Latest News

Monday, December 2, 2019

Teori Elit dalam Politik


Teori Elit dalam politik adalah sebuah teori politik yang memandang Elit sebagai aktor politik inti di setiap masyarakat yang terstruktur secara hirarkis. Dengan demikian Elitisme (paham tentang adanya kaum elit) berarti cara yang berguna untuk mengidentifikasi dan mempromosikan aneka kondisi yang menguatkan efektivitas Elit.[1] Anthony Harold Birch memandang Elitisme adalah teori yang melihat masyarakat selalu diperintah oleh kaum elit yang berasal dari kelompok atau kelas tertentu.[2] Menurut Birch, studi Elitisme terbagi dua: Pandangan NonMarxis dan Marxis. Bagi Birch, untuk disebut sebagai teori Elit yang lengkap, baik ontologi maupun epistemologinya, adalah teori Elit dari pandangan kaum Marxis. Teori elit dari kalangan non Marxis tidak bisa disebut teori secara penuh.

Birch menyatakan bahwa Elitisme dalam politik yang kerap disebut sebagai "teori Elit" (Pareto, Mosca, Michels, dan Mills) secara metodologis sesungguhnya tidak mencukupi untuk disebut demikian. Keempatnya berbeda dalam hal ontologi dan epistemologi. Sebaliknya, kaum Marxis tentang Elit yang muncul dari kelas penguasa, yang didasarkan atas determinisme ekonomi punya ontologi dan epistemologi yang jelas: Elit selalu berasal dari kelas borjuis (lalu bermetamorfosis menjadi kelas kapitalis.  Pareto, Mosca, Michels, dan Mills diuji Birch menggunakan 3 proposisi elit yang ia susun (akan dibahas di bagian bawah).  

Elitisme

Elit politik didefinisikan sebagai kelompok individual, yang jumlahnya kecil, komunitasnya relatif kohesif, stabil, dengan mana mereka yang memiliki kekuasaan disproporsional untuk mempengaruhi outcome politik nasional dan supranasional secara berkelanjutan.[3] Namun, Birch hanya mengkritisi 4 eksponen teori Elit klasik, tidak menguji teori Elit yang masuk kategori Neo-Elitisme dan Demo-Elitisme. 

Elemen awal teoretisi Elit klasik secara sekaligus melakukan kritik atas visi kaum Marxis-Sosialis tentang masyarakat egalitarian yang utopis serta kaum Liberal dengan Demokrasi puritannya yang pragmatis.[4] Bagi teoretisi Elit, kedua kaum itu melontarkan gagasan yang delutif, menipu, dan dapat berbahaya. Kaum Marxis-Sosialis dikritik karena masyarakat egaliter yang paripurna (mencakup seluruh warganegara tanpa kecuali) tidak pernah ada dalam sejarah dan sebab itu dikatakan sebagai penipuan. Karena kaum Liberal dikritik sebagai berbahaya karena visi mereka tentang Demokrasi murni tanpa Elit akan berakibat anarki. Inilah titik tolak pandangan teoretisi elit klasik. 

Seperti telah disebut sebelumnya, teori Elit klasik ditantang oleh dua teori baru: Pada perkembangannya, teori Elit terbagi menjadi dua: Neo-Elitisme dan Demo-Elitisme. Neo-Elitisme dekat dengan pemikiran Pareto dan Mosca, sementara Demo-Elitisme dekat dengan pemikiran Weber dan Schumpeter. Neo-Elitisme menekankan pentingnya otonomi Elit sebagai syarat agar posisi mereka secara politik dapat efektif. Ini penting mengingat tidak terelakkannya konsentrasi power di tangan para Elit, kepentingan pribadi para individu ataupun kelompok Elit, dan kebutuhan serta perlindungan atas perbedaan pola interaksi Elit yang dapat atau tidak dapat disediakan oleh para individu ataupun kelompok Elit.[5] Bagi kalangan Neo-Elitisme seluruh rezim politik aktual selalu dipimpin Elit politik yang secara jumlah kecil dan kepentingan para elit ini selalu berbeda dengan warganegara biasa. Neo-Elitisme tidak anti Demokrasi dan justru mereka menggunakan definisi prosedural Demokrasi sebagai titik awalnya pembangunan teorinya. Namun, Demokrasi prosedural dianggap sekadar sebagai ajang kompetisi para Elit untuk memimpin negara atau pemerintahan. Setelah mereka duduk di kursi kekuasaan, penerjemahan kepentingan para pemilih sepenuhnya ada di tangan mereka. Neo-Elitisme berusaha melakukan rekonsiliasi terhadap konsep Demokrasi, yang digunakan untuk membenarkan bahwa Elit tidak ujug-ujug muncul, karena para Elit ini dipilih sendiri oleh warganegara.[6]  Praktek Demokrasi apapun juga pastik akan menghasilkan Elit, apapun alasannya.

Di lain pihak, Demo-Elitisme menekankan power dan aliansi resiprokal antara Elit dan nonElit, baik aliansi tersebut bersifat top-down atau bottom-up. Demo-Elitisme memandang Elit sebagai penjaga lembaga Demokrasi dan polyarchies of merit yang kompetitif.[7] Bagi Demo-Elitisme, Demokrasi dianggap cocok dengan pemerintahan oleh para Elit atas tiga asumsi. Pertama, kaum Demokrat mengakui kekuasaan dan otonomi relatif para Elit yang menjadi pemimpin politik. Kedua, pemimpin yang menjadi Elit tersebut, sekurangnya di sistem Parlementarian, harus menjalin aliansi dengan aneka kategori warganegara. Salah satu eksponen Demo-Elitisme, Karl Popper, menerjemahkan Demokrasi sebagai sistem yang memungkinkan akan hadirnya counter Elit yang mampu memobilisasi suara rakyat guna menumbangkan penguasa inkumben secara damai. [8]

Kembali pada kasus teori Elit klasik yang dikritisi Birch. Studi Birch terletak pada studi klasik tentang Elit, bukan pada Neo-Elitisme maupun Demo-Elitisme. Sebelum mengkritisi pemikiran Pareto, Mosca, Michels, dan Mills[9], Birch terlebih dahulu mengajukan tiga proposisinya sendiri mengenai Elitisme politik, yang kemudian ia gunakan untuk mengevaluasi pandangan Elitisme dari keempat tokoh yang ia bahas.

  • Proposisi A: Bahwa akses ke jabatan politik hanya terbatas pada anggota kelompok sosial kohesif dan relatif kecil, mereka punya kepentingan dan nilai identik yang berdampak politik, dan tidak merefleksikan kepentingan dan nilai mayoritas warganegara.[10] 
  • Proposisi B: Pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik secara umum.[11] 
  • Proposisi C: Pemegang jabatan, kendatipun tidak mencari kepentingan pribadi, secara teratur mengambil keputusan demi kepentingan kelas atau kelompok warganegara yang relatif kecil.[12]
Elitisme dalam Pandangan Pareto: Sirkulasi Elit

Pareto adalah sosiolog, tetapi manakala diperbandingkan dengan Max Weber dan Emile Durkheim, oleh Birch dianggap kurang berhasil. Kendati ambisius, Pareto mengembangkan kerangka analisis sosial yang rumit dan banyak menggunakan terminologi yang hanya ia pahami sendiri. Tidak seperti Weber dan Durkheim, bagi Birch Pareto hanya dilirik oleh sedikit sosiolog moderen dan 'lirikan' itu pun hanya akibat ia dianggap salah satu pendiri disiplin Sosiologi. Birch menambahkan bahwa aneka istilah yang ia (Pareto) kembangkan kini sudah terkesan outdated dan irrelevant.[13]

Pareto, menurut Birch, menyatakan setiap bidang dalam masyarakat punya Elitnya sendiri. Elit yang dimaksud Pareto adalah mereka yang paling berbakat dalam bidang tertentu. Untuk menjadi Elit, kata kuncinya adalah keahlian (skill) bukan kebajikan (virtue). Elit adalah mereka yang masuk ke jajaran atas setiap bidang. Sebab itu terdapat Elit pengacara, ilmuwan, penyair, bahkan pencuri. Di antara sekian macam Elit, terdapat Elit pemerintah, yang terdiri atas orang yang menunjukkan bahwa mereka adalah yang paling berbakat dalam seni politik. Pareto merujuk pada Machiavelli dalam hal skill seni politik: Kelicikan seekor rubah dan kekerasan seekor singa.[14] Politisi yang sukses adalah yang mereka yang mampu memadukan keahlian ini (rubah dan singa) dan melancarkan taktik.

Pandangan Pareto yang paling terkenal adalah pendapatnya mengenai sirkulasi Elit dalam bukunya The Treatise on General Sociology. Bagi Pareto, sejarah menunjukkan sirkulasi Elit yang terus berulang. Baik itu sirkulasi individu dari strata bawah ke strata atas di bidang yang sama ataupun sirkulasi antara elit yang memerintah dan tidak memerintah. Saat suatu Elit masuk ke dalam posisi kekuasaan politik, Elit lain harus keluar. Pareto menolak analisis kaum Marxis dan kaum Liberal bahwa sejarah peradaban bergerak progresif. Sebaliknya, Pareto hanya menjelaskan bahwa kekuasaan politik selalu jatuh ke tangan orang yang memiliki keahlian politik dan tidak ada kejelasan mengenai peradaban yang bergerak progresif. Bagi Pareto, menurut Birch, sejumlah Elit cenderung progresif, tetapi sebagian besar lainnya konservatif, dan bagi Birch, Pareto tidak memberikan dasar ilmiah atas penilaiannya terhadap dua kecenderungan Elit tersebut. 

Penulis lain seperti Jan Pakulski menyatakan, Pareto membuat sketsa elite penguasa yang mencakup partai-partai lawan dan sekutu yang bergiliran masuk dan keluar dari pemerintahan. Mereka ini  tanpa bertengkar tanpa henti mengenai kebijakan publik. Pareto bersikeras bahwa aneka faksi dan kelompok yang bersaing "terpaksa" membentuk jaringan patron-klien yang saling terkait. Jaringan tersebut disatukan oleh "kesepakatan bersama" yang berasal dari "akumulasi tindakan kecil yang terus-menerus, yang masing-masingnya ditentukan oleh keuntungan sesaat" [15] Dengan demikian, bagi Pareto, satu Elit tidak lantas eksklusif dan stabil, melainkan berupaya keras untuk tetap menggenggam kekuasaan kendati untuk itu mereka harus menjalin kerjasama dengan Elit lainnya. Standar ukuran jaringan ini adalah keuntungan sesaat yang akan mereka peroleh, karena mereka khawatir apabila tidak menjalin kerjasama (bertarung sendirian) mereka akan kalah.

Birch menilai bahwa Pareto tidak menunjukkan bahwa Elit yang memerintah (baik di Italia atau negara lain) memang mendominasi publik sehubungan dengan Proposisi A, B, dan C yang telah diajukan sebelumnya. Bahwa ada implikasi Proposisi B, yaitu pemerintah memerintah demi tujuan dirinya (para elit sendiri), tetapi Pareto tidak memberikan bukti-bukti yang sistematis. Pareto terlalu banyak memberikan ilustrasi (terutama dari sejarah Kuno), tetapi tidak terkoneksi dengan upayanya memvalidasi argumentasi yang ia ajukan bahwa memang para Elit itu memerintah untuk tujuannya sendiri. Mengenai sistem pikir Pareto ini, Birch mengutip Tom B. Bottomore, “there are historical examples which appear at once to invalidate Pareto’s generalization.”[16] Bagi Birch, apa yang Pareto sampaikan mengenai Elitisme, akan lebih baik dianggap sebagai suatu upaya melakukan elaborasi atas sebuah kerangka konseptual saat menganalisis kasus-kasus khusus, bukan general. Karena generalitas adalah penting agar  sebuah konsep dapat disebut sebagai teori. 

Kendati sumbangan Pareto dalam memahami ilmu politik tidak terlalu besar, tetapi tetap diapresiasi karena Pareto berupaya menyerang gagasan umum di masa hidupnya. Bagi Birch, maksud utama Pareto adalah membuat para pembacanya menolak apa yang ia anggap sebagai ilusi Liberalisme, bahwa semua orang dapat memerintah lewat lembaga Demokratis, padahal hanya Elit saja yang benar-benar memerintah. Pareto menyerang ilusi kaum Marxis bahwa kesetaraan dan kemerdekaan manusia bisa dicapai lewat revolusi pekerja. Pareto menggambarkan skenario Mordecai Marx sebagai ilusi ideologis yang mengabaikan Elit dan siklus politik-ekonominya yang membuat sejarah tidak lain sebagai kuburan para Elit yang gagal.[17] Pareto juga menyerang pandangan Mordecai Marx yang kaku bahwa keteraturan masyarakat bersifat bottom-up, padahal menurut Pareto, struktur sosial-politik masyarakat bersifat top-down dengan Elit berada di atas dan mengarahkan massa, yang kekuatan dan kelemahannya menentukan nasib masyarakat.[18] Serangannya terhadap kedua gagasan mainstream di masanya ini (gagasan Liberal dan Marxis) memiliki derajat orisinalitas tersendiri sehingga karyanya layak memperoleh tempat dalam khasanah pemikiran. 

Mosca dan Gagasan The Ruling Elite

Tidak tepat apabila dianggap pikiran Pareto dan Mosca dalam Elitisme dianggap sama. Pareto dan Mosca cukup berbeda dalam hal karir, teori, dan preferensi politik.[19] Pareto adalah orang ‘kecewa’, karena ia awalnya begitu mendukung unifikasi dan Liberalisme Italia secara bersemangat, tetapi segera setelah gagal bersaing masuk menjadi anggota Parlemen, sikapnya berubah: Pareto justru berbalik mengkritik Liberalisme dan Demokrasi seumur hidupnya. Pareto juga eksponen pendukung rezim Mussolini saat didirikan dan beroleh penghormatan atas dukungan itu. 

Mosca sebaliknya, ia adalah bagian dari kemapanan politik Liberal Italia.[20] Mosca juga merupakan editor jurnal Chamber of Deputy, bekerja 10 tahun selaku anggota Liberal-Konservatif kamar tersebut, dan ditunjuk sebagai anggota Senat. Ia mengkritisi gagasan Demokrasi partisipatoris tetapi mengagumi sistem Parlementer. Berbeda dengan Pareto, ia tidak menyukai rezim Fasis yang mengambil-alih kekuasaan Italia tahun 1923.[21] Mosca juga seorang profesor dan politisi, dengan mana aneka tulisannya banyak berisikan refleksi penuh pemikiran tentang sejarah dan politik Eropa. 

Dalam The Ruling Class Mosca mengamati bahwa setiap masyarakat selalu terbagi ke dalam dua bagian: Minoritas yang mengendalikan pemerintahan dan Mayoritas yang diperintah oleh Minoritas.[22] Kondisi tersebut selalu terjadi akibat dua alasan. Pertama, Minoritas dapat mengorganisir diri ketimbang Mayoritas. Menurut Mosca, seperti dikutip Birch, ‘seratus orang yang punya kesamaan pemahaman saat melakukan aksi bersama di sebuah konser, selalu menang atas ribuan orang yang tidak terorganisir.’[23] Kedua, para anggota dari Minoritas yang memerintah punya atribut yang berpengaruh di mata masyarakat tempat mereka hidup.

The ruling class yang dimaksud Mosca bukan semata pemegang jabatan tinggi, tetapi juga kelas tempat pemegang jabatan tersebut berasal. Kelas dalam pikiran Mosca bukan melulu ekonomi seperti Mordecai Marx dan pengikutnya pikirkan, tetapi lebih bervariasi: Aristokrat herediter, pendeta, prajurit, pemilik tanah, penguasa keuangan, juga termasuk mereka yang menjadi Elit akibat bakat dan pendidikan. 

Bagi Mosca, setiap kelas yang memerintah mengembangkan formula politik.[24] Formula politik adalah pembenaran bahwa mereka layak memerintah suatu populasi. Mosca menulis, seperti dikutip Birch, formula politik Elit Cina Mandarin adalah ‘penafsir kehendak Putra Surga’, Elit Islam ‘penafsir kehendak Allah,’ Aristokrat Perancis ‘hak ketuhanan para raja’, Politisi Inggris ‘kedaulatan Parlemen’, Penguasa Amerika ‘kehendak rakyat.’[25]

Propaganda lalu digunakan setiap Elit untuk mempropagasi dan melestarikan formula politik agar memperoleh legitimasi. Juga, formula politik digunakan saat satu Elit berupaya melengserkan Elit lain yang kerap dilakukan dalam periode tertentu. Kendati kelas yang memerintah punya kesempatan untuk mentransfer formula politik kepada anak cucunya, tetapi sejarah membuktikan bahwa kerap terjadi pergeseran kekuasaan politik dari suatu kelas kepada kelas lain. Juga, terdapat sejumlah faktor penyebab yang membuat sebuah formula politik tidak lagi punya legitimasi. Misalnya, formula politik Gereja digugurkan oleh formula politik dari Martin Luther tahun 1517 saat ia menempelkan tuntutannya di pintu Gereja Wuttenberg, Jerman. Saat rakyat mempertanyakan formula politik kalangan gereja yaitu ‘penafsir kehendak Tuhan’ maka terjadi potensi pergeseran Elit: Sejak itu kaum Lutheran dan Calvinis tidak lagi tunduk pada Vatikan. Juga, kelas aristokrat yang memerintah di Perancis hilang cengkeramannya saat rakyat Perancis tidak lagi percaya pada hak ketuhanan dari para raja pasca Revolusi Perancis. 

Tidak seperti Pareto, Mosca percaya atas progresivitas manusia. Bagi Mosca, kendati kemajuan peradaban kadang retrogresif, tetapi secara umum terjadi kemajuan di level peradaban. Eropa mengalami kemunduran peradaban setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Timur Tengah mengalami kejumudan pasca runtuhnya Kekhalifahan Islam. Ini, bagi Mosca, sekadar kasus-kasus khusus karena segera setelah itu terjadi indikasi ke arah kemajuan secara umum. 

Saat Mosca menulis The Ruling Class, sejumlah negara telah mengembangkan sistem pemerintahan perwakilan. Kendati ia memiliki sejumlah keberatan, secara umum ia memberikan cukup perhatian atas sistem perwakilan politik ini.[26] Ia mengkontraskan prinsip pemerintahan perwakilan Demokrasi dengan yang ia maksudkan dengan Demokrasi partisipatoris yang ia breakdown langsung dari pemikiran Rousseau. Demokrasi Rousseau bagi Mosca tidak layak diterapkan. Ini pun selaras dengan anggapan saat ini bahwa Demokrasi partisipatoris (dalam pemahaman Rousseau) tidak mungkin diterapkan dalam masyarakat industri di mana wilayah negara sedemikian luas dan jumlah penduduk sedemikan besar. Demokrasi a la Rousseau hanya cocok untuk unit pemerintahan yang kecil atau perusahaan swasta ketimbang pemerintahan dalam skala nasional.[27]

Bagaimana tepatnya pandangan Mosca atas Demokrasi perwakilan? Mosca, menurut Birch, secara prinsip adalah pengagum Montesquieu. Ia menerima pandangan Montesquieu bahwa kebebasan manusia terjamin lewat pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif). Ia juga menerima pandangan Montesquieu bahwa pemerintahan perwakilan dan sistem Parlementer adalah bentuk pemerintahan yang paling menjanjikan. Ia mengakuti ini kendati pemerintahan perwakilan di Italia belum terancang dengan baik. Parlemen Italia baru didirikan tahun 1871 saat Italia masih bersatu. Namun, Parlemen tersebut adalah sistem perwakilan dan pemerintahan akuntabel hanya di atas kertas. Hak pilih, saat Parlemen Italia baru dibentuk, dibatasi menurut kualifikasi kepemilikan properti, yang hanya meliputi 2% orang dewasa Italia saja. Proporsi ini meningkat jadi 7% tahun 1912. Di masa Mosca sendiri, hak pilih baru meliputi 5% populasi orang dewasa saja. Ini akibat Gereja Katolik Roma memboikot Pemilu sehingga penggunaan hak pilih tidak pernah lebih dari 50% dari total pemilik hak suara (yang cuma 5% itu).[28]

Hal lain yang dipetik Mosca dari pengamatannya, seperti dicatat Birch, adalah banyaknya anggota Parlemen yang melakukan korupsi serta aktivitas-aktivitas yang meragukan[29]selama proses pemilihan. Hal-hal inilah mungkin yang membuat pemerintah Italia yang berkuasa tidak pernah kalah Pemilu di seluruh masa hidup rezim Liberal Italia 1871 hingga 1923. Birch mencatat bahwa unsur pertanggungjawaban pemerintah sekadar tertulis di dalam konstitusi tetapi tidak pernah dipraktekkan di aktivitas politik sehari-hari. 

Ada beberapa kritik Mosca atas kondisi politik selama rezim Liberal Italia 1871–1923. Pertama, nominasi untuk ikut Pemilu dikendalikan oleh aneka minoritas kecil di setiap wilayah (mungkin mafia atau tuan tanah feodal). Kedua, mayoritas Parlemen cenderung tidak akuntabel. Ketiga, secara individual anggota Parlemen kerap ikut campur secara berlebihan dalam administrasi publik, administrasi pengadilan, dan pengendalian lembaga bank serta karitas publik. Bagi Mosca, seperti dicatat Birch, bentuk-bentuk perilaku ini, seiring kurang sempurnanya sistem Pemilu, mendorong publik kecewa terhadap pemerintahan Parlementer Italia di masanya.[30] Inilah yang mendorong Benito Mussolini memperoleh dukungan luas atas tawaran Fasismenya. 

Dalam masalah kesetaraan hak pilih, pandangan Mosca agak paradoks. Di satu sisi ia menghendaki jumlah pemilih yang cukup besar. Mosca berargumen bahwa besarnya jumlah pemilih (pemilih ini juga berhak untuk dipilih), maka hanya sebagian kecil pemilih tersebut yang menduduki jabatan politik. Sementara pemilih lain, yang jumlahnya besar (mayoritas pemilih) bertindak sebagai penilai obyektif terhadap setiap kandidat yang bersaing. Namun, pada sisi lain Mosca berpikir apabila hak pilih bersifat universal akan mendorong setiap pimpinan partai menjadi demagog: Bahwa untuk menyenangkan massa, mereka akan memainkan insting terkasarnya serta memunculkan segala keserakahan dan prasangka mereka untuk ditularkan pada publik.[31] Konklusinya bagi Mosca adalah, pemilih terbatas adalah mencukupi sebagai syarat Liberalisme, ‘bahwa mereka yang mewakili dapat bertanggung jawab terhadap yang diwakili.’

Apakah Mosca dapat disebut sebagai seorang Elitis, seorang yang menolak pemerintahan Demokratis, akibat kehati-hatiannya seputar perluasan hak pilih? Jawabannya adalah ya karena di era hidupnya, pandangan Mosca ini tidaklah aneh.[32] Alexis de Tocqueville sendiri bicara kemungkinan tirani mayoritas akibat hak pilih yang meluas bagi seluruh elemen rakyat. Kekhawatiran Tocqueville ini mirip saat Aristoteles menggambarkan Demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas kaum miskin. Karena kaum miskin banyak, mereka akan memilih pejabat publik dari kaummnya sendiri dan akan membahayakan posisi kelas menengah-kaya. Tocqueville sendiri berasal dari kelas menengah dan ia khawatir, kendati mendukung Demokrasi perwakilan, negara akan dijalankan oleh kaum miskin. Ia tidak mampu menerima kenyataan ini. Selain Tocqueville, kekhawatiran lain diungkap oleh John Stuart Mill, bahwa ketimbang meluaskan hak pilih bagi seluruh rakyat, cukup pemilih yang berpendidikan saja diberikan hak suara ekstra. Tocqueville dan Mill adalah Elitis dalam hal pandangan mereka dalam konteks kesetaraan hak pilih. Namun, pandangan ini lumrah di era ketika sebagian besar kelas pekerja masih buta huruf dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, kendati pun berpandangan Elitis, teori Demokrasi dari Tocqueville dan Mill tidak dapat dikategorikan Elitisme. 

Pendapat Mosca, dalam pandangan Birch, dapat dimasukkan ke dalam Proposisi A dan Proposisi B. Mosca banyak menggunakan contoh dari sejarah Eropa dan Asia. Saat Mosca menulis The Ruling Elite Eropa baru dalam fase awal perkembangan Demokrasi dan Asia sendiri bahkan sama sekali belum tersentuh gagasan jenis pemerintahan ini. Di Eropa, Feodalisme masih menggejala sehingga pemerintahan yang ada sarat kepentingan kelas pemilik tanah. Di Asia, masih terdapat pemerintahan yang dijalankan oleh kalangan agama. 

Mosca yakin bahwa bahkan di pemerintahan Demokratis awal Eropa, yang berkuasa adalah ruling Elite. Ia juga yakin bahwa kekuasaan pemerintahan akan terkonsentrasi di tangan kelas berkuasa yang jumlahnya kecil dan bertindak demi kepentingan mereka sendiri. Namun bagi Birch, Mosca tidaklah meyakinkan apabila disebut menelurkan teori. Ia tidak mencoba memformulasi jawaban spesifik mengenai sejauh mana minoritas yang berkuasa benar-benar terdiri atas kelas yang definitif dengan kepentingannya yang khas. Analisis Mosca mengenai Elit yang berkuasa, bagi Birch, berserakan di mana-mana sehingga pembacanya tidak menemukan kejelasan mengenai aspek ontologi maupun epistemologi Elitnya. 

Argumen Birch bahwa Mosca tidak definitif atas teori Elitnya dapat ditemui dalam dua pernyataanyaanya. Pertama, pada satu kasus Mosca menyatakan bahwa dalam sistem perwakilan ‘pintu terbuka lebar bagi seluruh kelas yang diperintah untuk masuk menjadi kelas yang berkuasa.’[33] Lebarnya pintu yang terbuka ini memungkinkan siapa pun untuk menjadi Elit, apa pun latar belakangnya. Kedua, pada kasus lainnya Mosca menyatakan bahwa di dalam sistem perwakilan dengan hak pilih universal (atau hampir universal) ‘tugas utama dari organisasi partai ke dalam mana kelas yang berkuasa terpecah adalah untuk memenangkan suara dari kelas-kelas lain yang jumlahnya lebih besar.’[34] Birch melanjutkan, dari kedua pernyataan ini Mosca mengakui dua hal. Pertama, dalam sistem Demokratis kelas yang memerintah akan terbuka untuk dipenetrasi oleh ‘kelas yang diperintah’ dan tentu oleh seluruh warganegara lainnya. Kedua, bagi Mosca kelas yang memerintah tidak menyatu secara politik tetapi terpecah-pecah ke dalam sejumlah partai yang saling bersaing. 

Birch menganggap buku Mosca tidak menunjukkan sebuah teori Elit yang bertentangan dengan teori Demokrasi moderen. Memang Mosca berpendapat bahwa di masa lampau, pemerintahan selalu berada di tangan Elit yang berupaya memenuhi kepentingan dirinya sendiri, tetapi Mosca tidak menunjukkan (bahkan mengklaim) bahwa kondisi tersebut akan terus terjadi. Bottomore menyatakan “‘dalam teori Mosca, seorang Elit tidak lantas memerintah lewat kekuatan dan kecurangan, tetapi mewakili, dalam satu pengertian, kepentingan dan tujuan kelompok penting dan berpengaruh di suatu masyarakat.”[35] Birch setuju dengan Bottomore yang menyatakan bahwa Mosca ‘siap untuk mengakui, dan bahkan menyetujui, fitur-fitur khusus dari Demokrasi modern.’[36] Sejalan dengan Birch bahwa Mosca tidak berhasil menunjukkan teori Elit yang lengkap, John Higley juga menyatakan “jauh dari menyodorkan teori, nilai lestari karya Mosca terletak pada ajakannya untuk memfokuskan analisis politik pada dinamika elit.”[37]

Robert Michels dan The Iron Law of Oligarchy

Menurut Birch, Michels seorang Sosialis radikal yang kecewa akibat pandangan politik yang ia miliki menjadi penghalang untuk menempati jabatan di sejumlah universitas Jerman, kendati sesungguhnya ia memenuhi kualifikasi.[38] Bukunya Political Party memuat serangannya bukan pada pemerintah dan universitas yang menolak dirinya memperoleh jabatan tertentu, melainkan terhadap pola kepemimpinan di SPD (German Social Democratic Party) dan kecenderungan oligarki di partai-partai lain secara umum. 

Dalam bagian pertama bukunya, Michels menyatakan apapun ukurannya, birokrasi dan oligarki tidak bisa dihindari oleh partai politik. Partai juga harus punya organizer profesional dan pemimpin. Agar berhasil dalam sistem pemerintahan perwakilan, pemimpin tersebut diberi kebebasan bermanuver politik dan ‘partai yang tengah berjuang perlu struktur yang hirarkis.’[39]

Dalam bagian kedua bukunya, Michels bicara tentang sebab psikologis munculnya pemimpin. Michels secara sinis memandang kapasitas politik massa, (termasuk anggota partai sendiri) yang baginya, mereka tidak berpengalaman, kurang terdidik, apatis, dan inferior terhadap pimpinannya. Michels melanjutkan ‘ketidakkompetenan massa dalam kehidupan politik hampir bersifat universal, dan disinilah fundasi kuat kekuasaan para pemimpin partai.’[40] Demokratis dalam pemahaman Michels adalah kumpulan rakyat, bukan proses Demokrasi ataupun sistem pembuatan keputusan yang Demokratis. [41]

Bagi Michels, bukan hanya pemimpin partai saja yang memposisikan diri mereka di atas pengikutnya, melainkan juga wakil-wakil terpilih pun melakukan hal serupa. Anggota Parlemen menjadi arogan, membuat deal politik dengan partai-partai lain, dan mengorbankan garis ideologis partai demi mengembangkan basis pemilih mereka.[42] Birch menganggap menarik pemilih yang justru penting di dalam Demokrasi tidak terbersit dalam pikiran Michels. Perhatian utama Michels, menurut Birch, pada Demokrasi di dalam partai ketimbang Demokrasi di dalam sistem politik secara luas. 

Contoh kasus yang diberikan Michels mayoritas diambil dari partai-partai Sosialis dan serikat buruh di Eropa Barat, dan banyak diantaranya berasal dari SPD (partainya sendiri).[43] Saat Michels menulis, SPD secara formal berkomitmen pada serangkaian tujuan Marxis, tetapi pimpinannya ‘menerima rezim politik, ekonomi dan sosial yang berlaku.’ Diskrepansi antara tujuan partai dan praktik politik pemimpin SPD ini yang disebut Michels sebagai tidak Demokratis.[44] Pada titik ini Michels bukan bicara sebagai teoretisi melainkan aktivis partai. 

Bagi Birch, sehubungan dengan proposisinya, maka Michels dapat dimasukkan ke dalam Proposisi B, bahwa anggota dari Elit partai mengganti nilai dan strategi mereka sendiri dengan yang kemungkinan besar bisa diterima oleh massa.[45] Namun, bagi Birch, jika Michels hendak mempertahankan pandangan bahwa pemimpin partai itu Elitis, maka ia harus membuktikan bahwa jajaran anggota partai (selain para Elit pemimpin) dalam kondisi tetap berpegang pada prinsip dasar partai. Michels tidak menunjukkan hal tersebut dan sebab itu sulit menyatakan bahwa pandangan si pemimpin partai Elitis (berbeda dengan anggota partai biasa lainnya). Birch menyimpulkan bahwa Michels gagal menemukan kasus Elitisme dalam argumentasinya mengenai pemimpin partai ini.[46]

Di akhir bukunya, catat Birch, Michels membangun dua proposisi umum dan berstatus scientific law berdasarkan analytic explanation.[47] Pertama, bahwa setiap partai politik membangun organisasi dan ‘siapapun bicara organisasi, maka ia bicara adanya Oligarki.’ Kedua, Oligarki bermakna kepemimpinan dan setiap sistem kepemimpinan Oligarki tidak cocok dengan postulat esensial Demokrasi.’[48] Birch membantah proposisi pertama dengan menyatakan bahwa tidak salah suatu partai punya birokrasi dan sekelompok pemimpin. Birch juga membantah proposisi kedua bahwa mereka (sekelompok pemimpin) ini baru bisa disebut tidak Demokratis apabila gagal merefleksikan pandangan para anggotanya atau tidak mampu menjawab pertanyaan mereka seputar tindakannya. Michels, bagi Birch, tidak bisa membuktikan kedua proposisinya, bahkan di dalam kasus SPD sekalipun. Bahkan, lanjut Birch, andaipun terjadi ketidakDemokratisan di dalam partai, tidak lantas membuat sistem pemerintahan di mana terjadi persaingan antarpartai menjadi tidak Demokratis (Jerman saat itu bersistem multipartai, termasuk juga ada Partai Komunis). 

Michels sendiri bagi Birch kurang familiar dengan makna Demokrasi dalam kehidupan politik Jerman mengingat negara tersebut baru menerapkan pemerintahan Demokratis yang bertanggung jawab 9 tahun setelah Michels menerbitkan bukunya. Sebelum 1919, di Jerman memang sudah terdapat Pemilu berdasarkan kompetisi antar partai politik, tetapi pemerintahan yang terbentuk belumlah bertanggung jawab pada Parlemen. Birch menyayangkan Michels yang tidak melakukan studi di Inggris, negara-negara Skandinavia, Australia, dan Selandia baru yang telah memiliki mekanisme pertanggungjawaban pemerintah kepada Parlemen.[49]

Tibalah kini Birch mempertanyakan apakah yang diinformasikan Michels mengenai Elitisme.[50] Perlu dicatat bahwa partai politik perlu pimpinan, dan pimpinan ini harus punya pengetahuan dan pengalaman politik yang lebih ketimbang pengikutnya. Pimpinan ini boleh saja memiliki kemampuan menyusun ulang kebijakan partai dengan tujuan bertarung demi memperoleh dukungan para pemilih. Bukan masalah Konservatif atau Liberal, melainkan pimpinan partai sekadar memoderasi kebijakan radikal dari tujuan-tujuan politik mereka dari mana partai ini berasal. Mengenai ini, apa yang dinyatakan Michels sekadar klaim, bahwa tindakan-tindakan pimpinan partai ini disebut sebagai tidak Demokratis. 

The iron law of oligarchy yang terkenal, yang dihasilkan Michels, bagi Birch adalah tetap kurang signifikan keberlakuannya ketimbang yag diduga oleh para pengagumnya .[51] Ini akibat pernyataan-pernyataan Michels atas Oligarki yang dipraktekkan pimpinan SDP merupakan hal lumrah di dalam politik. Pimpinan partai mungkin adalah pihak yang paling tahu kondisi di Parlemen dan masalah-masalah pemerintahan, yang lalu melakukan manuver politik. Dalam membenarkan manuver ini, agar diterima anggota lainnya, ia harus berargumentasi terlebih dahulu dengan mereka. Argumentasi antara pemimpin dan anggota ini membuat hukum besi oligarki elit partai Michels gugur dengan sendirinya. 

Michels hanya melakukan generalisasi atas satu kasus (SPD), dan andai kata pun konklusinya benar, the iron law of oligarchy sekadar berstatus hipotesis, bukan hukum (teori) karena ia menggunakan sampel yang kasuistik, bukan general. Namun, bagi Birch, ada hal berharga yang bisa diambil dari pikiran Michels dari bukunya, yang sayangnya tidak ia (Michels) elaborasi lebih lanjut. Hal tersebut adalah saran Michels bahwa persaingan elektoral dapat mendorong partai politik memoderasi kebijakan-kebijakan mereka. Birch menyatakan dalam sistem dua partai, di mana pemilih dapat diletakkan dalam kontinum ideologi dari kiri ke kanan, adalah logis apabila setiap partai melakukan framing kebijakan agak di tengah spektrum politik demi memperoleh basis suara yang lebih luas. 

Pandangan C. Wright Mills dan The Power Elite

Pandangan Mills tentang power elite fokus di Amerika Serikat. Amerika Serikat dalam tulisan Mills adalah sebagai keseluruhan, bukan bagian-bagian seperti partai politik atau proses-proses Demokrasi.[52] Tesis utama Mills adalah, menurut Birch, penekanan sejarah dan kelembagaan negara. Apa yang ia asumsikan sebagai power untuk mengambil keputusan sifatnya institusional (kelembagaan), yaitu yang berada di tiga domain: Industri, pemerintah, dan militer. 

Tiga lembaga ini menurut Mills semakin lama semakin terkonsentrasi dan saling berinterrelasi. Akibat dari hal ini menurut Mills ada dua: Pertama, kekuasaan (power) di setiap domain semakin dipegang oleh sedikit orang. Kedua, terdapat kecenderungan powerful few, untuk saling berkomunikasi satu sama lain (lintas domain) dan saling berganti peran dengan berpindah antar domain.[53] Amerika tahun 1950an didominasi oleh power elit, yaitu individu berkuasa yang tidak bisa lagi disebut sebagai Demokratis. Elit ini tidak lagi menganggap Demokrasi sebagai suatu hal penting. 

Menurut Birch, Mills berbeda dengan kaum Marxis, karena ia menolak sejarah sekadar produk kekuatan sosial. Bagi Mills, sejarah dibentuk oleh individu manusia yang memegang posisi kekuasaan. Di Amerika sendiri, menurut Mills, individu ini berasal dari kalangan atas. Bukunya Power Elite, menurut Birch, sekitar 40%nya berisikan narasi jurnalistik tentang gaya hidup para individu ini.[54] Maksud Mills menulis gaya hidup ini adalah mengkaitkan antara kesatuan aspek sosial dan psikologis yang memberi ciri khas atas keputusan yang diambil oleh para Elit. Anggota Kongres tidak dimasukkan Mills ke dalam Elit ini karena mereka sekadar mewakili kepentingan lokal, dan kurang terorganisir dan terinformasikan secara baik manakala ada isu-isu nasional.

Power yang dimaksud Mills diartikan sebagai kekuasaan eksekutif.[55] Mills lebih menekankan kekuasaan eksekutif di bidang kebijakan pertahanan dan luar negeri. Mills tidak percaya argumen Marxis tentang ekonomi sehingga kaum Korporasi kaya hanya dimasukkan Mills ke dalam triuviratnya manakala mereka menduduki posisi pemerintahan (eksekutif) puncak. [56] Birch menilai kajian Mills mengenai kelompok Elit Amerika ini masuk ke dalam Proposisi A, bahwa yang masuk ke dalam posisi puncak kekuasan terbatas pada anggota dari kelas sosial yang kohesif dan berukuran kecil.[57] Mereka ini berasal dari kelas atas. Birch coba membantah tesis Mills seputar asal-usul kelas para Elit dengan merujuk salah satu triumvirat power Elit yaitu Presiden.

Menurut Birch hanya 2 dari 10 presiden Amerika pasca Perang Dunia yang berasal dari kelas atas yaitu Kennedy dan Bush. Ke-8 lainnya yaitu Truman, Eisenhower, Johnson, Nixon, Ford, Carter, Reagan, dan Clinton berasal dari level atas lower-middle class atau middle-class.[58] Manakala kasus Mills dimasukkan Birch ke dalam Proposisi B, bahwa pembuat keputusan puncak memformulasi kebijakan menurut kepentingan dan nilai mereka sendiri, tanpa memandang kepentingan publik secara umum. Mills menekankan bahwa mereka (para elit ini) seolah terputus dari opini publik dan dari waktu ke waktu mengambil keputusan tanpa melakukan debat publik terlebih dahulu.

Mills mencontohkan keputusan ‘otoriter’ ini adalah keputusan Roosenvelt ikut serta dalam Perang Dunia II, keputusan Truman menggunakan bom atom atas Jepang, keputusan Amerika untuk tidak mempertahankan dua pulau lepas pantai di dekat Cina kendati ada kemungkinan Cina melakukan invasi, dan keputusan tidak menggunakan senjata nuklir tahun 1954 untuk menyelamatkan tentara Perancis yang dikepung di Vietnam.[59] Birch kemudian membantah bahwa keputusan-keputusan para presiden tersebut, apabila pun dilakukan debat publik, akan disetujui, dan mengenai mengapa dilakukan seolah sepihak, Birch menyatakannya karena urgensi semata: Keputusan militer yang harus diambil secara cepat. Birch menilai bahwa Mills gagal menunjukkan bukti agar memenuhi Proposisi B yang ia ajukan.[60]

Hal berharga yang bisa diambil dari studi Mills adalah bahwa etos Elit bisnis punya pengaruh yang tidak semestinya atas pembentukan nilai dan opini Amerika. Anggota Elit ini kenal satu sama lain sebagai teman, tetangga ataupun anggota klub. Posisi mereka lebih penting sebagai pemimpin opini informal ketimbang anggota militer ataupun organisasi politik.[61] Mereka juga, lanjut Mills, secara kolektif menerapkan derajat kekuasaan dalam melakukan manipulasi, sehingga nilai-nilai korporatnya merasuki mereka yang punya pengaruh di bidang politik ataupun keputusan-keputusan ekonomi. Birch menutup kajiannya mengenai Mills dengan menyatakan bahwa kendati kontribusi utama Mills bukan pada teori Elit, tetapi ia menyumbangnya informasi seputar fitur khusus dari masyarakat Amerika.

Review Teoretisi Elit

Ke-4 teoretisi Elit yang sudah dibicarakan (Pareto, Mosca, Michels, dan Mills), bagi Birch, heterogen. Tidak seorang pun mengkontribusi teori yang mampu mengancam teori Demokrasi, bahwa Demokrasi tidak lebih sebagai pemerintahan oleh segelintir Elit. Pareto menawarkan kerangka konseptual, bukan teori. Mosca adalah anasir Liberal abad ke-19 yang lebih mungkin membela gagasan Demokrasi apabila hidup di masa kekinian. Michels sekadar menulis tentang aneka dilema ideologis Partai Sosial Demokrasi Jerman ketimbang tentang prosedur-prosedur Demokrasi. Mills sekadar menulis tentang apa itu Amerika dari seorang yang begitu teralienasi dari masyarakat Amerika, memusuhi aneka nilainya, aneka kebijakannya, sistem ekonominya, dan kondisi Amerika secara umum. [sb]

-----------------------------------------------------

DAFTAR KUTIPAN:

[1] John Higley, “Continuities and Discontinuities in Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave Handbook of Political Elites (London: Palgrave MacMillan, 2018) p. 30. 
[2] Anthony Harold Birch, Concepts and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London: Routledge, 2001)., p. 186. 
[3] Heinrich Best and John Higley, ”The Palgrave Handbook of Political Elites: Introduction” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave …, op.cit., p. 3. Jan Pakulski menyatakan, pelacakan teori Elit dapat dirujuk hingga tulisan Niccolo Machiavell dan Thomas Hobbes, yang kemudian dilanjutkan oleh kalangan Liberal Eropa seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels, Max Weber, Joseph Schumpeter, dan Ortega y Gasset yang berkembang dari 1890an hingga 1940an. Lihat Jan Pakulski, “The Development of Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave …, op.cit., p. 9. 
[4] Jan Pakulski, op.cit., p. 10. 
[5] Jan Pakulski, “The Development … op.cit., p. 13. 
[6] A. KÓ§rÓ§senyi, “Political Elites and Democracy” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave MacMillan Handbook of Political Elites (London: Routledge, 2018) p. 47 – 8. 
[7] Jan Pakulski, “The Development … op.cit.p. 13. 
[8] A. KÓ§rÓ§senyi, “Political Elites … op.cit., p. 48. 
[9] Vilfredo Pareto adalah sosiologi Italia dalam masa pembentukan ilmu tersebut. Gaetano Mosca adalah pengacara konstitusi yang kerap dipandang sebagai Bapak ilmu politik Italia yang menerbitkan The Ruling Class tahun 1896. Robert Michels adalah sosiolog Jerman yang karya utamanya terbit tahun 1911. C. Wright Mills adalah sosiolog Amerika yang menulis The Power Elite tahun 1956. Dari 4 penulis ini, 3 orang teridentifikasi sebagai sosiolog sementara hanya 1 (Mosca) yang dekat dengan studi ilmu politik. Sebagai sosiolog, tentu saja mereka akan berbeda dalam memandang fenomena politik seperti Birch (yang berasal dari disiplin Ilmu Politik). Dengan demikian, penilaian Birch atas teori Elit mereka layak untuk dikritisi. 
[10] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 187. 
[11] ibid
[12] ibid
[13] ibid., p. 188. 
[14] ibid.
[15] Jan Pakulski, “The Development … op.cit., p. 19. 
[16] Tom B. Bottomore seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit..., p. 189. 
[17] Jan Pakulski, “Classical Elite Theory: Pareto and Weber” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave MacMillan Handbook of Political Elites (London: Routledge, 2018) P. 17. 
[18] Jan Pakulski., “Classcical … op.cit., p. 17. 
[19] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 189. 
[20] Kendati ia kerap mengkritik sejumlah aspeknya. 
[21] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 190. 
[22] Mosca seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit, p. 190. 
[23] Ibid., p. 190. 
[24] Mosca seperti dikutip Birch Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit, p. 190. 
[25] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit, p. 190. 
[26] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 191. 
[27] ibid
[28] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 192. 
[29] Mungkin dengan kelompok mafia Italia atau suap. 
[30] Mosca seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 192. 
[31] Ibid
[32] Mengenai pembatasan hak pilih. 
[33] Mosca seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 193. 
[34] Ibid. 
[35] Bottomore seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 194. 
[36] Ibid
[37] John Higley, “Continuities and Discontinuities in Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave Handbook of Political Elites (London: Palgrave MacMillan, 2018) p. 33. 
[38] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 194 – 5. 
[39] Michels seperti dikutip Birch dalam Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 195. 
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid., p. 195. 
[43] Ibid
[44] Ibid.
[45] Ibid., p. 196. 
[46] Ibid
[47] Ibid
[48] Ibid., p. 196 – 7. 
[49] Ibid, p. 197. 
[50] Ibid., p. 198. 
[51] Ibid
[52] Ibid., p. 199 
[53] Ibid
[54] Ibid
[55] Ibid., p. 200 
[56] Ibid
[57] Ibid
[58] Ibid
[59] Ibid., p. 220 – 1. 
[60] Ibid., p. 201. 
[61] Ibid.


Teori Pluralisme Politik


Teori Pluralisme Politik adalah teori yang menekankan pada penerimaan, pertimbangan, dan pelembagaan atas adanya aneka kelompok dan perspektif berbeda yang sesungguhnya aktual di dalam suatu negara. Gagasan dasar para pendukung pluralisme politik adalah kesepakatan untuk memberikan legitimasi atas adanya cara pandang berbeda di dalam suatu negara.[1] Akar dari pluralisme politik adalah William James, seorang filsuf politik asal Amerika Serikat sekaligus eksponen pluralis utama yang anti-absolutis.

Anthony Harold Birch[2] menyatakan bahwa Pluralisme adalah teori khas Amerika, yang menjelaskan dampak konflik yang bersifat seksionalis (bagian tertentu di dalam suatu negara) dan kelompok dalam pembuatan kebijakan.[3] Birch juga menyatakan bahwa Pluralisme mencukupi untuk disebut sebagai teori. Pluralisme politik, menurut Birch, memiliki obyek studi berupa aneka kasus negara bagian, kelompok kepentingan, dan promotional groups yang berupaya mempengaruhi pengambilan keputusan di Amerika Serikat. Karena Pluralisme politik dapat digeneralisasi sekaligus diverifikasi entitas studinya maka ia dapat disebut sebagai teori politik yang utuh. 

Pluralisme Politik 

Menurut Paul Q. Hirst, kendati lebih populer di Amerika Serikat, dalam konteks ilmu politik, studi Pluralisme politik juga berkembang di Inggris lewat tiga tokohnya G. D. H. Cole, John Neville Figgis, dan Harold J. Laski.[4] Pluralisme politik Inggris menyerang teori kedaulatan negara dari Thoman Hobbes dan Jean Bodin. Pusat perhatian teoretisi pluralisme Inggris terletak pada keyakinan atas vitalitas dan legitimasi self-governing dari berbagai asosiasi (di level civil society) sebagai cara mengorganisir kehidupan sosial dan juga keyakinan bahwa representasi politik harus menghargai prinsip fungsi asosiasi seperti serikat buruh, gereja, dan badan-badan sukarela yang sesungguhnya menjalankan tugas mendasar kehidupan sosial.[5] Hirst juga menulis bahwa karakter Pluralisme politik Inggris secara prinsip cenderung anti-Statist (anti negara), penghargaan atas otonomi asosiasi bebas yang didirikan warganegara (masyarakat sipil), dan prinsip representasi fungsional, yang membatasi --- bukan malah meningkatkan --- lingkup kekuasaan negara. Kaum Pluralis Inggris menentang teori kedaulatan negara yang tak terbatas serta negara yang disentralisasisakan secara unitaris dengan mana terdapat hirarki otoritas di dalamnya.[6]

Sementara itu, Pluralisme Amerika (seperti terdapat dalam tulisan Birch ini) memandang asosiasi sebagai bagian dari proses kompetisi politik dan cenderung menyikapi negara dan pemerintah sebagai jaringan penghubung lewat mana aneka kepentingan yang bersaing berusaha untuk mempengaruhi kebijakan dan melalui mana tujuan dari kepentingan terorganisir dominan di setiap isu khusus dibawakan.[7] Jika di Inggris, asosiasi civil society dipandang sebagai oposan negara, maka di Amerika Serikat asosiasi civil society dipandang sebagai pelengkap fungsionalitas negra. Obyek studi Birch mengenai Pluralisme politik adalah fenomena negara bagian dan kelompok penekan (pressure group) di Amerika Serikat, bukan Inggris. Bagi Birch masalah yang menyertai proses integrasi negara bagian ke dalam Serikat merupakan rujukan faktual awal studi Pluralisme politik. Setelah membahas masalah negara bagian ini, Birch mengkaji fenomena pressure group di Amerika Serikat. 

Pluralisme Negara Bagian Amerika Serikat: Kasus Bergabungnya Konfederasi ke dalam Federasi

Birch mencatat, pemikir Pluralis pertama di Amerika Serikat adalah James Madison dan Alexander Hamilton. Keduanya umum dianggap sebagai founding fathers Amerika Serikat dan aneka tulisan mereka (juga Ben Franklin, Andrew Jackson) kerap disebut The Federal Papers. Obyek dari Pluralisme mereka adalah kasus negara bagian Amerika Serikat. Madison dan Hamilton mengajukan proposal yang hendak mengubah konfederasi longgar negara bagian menjadi Federal. 

Secara metodologis, Birch mengungkap 4 hipotesis, 1 pernyataan normatif, dan konklusi terhadap proposal Madison dan Hamilton. Empat hipotesisnya sebagai berikut:[8]
  1. Para politisi tidak termotivasi oleh altruisme ataupun kepentingan publik, sebaliknya, mereka menikmati penggunaan kekuasaan dan cenderung akan memaksimalisasinya manakala memperoleh kesempatan.
  2. Konflik kepentingan dalam masyarakat tidak terelakkan, lalu konflik akan mendorong pertikaian antar faksi. Kepentingan tersebut misalnya tanah, pabrik, perdagangan, atau masalah keuangan.
  3. Aneka faksi dalam masyarakat, apabila tidak dikoreksi pihak lain, cenderung memaksimalisasi kepentingan sendiri dan merugikan pihak lain. 
  4. Aneka faksi dipimpin atau diwakili para politisi yang diharapkan menggunakan kekuasaannya untuk mempromosikan kepentingan faksionalnya.
Pernyaataan normatif dari Madison dan Hamilton adalah, Amerika harus mengorganisir sistem pemerintahannya sehinga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain. Dominasi disebut Madison sebagai perampasan hak (deprivation of rights). Konklusinya adalah, penggabungan 13 negara bagian ke dalam Federasi sangat dikehendaki, atas dasar peningkatan jumlah dan perbedaan faksi mereduksi kemungkinan satu faksi mendominasi faksi lain.

Jika Madison dan Hamilton adalah ‘suara dari Utara’ maka John C. Calhoun adalah ‘suara dari Selatan.’ Calhoun khawatir apabila pihak Utara mendominasi Kongres, maka mereka akan memanfaatkan kemayoritasannya untuk menghapus perbudakan (cara produksi penting bagi pihak Selatan). Calhoun menyatakan apabila konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) diterapkan pada pemerintahan perwakilan, maka kepentingan minoritas geografis di Amerika akan terlindungi 

Calhoun menganggap konsep mayoritas bersaing ini termaktub dalam konstitusi Amerika. Setiap negara bagian punya perwakilan yang sama di Senat. Pengakuan lainnya adalah, harus ada 2/3 suara dari seluruh negara bagian sebelum amandemen konstitusi diloloskan. Esensi argumentasi Calhoun adalah prinsip kesetaraan suara harus diperluas lewat konvensi, sehingga mayoritas numerik di Kongres tidak akan pernah menggunakan kekuasaannya untuk memotong kepentingan negara bagian tertentu. Calhoun memperingatkan, jika pihak Utara menolak konvensi ini semata karena hendak menghapus perbudakan, maka Selatan akan keluar dari Federasi. Setelah perdebatan di atas, meletuslah Perang Saudara di Amerika, perang antara Utara versus Selatan. 

Birch menarik suatu garis, bahwa fenomena perdebatan Utara-Selatan sebagai bentuk Pluralisme politik yang didasarkan atas seksional (geografis). Pasca Perang Saudara, Amerika mengalami reintegrasi dan Pluralisme yang obyeknya isu kepentingan negara bagian meredup. Keredupan ini, catat Birch, akibat meningkatnya teknologi komunikasi dan industri, yang membuat Amerika semakin homogen.[9] Homogenisasi ini membuat egosektoral Utara dan Selatan berkurang secara signifikan. 

Namun, tahun 1950 Pluralisme negara bagian ini kembali muncul lewat Herbert Agar. Agar menyatakan “kebijakan federal yang sukses cenderung mengikuti aturan Calhoun tentang mayoritas bersaing. Setiap kepentingan yang cukup kuat untuk menimbulkan permasalahan harus dipuaskan dahulu sebelum melakukan hal lainnya.”[10] Catatan lainnya diajukan A. N. Holcombe, yang menyatakan bahwa penyederhanaan partai politik (secara tidak alamiah) tidak diharapkan dan mungkin tidak bisa berjalan di negara yang sangat heterogen seperti Amerika Serikat. Nilai dari Federasi adalah penerimaan hak minoritas untuk memveto kebijakan dianggap tidak bisa ditoleransi. 

Pluralisme Kelompok Penekan (Pressure-Group)

Birch mencatat sejak 1950an terjadi peralihan lokus studi Pluralisme politik dari aspek seksional (geografis, negara bagian) menjadi peran kelompok kepentingan yang terorganisir. Kelompok-kelompok ini berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 

Studi awal mengenai kelompok penekan ini adalah The Group Basis of Politics dari E. Latham tahun 1952. Bagi Latham, pressure-group (kelompok penekan) adalah entitas politik yang mendasar, sehingga proses politik tidak lain adalah perjuangan antara kelompok ini.[11] Latham melanjutkan, tugas Legislator sebagai wasit pertarungan antar kelompok, meratifikasi kemenangan dari koalisi antarkelompok yang sukses, dan mencatatnya ke dalam statuta negara. Dalam proses pemungutan suara, suara Legislatif di setiap isu cenderung mereprentasikan komposisi kekuatan (perimbangan kekuatan) dari pressure-group yang saling bersaing. Kebijakan publik adalah equilibrium, hasil pertarungan aneka pressure-group ini. [12]

Bagi Birch, satu buku yang cukup berpengaruh tentang fenomena pressure-group ini The Governmental Process yang ditulis Harry Truman tahun 1951. Truman melakukan sintetisasi atas aneka studi di dalam lokus pressure-group ini. Truman enggan menggunakan konsep ‘pressure-group’ (kelompok penekan) karena maknanya yang pejoratif (berarti political abuse), dan menggantinya dengan interest-group (kelompok kepentingan) Bagi Truman, istilah interest-group lebih netral ketimbang pressure-group

Birch membantah permainan istilah dari Truman. Bagi Birch, istilah interest-group apabila diterapkan di era kekinian akan menyebabkan kerancuan bagi ilmuwan politik. Bagi Birch, pressure-group adalah seluruh kelompok yang berusaha menggunakan kekuatannya saat suatu kebijakan tengah dibuat atau dilaksanakan.[13] Pressure-group terdiri atas interest-group dan promotional-group. Interest-group adalah kelompok yang fungsinya mempertahankan atau memajukan kepentingan material anggotanya. Promotional-group adalah kelompok yang ingin mempromosikan nilai atau posisi khusus mereka.[14]

Birch mencontohkan, dalam kebijakan pertahanan, ada dua posisi berbeda sehubungan dengan pressure-group ini. Ada kelompok yang berusaha mempertahankan kepentingan perusahaan yang lingkup bisnisnya di area pertahanan. Kelompok lainnya berposisi menentang persenjataan, yang setiap anggotanya berbagi sikap moral dan perilaku terkait kebijakan pertahanan. Contoh lainnya, masih menurut Birch, dalam masalah hukum aborsi. Ada kelompok yang mewakili kepentingan paramedis (dokter, perawat, dan pemilik klinik aborsi). Di sisi lain, ada kelompok lain yang menganggap aborsi itu sebagai masalah moral: Benar ataukah salah. 

Perbedaan antar kelompok ini tercermin dari kekuataan finansial, akses atas sumberdaya, dan aneka taktik yang mereka terapkan dalam mempengaruhi kebijakan. Interest-group kerap diajak konsultasi oleh agen-agen pemerintah sehingga kelompok ini memiliki jejak dalam proses pembuatan keputusan. Pada sisi lain, promotional-group lebih fokus pada kampanye dan demonstrasi publik dalam menyikapi kebijakan.[15] Dengan demikian, pressure-group adalah konsep yang dianggap Birch lebih tepat dalam analisis Pluralisme politik kelompok. 

Kajian pressure-group dalam studi Pluralisme politik tahun 1950an bersifat lebih metodologis. Masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ilmuwan politik apakah posisi pressure-group di luar atau di pinggiran proses pemerintahan. Namun, Pluralisme politik memandang eksistensi pressure-group ini terletak di jantung proses pembuatan keputusan pemerintah.[16]

Pentingnya pressure-group dalam politik Amerika tidak lepas dari kemampuan sistem Demokrasi Amerika menciptakan equilibrium atas aneka tekanan aneka kelompok masyarakat yang saling bersaing. Dengan demikian, yang hebat itu bukanlah pressure-group melainkan sistem Demokrasi Amerika. Birch juga mencatat, Truman memperkenalkan konsep potential interest-group yang dapat dianalogikan dengan konsep invisible hand Adam Smith.[17] Dalam konsepnya, Adam Smith menunjukkan bahwa benturan kepentingan ekonomi para kapitalis tidak akan meruntuhkan sistem ekonomi Amerika karena ada ‘tangan tak telihat’ yang mengaturnya. Demikian pula dalam konteks benturan kepentingan antar pressure-group, sistem Demokrasi Amerika akan menciptakan equilibrium, sehingga benturan tadi tidak akan meruntuhkan sistem Demokrasinya. 

Faktor lain yang membuat benturan antar pressure-group adalah overlaping keanggotaan mereka, yang mencakup overlaping keanggotaan aktual maupun potensial. Salah satu konklusi Truman yang dicatat Birch dalam hal overlaping ini adalah, keanggotaan ganda dalam aneka kelompok potensial yang didasarkan atas kepentingan para anggotanya sendiri. Inilah yang berfungsi sebagai roda penyeimbang dalam sistem politik Amerika. Konklusi ini ditafsirkan sebagai Teori Demokrasi Amerika sebagai sistem perimbangan tekanan berbagai kelompok. Era 1950an sistem politik Amerika ditandai kuatnya pengaruh kelompok yang mewakili kepentingan petani, dokter, dan bisnis. Pengaruh mereka ini lebih besar ketimbang kelompok lain yang mewakili kepentingan penghuni daerah kumuh, ras minoritas, klien medis atau klien hukum.[18] Warna kebijakan politik Amerika era tersebut akan lebih diwarnai oleh kepentingan kelompok yang banyak melakukan tekanan ketimbang yang tidak. 

Sehubungan dengan tingginya peran pressure-group dalam politik Amerika, Max Lerner, seperti dikutip Birch, menyatakannya dalam buku American as a Civilization. Dalam buku tersebut Lerner menyatakan bahwa kekuasaan di Amerika adalah Plural dan cair, ia bercorak banyak faset ketimbang seragam dan terpecah ke dalam sejumlah kelompok. Lerner melanjutkan, Pluralis, Pragmatis, dan Federalis adalah karakter politik Amerika. Karakter ini mendorong perkembangan seni kompromi dan pencapaian kesetimbangan antar kekuatan yang bersaing.[19] Dahl menambahkan, seperti dikutip Birch, setelah membandingkan sistem politik Amerika dengan negara lain, terkuak satu fitur menonjol yaitu memungkinkan minoritas terorganisir untuk memblok, memodifikasi, atau menunda sebuah kebijakan yang mereka tentang.[20]

Birch mencatat, di Amerika, suatu organisasi bernama National Rifle Association berhasil mempertahankan kendali kepemilikan senjata api secara efektif selama bertahun-tahun, kendati mayoritas publik Amerika tidak menyetujuinya. Ini merupakan wujud minoritas yang bisa mempertahankan kepentingannya tatkala berhadapan dengan mayoritas. Bagi Birch, pembelaan Dahl atas Pluralisme dalam hal ‘menangnya’ minoritas ini karena kemampuan Pluralisme Amerika dalam memberi kesempatan warganegara atau kelompok yang ingin kepentingannya terlindungi, kendati terbatas, dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. 

Birch juga melansir pendapat Charles Lindbloom, yang menyatakan Pluralisme politik tidak hanya Demokratis tetapi juga menghasilkan kebijakan yang dihendaki. Pluralisme politik menciptakan kondisi partisan mutual adjusment.[21] Bagi Lindbloom masyarakat industri modern sudah sangat rumit strukturnya sehingga pemerintah sangat sulit menerapkan kebijakan politik terencana yang komprehensif. Akibatnya, mereka menyerahkan pada mekanisme penyesuaian kepentingan (partisan mutual adjusment). Dari partisan mutual adjusment ini legislatif dan eksekutif dapat banyak masukan untuk merancang suatu kebijakan. 

Namun, seperti dicatat Birch, kecenderungan tahun 1950an ini berubah di era 1960an. Robert Dahl menerbitkan Who Governs? yang mengalihkan perhatian dari peran pressure-group di Kongres menuju politik kewilayahan (municipal politics). Kajian Dahl ini, menurut Birch, adalah reaksi Dahl atas penelitian sejumlah sosiolog atas fenomena struktur kekuasaan dalam komunitas. Para sosiolog tersebut menyimpulkan municipal politics didominasi para Elit mapan yang berasal dari kelompok warganegara kelas atas. Para sosiolog ini menyatakan bahwa para Elit ini berposisi mengatur masalah masyarakat lokal, mengatur kerja para politisi dan pejabat yang terpilih. Para sosiolog, secara lebih lanjut, menyatakan terdapat power elite dalam municipal politics di Amerika.

Birch kemudian melanjutkan, Dahl dan juniornya Nelson Polsby, memeriksa metodologi penelitian yang dilakukan para sosiolog tersebut dan menyimpulkan terjadi kesalahan metodologis sehingga mendorong pengambilan kesimpulan yang keliru.[22] Dahl kemudian melakukan studi mengenai temuan power elite ini di New Haven. 

Dari studi Dahl, seperti dicatat Birch, pemerintahan di New Haven adalah arena konflik antara kelompok dan faksi kecil. Terdapat sejumlah faksi berbeda yang menjadi pemenang di wilayah kebijakan berbeda. Studi Dahl juga memperlihatkan bahwa justru anggota Elit sosial di kota tersebut tidak terlalu aktif atau berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, menurut Dahl tidak tepat apabila Elit sosial secara otomatis diidentifikasi sebagai pula Elit politik.[23] Tiga temuan lain Dahl dari New Haven, seperti dicatat Birch adalah: (1) Tidak terdapat bukti bahwa semua kelas dan kelompok di New Haven punya kekuasaan atau akses yang sama pada kekuasaan; (2) Tidak terdapat bukti pengambilan keputusan tidak didominasi oleh nilai-nilai kelas menengah; (3) Tidak terdapat bukti bahwa New Haven adalah tipikal seluruh kota Amerika atau struktur politiknya dapat mikrokosmos seluruh struktur politik Amerika.[24] Temuan Dahl ini, kemudian akan dijadikan patokan Birch dalam analisisnya mengenai Elitisme politik. 

Pluralisme dan Demokrasi

Dalam menghubungkan konsep Pluralisme dan Demokrasi, Birch mengajukan dua pertanyaan berikut: (1) Apakah sistem pemerintahan yang Pluralis pasti Demokratis? dan (2) Apakah sistem pemerintahan yang Demokratis pasti Pluralis? Bahasan Birch selanjutnya akan didasarkan pada dua pertanyaan ini.[25]

Bagi Birch, jawaban pertanyaan pertama adalah negatif. Pluralisme sudah pasti cocok untuk Demokrasi tetapi tidak cocok untuk Totalitarianisme. Selanjutnya Birch membahas mengapa Plurarisme tidak cocok bagi pemerintahan Totalitarian.

Apabila mengizinkan Pluralisme, pemerintahan Totalitarian tentu tidak dapat secara total mengendalikan masyarakat apabila aneka organisasi otonom diizinkan mengeksekusi pengaruh sosial dan politik mereka. Bagi Birch, tidaklah sulit membayangkan sebuah sistem pemerintahan yang dicirikan oleh persaingan antar kelompok terorganisir yang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan sehingga apa jadinya suatu rezim Totalitarian? Namun, apabila hanya sebagian kecil warganegara yang diizinkan berpartisipasi dalam kehidupan politik kondisi tersebut adalah tidak Demokratis. Ketidakdemokratisan ini juga terjadi apabila terdapat kelompok dominan yang memanfaatkan kekuatan negara untuk mengeksklusi kelompok lain dari persaingan. 

Birch merujuk hal semacam ini terjadi di Inggris pada periode 1688 – 1867, Jerman di bawah kekuasaan Otto von Bismarck, dan Perancis di era Kekaisaran Kedua. Birch juga melansir, sistem-sistem pemerintahan pra moderen sebagai Pluralis manakala terjadi perjuangan politik antara gereja, pemilik tanah, petani, dan pedagang. Namun, manakala mereka tidak melibatkan warganegara secara luas, tidaklah mereka dapat disebut Demokratis. 

Selanjutnya, Birch membahas pertanyaan kedua, yaitu apakah sistem Demokratis pasti Pluralis? Bagi Birch itu bergantung pada apa definisi Pluralis yang digunakan.[26] Tidak semua pemerintahan Demokratis ditandai fenomena seksional negara bagian seperti Amerika (Pluralisme geografis). Eropa justru memiliki wilayah geografis lebih kecil dan masyarakatnya relatif homogen. Eropa (kecuali Swiss) ditandai sistem pemerintahan yang lebih sentralistik. Dengan demikian, sulit apabila menerapkan lokus Pluralisme pada aspek geografis di Eropa. Juga, ini bukan berarti negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Denmark, atau Swedia kurang Demokratis ketimbang Amerika karena tidak munculnya Pluralisme berdasar seksionalisme (geografis). 

Sebaliknya, apabila definisi Pluralisme versi Truman dan Latham diterapkan, yaitu sistem politik dengan mana pressure-group bersaing dalam mempengaruhi pengambilan keputusan negara, maka semua Demokrasi moderen punya dimensi Pluralis.[27] Pressure-group ini mungkin lebih menonjol di satu negara ketimbang lainnya. Pressure-group ini juga berbeda variasinya akibat kepemilikan sumberdaya dan taktik yang dipergunakan. Namun, terlepas dari hal tersebut, pada suatu sistem pemerintahan yang dicirikan kemerdekaan berorganisasi dan komunikasi politik yang bebas, pressure-group menemui eksistensinya. Hal penting yang harus dikemukakan, menurut Birch, adalah sejauh mana kegiatan pressure-group ini menguntungkan atau justru merugikan kepentingan publik. Bagi Birch hal ini semata masalah penilaian politik (political judgement) bukan masalah analisis konsep maupun teoretik Pluralisme.[28]

Bagi Birch, beberapa sistem negara Demokrasi lebih nyata kadar Pluralismenya ketimbang negara lainnya. Amerika adalah satu contoh ekstrim, tidak hanya akibat seksionalisme geografis dan desentralisasi sistem pemerintahan, melainkan juga di Washington, cabang eksekutifnya cenderung lebih lemah ketimbang di negara Demokrasi Eropa. Konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikombinasikan lemahnya disiplin partai di Kongres, membuat eksekutif sulit mewujudkan draft legislasi menjadi undang-undang manakala ada satu atau beberapa kelompok berpengaruh menentangnya. Eksekutif bahkan sulit memperoleh persetujuan anggaran tahunan, sementara di negara Demokrasi Parlementer, proposal anggaran ini justru diterima secara taken for granted.[29]

Di negara-negara Eropa, Pluralisme politik akibat seksionalisme geografis kurang signifikan ketimbang pressure-group. Pressure-group mendapat posisi penting di Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan Australia.[30] Namun, hasil kerja dari pressure-group di Eropa berhadapan dengan suara Parlemen. Kerap suara pressure-group kurang ditanggapi dan sehubungan dengan isu yang mereka suarakan, pemerintah dapat saja melakukan sosialisasi kepada seluruh warganegara sehingga mentransfer isu yang dibawa pressure-group ini ke dalam collective mind. Sebab itu pemerintahan Demokrasi di Eropa mampu mengimbangi peran pressure-group ketimbang di Amerika. [sb] 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] David Schlosberg, “The Pluralist Imagination” dalam John S. Dryzek, Bonnie Honig and Anne Phillips, eds., The Oxford Handbook of Political Theory (Oxford: Oxford University Press, 2006) p. 143. 
[2] Anthony Harold Birch, Concepts and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London: Routledge, 2001) pp. 177– 212. 
[3] Ibid., p. 177. 
[4] Paul Q. Hirst, ed., The Pluralist Theory of the State: Selected Writings of G. D. H. Cole, J. N. Figgis, and H. J. Laski (London: Routledge, 1993) p. 1. 
[5] Ibid., p. 2 
[6] Ibid. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid., pp. 177 – 8. 
[9] Ibid., p. 179. 
[10] Calhoun seperti dikutip dalam ibid., p. 179. 
[11] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.,., p. 179. 
[12] Ibid. p. 179 – 80. 
[13] ibid., p. 180. 
[14] ibid. 
[15] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 180. 
[16] Ibid.., p. 180. 
[17] Ibid. 
[18] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 181. 
[19] Max Lerner seperti dikutip Birch dalam ibid. p. 181 – 2. 
[20] Robert Dahl seperti dikutip Birch dalam ibi.d, p. 182. 
[21] Charles Lindbloom seperti dikutip Birch dalam ibid. 
[22] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 183. 
[23] ibid., p. 183. 
[24] Temuan Dahl ada empat, tetapi untuk membuat tulisan ini tidak terlampau panjang hanya dimuat 3 saja. Dahl dalam ibid., p. 183. 
[25] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 183 – 4. 
[26] ibid., p. 184. 
[27] Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit., p. 184. 
[28] ibid., p. 185. 
[29] ibid. 
[30] Pemerintahan Australia banyak dijalankan oleh orang Eropa, kendati secara geografis wilayahnya di pasifik, bukan Atlantik.