik, di mana individu (political leader) memperoleh kekuasaan untuk memutuskan, melalui persaingan kompetitif mereka dalam meraih suara rakyat.[34] Lively menyatakan bagi Schumpeter, dari ketujuh premisnya mengenai pemerintahan oleh rakyat, ia (Schumpeter) menganggap Demokrasi sudah mencukupi apabila premis ke 6 dan 7 terpenuhi. Bagi Lively, pendapat Schumpeter mengenai Demokraasi sangat lemah.[35] 

Lively lebih lanjut mengelaborasi pemikiran Schumpeter. Pikiran Schumpeter mengenai keberhasilan Demokrasi sifatnya Elitis. Mengapa Shumpeter disebut Elits? Bagi Schumpeter, politisi sebaiknya berasal dari kelas sosial yang secara tradisional berhubungan dengan penguasa. Pemerintahan Demokrasi harus menerima informasi, bahkan harus diarahkankan oleh Birokrasi, yang dijiwai semangat atas tugas dan esprit de corps, karena bagi Schumpeter, pelayanan publik (dalam Birokrasi) terjamin kualitasnya para Birokrat banyak yang berasal dari kelas sosial tertentu. Schumpeter juga menandaskan bahwa pemilih dalam Demokrasi harus menghormati pembagian kerja politik dengan membiarkan pengambilan keputusan atas suatu isu diserahkan pada pemimpin yang telah mereka pilih. Bagi Lively, pandangan Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis ini mainstream dalam realitas Demokrasi Liberal aktual di Eropa, saat Schumpeter mengajukan pemikirannya.[36] 

Lively memandang definisi Demokrasi Schumpeter mengabaikan faktor akuntabilitas penguasa oleh para pemilihnya. Dalam logika Schumpeter, segera setelah pemilihan penguasa dan wakil rakyat selesai, rakyat kembali ke aktivitas harian dan masalah-masalah negara dipercayakan saja kepada wakil yang sudah mereka pilih.[37] Lively juga menganggap Schumpeter menganalogikan secara agak serampangan, antara ekonomi pasar dengan mekanisme Demokrasi. Ini akibat Schumpeter menganggap bahwa, apabila pelaku pasar bisa melakukan deal di bisnis minyak, maka politisi bisa melakukan deal suara. Lively mengkritik Schumpeter bahwa apabila politisi dianggap sebagai pengusaha, adalah tidak jelas komoditas apa yang mereka jual atau bahkan, apakah mereka benar-benar tengah menjual sesuatu? Bagi Lively, Schumpeter seperti mempromosikan pemikiran tentang adanya konsumen politik, yaitu warganegara selaku pemberi suara, yang memilih antara ‘komoditas’ yang ditawarkan politisi (yaitu kebijakan), ataukah kinerja mereka saat duduk di jabatan mereka. Analogi ini wajar saja diajukan oleh Schumpeter karena ia lebih memilih konsep Manufactured Will dari pengalamannya sebagai pengusaha ketimbang General Will yang dicetuskan Rousseau.[38] 

Menurut Lively, definisi Demokrasi Schumpeter inilah yang banyak dipraktekkan di Demokrasi Barat. Tesis dasar Schumpeter adalah Elitis, karena menganggap warganegara biasa adalah tidak kompeten, dan sebab itu janganlah mereka diserahi kekuasan untuk memutuskan isu-isu politik.[39] Lively masih mentoleransi pemikiran ini karena masih ada satu jaminan yang diberikan Schumpeter dalam Demokrasi versinya, yaitu tetap ada Pemilu dan Pemilu tersebut terus diadakan secara periodik, di mana seluruh warganegara berhak mengikutinya. Pemilu ini merupakan mekanisme minimal dengan mana pemberi suara masih dapat melakukan kontrol atas penguasa, kendati sebatas untuk memilih atau tidak memilih mereka. Ini tentu lebih baik ketimbang di dalam Demokrasi Rakyat. Juga, Schumpeter masih memberikan ruang bagi terjadinya kompetisi antar kandidat.[40] 

Masih mengkritik Schumpeter, Lively menyatakan definisinya dalam kasus pemerintahan oleh rakyat cukup lemah karena ekskulivitasnya, dan akibat kelemahan ini, Lively menyebut Schumpeter mempromosikan Demokrasi Elitis. Lively kemudian membandingkan pemikiran C. B. Macpershon mengenai Demokrasi Rakyat dengan Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis, yaitu bahwa keduanya memiliki sejumlah kesamaan.[41] Pertama, keduanya berbagi konsep minimal mengenai Demokrasi, yaitu menghendaki keterlibatan minimal rakyat dan hanya sedikit memberikan jaminan dalam hal kesetaraan politik sekadar hanya agar bisa disebut Demokrasi. Kedua, konsep minimal Demokrasi keduanya didasarkan atas ketidakpercayaan bahwa warganegara biasa mampu memahami kepentingannya sendiri serta melakukan penilaian-penilaian orisinil mereka atas masalah-masalah politik. 

Pemerintahan yang Bertanggung Jawab 

Lively kembali pada tujuh premisnya mengenai pemerintahan oleh rakyat. Baginya, premis 1 hingga 4 paling memuaskan bagi sistem politik agar disebut Demokratis.. Keempat premis ini dapat diagregasikan ke dalam dua konsep yang lebih luas yaitu Demokrasi Langsung (premis 1 dan 2) dan Pemerintahan yang Bertanggung Jawab (premis 3 dan 4).[42] 

Lively melanjutkan, agar dapat menciptakan pemerintahan yang bertanggung (responsible government), maka sejumlah kontrol harus dapat dipraktekkan para pemilih terhadap aneka tindakan pemerintah. Kontrol ini masih dapat diperdebatkan apakah berwujud pada pemerintah yang diberi mandat untuk menginisiasi kebijakan, wakil rakyat sekadar menjadi juru bicara para pemilih, ataukah bisa wakil rakyat secara independen melakukan penilaian orisinilnya. Terlepas dari perdebatan wujudnya, tetap saja harus ada kendali para pemilih atas aneka tindakan pemerintah sebagai hal yang wajib ada. 

Lively lalu melangkah pada sejumlah kondisi yang memungkinkan tumbuhnya responsible government. Pertama, pemerintahan harus bisa dirotasi melalui keputusan para pemilih. Kedua, sejumlah alternatif kebijakan harus bisa diajukan oleh para pemilih. Ketiga, harus terdapat alternatif siapa kelompok yang memerintah. Keempat, harus adalah Pemilu bebas, dengan mana bebas dari intimidasi, kecurangan, dan sogokan. Kelima, harus ada kemerdekaan berasosiasi. Keenam, harus ada kemerdekaan berpendapat, karena alternatif kebijakan tidak akan hadir apabila tidak disuarakan.[43] Kelima hal ini, apabila diterapkan, akan membuat pemerintah selalu mengukur tindakannya atas nama kepentingan yang mereka perintah. 

Masih dalam hubungannya dengan masalah responsible government, Lively menyinggung eksistensi partai politik. Posisi partai politik menjadi penting, menurut Lively, akibat kegiatan Pemilu bukan berkontestan tunggal satu warganegara melainkan sejumlah besar warganegara kompeten yang mewakil rakyat dan mereka ini berasal dari aneka kelompok yang punya kepentingan berbeda di dalam masyarakat. Banyaknya perbedaan ini mempengaruhi tercapainya alternatif kebijakan yang koheren sulit disusun. Di sinilah signifikansi partai politik di mata Lively, yaitu memobilisasi sekaligus mengagregasi aneka kepentingan dari aneka kelompok di dalam masyarakat untuk diformulasikan ke dalam sejumlah kebijakan yang koheren. 

Terdapat tiga pola sistem kepartaian yang dirujuk Lively, yaitu satu partai, dua partai, dan multi partai.[44] Satu partai, menurut Lively, tidak cocok bagi munculnya responsible government karena tidak mengizinkan adanya kebijakan yang koheren (sesuai dengan yang diinginkan rakyat pemilih). Namun, lanjut Lively, bisa saja sistem satu partai ini menciptakan responsible government, apabila sejumlah kondisi dipenuhi. Pertama, keanggotaan partai harus terbuka seluas-luasnya dan komprehensif (meliputi aneka bidang hidup masyarakat). Tidak boleh ada individu ataupun kelompok yang dieksklusikan dari keanggotaan dan tidak boleh ada halangan penyampaian ekspresi politik. Kedua, faksionalisme dalam tubuh partai harus dibiarkan ada, karena faksi yang berbeda tersebut mampu mengorganisir diri, guna menyampaikan kebijakan berbeda yang mereka kehendaki. Ketiga, kecuali keanggotaannya sesuai dengan persyaratan Demokrasi, satu partai ini harus melaksanakan Pemilu ekstra, dengan mana kandidatnya sangat dimungkinkan untuk bersentuhan dengan segmen spektrum masyarakat yang lebih luas. Secara umum, Lively memandang, apabila diproyeksikan menjadi responsible government, sistem satu partai harus memungkinkan Pemilus ekstra yang diadakan dapat menjadikan masyarakat sebagai komunitas politik yang mampu melakukan tindakan pemilihan serta mentoleransi adanya derajat oposisi internal partai sebagai dampak dari kegiatan Pemilu ekstra. 

Sistem dua partai menunjukkan sejumlah kondisi yang dapat bersinggungan dengan responsible government.[45] Pertama, sistem dua partai mengupayakan akuntabilitas pemerintahan dengan cara menghadirkan aneka alternatif kebijakan secara cukup jelas, yang memungkinkan para pemilih memprediksi hubungan langsung antara suara yang ia berikan dengan seperti apa tindakan pemerintah di masa kemudian. Kedua, sistem dua partai menghadirkan dua model pemimpin secara cukup kontras, dengan mana para pemilih dapat memprediksi kebijakan pemerintah di masa mendatang berdasarkan siapa yang mereka pilih saat Pemilu. Ketiga, sistem dua partai mampu mengisolasi besarnya jumlah alternatif kebijakan yang ditawarkan kepada para pemilih melalui seperangkat posisi kebijakan politik kedua partai. 

Bagi Lively, sistem multipartai memiliki sejumlah karakteristik.[46] Pertama, sistem ini kemungkinan besar berasal dari distribusi multimodal politik di kalangan para pemilih, atau situasi di mana terjadi bipolarisasi opini publik atas sejumlah isu yang saling tumpang-tindih, dan bipolarisasi ini mendorong munculnya sejumlah posisi politik baru. Kedua, tidak ada insentif bagi partai-partai untuk berkongregasi di sekitar kebijakan yang sama dan setiap insentif hanya berhubungan dengan posisi ideologis dari para pendukungnya. Ketiga, dalam multipartai, partai cenderung memelihara serta memberi penekanan atas ideologi dan program yang khas mereka saja. Keempat, posisi ideologi dan program setiap partai yang koheren mendorong para pemilih mudah mengenali mereka. Kelima, hanya sedikit kemungkinan adanya satu partai yang sepenuhnya mengendalikan pemerintahan (kecuali dalam pemiihan presiden) dan dengan demikian akan sulit bagi pemilih mengatribusikan akuntabilitas tindakan pemerintah kepada partai politik tertentu (partai politik dapat cuci tangan, dan membiarkan Eksekutif atau presiden menjadi kambing hitam, dalam sistem presidensil). Keenam, para pemilih kemungkinan hanya akan memilih berdasarkan posisi ideologi mereka sendiri saja. 

Dari ketiga macam sistem kepartaian, Lively cenderung memberi kesan positif atas sistem dua partai dan multipartai. Bagi Lively, akuntabilitas pemerintahan dapat lebih mudah dilacak oleh para pemilih dalam sistem dua partai. Pejabat yang menjalankan kekuasaan eksekutif dan legislatif relatif lebih jelas dalam sistem dua partai ketimbang lainnya. Dalam sistem multipartai, hal positif yang dapat diambil adalah adanya kemungkinan stabilitas koalisi. Dalam sistem dua partai, lanjut Lively, terdapat korelasi kuat antara pilihan partai dengan dengan tindakan pemerintah. Dalam sistem multipartai, terdapat pilihan nyata antara aneka partai dengan jaminan bahwa pemerintahan akan terbentuk melalui formasi partai-partai tertentu sehingga melibatkan spektrum kepentingan warganegara yang lebih luas dan tidak terlampau dikotomis seperti sistem dua partai. 

Pandangan Lively atas tiga sistem kepartaian seperti telah dibahas sesungguhnya berkisar pada dua cara pandang terhadap fungsi representasi politik menurut Huber and Powell.[47] Cara pandang ini adalah khas prinsip perwakilan politik dalam Demokrasi Liberal, yang menekankan terciptanya koneksi antara warganegara dengan pembuat kebijakan. 

Pandangan pertama adalah Majority Control dan yang kedua Proportionate Influence. Dalam pandangan Majority Control pemilihan Demokratis dirancang untuk menciptakan pemerintahan satu partai yang kuat dan secara esensial tidak terhambat pekerjaannya, oleh partai-partai lain, saat proses pembuatan keputusan.[48] Dalam pandangan Proportionate Influence, pemilihan dirancang untuk menghasilkan anggota legislatif yang merefleksikan pilihan seluruh warganegara dari aneka spektrum kepentingan, sebab segera setelah pemilu legislatif, tawar-menawar antarpartai disyaratkan dalam pembuatan keputusan dan koalisi. Dalam tawar-menawar ini pengaruh aneka partai pasca Pemilu akan menentukan sejauh mana pembuat kebijakan melakukan apa yang warganegara ingin mereka melakukannya.[49] Dari pandangan Huber and Powell ini, maka apa yang Lively maksudkan sebagai sistem satu partai dan dua partai masuk ke dalam kategori pandangan Majority Control, sementara sistem multipartai sejalan dengan Proportionate Influence. 

Kesimpulan 

Lively menyampaikan sejumlah penekanan dalam tulisannya mengenai makna Demokrasi. Pertama, tidak ada prosedur pembuatan keputusan yang secara paripurna menjamin bahwa seluruh kehendak rakyat akan terwujud melalui pengambilan keputusan. Kedua, dalam masalah kesetaraan politik, secara tidak terelakkan, tidak akan sepenuhnya terjadi, karena dalam politik pun (sama halnya dalam proses produksi) dibutuhkan pembagian kerja. Ketiga, ketidaksetaraan politik terjadi akibat ketergantungannya pada area selain politik yaitu kondisi ekonomi, sosial, dan budaya warganegara. 

Selanjutnya, Lively merangkum, bagaimana Demokrasi dapat mewujud secara pragmatis. Pertama, tingkatan di mana setiap kelompok konstituen terserap ke dalam proses-proses pengambilan keputusan, sehingga kesetaraan warganegara dapat lebih dijamin. Kedua, tingkatan di mana keputusan pemerintah merupakan subyek kendali publik, sehingga responsible government dapat lebih dijamin. Ketiga, derajat mana warganegara biasa terlibat dalam administrasi publik, sehingga menjamin (kendati minimal) adanya pemerintahan oleh rakyat. 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] Jack Lively, Democracy (Oxford: Basil Blackwell, 1974), p. 8. 
[2] Ibid., p. 9. 
[3] Bagi Aristoteles, mayoritas diartikan bagian terbanyak dari masyarakat berdasarkan kelas ekonomi,yaitu kaum miskin. 
[4] Jack Lively, Democracy, op.cit. p. 9. 
[5] James Bryce adalah sejarawan, ahli hukum, dan negarawan Inggris. Bryce, atau dikenal pula sebagai Viscount Bryce (1838-1922), terkenal karena karyanya "American Commonwealth", studi terhadap lembaga-lembaga politik Amerika Serikat. Dia juga mendorong kebangkitan minat (renesans) terhahap hukum Romawi. Sumber: https://biography.yourdictionary.com/james-bryce 
[6] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 9. 
[7] Bagi Aristoteles, warganegara yang dimaksud terdiri atas kaum laki-laki bebas (bukan budak), tidak meliputi wanita dan budak. Bagi Rousseau, warganegara adalah seluruh mereka yang mengikatkan diri ke dalam komunitas politik, Rousseau tidak mengakui perbudakan, tetapi posisi wanita masih kurang jelas dalam tulisannya. 
[8] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 10. 
[9] Ibid., p. 11. 
[10] Matthew Robert Christ, The Bad Citizen in Classical Athens (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) pp. 1 -2 . 
[11] Jack Lively, Democracy, op.cit.,. p. 12. 
[12] Ibid.. p. 13. 
[13] Ibid., p. 13 – 4 . 
[14] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 16. 
[15] Ibid.., p. 16 – 7 
[16] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 18. 
[17] Ibid., p. 21. 
[18] Ibid., p. 22. 
[19] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 24. 
[20] Ibid., p. 25. 
[21] Ibid., p. 26. 
[22] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 26. 
[23] Ibid., p. 27. 
[24] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 28. 
[25] Ibid., p. 28. 
[26] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 30. 
[27] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 32. 
[28] ibid., p. 33. 
[29] Inti dari pemikiran C.B. Macpherson (1911-1987) adalah kritiknya terhadap budaya 'individualisme posesif' dan pembelaannya terhadap sosialisme liberal-demokratis. Bangkitnya minat pada karya-karyanya merupakan reaksi terhadap kebangkitan neoliberalisme dan upaya untuk menemukan alternatif bagi masyarakat yang didominasi oleh pasar kapitalis. Sumber: https://www.palgrave.com/gp/book/9783319949192 
[30] Kisah Rusia ini bukan analisis Lively, melainkan tambahan dari penulis. 
[31] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 34. 
[32] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 35. 
[33] Joseph Schumpeter menulis pikirannya mengenai Demokrasi dalam bukunya Two Theories of Democracy. Buku ini merupakan karya lengkap pertama pemikiran politik Schumpeter. Teori demokrasi Schumpeter dikenal sebagai kompetisi di antara para elit yang telah memengaruhi beberapa generasi ilmuwan politik. Sumber: https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674186439 
[34] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 37. Definisi Schumpeter ini terdapat dalam Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy (London: Routledge, 2003) p. 269. 
[35] Premis ke-6 menyatakan penguasa harus dipilih oleh yang diperintah. Premis ke-7 menyatakan pemerintah dipilih oleh wakil rakyat. 
[36] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 38. 
[37] Kritik Lively ini mirip dengan kritik Rousseau atas rakyat Inggris, di mana Rousseau menyatakan bahwa rakyat Inggris sesungguhnya hanya bebas selama saat mereka memilih wakil-wakilnya, dan setelah Pemilu selesai, mereka menjadi tidak bebas. 
[38] Joseph A. Schumpeter, Socialism …, op.cit. p. 263. Manufactured Will adalah versi Schumpeter mengenai General Will, bahwa kehendak bersama dapat diciptakan, seperti di dalam fenomena iklan, yang menyentuh alam bawah sadar manusia, dibangkitkan ke level kesadaran, lalu manusia menganggap apa yang disampaikan iklan itu sebagai kehendak sadarnya. 
[39] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 40. 
[40] ibid., p. 41. 
[41] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 42. 
[42] ibid., p. 42. 
[43] ibid., p. 43 – 4. 
[44] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 45. 
[45] ibid., p. 45. 
[46] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 47 – 8. 
[47] John D. Huber and G. Bingham Powell, Jr., “Congruence between Citizens and Policymakers in Two Vision of Liberal Democracy” dalam Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose Antonio Cheibub, The Democracy Sourcebook (Cambridge: Massachussetts Institute of Technology, 2003) pp. 330 – 42. 
[48] John D. Huber and G. Bingham Powell, Jr., “Congruence …” op.cit., p. 330. 
[49] ibid., p. 330.

No comments:

Post a Comment