Latest News

Saturday, November 9, 2019

Demokrasi Pemerintahan Rakyat atau Mayoritas


Demokrasi pemerintahan rakyat atau mayoritas adalah wujud dilematis bagi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dipraktekkan di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis, dinyatakan Rousseau sebagai bukan Demokrasi, tetapi perbudakan. Bagi Rousseau, Demokrasi sekadar menghasilkan oligarki para wakil rakyat yang cuma memberi perhatian pada kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Lalu, bagaimana kemudian Demokrasi meski dikritik secara keras oleh Rousseau, tetap jadi pilihan cara memerintah suatu negara ?

Pendahuluan 

Jawaban atas kritik Rousseau dapat kita temukan pada tulisan Jack Lively. Tulisan Jack Lively mengenai Demokrasi, tepatnya mengenai pemerintahan oleh rakyat dan mayoritas, mengantarkan kita ke dalam pemahaman Demokrasi di era saat ini. Lively menyodorkan aneka argumentasi praktis sekaligus kritis dalam membedah kedua konsep tersebut. Ia tidak lagi bicara apakah Demokrasi itu bentuk pemerintahan yang baik atau tidak, melainkan Demokrasi diterima sebagai sistem pemerintahan yang aktual berlaku di negara moderen dan bagaimana aspek pragmatisnya. 

Sejak awal, Lively tidak menampakkan sulitnya pendefinisian Demokrasi. Baginya, konsep ini punya sejarah panjang dan secara konsisten telah sering dipergunakan.[1] Inti dari Demokrasi adalah demos yaitu rakyat melakukan pemerintahan, dan pihak yang banyak (many) memegang kekuasan lebih besar ketimbang yang sedikit (few). Pembedaan ini bukan merupakan hal baru mengingat di era lebih lampau, Aristoteles sudah menggunakan pengertian ini. Namun, penambahan konsep political equality (kesetaraan politik) yang membuat kebaruan dari konsep Demokrasi di era kini. Penambahan konsep ini mendorong munculnya konsep baru yaitu ‘Demokratis’, yaitu dengan mana demokrasi dijalankan berdasarkan kesetaraan politik. 

Lively lebih lanjut mengelaborasi dua konsep, yaitu rule dan the people. Kedua konsep inilah yang nantinya membedakan antara Demokrasi dalam pikiran Lively dengan apa yang terdapat dalam pemikiran Aristoteles atau aneka filsuf politik lainnya saat bicara mengenai Demokrasi. Lively lebih dahulu menetapkan batasan, apakah konsep the people diartikan sebagai adanya kehendak yang homogen bagi seluruh anggota komunitas, sehingga keputusan politik dapat disepakati oleh keseluruhan? Bagi Lively, konsep kedaulatan rakyat kerap diselewengkan oleh rezim berkuasa untuk membenarkan pembungkaman atas oposisi, yang perilakunya oleh sang rezim dinilai bertentangan dengan kehendak rakyat. Kehendak rakyat ini tentunya seperti ditafsirkan oleh sang rezim sendiri.[2] 

Untuk keluar dari dilema ‘kehendak rakyat’ ini, atau dalam bahasa Rousseau disebut general will, Lively kemudian memberi penekanan praktis atas apa yang ia sebut prinsip mayoritas. Tentu saja, prinsip mayoritas yang dimaksud Lively berbeda dengan apa yang diajukan Aristoteles di masa lampau.[3] Lively juga berbeda pendapat dengan Rousseau karena ia melepaskan diri dari konsep general will yang mungkin dinilainya terlampau abstrak. Secara tegas, bagi Lively, yang dimaksud kedaulatan di dalam negara adalah kedaulatan mayoritas, bukan rakyat. Namun, prinsip mayoritas ini disikapi Lively secara hati-hati dan dipahami lebih secara pragmatis ketimbang ideologis layaknya Rousseau manakala memperkenalkan konsep general will yang tidak pernah bisa salah dan Daulat sebagai wujud aktifnya dalam negara. 

Ambiguitas lain yang dipersoalkan Lively adalah konsep rule. Lively beranggapan bahwa pada satu sisi, many (yang banyak) tidak bisa memerintah secara totalitas, tetapi pada sisi lain, yang banyak ini mungkin dan dapat saja memerintah pada sebuah sistem politik dengan sejumlah kondisi yang harus dipertimbangkan secara pragmatis.[4] 

Lively melanjutkan, apabila di saat memerintah negara menghendaki keberlakuan haknya (otoritas) untuk memerintah pihak lain, sistem Demokrasi tidak bisa mengelak dari terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan sedikit orang. Persoalan-persoalan ini sesungguhnya tidaklah baru, karena Rousseau di era sebelumnya sudah mempermasalahkan ini dalam pembahasannya mengenai pejabat yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Lively secara lebih pragmatis menyadari, bahwa kendati mayoritas adalah pihak yang patut mengambil keputusan pemerintahan dan penyusunan legislasi, secara empiris hal tersebut tetap tidak mungkin, sebab secara aktual, keputusan selalu diambil oleh sekelompok kecil pemimpin. Pada sisi lain, Lively mengajukan argumen, jika yang dimaksud dengan pemerintahan rakyat adalah pemerintah yang bertindak dan mengikuti keinginan dari yang banyak, maka dapat saja sistem politik seperti itu (dimana eksekutif dan legislatif adalah mewakili rakyat) disebut sebagai pemerintahan rakyat. Di sini letak pragmatisme Lively ketimbang Rousseau. 

Sebelum masuk pada analisis kritis atas pemikiran Lively, perlu disampaikan bahwa tema tulisannya yang akan dikritisi telah dispesifikasi. Dua tema besar tulisan Lively adalah Prinsip Pemerintahan oleh Mayoritas dan Pemerintahan oleh Rakyat. Tema pertama dielaborasinya menjadi sejumlah sub tema seperti tingkat kewarganegaan, keputusan mayoritas, dan kesetaraan politik, Tema kedua dipecah menjadi sub-sub tema persyaratan yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, persyaratan yang tidak mencukupi, dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Critical review ini akan mengikuti alur tema dan sub-sub tema tulisan Lively di dalam bukunya, Democracy. 

Prinsip Mayoritas 

Bahasan Lively mengenai prinsip mayoritas diawali tanggapannya atas definisi Demokrasi yang diajukan Lord Bryce.[5] Bryce mendefinisikan Demokrasi sebagai “pemerintahan dengan mana kehendak mayoritas warganegara yang memenuhi syarat, melakukan pemerintahan.”[6] Pertama, bagi Lively definisi tersebut dekat dengan prinsip mayoritas, sebab agar Demokratis, pembuat keputusan harus terdiri atas pihak mayoritas dalam komunitas. Kedua, prosedur yang diikuti pembuat keputusan harus merupakan hasil dari ketetapan mayoritas pula. Problem dari definisi Bryce, bagi Lively, adalah dicantumkannya konsep warganegara (citizen) yang olehnya kemudian dielaborasi secara lebih lanjut. 

Tingkatan Kewarganegaraan 

Baik Aristoteles maupun Rousseau secara khusus menyinggung konsep warganegara saat bicara mengenai Demokrasi.[7] Lively, pun serupa bahwa konsep ini memegang peran cukup penting untuk dielaborasi dalam kaitannya dengan konsep Demokrasi. Secara sederhana, Lively mendefinisikan warganegara sebagai “one who takes part in political decision-making.”[8] Masalah bagi Lively adalah, warganegara mana yang ambil bagian dalam pengambilan keputusan tersebut? 

Untuk merespon pertanyaan ini, Lively melakukan sejumlah perumpamaan. Manakala mayoritas anggota suatu komunitas berusia non dewasa, apakah pembatasan warganegara yang bisa mengambil keputusan politik hanya pada mereka yang berkategori dewasa saja, dapat disebut Demokratis? Perumpamaan lainnya adalah kondisi dimana: (a) minoritas kecil anggota komunitas adalah kulit hitam dan wanita yang ditolak kewarganegaraannya; (b) yang diakui kewarganegaraannya adalah kulit putih dan pria. Dari dua kondisi (a dan b) tersebut apakah ‘Demokratis’ layak disandangkan pada komunitas tersebut? Menurut Lively, kasus usia non dewasa dan minoritas kecil (wanita dan kulit hitam) merupakan konsekuensi akibat penerapan prinsip mayoritas dalam Demokrasi. Demokrasi di sini dikaitkan dengan proses politik. Lively ingin menunjukkan bahwa dalam Demokrasi, mayoritas mungkin saja dikecualikan dari proses politik (kasus non dewasa) dan apabila terjadi di kasus minoritas wanita dan kulit hitam yang dikecualikan, maka sistem politik dinyatakan tidak Demokratis. 

Bagi Lively, ‘banyak’ (many) dalam konteks pemerintahan oleh yang banyak bukan semata masalah mayoritas secara numerik, melainkan lebih kepada masalah prinsip. Mereka yang di bawah umur harus dikecualikan dari proses politik, sementara kendati mereka minoritas, kaum kulit hitam dan wanita harus diikutsertakan dalam proses politik apabila sudah memenuhi syarat usia (dewasa). Masalah dalam pemerintahan oleh yang banyak di sini bukanlah bersifat rasial, melainkan kompetensi. Kaum wanita dan kulit hitam dewasa memiliki kompetensi politik yang sama dengan kulit putih dan laki-laki dewasa, sementara mereka yang belum dewasa dinyakan belum memilikinya. 

Dalam masalah kompetensi ini, Lively melanjutkan argumentasinya mengenai tingkat kewarganegaraan. Bagi Lively, tingkatan kewarganegaraan bergantung pada kualitas individu seperti apa yang perlu ada bagi sebuah kompetensi politik dan bagaimana cara mendistribusikannya di tengah komunitas (sistem politik atau negara).[9] Lively menjawab persoalan ini dengan menyatakan bahwa kualitas kompetensi politik sangat bergantung pada tujuan dari sistem politik. Jika tujuan dari sistem politik adalah pengamanan properti, maka individu yang cenderung memperjualbelikan properti negara harus dikecualikan dari proses politik. Parameter tujuan dari sistem politik ini pun berimplikasi pada batasan kewarganegaraan yang juga ditentukan berdasarkan distribusi kualitas relevan seperti apa yang harus dipenuhi. Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis bahwa seperti apa kualitas yang harus dikuasai warganegaranya harus sejalan dengan tujuan sistem politik. 

Masalah korelasi antara kualitas warganegara dengan tujuan sistem politik pun terjadi di era Demokrasi Yunani Kuno tahun 528 – 322 sM.[10] Tentu saja, warganegara yang dimaksud terbatas pada laki-laki merdeka, bukan budak. Kompetensi warganegara yang diharapkan adalah mereka yang mampu menerima panggilan tugas menjadi pasukan hoplite (tombak panjang), mendukung keuangan negara kota dengan sejumlah cara, menghargai orang tuanya, patuh pada hukum negara kota, dan melakukan perilaku seksual sesuai norma. Dengan demikian, masalah tingkatan kewarganegaraan seperti diujarkan oleh Lively dalam konteks Demokrasi sesungguhnya punya akar sejarah yang sangat panjang. 

Dalam proses politik komunitas, Lively tidak sepakat bahwa masalah rasial, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi menjadi tolak ukur pengecualian dalam prinsip mayoritas. Bagi Lively, ras bukan masalah kompetensi individual karena merupakan unsur primordial manusia: Setiap ras adalah setara. Juga, Lively tidak sepakat dengan pernyataan stereotip bahwa masyarakat dari satu budaya lebih terbelakang dari anggota budaya lain. Lively dengan demikian dapat disebut sebagai pemikir politik yang egaliter. Bagi Lively, pengecualian kesetaraan warganegara sebagai syarat untuk terlibat dalam proses politik harus ditempatkan semata pada kualitas individual. Bagi Lively, mereka yang gila atau di bawah usia sangat memungkinkan untuk dikecualikan sebagai kategori warganegara yang dapat terlibat dalam proses politik. Mereka tetap warganegara tetapi harus dikecualikan dari proses politik karena kompetensinya tidak memadai untuk memilih atau dipilih ke dalam jabatan publik. 

Keputusan Mayoritas 

Lebih lanjut, Lively mengetengahkan bahasan seputar keputusan mayoritas. Secara pragmatis, Lively menganggap bahwa masalah keputusan mayoritas bukan monopoli Demokrasi saja. Masalah ini selalu akan muncul baik suatu pemerintahan menganut Demokrasi atau tidak.[11] Lively mencontohkan, kelompok bangsawan herediter (mungkin maksudnya Aristokrasi) juga memiliki masalah ini, tetapi mereka cenderung dapat membuat keputusan secara damai mengingat satu sama lain sudah saling mengenal, berhubungan kerabat, dan jumlahnya hanya sedikit. 

Parameter utama dalam prosedur pembuatan keputusan, menurut Lively, adalah harus adanya kesetaraan di antara individu yang membuat keputusan tersebut.[12] Setelah parameter ini terpenuhi, Lively kemudian mengidentifikasi lima macam prosedur pembuatan keputusan, yaitu: (1) Syarat suara bulat (unanimity requirement); (2) Syarat mayoritas yang ditetapkan (stipulated majority requirement); (3) Syarat minoritas (minority requirement); (4) Minoritas yang tertarik (interested minority); dan (5) Keputusan mayoritas sederhana (simple majority decisision).[13] 

Untuk prosedur yang pertama, syarat suara bulat, diberlakukan saat tidak ada kebijakan yang bisa diambil melainkan harus disetujui oleh semua yang terlibat. Dapat saja terjadi bahwa setiap individu memiliki hak veto, sekurangnya saat kebijakan tersebut baru dalam tahap perancangan. Dalam syarat mayoritas yang ditetapkan maka jumlah yang setuju terhadap kebijakan terlebih dahulu ditetapkan persentasenya sebelum sebuah kebijakan diadopsi. Bagi Lively, prosedur ini memiliki sejumlah varian. Salah satunya adalah absolut majority yaitu lebih dari 50% menyetujui manakala terdapat lebih dari dua alternatif pilihan. Prosedur ini juga dapat diberikan kepada kalangan minoritas yang diberikan hak veto atas suatu keputusan, yang tentunya ukuran minoritas seperti apa yang dapat melakukannya, harus pula ditetapkan sebelumnya. 

Prosedur ketiga adalah syarat minoritas, yang menetapkan bahwa alternatif keputusan dengan jumlah suara yang mendapatkan dukungan minoritas dapat menang. Prosedur keempat yaitu minoritas yang tertarik , yang dalam konteks ini, kelompok minoritas tertentu memegang kekuasaan pengambilan keputusan di area kebijakan khusus, dan kalangan minoritas lainnya di area berbeda. Prosedur yang kelima adalah keputusan mayoritas sederhana, yaitu alternatif kebijakan yang memperoleh suara terbanyak sajalah yang diadopsi. Lively berujar bahwa kelima prosedur pengambilan keputusan seperti telah diuraikan, harus diterapkan sesuai kondisi pragmatis tertentu. Ada kondisi-kondisi yang membuat satu atau beberapa prosedur tersebut tidak bisa diterapkan. Secara umum, apa yang disampaikan Lively mengenai kelima prosedur pembuatan keputusan bersifat sangat teknis. 

Hal prinsipil yang sesungguhnya hendak dijelaskan Lively melalui aneka prosedur pengambilan keputusan ini adalah, prinsip mayoritas dalam pembuatan keputusan tidak bisa ditetapkan secara hantam kromo melainkan harus memperhatikan kondisi komunitas keseluruhan, keberadaan kelompok minoritas, dan karakter alternatif kebijakan yang ingin dipilih. Kondisi-kondisi inilah yang menentukan dipilihnya salah satu atau lebih prosedur pembuatan keputusan. Satu prinsip yang ditekankan Lively dalam pemilihan prosedur pengambilan keputusan ini adalah kesetaraan politik, karena Demokrasi concern dengan maksimasi kesetaraan politik, yaitu harus meliputi baik kaum mayoritas dan minoritas.[14] Saat menghubungkan prosedur pengambilan keputusan dengan kesetaraan politik ini, Lively mengajukan konsep kesetaraan retrospektif dan kesetaraan prospektif.[15] 

Kesetaraan retrospektif berkenaan dengan keputusan yang telah dibuat, yang dianggap terjadi apabila setiap orang secara bersama ikut serta dalam menentukan keputusan tersebut. Kesetaraan prospektif sedikit lebih rumit karena merupakan prakondisi saat keputusan dalam posisi belum diambil. Kesetaraan ini terjadi (prospektif) apabila tidak ada orang atau kelompok, yang secara sengaja dibuat mereka tereksklusi manakala tiba saatnya keputusan diambil. 

Masih dalam konteks kesetaraan retrospektif, Lively menjelaskan, bahwa dalam sistem keputusan mayoritas, apabila terdapat minoritas yang tidak ikut menentukan sebuah keputusan, maka sejauh keputusan tersebut menjadi fokus perhatian minoritas, dapat dikatakan minoritas tersebut tidak mengalami kesetaraan retrospektif. Hanya jika tercapai suara bulat, dengan mana kesepakatan penuh atas sebuah keputusan terjadi, maka kesetaraan paripurna dalam (pengertian retrospektif) tercapai. Jadi, bagi Lively, hanya suara bulat saja (dimana kelompok minoritas dan mayoritas ikut serta) yang merupakan jaminan bahwa kesetaraan retrospektif terjadi. 

Namun secara paradoks, deadlock dalam prosedur pengambilan keputusan berdasarkan suara bulat sangat besar kemungkinannya. Lively mencontohkan, apabila terdapat dua pilihan kebijakan, di mana satu hendak mempertahankan dan lainnya hendak mengubah status quo, dan suara bulat merupakan prosedurnya, maka dapat diramalkan tidak akan terjadi kesepakatan bulat. Di sinilah deadlock akan terjadi akibat perbedaan pendapat yang niscaya dalam kasus tersebut. 

Lively menulis bahwa masalah deadlock akibat keharusan prosedur suara bulat ini pernah ditengarai Rousseau.[16] Tujuan Rousseau, menurut Lively, adalah merancang sistem politik yang mampu mengeliminasi segala bentuk ordinasi dan subordinasi antarsesama manusia. Rousseau beranggapan tujuan ini hanya dapat tercapai jika semua orang terikat oleh aturan sosial. Hanya jika terdapat kesepakatan penuh atas aturan sosial, maka semua orang dapat diangap sama kemerdekaan penuhnya. Lively menganggap Rousseau sangat mengupayakan terjadinya kesetaraan retrospektif, yang hanya dapat tercapai melalui prosedur suara bulat. Bagi Rousseau, (menurut Lively) pihak yang berbeda pendapatnya dalam pengambilan keputusan berdasarkan suara bulat , dinyatakan keliru dalam memandang kebaikan bersama (common good) karena telah keluar dari general will. 

Dalam politik pragmatis, Lively menyinggung masalah pengaturan oleh minoritas.’[17] Kondisi ini hanya dapat terjadi di dalam situasi poliarki, berupa aktivitas yang ditunjukkan oleh aneka kelompok penekan (pressure-group), yang aktivitasnya merambah pada pemerintahan, birokrasi, para legislator, partai politik, maupun opini publik. Tujuan mereka adalah memenuhi kepentingan kelompoknya melalui kebijakan tertentu dalam politik negara. Pengaturan (baca: proses pengambilan keputusan) oleh minoritas ini tentu tidak dilakukan oleh seluruh kelompok minoritas, melainkan hanya oleh kelompok tertentu yang cenderung bersikeras saja. Juga biasanya hanya berlingkup pada area kebijakan yang secara nyata mempengaruhi kepentingan atau eksistensi kelompok mereka. Kemungkinan adanya pengaturan oleh minoritas ini diterima secara positif oleh Lively, karena baginya justru hal tersebut dapat menjamin suara minoritas mereka terdengar di setiap tahap krusial dalam proses pengambilan keputusan. 

Gerakan politik dari kelompok minoritas yang berusaha memberikan pengaruh atas keputusan politik ini cukup menarik. Hasrat utama mereka untuk terlibat dalam aktivitas politik bergantung pada persepsi individu atau kelompok mengenai hubungan antara aktivitas yang ia (atau mereka) lakukan dengan sarana pencapaian kepentingannya.[18] Eksistensi kegiatan yang mereka lakukan relatif dipengaruhi tingkat pendidikan, keterampilan berorganisasi, waktu, uang, dan kemudahan akses mereka terhadap pemerintah, media massa, dan partai politik yang kelompok tersebut miliki. Apabila resources ini dimiliki, maka mereka akan mampu menjalankan partisipasi politik yang efektif. Lively mencatat bahwa aneka resources ini tidak dimiliki oleh the many (yang banyak). Hanya kelompok yang mampu memberikan benefit bagi anggota organisasinya, yang Lively yakini, akan lebih memiliki kekuatan ketimbang yang tidak. 

Lively kemudian melakukan bahasan khusus atas prosedur pengambilan keputusan oleh minoritas. Terlebih dahulu ia membedakan antara siapa yang memutuskan dan bagaimana mereka memutuskan.[19] Bagi Lively tidaklah absurd bahwa minoritas kecil yang mendorong diambilkan keputusan pemerintah mengenai suatu isu dalam komunitas. Namun, adalah absurd apabila dinyatakan bahwa siapapun yang mengambil keputusan harus menggunakan prosedur keputusan oleh minoritas. Jika pemberi suara paham prosedur, secara praktis ia akan mengkonversinya menjadi prosedur keputusan mayoritas. 

Bahasan Lively kemudian adalah prosedur pembuatan keputusan mayoritas sederhana. Secara kritis Lively menyatakan memang seolah-olah prosedur ini yang paling berkorelasi dengan kesetaraan politik. Bagi Lively, prosedur ini tidak memenuhi syarat kesetaraan retrospektif sejauh kelompok minoritas tidak ikut menentukan keputusan. Syarat kesetaraan retrospektif baru terpenuhi manakala konsensus lengkap atas sejumlah alternatif dihadirkan, tetapi kondisi konsensus ini tidak ada jaminannya dalam proses politik. 

Lively kemudian membahas kekhawatiran James Madison dan Alexis de Tocqueville akan adanya tirani mayoritas akibat pemberlakuan prinsip pemerintahan oleh mayoritas.[20] Lively membantah kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa keputusan oleh mayoritas merupakan prinsip operatif dalam Demokrasi Barat. Lively menyodorkan fakta bahwa secara kelompok (dalam konteks pemberian suara) tidak pernah ada mayoritas yang terus-menerus bersifat homogen (satu sikap) dalam memutuskan aneka isu. Indikasi yang aktual adalah mayoritas tersebut justru cairnya sifatnya akibat perubahan isu yang kerap terjadi antarwaktu. Lively menandaskan bahwa kelompok mayoritas ini tidak berbentuk tetap atau dapat diuraikan secara baku. Mayoritas ini juga tidak akan mengecualikan kelompok lain dalam pengambilan suatu keputusan. Lively menyebutnya sebagai kondisi kesetaraan prospektif, di mana hampir setiap individu tidak pernah melulu jadi minoritas dalam setiap isu kenegaraan. Tirani mayoritas hanya akan terjadi manakala minoritas sudah diidentifikasi sebelumnya, sementara mayoritas selalu terdiri atas komposisi kelompok yang sama dan bersikap sama di seluruh atau sebagian besar isu.[21] 

Kekhawatiran lain Madison dan Tocqueville, yang juga direspon Lively adalah, akan terjadi opresi atas ‘si kaya’ (yang minoritas) oleh ‘si miskin’ (yang mayoritas). Lively berargumentasi bahwa opresi yang keduanya maksud belum pernah terbukti aktualitasnya. Bagi Lively, justru ‘si kaya’ yang malah menguasai aneka taktik dalam mempengaruhi pengambilan keputusan selain metode konvensional (melalui kotak suara). Opresi bagi Lively baru mungkin terjadi manakala ‘si kaya’ yang minoritas tidak punya sarana dalam mempengaruhi kebijakan selain kotak suara. Fenomena tirani mayoritas juga baru akan terjadi manakala kelompok minoritas tidak punya sarana dalam mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Lively mencontohkan kaum Katolik di Irlandia Utara dan kulit hitam di Amerika Serikat, di mana tirani mayoritas terjadi. Kaum Katolik Irlandia Utara dikelilingi kaum Protestan Inggris, sementara kulit hitam Amerika Serikat dikepung oleh kulit putih. Kedua kasus ini berkisar di dalam sphere primordial ketimbang kompetensi individual: Kaum Katolik di Irlandia Utara dan kaum kulit hitam di Amerika tidak memiliki resource yang mencukupi untuk mempengaruhi kebijakan negara. 

Masalah tirani oleh minoritas atau mayoritas ini, bagi Lively, bukanlah masalah norma Demokrasi. Hal yang menjadi masalah adalah ternyata prinsip mayoritas tidak lantas menjamin operasionalisasi salah satu prinsip Demokrasi: kesetaraan politik. Kaum Katolik Irlandia Utara dan kaum kulit hitam Amerika adalah contohnya. Apapun prosedur pengambilan keputusan yang dipilih, apabila secara permanen tidak memasukkan kelompok-kelompok khusus akibat masalah primordial (yang berbeda dengan mayoritas) agar dapat mempengaruhi atau menentukan kebijakan komunal, maka komunitas tersebut tidak bisa disebut Demokratis.[22] Amerika Serikat, dalam pengertian, belum Demokratis hingga tahun 1964 manakala kaum kulit hitam diberikan hak pilih dalam Pemilu. Agak ironis memang. 

Kesetaraan Politik 

Lively menganggap aneka pembicaraan seputar konsep kesetaraan politik hingga di masanya masih bersifat abstrak. Ia menginginkan sesuatu definisi yang lebih operasional terhadap konsep ini. Anggapan Lively mengenai abstraknya pembicaraan konsep kesetaraan politik, dilukiskannya lewat dua kritik berikut: Pertama, kesetaraan politik tidak dapat dicapai oleh ketetapan konstitusional semata, tetapi bergantung pada nilai-nilai pengaturan sosial (norma masyarakat) yang tumbuh dari masyarakat sehingga diyakini mampu mempengaruhi pemerintah; Kedua, di negara moderen yang besar dan kompleks, akan sangat bermanfaat untuk dilakukan audiensi dengan warganegara saat keputusan bersama hendak dibuat.[23] 

Bagi Lively, baik hak pilih universal maupun pilihan prosedur pengambilan keputusan yang dianggap cocok, keduanya tidaklah cukup untuk menjamin terciptanya kesetaraan politik. Kesetaraan politik bergantung pada distribusi kehendak dan kemampuan warganegara untuk menggunakan hak-hak kewarganegaraan mereka sebagai sumber daya potensial untuk mempengaruhi keputusan yang berdampak pada masyarakat. 

Ironisnya, dalam hal kesetaraan politik ini, setiap individu ternyata berbeda tingkat keterlibatannya dalam proses politik. Perbedaan ini terletak pada aspek individualitas masing-masing individu, baik berupa sikap mereka akan posisi dirinya di dalam sistem politik maupun atas resource politik yang mereka miliki. Setiap individu memiliki perbedaan dalam kapasistas political efficacynya.[24] Political efficacy adalah pemahaman hingga tingkat mana seorang individu merasa dapat mengubah keputusan pemerintah yang mempengaruhi hidupnya, akses dirinya atas informasi dan kompetensinya dalam melakukan penilaian berdasarkan informasi tersebut, kemampuan dan kemauannya mencurahkan waktu dan uang guna melakukan partisipasi politik, serta pengalamannya dalam berorganisasi sosial. Tinggi rendahnya political efficacy dalam diri invidu dapat saja diakibatkan oleh pengaruh sistem politik. 

Lively juga menyatakan bahwa tumbuhnya sikap (political efficacy) yang mendorong partisipasi politik tidaklah tersebar merata (Lively mencontohkannya di Demokrasi Barat).[25] Latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, status sosial, adalah sejumlah faktor yang mempengaruhi kecenderungan individu untuk bertindak secara politik. Kesetaraan politik, dengan demikian, akan bervariasi antarindividu paralel dengan derajat kesetaraan sumber daya atau pengalaman di bidang lain. Bagi Lively adalah jelas, kesetaraan didasarkan atas parameter penguasaan kemakmuran ataupun kendali atas media massa yang mampu memberikan pengaruh langsung atas para pembuat keputusan, ketimpangan dalam penguasaan ini dapat berujung pada ketidaksetaraan politik warganegara. 

Namun, Lively juga melakukan pembelaan atas Demokrasi Barat manakala berhadapan dengan rivalnya dari rezim Sosialis-Komunis. Rezim terakhir ini kerap menyerang pihak pertama bahwa di negara Demokrasi Barat, kendati terdapat kesetaraan formal atas hak pilih, sumber kekuasaan politik yang nyata, yaitu penguasan alat dan cara produksi, sesungguhnya hanya dikuasai oleh kelas yang kecil jumlahnya. Pada sisi lain, lanjut Lively, terdapat klaim bahwa di negara Sosialis-Komunis, ketidaksetaraan penguasaan alat dan cara produksi telah diberantas oleh konsep Demokrasi Rakyat dan negara hanya punya satu kepentingan yang harus dilayani: Kepentingan ‘rakyat.’ Lively menyimpulkan bahwa kesetaraan politik bukan bergantung pada slogan kosong Demokrasi Barat atau Demokrasi Rakyat, melainkan pada prasyarat kesetaraan lain yang wajib ada terlebih dahulu, sebelum kesetaraan politik dapat tercapai. Dengan demikian, penentuan suatu rezim dinyatakan Demokratis atau tidak, bukan bergantung pada slogan, melainkan pada proses aktual yang dilaksanakan setiap rezim dalam menjamin terciptanya kesetaraan politik. 

Pemerintahan oleh Rakyat 

Dalam pembahasannya mengenai pemerintahan oleh rakyat, Lively membaginya menjadi sejumlah subtopik seperti persyaratan yang mungkin untuk pemerintahan rakyat dan persyaratan yang tidak mencukupi. Tulisan selanjutnya akan mengelaborasi konten dari tulisan Lively mengenai dua subtopik ini. 

Persyaratan Demokrasi agar dapat disebut Pemerintahan oleh Rakyat 

Lively langsung mengajukan syarat operasional mengenai apa yang dimaksud dengan pemerintahan oleh rakyat. Syarat tersebut bergradasi, dari yang paling kuat kaitannya dengan pemerintahan oleh rakyat hingga yang terlemah, sebagai berikut:[26] 

  1. Bahwa semua orang harus memerintah, dalam pengertian semua harus terlibat dalam proses legislasi, dalam menentukan kebijakan umum, dalam menerapkan undang-undang, dan dalam administrasi pemerintahan. 
  2. Bahwa semua orang harus secara personal terlibat dalam pembuatan keputusan yang krusial, yaitu dalam memutuskan perundang-undangan umum dan materi kebijakan umum. 
  3. Bahwa penguasa harus akuntabel dihadapan yang diperintah; mereka harus, dengan kata lain, wajib menjelaskan setiap tindakannya pada yang diperintah dan dapat diberhentikan oleh mereka. 
  4. Bahwa penguasa harus akuntabel di hadapan para wakil pihak yang diperintah. 
  5. Bahwa penguasa harus dipilih oleh yang diperintah. 
  6. Bahwa penguasa harus dipilih oleh wakil pihak yang diperintah. 
  7. Bahwa penguasa harus bertindak sesuai kepentingan pihak yang diperintah. 
Lively menjelaskan bahwa ketujuh premis di atas merupakan elaborasinya atas konsep pemerintahan oleh rakyat. Ketujuhnya sekaligus menjelaskan relasi yang berbeda-beda antara yang memerintah dengan yang diperintah. Semakin lemah hubungan, maka semakin sulit dikatakan suatu negara disebut Demokrasi. 

Lively kemudian memaparkan bahwa cukup sulit menerapkan premis 1, 2, dan 3 dalam konteks bernegara. Masalah utama yang muncul adalah efisiensi waktu, efisiensi lokasi pertemuan, dan kemungkinan banyaknya perdebatan. Dengan demikian, rasionalisasi atas penerapan aneka premis di atas salah satunya adalah pada besar-kecilnya asosiasi juga komunitas politik yang hendak menerapkannya. Juga, atas alasan ekonomi dan efisiensi, orang mungkin lebih memilih premis yang lebih terbatas seperti misalnya bahwa penguasa harus dipilih oleh pihak yang diperintah atau penguasa harus dipilih oleh wakil pihak yang diperintah. Pilihan pertama berlaku di sistem presidensil, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat seperti di Amerika. Pilihan kedua berlaku bagi Inggris, di mana perdana menteri dipilih oleh anggota Parlemen berdasarkan komposisi kursi partai politiknya. 

Konsep pemerintahan oleh rakyat juga kontroversial dalam hal pengejawantahannya di alam nyata. Berdasarkan ketujuh premis yang ia sampaikan, Lively mempertanyakan hingga tingkat dan cara mana seharusnya tindakan White House (pusat kegiatan Eksekutif) menjadi subyek kendali Kongres? Apakah kabinet Inggris sekadar bertanggung jawab kepada para pemilih mereka di parlemen? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa konsep pemerintahan oleh rakyat tidak boleh disikapi sebagai sekadar jargon melainkan sesuatu yang harus memiliki makna pragmatis. Operasionalisasi ketujuh premis tersebut, menurut Lively, adalah kondisi pragmatis-aktual yang membuat konsep pemerintahan oleh rakyat dinyatakan sulit untuk diterapkan secara begitu saja dalam politik negara sehari-hari. 

Demokrasi yang tidak Tercukupi Syaratnya

Tulisan Lively dalam subtopik ini masih berhubungan dengan ketujuh premis pemerintahan oleh rakyat yang ia ajukan. Menurut Lively, premis yang lebih kuat (premis 1 dan 2) dapat saja cocok diaplikasikan dalam konteks pemerintahan lokal atau komunitas kecil ketimbang pemerintahan pusat suatu negara. Namun, premis 1 yang menyatakan semua orang harus memerintah agaknya cukup berlebihan. Bahkan bagi komunitas kecil, menurut Lively, kendati mungkin saja semua warganegara terlibat dalam pembuatan legislasi, tetapi tidak mungkin juga mereka seluruhnya ikut menerapkannya (menjadi eksekutif). Lively mencontohkan bahwa bahkan di dalam Demokrasi Athena, hanya 500 orang anggota Council of Five Hundred yang menjalankan administrasi pemerintahan.[27] Bahkan Rousseau pun menyatakan, seperti diujar Lively, “It is against the natural order for the many to govern and the few to be governed.” 

Sebagai seorang utilitarian, Lively berpendapat ketujuh premis pemerintahan oleh rakyat harus dirasionalisasi berdasarkan kasus-kasusnya yang spesifik. Misalnya, di Amerika adalah mungkin melibatkan warganegara secara langsung dalam proses pemerintahan melalui kegiatan penjurian dalam proses pengadilan terhadap seorang terdakwa. Juri diambil dari warganegara biasa, yang kompetensinya dianggap memenuhi syarat, untuk memutuskan apakah seorang terdakwa bersalah ataukah tidak, berikut hukumannya. Ini merupakan bentuk pelibatan warganegara untuk turut memerintah kendati tidak meliputi jumlah yang besar. Lively melanjutkan contoh lainnya, bahwa di Inggris, badan Justice of the Peace yang ternyata anggotanya terdiri atas para magistrat amatir yang berasal dari rakyat yang dipilih akibat kompetensinya. Lalu, masih dilanjutkan Lively, para wakil rakyat terpilih di pemerintahan lokal ternyata punya kekuasaan administrasi dan tanggung jawab yang luas. Lively, sekali lagi secara pragmatis, menekankan pentingnya pelibatan warganegara untuk mengalami bagaimana ‘rasanya’ memerintah dan diperintah.[28] 

Namun, Lively tetap menekankan, ketujuh premisnya dapat menjadi pisau analisa untuk menetapkan apakah suatu negara dapat dikategorikan Demokratis atau tidak. Lively menyatakan bahwa tiga premis terakhir yaitu premis 5, 6, dan 7 tidak mencukupi untuk dikategorikan sebagai Demokratis. Untuk mendukung pernyataannya, Lively melontarkan dua pernyataan berikut: (1) Pemerintah yang bertindak atas nama kepentingan yang banyak adalah Demokrasi dan (2) Demokrasi tidak lain ketimbang sistem yang mengizinkan rakyat atau perwakilannya memilih penguasanya. Dua pernyataan ini memisahkan Demokrasi Barat (pernyataan 2) dengan Demokrasi Rakyat (pernyataan 1) yang banyak dianut oleh negara-negara Sosialis-Komunis. 

Untuk pernyataan pertama, Lively merujuk pada C. B. Macpherson,[29] yang menyebut Demokrasi hakikatnya adalah pemerintahan kelas, karena ia dikuasai oleh, dan berada dalam, kepentingan kaum miskin ‘tertindas.’ Bagi Lively, jika merujuk pada pendapat ini, maka Marx akan secara keliru dinyatakan sebagai seorang Demokrat (ini cukup lucu). Masih dalam logika Demokrasi Rakyat, bahwa di negara-negara proletariat, kekuasaan oleh yang banyak adalah sinequanon dengan rezim kelas yang berusaha memenuhi kepentingan yang banyak. Namun, kepentingan kelas ini adalah menghancurkan kepemilikan kapitalis dan anasirnya (yang sedikit). Negara Demokrasi Rakyat ini lalu membangun sistem satu partai. Secara lebih lanjut, klaim negara Sosialis-Komunis sebagai Demokrasi hanya tersisa pada asumsi ‘kosong’ bahwa tujuan utamanya adalah kesetaraan manusia, dan apabila benar, diperintah berdasarkan kepentingan yang banyak. Benarkah demikian kenyataan yang ada? 

Fakta sesungguhnya menjelaskan bahwa Demokrasi Rakyat di negara Sosialis-Komunis berawal dari utopia dan manakala terbentuk sebuah negara komunis (pasca Revolusi Bolshevik, misalnya) segera berubah menjadi distopia. Rusia manakala diperintah Tsar Nicholas II cenderung lebih menerapkan kebebasan bagi rakyatnya, misalnya dalam hal memeluk agama, memajukan pertanian, memulai rintisan industri, dan kemerdekaan beragama. Segera setelah Revolusi Bolshevik terjadi, yang diawali dengan utopia kesetaraan politik, pemihakan atas pertanian digantikan dengan industri, rintisan industri dipercepat tanpa memandang nilai-nilai agraris masyarakt Rusia, dan ibadah agama justru dianggap cacat masyarakat.. Ini dilanjutkan dengan pembentukan Cheka (pasukan paramiliter) yang pekerjaannya adalah mencari ‘minoritas’, yaitu orang-orang yang dicurigai sebagai “musuh mayoritas”. Banyak di antara ‘minoritas’ ini adalah dokter, pendeta, ilmuwan, seniman, budayawan, guru, profesor untuk kemudian dieksekusi dengan tuduhan anti terhadap yang banyak. Rusia setelah itu mengalami defisit kalangan ahli (meritokrat). Utopia juga terjadi pada jargon pemerintahan oleh yang banyak, yang terbukti sekadar ilusi karena sesungguhnya diktator proletariat Rusia yang terbentuk pasca 1917 dikomposisikan oleh sebuah oligarki politik yang terdiri atas yang sedikit: Lenin, Leon Trotsky (Leoba Bronstein), Martov, dan politbiro lainnya (umumnya mereka beretnis Yahudi Ashkenazi ketimbang Rusia). Dalam Demokrasi Rakyat Rusia yang Komunis, yang banyak ternyata tidak berkuasa melainkan sekadar yang sedikit.[30] 

Kembali Lively melakukan negasi atas logika Demokrasi MacPershon yang menyatakan bahwa tujuan akhir Demokrasi Rakyat adalah kesetaraan manusia. Lively menggunakan silogisme Aristoteles, yang dinyatakan dalam premis-premis dan konklusi berikut: (P1) Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang banyak; (P2) Di setiap negara yang banyak adalah yang miskin dan yang sedikit adalah yang kaya; (C) Sebab itu Demokrasi adalah pemerintahan oleh yang miskin.[31] Logika Aristoteles ini serupa dengan yang dikembangkan oleh para pendukung Demokrasi Rakyat: (P1) Demokrasi Rakyat adalah pemerintahan oleh yang banyak; (P2) Di Rusia Komunis yang banyak adalah yang miskin dan yang sedikit adalah yang kaya; (C) Sebab itu Demokrasi Rakyat adalah pemerintahan oleh yang miskin. Premis Aristoteles tidak menemukan faktanya di Rusia Komunis. Kendati rezim Komunis mengatasnamakan rakyat, tetapi rakyat (yang banyak) tidak pernah memilih mereka. Mereka mengangkat diri mereka sendiri sebagai penguasa lewar Revolusi Bolshevik dan mempertahankan kekuasaanya melalui lewat intrik intra Oligarki. Oligarki Komunis lalu menafsirkan kepentingan yang miskin (kaum proletar, yang tidak punya alat produksi) menurut dogma Komunisme yang tidak bisa ditawar-tawar. Menutup kritiknya mengenai Demokrasi Rakyat, Lively menyatakan secara agak sinis: Jika pemerintahan bertindak demi kepentingan penguasanya maka tidak mencukupi pemerintahan jenis itu menggunakan kata Demokrasi.[32] 

Selain mengkritik konsep Demokrasi Rakyat yang didengungkan simpatisan Sosialis-Komunis, Lively juga mengkritik definisi Joseph Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis.[33] Schumpeter mendefinisikan “metode Demokratis adalah pengaturan kelembagaan guna mencapai keputusan politik, di mana individu (political leader) memperoleh kekuasaan untuk memutuskan, melalui persaingan kompetitif mereka dalam meraih suara rakyat.[34] Lively menyatakan bagi Schumpeter, dari ketujuh premisnya mengenai pemerintahan oleh rakyat, ia (Schumpeter) menganggap Demokrasi sudah mencukupi apabila premis ke 6 dan 7 terpenuhi. Bagi Lively, pendapat Schumpeter mengenai Demokraasi sangat lemah.[35] 

Lively lebih lanjut mengelaborasi pemikiran Schumpeter. Pikiran Schumpeter mengenai keberhasilan Demokrasi sifatnya Elitis. Mengapa Shumpeter disebut Elits? Bagi Schumpeter, politisi sebaiknya berasal dari kelas sosial yang secara tradisional berhubungan dengan penguasa. Pemerintahan Demokrasi harus menerima informasi, bahkan harus diarahkankan oleh Birokrasi, yang dijiwai semangat atas tugas dan esprit de corps, karena bagi Schumpeter, pelayanan publik (dalam Birokrasi) terjamin kualitasnya para Birokrat banyak yang berasal dari kelas sosial tertentu. Schumpeter juga menandaskan bahwa pemilih dalam Demokrasi harus menghormati pembagian kerja politik dengan membiarkan pengambilan keputusan atas suatu isu diserahkan pada pemimpin yang telah mereka pilih. Bagi Lively, pandangan Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis ini mainstream dalam realitas Demokrasi Liberal aktual di Eropa, saat Schumpeter mengajukan pemikirannya.[36] 

Lively memandang definisi Demokrasi Schumpeter mengabaikan faktor akuntabilitas penguasa oleh para pemilihnya. Dalam logika Schumpeter, segera setelah pemilihan penguasa dan wakil rakyat selesai, rakyat kembali ke aktivitas harian dan masalah-masalah negara dipercayakan saja kepada wakil yang sudah mereka pilih.[37] Lively juga menganggap Schumpeter menganalogikan secara agak serampangan, antara ekonomi pasar dengan mekanisme Demokrasi. Ini akibat Schumpeter menganggap bahwa, apabila pelaku pasar bisa melakukan deal di bisnis minyak, maka politisi bisa melakukan deal suara. Lively mengkritik Schumpeter bahwa apabila politisi dianggap sebagai pengusaha, adalah tidak jelas komoditas apa yang mereka jual atau bahkan, apakah mereka benar-benar tengah menjual sesuatu? Bagi Lively, Schumpeter seperti mempromosikan pemikiran tentang adanya konsumen politik, yaitu warganegara selaku pemberi suara, yang memilih antara ‘komoditas’ yang ditawarkan politisi (yaitu kebijakan), ataukah kinerja mereka saat duduk di jabatan mereka. Analogi ini wajar saja diajukan oleh Schumpeter karena ia lebih memilih konsep Manufactured Will dari pengalamannya sebagai pengusaha ketimbang General Will yang dicetuskan Rousseau.[38] 

Menurut Lively, definisi Demokrasi Schumpeter inilah yang banyak dipraktekkan di Demokrasi Barat. Tesis dasar Schumpeter adalah Elitis, karena menganggap warganegara biasa adalah tidak kompeten, dan sebab itu janganlah mereka diserahi kekuasan untuk memutuskan isu-isu politik.[39] Lively masih mentoleransi pemikiran ini karena masih ada satu jaminan yang diberikan Schumpeter dalam Demokrasi versinya, yaitu tetap ada Pemilu dan Pemilu tersebut terus diadakan secara periodik, di mana seluruh warganegara berhak mengikutinya. Pemilu ini merupakan mekanisme minimal dengan mana pemberi suara masih dapat melakukan kontrol atas penguasa, kendati sebatas untuk memilih atau tidak memilih mereka. Ini tentu lebih baik ketimbang di dalam Demokrasi Rakyat. Juga, Schumpeter masih memberikan ruang bagi terjadinya kompetisi antar kandidat.[40] 

Masih mengkritik Schumpeter, Lively menyatakan definisinya dalam kasus pemerintahan oleh rakyat cukup lemah karena ekskulivitasnya, dan akibat kelemahan ini, Lively menyebut Schumpeter mempromosikan Demokrasi Elitis. Lively kemudian membandingkan pemikiran C. B. Macpershon mengenai Demokrasi Rakyat dengan Schumpeter mengenai Demokrasi Elitis, yaitu bahwa keduanya memiliki sejumlah kesamaan.[41] Pertama, keduanya berbagi konsep minimal mengenai Demokrasi, yaitu menghendaki keterlibatan minimal rakyat dan hanya sedikit memberikan jaminan dalam hal kesetaraan politik sekadar hanya agar bisa disebut Demokrasi. Kedua, konsep minimal Demokrasi keduanya didasarkan atas ketidakpercayaan bahwa warganegara biasa mampu memahami kepentingannya sendiri serta melakukan penilaian-penilaian orisinil mereka atas masalah-masalah politik. 

Pemerintahan yang Bertanggung Jawab 

Lively kembali pada tujuh premisnya mengenai pemerintahan oleh rakyat. Baginya, premis 1 hingga 4 paling memuaskan bagi sistem politik agar disebut Demokratis.. Keempat premis ini dapat diagregasikan ke dalam dua konsep yang lebih luas yaitu Demokrasi Langsung (premis 1 dan 2) dan Pemerintahan yang Bertanggung Jawab (premis 3 dan 4).[42] 

Lively melanjutkan, agar dapat menciptakan pemerintahan yang bertanggung (responsible government), maka sejumlah kontrol harus dapat dipraktekkan para pemilih terhadap aneka tindakan pemerintah. Kontrol ini masih dapat diperdebatkan apakah berwujud pada pemerintah yang diberi mandat untuk menginisiasi kebijakan, wakil rakyat sekadar menjadi juru bicara para pemilih, ataukah bisa wakil rakyat secara independen melakukan penilaian orisinilnya. Terlepas dari perdebatan wujudnya, tetap saja harus ada kendali para pemilih atas aneka tindakan pemerintah sebagai hal yang wajib ada. 

Lively lalu melangkah pada sejumlah kondisi yang memungkinkan tumbuhnya responsible government. Pertama, pemerintahan harus bisa dirotasi melalui keputusan para pemilih. Kedua, sejumlah alternatif kebijakan harus bisa diajukan oleh para pemilih. Ketiga, harus terdapat alternatif siapa kelompok yang memerintah. Keempat, harus adalah Pemilu bebas, dengan mana bebas dari intimidasi, kecurangan, dan sogokan. Kelima, harus ada kemerdekaan berasosiasi. Keenam, harus ada kemerdekaan berpendapat, karena alternatif kebijakan tidak akan hadir apabila tidak disuarakan.[43] Kelima hal ini, apabila diterapkan, akan membuat pemerintah selalu mengukur tindakannya atas nama kepentingan yang mereka perintah. 

Masih dalam hubungannya dengan masalah responsible government, Lively menyinggung eksistensi partai politik. Posisi partai politik menjadi penting, menurut Lively, akibat kegiatan Pemilu bukan berkontestan tunggal satu warganegara melainkan sejumlah besar warganegara kompeten yang mewakil rakyat dan mereka ini berasal dari aneka kelompok yang punya kepentingan berbeda di dalam masyarakat. Banyaknya perbedaan ini mempengaruhi tercapainya alternatif kebijakan yang koheren sulit disusun. Di sinilah signifikansi partai politik di mata Lively, yaitu memobilisasi sekaligus mengagregasi aneka kepentingan dari aneka kelompok di dalam masyarakat untuk diformulasikan ke dalam sejumlah kebijakan yang koheren. 

Terdapat tiga pola sistem kepartaian yang dirujuk Lively, yaitu satu partai, dua partai, dan multi partai.[44] Satu partai, menurut Lively, tidak cocok bagi munculnya responsible government karena tidak mengizinkan adanya kebijakan yang koheren (sesuai dengan yang diinginkan rakyat pemilih). Namun, lanjut Lively, bisa saja sistem satu partai ini menciptakan responsible government, apabila sejumlah kondisi dipenuhi. Pertama, keanggotaan partai harus terbuka seluas-luasnya dan komprehensif (meliputi aneka bidang hidup masyarakat). Tidak boleh ada individu ataupun kelompok yang dieksklusikan dari keanggotaan dan tidak boleh ada halangan penyampaian ekspresi politik. Kedua, faksionalisme dalam tubuh partai harus dibiarkan ada, karena faksi yang berbeda tersebut mampu mengorganisir diri, guna menyampaikan kebijakan berbeda yang mereka kehendaki. Ketiga, kecuali keanggotaannya sesuai dengan persyaratan Demokrasi, satu partai ini harus melaksanakan Pemilu ekstra, dengan mana kandidatnya sangat dimungkinkan untuk bersentuhan dengan segmen spektrum masyarakat yang lebih luas. Secara umum, Lively memandang, apabila diproyeksikan menjadi responsible government, sistem satu partai harus memungkinkan Pemilus ekstra yang diadakan dapat menjadikan masyarakat sebagai komunitas politik yang mampu melakukan tindakan pemilihan serta mentoleransi adanya derajat oposisi internal partai sebagai dampak dari kegiatan Pemilu ekstra. 

Sistem dua partai menunjukkan sejumlah kondisi yang dapat bersinggungan dengan responsible government.[45] Pertama, sistem dua partai mengupayakan akuntabilitas pemerintahan dengan cara menghadirkan aneka alternatif kebijakan secara cukup jelas, yang memungkinkan para pemilih memprediksi hubungan langsung antara suara yang ia berikan dengan seperti apa tindakan pemerintah di masa kemudian. Kedua, sistem dua partai menghadirkan dua model pemimpin secara cukup kontras, dengan mana para pemilih dapat memprediksi kebijakan pemerintah di masa mendatang berdasarkan siapa yang mereka pilih saat Pemilu. Ketiga, sistem dua partai mampu mengisolasi besarnya jumlah alternatif kebijakan yang ditawarkan kepada para pemilih melalui seperangkat posisi kebijakan politik kedua partai. 

Bagi Lively, sistem multipartai memiliki sejumlah karakteristik.[46] Pertama, sistem ini kemungkinan besar berasal dari distribusi multimodal politik di kalangan para pemilih, atau situasi di mana terjadi bipolarisasi opini publik atas sejumlah isu yang saling tumpang-tindih, dan bipolarisasi ini mendorong munculnya sejumlah posisi politik baru. Kedua, tidak ada insentif bagi partai-partai untuk berkongregasi di sekitar kebijakan yang sama dan setiap insentif hanya berhubungan dengan posisi ideologis dari para pendukungnya. Ketiga, dalam multipartai, partai cenderung memelihara serta memberi penekanan atas ideologi dan program yang khas mereka saja. Keempat, posisi ideologi dan program setiap partai yang koheren mendorong para pemilih mudah mengenali mereka. Kelima, hanya sedikit kemungkinan adanya satu partai yang sepenuhnya mengendalikan pemerintahan (kecuali dalam pemiihan presiden) dan dengan demikian akan sulit bagi pemilih mengatribusikan akuntabilitas tindakan pemerintah kepada partai politik tertentu (partai politik dapat cuci tangan, dan membiarkan Eksekutif atau presiden menjadi kambing hitam, dalam sistem presidensil). Keenam, para pemilih kemungkinan hanya akan memilih berdasarkan posisi ideologi mereka sendiri saja. 

Dari ketiga macam sistem kepartaian, Lively cenderung memberi kesan positif atas sistem dua partai dan multipartai. Bagi Lively, akuntabilitas pemerintahan dapat lebih mudah dilacak oleh para pemilih dalam sistem dua partai. Pejabat yang menjalankan kekuasaan eksekutif dan legislatif relatif lebih jelas dalam sistem dua partai ketimbang lainnya. Dalam sistem multipartai, hal positif yang dapat diambil adalah adanya kemungkinan stabilitas koalisi. Dalam sistem dua partai, lanjut Lively, terdapat korelasi kuat antara pilihan partai dengan dengan tindakan pemerintah. Dalam sistem multipartai, terdapat pilihan nyata antara aneka partai dengan jaminan bahwa pemerintahan akan terbentuk melalui formasi partai-partai tertentu sehingga melibatkan spektrum kepentingan warganegara yang lebih luas dan tidak terlampau dikotomis seperti sistem dua partai. 

Pandangan Lively atas tiga sistem kepartaian seperti telah dibahas sesungguhnya berkisar pada dua cara pandang terhadap fungsi representasi politik menurut Huber and Powell.[47] Cara pandang ini adalah khas prinsip perwakilan politik dalam Demokrasi Liberal, yang menekankan terciptanya koneksi antara warganegara dengan pembuat kebijakan. 

Pandangan pertama adalah Majority Control dan yang kedua Proportionate Influence. Dalam pandangan Majority Control pemilihan Demokratis dirancang untuk menciptakan pemerintahan satu partai yang kuat dan secara esensial tidak terhambat pekerjaannya, oleh partai-partai lain, saat proses pembuatan keputusan.[48] Dalam pandangan Proportionate Influence, pemilihan dirancang untuk menghasilkan anggota legislatif yang merefleksikan pilihan seluruh warganegara dari aneka spektrum kepentingan, sebab segera setelah pemilu legislatif, tawar-menawar antarpartai disyaratkan dalam pembuatan keputusan dan koalisi. Dalam tawar-menawar ini pengaruh aneka partai pasca Pemilu akan menentukan sejauh mana pembuat kebijakan melakukan apa yang warganegara ingin mereka melakukannya.[49] Dari pandangan Huber and Powell ini, maka apa yang Lively maksudkan sebagai sistem satu partai dan dua partai masuk ke dalam kategori pandangan Majority Control, sementara sistem multipartai sejalan dengan Proportionate Influence. 

Kesimpulan 

Lively menyampaikan sejumlah penekanan dalam tulisannya mengenai makna Demokrasi. Pertama, tidak ada prosedur pembuatan keputusan yang secara paripurna menjamin bahwa seluruh kehendak rakyat akan terwujud melalui pengambilan keputusan. Kedua, dalam masalah kesetaraan politik, secara tidak terelakkan, tidak akan sepenuhnya terjadi, karena dalam politik pun (sama halnya dalam proses produksi) dibutuhkan pembagian kerja. Ketiga, ketidaksetaraan politik terjadi akibat ketergantungannya pada area selain politik yaitu kondisi ekonomi, sosial, dan budaya warganegara. 

Selanjutnya, Lively merangkum, bagaimana Demokrasi dapat mewujud secara pragmatis. Pertama, tingkatan di mana setiap kelompok konstituen terserap ke dalam proses-proses pengambilan keputusan, sehingga kesetaraan warganegara dapat lebih dijamin. Kedua, tingkatan di mana keputusan pemerintah merupakan subyek kendali publik, sehingga responsible government dapat lebih dijamin. Ketiga, derajat mana warganegara biasa terlibat dalam administrasi publik, sehingga menjamin (kendati minimal) adanya pemerintahan oleh rakyat. 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] Jack Lively, Democracy (Oxford: Basil Blackwell, 1974), p. 8. 
[2] Ibid., p. 9. 
[3] Bagi Aristoteles, mayoritas diartikan bagian terbanyak dari masyarakat berdasarkan kelas ekonomi,yaitu kaum miskin. 
[4] Jack Lively, Democracy, op.cit. p. 9. 
[5] James Bryce adalah sejarawan, ahli hukum, dan negarawan Inggris. Bryce, atau dikenal pula sebagai Viscount Bryce (1838-1922), terkenal karena karyanya "American Commonwealth", studi terhadap lembaga-lembaga politik Amerika Serikat. Dia juga mendorong kebangkitan minat (renesans) terhahap hukum Romawi. Sumber: https://biography.yourdictionary.com/james-bryce 
[6] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 9. 
[7] Bagi Aristoteles, warganegara yang dimaksud terdiri atas kaum laki-laki bebas (bukan budak), tidak meliputi wanita dan budak. Bagi Rousseau, warganegara adalah seluruh mereka yang mengikatkan diri ke dalam komunitas politik, Rousseau tidak mengakui perbudakan, tetapi posisi wanita masih kurang jelas dalam tulisannya. 
[8] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 10. 
[9] Ibid., p. 11. 
[10] Matthew Robert Christ, The Bad Citizen in Classical Athens (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) pp. 1 -2 . 
[11] Jack Lively, Democracy, op.cit.,. p. 12. 
[12] Ibid.. p. 13. 
[13] Ibid., p. 13 – 4 . 
[14] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 16. 
[15] Ibid.., p. 16 – 7 
[16] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 18. 
[17] Ibid., p. 21. 
[18] Ibid., p. 22. 
[19] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 24. 
[20] Ibid., p. 25. 
[21] Ibid., p. 26. 
[22] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 26. 
[23] Ibid., p. 27. 
[24] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 28. 
[25] Ibid., p. 28. 
[26] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 30. 
[27] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 32. 
[28] ibid., p. 33. 
[29] Inti dari pemikiran C.B. Macpherson (1911-1987) adalah kritiknya terhadap budaya 'individualisme posesif' dan pembelaannya terhadap sosialisme liberal-demokratis. Bangkitnya minat pada karya-karyanya merupakan reaksi terhadap kebangkitan neoliberalisme dan upaya untuk menemukan alternatif bagi masyarakat yang didominasi oleh pasar kapitalis. Sumber: https://www.palgrave.com/gp/book/9783319949192 
[30] Kisah Rusia ini bukan analisis Lively, melainkan tambahan dari penulis. 
[31] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 34. 
[32] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 35. 
[33] Joseph Schumpeter menulis pikirannya mengenai Demokrasi dalam bukunya Two Theories of Democracy. Buku ini merupakan karya lengkap pertama pemikiran politik Schumpeter. Teori demokrasi Schumpeter dikenal sebagai kompetisi di antara para elit yang telah memengaruhi beberapa generasi ilmuwan politik. Sumber: https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674186439 
[34] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 37. Definisi Schumpeter ini terdapat dalam Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy (London: Routledge, 2003) p. 269. 
[35] Premis ke-6 menyatakan penguasa harus dipilih oleh yang diperintah. Premis ke-7 menyatakan pemerintah dipilih oleh wakil rakyat. 
[36] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 38. 
[37] Kritik Lively ini mirip dengan kritik Rousseau atas rakyat Inggris, di mana Rousseau menyatakan bahwa rakyat Inggris sesungguhnya hanya bebas selama saat mereka memilih wakil-wakilnya, dan setelah Pemilu selesai, mereka menjadi tidak bebas. 
[38] Joseph A. Schumpeter, Socialism …, op.cit. p. 263. Manufactured Will adalah versi Schumpeter mengenai General Will, bahwa kehendak bersama dapat diciptakan, seperti di dalam fenomena iklan, yang menyentuh alam bawah sadar manusia, dibangkitkan ke level kesadaran, lalu manusia menganggap apa yang disampaikan iklan itu sebagai kehendak sadarnya. 
[39] Jack Lively, Democracy, op.cit.., p. 40. 
[40] ibid., p. 41. 
[41] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 42. 
[42] ibid., p. 42. 
[43] ibid., p. 43 – 4. 
[44] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 45. 
[45] ibid., p. 45. 
[46] Jack Lively, Democracy, op.cit., p. 47 – 8. 
[47] John D. Huber and G. Bingham Powell, Jr., “Congruence between Citizens and Policymakers in Two Vision of Liberal Democracy” dalam Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose Antonio Cheibub, The Democracy Sourcebook (Cambridge: Massachussetts Institute of Technology, 2003) pp. 330 – 42. 
[48] John D. Huber and G. Bingham Powell, Jr., “Congruence …” op.cit., p. 330. 
[49] ibid., p. 330.

Demokrasi Rousseau Demokrasi Radikal


Demokrasi Rousessau demokrasi radikal adalah pernyataan ringkas untuk menggambarkan pemahaman demokrasi dari pemikir Swiss ini. Rousseau, Si Orang Jenewa, menganggap Demokrasi yang dipraktekkan di negara-negara seperti Inggris dan Perancis sebagai perampas kebebasan rakyat. Demokrasi tersebut adalah Demokrasi Perwakilan, Demokrasi di mana rakyat cuma berdaulat saat memilih dalam Pemilu, tetapi setelah pulang ke rumah, para wakil rakyat membuat undang-undang menurut kepentingannya sendiri, bukan kepentingan para pemilihnya.

Tulisan Jean-Jacques Rousseau yang termuat dalam On Social Contract akan dikritisi menggunakan sebuah kerangka.[1] Penggunaan kerangka ini mengingat tulisan Rousseau mengenai Demokrasi dalam On Social Contract cukup luas. Ia meliputi tema-tema Demokrasi yang sifatnya substantif, prosedural, maupun konstitusional. Karena keluasan tulisan Rousseau tersebut, maka penggunaan kerangka diharapkan dapat mempermudah artikel ini dalam mengkritisi pikiran Rousseau mengenai Demokrasi. 

Kerangka yang akan digunakan untuk mengukur konsep demokrasi Rousseau adalah kerangka Demokrasi seperti dipahami pada masa kini. Penggunaan kerangka ini ditujukan untuk mampu mendeskripsikan pemaknaan Demokrasi dan seluruh aspeknya seperti yang dimaksudkan oleh Rousseau, dan secara lebih lanjut paper ini dapat mengkritisinya secara – harapannya – sistematis. 

Kerangka yang akan digunakan untuk mengkritisi Demokrasi Rousseau adalah pendekatan Demokrasi yang ditawarkan Charles Tilly.[2] Dalam bukunya, Tilly (setelah mengamati aneka studi mengenai Demokrasi) mengetengahkan 3 pendekatan umum mengenai Demokrasi yaitu secara konstitusional, substantif, dan prosedural.[3] 

Pendekatan konstitusional, menurut Tilly, berkonsentrasi pada perundang-undangan yang diberlakukan suatu rezim berkenaan dengan aktivitas politik yang berlaku.[4] Aneka indikator dalam pendekatan ini adalah apakah suatu rezim bercorak oligarki, monarki, republik, dan jenis-jenis rezim lainnya dengan cara mengontraskan bentuk hukum dari setiap rezim.[5] Pendekatan ini pun memasukkan bagaimana tata hubungan antar lembaga negara seperti termaktub di dalam konstitusi, asal-usul kedaulatan, siapa dan dari mana asal dari orang-orang yang menjadi pejabat politik dan sejenisnya. 

Pendekatan substantif fokus pada kondisi kehidupan dan politik yang dipromosikan oleh suatu rezim.[6] Pada pendekatan ini indikatornya adalah apakah rezim mempromosikan kesejahteraan, kemerdekaan individu, keamanan, persamaan sosial, pertimbangan publik, dan resolusi konflik secara damai. Pendekatan ini fokus pada nilai-nilai yang berkembang di dalam Demokrasi. 

Pendekatan prosedural melihat Demokrasi melalui praktek-praktek pemilihan umum.[7] Indikator-indikator dalam praktek ini disempitkan ke dalam 4 bidang yaitu adanya sistem politik multipartai yang kompetitif, hak pilih universal untuk pemilih dewasa, pemilu reguler yang bersifat rahasia dan berlangsung jujur, dan akses publik untuk menilai calon-calon dari partai politik. Dengan demikian, secara umum pendekatan ini fokus pada fenomena pemilihan umum beserta komponen-komponen yang ada di dalamnya. 

Melalui ketiga pendekatan Demokrasi seperti telah disebutkan di atas, artikel ini akan mengkritisi pikiran Rousseau mengenai Demokrasi berikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam On Social Contract. Artikel ini pertama kali akan memuat pemikiran Rousseau yang dianggap masuk ke dalam setiap definisi Tilly beserta indikatornya, lalu mendeskripsikan pendapat Rousseau mengenai hal tersebut, dan baru setelah itu dilakukan pembahasan. 

Konsep-konsep Inti dalam Pemikiran Rousseau 

Sebagai eksponen tradisi romantis Eropa, Rousseau memandang segala sesuatu sebagai hubungan tak terpisahkan antara manusia dengan alam. Sebab itu, pandangannya mengenai negara tidak terlepas dari pandangannya mengenai keluarga. Bagi Rousseau, keluarga adalah bentuk masyarakat yang paling alamiah. Hubungan antara anak dengan ayahnya adalah sejauh pihak pertama perlu pemeliharaan dari pihak kedua.[8] Manakala kebutuhan pemeliharaan ini menghilang, tetapi pihak pertama dan kedua tetap tinggal bersama, maka bentuknya bukan alamiah lagi melainkan sukarela dan keluarga hanya ada selama konvensi (kesukarelaan) ini tetap ada. Dalam tulisan-tulisan lebih lanjut, bahwa konsep Rousseau mengenai negara tidak terlepas dari asumsinya mengenai keluarga. 

Lebih lanjut, Rousseau mengkaji apakah pemaksaan pihak yang lebih kuat terhadap yang lemah harus dipandang sebagai sesuatu yang normal ataukah tidak? Bagi Rousseau, hak pihak yang lebih kuat, tidak akan terus ada selama ia tidak mentransformasikan kekuatan menjadi hak dan kepatuhan menjadi kewajiban.[9] Hak dan kewajiban, keduanya bukan merupakan hal yang alamiah. Kekuatan melulu bersifat fisik, dan kepatuhan pada pihak yang lebih kuat hanya bersifat perlu, bukan berdasarkan consent (persetujuan). Dengan demikian, manusia hanya boleh patuh pada kekuasaan yang punya legitimasi. Masalah legitimasi ini merupakan dasar gagasan Rousseau dalam pembentukan perjanjian sosial. 

Mengenai tata cara bermasyarakat, Rousseau menyodorkan konsep pakta sosial atau kontrak sosial, yang menurutnya merupakan upaya manusia untuk melahirkan kekuatan baru di dalam kesatuan antarmereka. Kesatuan ini adalah totalitas kekuatan yang lahir lewat kombinasi aneka totalitas kekuatan para individu yang diyakini mampu mengarahkan tindakan mereka. Arahan dari kesatuan dorongan ini diyakini memungkinkan mereka bertindak selaku kesatuan. Kohesi utama dalam kontrak sosial ini adalah general will

Menurut Rousseau, general will (kehendak bersama) adalah satu-satunya entitas (sifatnya moral dan abstrak) yang berkuasa dalam negara, karena tujuan general will adalah kebaikan bersama (common good).[10] General will pada fase kemudian menjelma menjadi konsep baru yaitu sovereignty (kedaulatan). 

Dasar dari kedaulatan suatu negara adalah general will rakyatnya. Kedaulatan inilah satu-satunya pelaksana general will, dan dengan demikian, karena asalnya dari general will, kedaulatan tidak bisa ditransfer atau dibagi. Juga, menurut Rousseau, general will tidak bisa didelegasikan. Rousseau menyebut bahwa general will memberi penekanan atas kemampuan individu yang mengikatkan diri dalam kontrak sosial untuk menentukan kebaikan bersama (common good) di atas kepentingan sempit. 

Di dalam masyarakat, Rousseau menyatakan bahwa general will ini dapat muncul dengan cara mendidik warganegara guna mengisi kapasitas mereka dengan simpati bagi tujuan-tujuan bersama di atas kehendak egoistik. Bagi Rousseau, kehendak egoistik (private will) hanya akan mendorong pada terciptanya kekerasan dan ketimpangan.[11] Rousseau membedakan antara general will dengan will of all[12] dengan mana yang terakhir adalah seluruh kepentingan individu yang merupakan penjumlahan dari seluruh kepentingan individu di dalam negara. Will of all menurutnya akan mengalami konflik dengan general will. General will dapat ditemukan dengan menanyai satu per satu warganegara mengenai apa yang dimaksud dengan kehendak bersama. Mengenai mekanismenya mungkin serupa dengan sensus, dan problem akan muncul manakala jumlah warganegara terlalu besar, general will versi Rousseau ini akan sulit untuk dihadirkan. 

Rousseau memandang negara layaknya sebuah organisme yang bersifat totalitas. Negara harus bergerak secara kompak, satu suara, dan satu pendapat. Dasar dari totalitas ini adalah general wil yang berkonversi ke dalam Daulat (sovereign). Rousseau menyatakannya dalam ungkapan “setiap kami menyerahkan diri dan seluruh kuasanya secara bersama di bawah aturan tertinggi yakni general will; dan kita sebagai satu badan menerima setiap anggotanya sebagai bagian dari keseluruhan yang tidak terbagi.[13] Pernyataan ini merupakan asumsi sentral dalam pemikiran Rousseau mengenai konstitusi suatu negara. Penekanan kata ‘kami’ yang ditransfer menjadi ‘kita’ merupakan ciri khas pemikiran Rousseau mengenai kehendak bersama, bahwa dalam kehendak bersama tidak ada lagi kepentingan ‘kami’ karena yang ada adalah kepentingan ‘kita.’ Di sinilah pengaruh nyata aliran pemikiran romantisisme dalam pemikiran Rousseau. 

Orang-orang yang bersepakat untuk mengikatkan diri ke dalam suatu komunitas bersama pada gilirannya membentuk sebuah entitas bernama badan politik atau republik. Badan tersebut disebut state manakala ia bersifat pasif atau Daulat (sovereign) manakala ia bersifat aktif. Dengan demikian Rousseau memandang negara secara organik, bisa diam dan bergerak. . Negara bagi Rousseau adalah badan yang memiliki ruh, hidup, dan memengaruhi seluruh individu yang mengikatkan diri di dalamnya. Hal ini mirip dengan pemikiran Thomas Hobbes mengenai Leviathan: Negara menjadi sebuah makhluk, sebuah entitas yang memiliki potensi untuk bertindak. Rousseau kemudian membedakan julukan untuk para anggota organisasi ini. Mereka (para individu yang hidup di dalamnya) disebut sebagai rakyat (people), mereka disebut sebagai kolektivitas warganegara (citizen) manakala mereka menjadi partisipan dalam otoritas Daulat, dan disebut subyek manakala mereka terikat dengan undang-undang negara.[14] Rousseau, dengan demikian, telah memberi pernyataan tegas yang membedakan antara kapan penduduk suatu negara disebut sebagai rakyat, warganegara, dan subyek. 

Konstitusional 

Kembali ke masalah kontitusi suatu negara, klasifikasi Rousseau utamanya didasarkan pada aspek kuantitatif, yaitu berapa jumlah penduduk (rakyat) dari suatu negara yang menerapkan bentuk pemerintahan tertentu. Berdasarkan aspek ini, Rousseau mengklasifikasi bentuk pemerintahan menjadi Demokrasi, Aristokrasi, dan Monarki. 

Demokrasi terbentuk manakala Daulat memberikan kepercayaan pada seluruh atau bagian terbesar dari rakyat untuk memikul tanggung jawab pemerintahan, sehingga diharapkan seluruh warganegara menjadi anggota pemerintahan.[15] Aristokrasi terbentuk manakala hanya sejumlah kecil warganegara yang menjadi anggota pemerintahan.[16] Monarki terbentuk manakala seluruh pemerintahan ada di tangan satu pejabat penguasa.[17] Rousseau juga menandaskan bahwa bentuk-bentuk pemerintahan tersebut memiliki gradasinya sendiri di dalam kenyataan. Misalnya, Demokrasi dapat terdiri atas pemerintahan dari seluruh rakyat atau minimal lebih dari setengahnya sementara Aristokrasi berkisar pada bentuk pemerintahan dari yang terdiri atas setengah jumlah rakyat hingga jumlah yang terkecil apabila memungkinkan. 

Penyebutan ketiga bentuk pemerintahan Rousseau mirip dengan yang sebelumnya disebut oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Menurut Aristoteles, apabila kekuasaan berada di tangan banyak orang, ia disebut Polity (pemerintahan berdasarkan konstitusi) sebagai bentuk pemerintahan yang baik dan berupa Demokrasi sebagai bentuk buruknya. Apabila kekuasaan berada di tangan sedikit orang, Aristoteles menyebut Aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang baik dan Oligarki bentuk buruknya. Apabila kekuasaan berada di tangan satu orang, Aristoteles menyebutnya Monarki untuk bentuk baiknya dan Tirani kebalikannya.[18]

Berbeda dengan Aristoteles, Rousseau tidak memilih mana bentuk pemerintahan yang baik ataupun buruk, karena penilaiannya pragmatis, yaitu masing-masing dapat menjadi yang terbaik sesuai kondisi faktualnya. Dengan demikian, bagi Rousseau, Demokrasi cocok untuk negara berukuran kecil (Jenewa di mana Rousseau berasal adalah negara kota mirip dengan negara kota Yunani kuno), Aristokrasi negara yang luasnya moderat, dan Monarki untuk negara yang berlingkup besar.[19] Inilah pola pikir pragmatisme yang dianut Rousseau, karena pilihan bentuk-bentuk pemerintahan harus disesuaikan dengan tantangan lapangannya. Selanjutnya, Rosseau mengelaborasi apa yang ia maksud dengan Demorkasi, Aristokrasi, dan Monarki. 

Pandangan Rousseau atas Demokrasi 

Asumsi Rousseau mengenai bentuk pemerintahan Demokrasi cukup ambigu. Pertama, Rousseau menyatakan bahwa tidak baik orang yang menyusun undang-undang lalu juga menjalankannya.[20] Namun, sehubungan dengan Demokrasi, Rousseau justru menyatakan bahwa semua warganegara harus menjadi penyusun undang-undang dan sekaligus melaksanakannya. Rousseau cenderung tidak percaya apabila pihak selain warganegara diberi kepercayaan untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang.[21]

Mengapa warganegara jangan mewakilkan kepentingannya dalam penyusunan dan pelaksanaan undang-undang kepada pihak selain dirinya? Bagi Rousseau, tidak ada yang lebih bahaya ketimbang adanya pengaruh kepentingan pribadi dalam relasi publik dan Rousseau menganggap korupsi kepentingan pribadi terhadap penyusunan undang-undang sebagai bahaya terbesar dalam negara.[22] Demokrasi, menurut Rousseau, menghendaki kekuasaan legislatif dan ekskekutif ada di satu tangan karena rakyat memerintah secara langsung, baik saat mereka menyusun undang-undang maupun tatkala melaksanakannya. Di sinilah letak ambiguitas pemikiran Rousseau dalam konteks Demokrasi. Bagi Rousseau, penyatuan dua kekuasaan di satu tangan (yaitu tangan warganegara sekalipun) kurang baik dan ini membuatnya pandangannya atas Demokrasi menjadi sama kurang baik pula. 

Bagi Rousseau, Demokrasi sejati tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada.[23] Alasan Rousseau adalah, Demokrasi seperti melawan aturan alamiah bahwa mayoritas seharusnya memerintah dan minoritas diperintah. Bagi Rousseau pula, adalah tidak mungkin rakyat secara terus-menerus selalu bersidang guna membicarakan masalah publik.[24] Apabila ini terjadi, maka siapa yang bertani, berdagang, mengajar, dan lain sebagainya. Keraguan Rousseau terhadap bentuk pemerintahan Demokrasi tampak dari asumsi-asumsinya mengenai empat prakondisinya mengenai Demokrasi: Pertama, negara harusnya sangat kecil sehingga rakyat mudah dirangkai tanpa kesulitan dan satu sama lain saling mengenal; Kedua, sederhananya tata cara mengambil keputusan untuk menghindari terlalu banyaknya persoalan dan diskusi yang bertele-tele; Ketiga, harus adanya tingkat kesetaraan status dan kekayaan; dan keempat, hanya ada sedikit atau tidak sama sekali, penguasaan kekayaan karena akan mengkorupsi mental baik si kaya maupun si miskin secara sekaligus, pihak pertama akibat penguasaannya dan yang kedua karena ketamakannya (untuk melakukan perampasan).[25]

Karena adanya empat prakondisi ini, maka bagi Rousseau, tidak ada bentuk pemerintahan yang sangat rentan memunculkan perang sipil dan gangguan internal selain Demokrasi. Bagi Rousseau pula, Demokrasi punya kecenderungan kuat dan terus-menerus untuk berubah (instabil), dan dengan demikian, secara ironis, Rousseau menyatakan bahwa rakyat yang ada di dalam Demokrasi bersemboyan “saya lebih suka kemerdekaan dengan segala bahayanya ketimbang stabilitas dalam perbudakan.”[26] Secara ironis pula, Rousseau menyatakan bahwa jikalau ada bangsa yang terdiri atas para dewa, maka ia akan diperintah secara Demokratis. Rousseau menutup pandangannya mengenai Demokrasi dengan menyatakan kesempurnaan Demokrasilah yang membuatnya menjadi pemerintahan tidaklah cocok bagi manusia.[27]

Pandangan Rousseau atas Aristokrasi 

Bentuk pemerintahan kedua yang dikaji oleh Rousseau adalah Aristokrasi. Sebelum mengkritisi Aristokrasi, Rousseau membedakan antara dua kehendak bersama (general will). Pertama berhubungan dengan seluruh warganegara di mana general will menjadi satu-satunya parameter dan yang kedua dengan anggota administrasi pemerintahan dengan mana tindakan mereka tidak selalu berhubungan dengan general will. Keduanya hanya dapat bicara atas nama rakyat sejauh mengatasnamakan Daulat (sovereign). 

Contoh dasar Rousseau mengenai Aristokrasi adalah bagaimana pola hubungannya.[28] Dalam bentuk pemerintahan ini, kepala keluarga memperdebatkan hubungan publik diantara mereka dan anggota keluarga muda dapat mengikutinya tanpa kesulitan. Rousseau mencontohkan, dalam masa hidupnya, bahwa suku-suku liar di Amerika Utara masih diperintah secara Aristokratis dimana pemimpinnya umumnya disebut pendeta, tetua, senat, ataupun gerontes. Sekali lagi Rosseau menunjukkan kecenerungan pemikiran romantisnya dengan mana Aristokrasi ini mirip dengan keluarga alamiah. 

Selanjutnya, Aristokrasi, dalam pandangan Rousseau, memiliki tiga watak yaitu alamiah, elektif, dan herediter. Aristokrasi yang berwatak alamiah hanya cocok bagi masyarakat sederhana (seperti suku-suku liar di Amerika Utara seperti telah disebutkan), Aristokrasi yang berwatak herediter adalah yang terburuk dari seluruh bentuk pemerintahan, dan Aristokrasi yang berwatak elektif adalah yang terbaik dan dalam watak inilah Aristokrasi menemui bentuk terbaiknya. 

Bagi Rousseau, Aristokrasi dalam watak elektif cenderung secara tegas memisahkan antara kuasa legislatif dan eksekutif, tidak seperti Demokrasi yang menggabungkan keduanya. Anggota yang kemudian menjadi pelaksana kuasa legislatif dan eksekutif diseleksi (selected).[29] Keanggotaan di dalam pemerintahan Aristokrasi terbatas hanya pada sedikit orang dan diperoleh berdasarkan kegiatan pemilihan, dan dengan demikian, lanjut Rousseau, aspek-aspek seperti integritas, intelijensi, dan pengalaman merupakan tolak ukurnya. Lebih jauh lagi, masih menurut Rousseau, rancangan pemerintahan akan jauh lebih mudah diaransemen, urusan-urusannya akan lebih mudah diperdebatkan sekaligus ditransaksikan melalui tata cara yang mengutamakan keteraturan dan kecerdasan.[30]

Sehubungan dengan luas wilayah negara, bagi Rousseau, Aristokrasi menghendaki luas yang jangan terlampau kecil seperti Demokrasi. Juga, jangan terlampau besar sehingga jarak antara yang memerintah dan yang diperintah menjadi terlalu jauh. Apabila jarak ini semakin jauh, dikhawatirkan akan mendorong setiap wilayah dapat menerapkan Daulat hanya bagi wilayahnya dan cenderung penguasanya merasa merdeka dari negara.[31]

Pandangan Rousseau atas Monarki 

Bagi Rousseau, badan penguasa (pemerintah) merupakan orang-orang yang bersifat kolektif secara artifisial. Artifisial karena mereka bukan pemegang Daulat yang sesungguhnya. Tugas mereka ini adalah memastikan kesatuan kolektivitas dengan mendorong penerapan undang-undang dan diberikan kepercayaan di dalam negara dengan kekuasaan eksekutif.[32] Manakala kekuasaan ini secara alamiah ada di tangan seseorang, sehingga di dalam dirinya terdapat hak untuk mengaplikasikan kekuasaan tersebut menurut undang-undang, maka orang itu disebut Monark atau Raja.[33]

Dalam Monarki, kehendak rakyat, kehendak penguasa, kekuatan publik negara, kekuatan privat pemerintah, semuanya mengacu pada satu impuls. Jadi, dalam Monarki seluruh kehendak dan kepentingan bercampur-baur. Demikian pula, seluruh energi yang menjalankan mekanisme negara ada di dalam satu kendali: Segala hal-hal tersebut melayani tujuan yang sama, tidak ada kekuatan oposisi.[34] Karena sifatnya yang menjamin kesatuan gerak, maka Rousseau memandang bentuk pemerintahan Monarki cocok diterapkan bagi negara yang luas wilayahnya besar.[35]

Dalam memetakan bentuk pemerintahan, Rousseau memformulasikan rumus. Rumusnya adalah, semakin besar pihak yang bertanggung jawab atas pemerintahan, maka semakin sedikit pula perbedaan numerik antara badan penguasa dengan subyeknya, sehingga dengan demikian hubungan keduanya seolah melebur. Dalam konteks ini, Demokrasi adalah yang paling ‘satu’ atau mengalami kesejatian persamaan. Hubungan ini meluas manakala kontrak-kontrak pemerintah dengan subyeknya bertambah dan berkulminasi manakala kekuasaan berada di tangan satu orang: Di mana jarak antara penguasa dan rakyat menjadi sedemikian jauh dan negara kehilangan kohesinya. Dalam konteks mengembalikan kembali kohesi ini, maka diperlukan lebih banyak administrasi fungsinya menyangga. Sanggaan ini (dalam Monarki) terdiri atas lord, para pangeran, ataupun kaum bangsawan. Di sinilah letak signifikansi dari Monarki, yang tentu saja tidak cocok baik negara berukuran kecil.[36]

Rousseau mengingatkan adanya cacat dari bentuk pemerintahan Monarki ketimbang Republik. Bahwa dalam bentuk pemerintahan Demokratis (republik), mereka yang didudukkan oleh suara publik di jabatan tinggi adalah selalu mereka yang tercerahkan, yaitu mereka-mereka yang memiliki kemampuan dan selalu mengerjakan tugas-tugasnya secara terhormat. Pada sisi lain di Monarki, seseorang yang duduk kerap kali mereka yang agak inkompeten, agak bajingan, agak tukang intrik, dan yang bakatnya agak menipu. Bagi Rousseau, mereka ini memperoleh keberhasilan duduk dalam posisinya akibat menang di pengadilan, dan mereka ini hanya melayani negara tidak lain sekadar menunjukkan ketidaklayakannya. Ketidaklayakan ini segera tampak manakala mereka duduk di jabatan publik.[37]

Dengan demikian, secara hati-hati Rousseau menandaskan bahwa untuk Monarki, yaitu agar negara bisa diperintah secara baik, ukuran dan keluasan negara harus dikalkulasi berdasarkan kemampuan penguasa yang memerintahnya.[38] Dari pendapat Rousseau ini dapat disimpulkan semakin mampu atau ahli penguasanya, maka dapat saja ukuran negara Monarki membesar, demikian pula sebaliknya. Rousseau juga mengetengahkan suatu bukti dalam Monarki yaitu ketiadaan pergantian kekuasaan, yang tidak terdapat pada dua bentuk pemerintahan lainnya (yaitu Demokrasi dan Aristokrasi). Kendati tentu saja, bagaimana mekanisme penggantian kekuasaan di Demokrasi dan Aristokrasi tidak terlampau jelas dalam pemikiran Rousseau. 

Pandangan Rousseau tentang Bentuk Pemerintahan Campuran 

Bagi Rousseau, tidak ada bentuk pemerintahan yang mudah untuk diaplikasikan di dunia nyata. Sehubungan dengan kekuasaan eksekutif, seorang pemimpin tunggal harus punya pejabat-pejabat di bawah subordinasinya, di sisi lain, pemerintahan rakyat harus punya pemimpin. Dengan demikian, pendistribusi kekuasaan eksekutif selalu ada gradasi, yang berkisar dari jumlah besar ke jumlah kecil (baik penguasa maupun rakyatnya): Ini berkisar pada apakah jumlah yang besar bergantung pada yang sedikit atau yang sedikit kepada yang besar.[39]

Lebih lanjut Rousseau menyatakan, manakala ketergantungan kekuasaan eksekutif atas legislatif tidak terlalu besar, yaitu manakala dominasi penguasa secara relatif atas Daulat lebih besar ketimbang rakyat terhadap penguasanya, disproporsi ini harus disembuhkan dengan membuat pembagian dalam kekuasaan eksekutif. Ketika pemerintahan terbagi, maka setiap elemennya punya otoritas yang sama atas subyeknya, dan perlu ditekankan bahwa akumulasi dari seluruh elemen tersebut tidak boleh lebih ‘powerfull’ manakala dihadapkan pada Daulat. Ketika suatu pemerintahan dianggap terlalu lemah, maka sejumlah komisi eksekutif dapat dibentuk untuk menguatkannya kembali, dengan mana hal seperti ini banyak dilakukan di negara-negara yang berbentuk Demokrasi. 

Substantif 

Kesejahteraan 

Kesejahteraan dalam pemikiran Rousseau adalah kesejahteraan bersama.[40] Tidak ada kesejahteraan pribadi karena ada kemungkinkan kesejahteraan pribadi akan bertentangan dengan kesejahteraan bersama. Bagi Rousseau, kepentingan pribadi dan kesejahteraan bersama (general welfare) secara alamiah saling menegasikan satu sama lain.[41] Jaminan atas kesejahteraan ini hanya ada apabila individu memasukkan dirinya ke dalam kontrak sosial, dengan mana Rousseau menyatakan “hal yang hilang dengan kontrak sosial adalah kebebasan alamiah dan hak absolut atas segala sesuatu yang menggoda dan bisa diambilnya; apa yang ia peroleh melalui kontrak sosial adalah kebebasan sipil dan hak atas properti secara legal atas segala yang ia kuasai.”[42]

Sehubungan dengan masalah kesejahteraan, Rousseau mengakui penguasaan milik oleh individu, yaitu bagi pihak pertama yang mengokupasinya. Kepemilikan properti ini bukan secara alamiah milik penguasa.[43] Namun, manakala individu mengikatkan dirinya melalui kontrak sosial ke dalam negara, maka memberikan diri dan propertinya kepada komunitas (negara).[44] Negaralah kemudian melakukan penjaminan atas propertinya dalam bentuk aturan dalam undang-undang. Penguasaan oleh negara ini tidak sama dengan penguasaan oleh perampas kekuasaan. Properti setiap individu ada di dalam kuasa Daulat. Dengan demikian, penguasaan properti oleh publik menjadi jauh lebih besar ketimbang penguasaan oleh individu. Negara, sebab itu, adalah tuan bagi properti seluruh warganegara melalui kontrak sosial. 

Pertanyaan mengenai kesejahteraan ini adalah, apakah kepemilikan individu kemudian hilang manakala muncul kepemilikan publik? Bagi Rousseau tidak demikian, karena manakala individu mentransfer kepemilikan properti kepada publik, adalah bukan dalam makna dirampas, tetapi justru memastikan bahwa kepemilikan tersebut adalah punya legitimasi. Transfer kepemilikan kepada publik akan mengubah kondisi perebutan milik menjadi berhenti, karena hak milik tersebut ditegaskan dan dilindungi. Milik kemudian menjadi hak yang genuine, dan penikmatan individu atas hak kepemilikannya tersebut terjamin.[45]

Penyerahan properti individu pada kekuasaan publik dalam kontrak sosial, menurut Rousseau, dapat disebut pemberian kepercayaan pendayagunaan properti publik kepada warganegara dan hak ini dihormati oleh seluruh warganegara lainnya. Hak-hak mereka ini akan dipertahankan dan dibela oleh negara. Mengenai apa yang dimaksud dengan properti dalam pemikiran Rousseau, Colin Bird menyatakannya “Rousseau’s general will also defines the terms on which individuals justly enjoy legal rights, civil liberties, private property, and other economic entitlements and opportunities.”[46] Mengenai tidak spesifiknya properti dalam pikiran Rousseau harus dikembalikan pada pernyataan Rousseau bahwa hanya general will yang dapat mengidentifikasinya dan setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga general will di satu negara sangat bisa berbeda dengan general will di negara lainnya: Properti yang dilindungi di negara satu dapat saja berbeda dengan negaral lainnya. 

Kemerdekaan Individu 

Dalam hal kemerdekaan individu, Rousseau berbeda dengan Thomas Hobbes. Jika Hobbes merancang kontrak sosialnya untuk menciptakan stabilitas masyarakat, maka Rousseau lebih menekankan pada bagaimana menciptakan masyarakat yang adil.[47] Stabilitas negara bukan merupakan penekanan utama Rousseau karena ia berpendapat bahwa sumber utama ketidakstabilan negara adalah ketamakan dari orang-orang yang memimpin dan menjadi bagiannya, yang apabila terus terjadi, akan mendorong kehancuran negara. Rousseau berupaya mengembalikan kemerdekaan individu, dari yang pada masanya terletak di tangan Monarki, Aristokrasi, dan Teokrasi, untuk dikembalikan kepada setiap orang.[48] Sehubungan dengan masalah kemerdekaan ini, individu menempati tiga situasi yaitu hubungan antara individu dan komunitas, dengan Daulat sebagai rakyat, dan dengan Daulat sebagai individu.[49]

Rousseau menyatakan men are born free, but everywhere are in chains. Pernyataan ini cukup menyatakan pandangan Rousseau atas kemerdekaan individu. Dalam indikator kemerdekaan individu ini ada baiknya diketengahkan pandangan Rousseau mengei perbudakan. 

Perbudakan bagi Rousseau adalah bukan kondisi alamiah manusia. Ini diakibatkan karena manusia yang satu tidak punya otoritas alamiah yang bisa diberlakukan atas sesamanya.[50] Sebab itu, basis bagi seluruh otoritas yang berlegitimasi antar sesama manusia adalah konvensi yang disepakati. Bagi Rousseau, orang yang menjadi budak tidak mentransfer dirinya melainkan sekadar menjualnya. Transfer adalah memberikan bukan menjual, dan mereka menjual tidak lain sekadar mempertahankan kebutuhan dasar hidupnya. Dalam pandangan Rousseau pula, tidak ada manusia yang memberikan dirinya tanpa maksud, dan apabila ada hal tersebut merupakan konsep yang absurd. Bahkan, jika pun ada manusia yang memberikan dirinya, mereka tidak bisa mentransfer anak-anak mereka karena setiap manusia terlahir merdeka: Mereka punya hak untuk menentang perbudakan yang berlaku turun-menurun. 

Untuk mengelaborasi pemikiran Rousseau mengenai kemerdekaan individu ini, cukup menarik untuk mempelajari pendapat-pendapatnya mengenai perang dan manusia sebagai satu pribadi. Pertama, perang bagi Rousseau tidak pernah terjadi antara manusia melawan manusia tetapi antara negara melawan negara.[51] Jadi, perang terjadi manakala invidu sudah mengikatkan diri ke dalam kolektivitas, dan kolektivitaslah yang berperang, bukan individu. 

Dalam perang, antarindividu menjadi musuh bukan karena mereka sesama manusia melainkan karena kecelakaan saja: Juga tidak ada perang antar warganegara melawan warganegara. Mereka hanya menjadi musuh manakala mereka menjelma menjadi serdadu dan dengan demikian permusuhan hanya bisa terjadi ada antara negara melawan negara, karena konsep serdadu erat berkait dengan konsep negara. Satu pihak agresor dan pihak lain sebagai pembela tanah air. 

Kedua, manusia sebagai satu pribadi sampai kapanpun adalah tetap sebagai satu pribadi kendatipun ia menguasai setengah dunia ini. Sebagai satu pribadi (individu) ia memiliki kepentingan pribadi yang berbeda dengan manusia lain. Manakala kerajaannya berakhir, satu manusia yang berkuasa atas setengah dunia akan meninggalkan apa yang ia kuasai dalam kondisi terpecah dan berantakan karena kuasa tersebut sekadar kepentingan pribadi, bukan kepentingan keseluruhan. 

Dari kedua pendapat di atas mengentara pemahaman Rousseau atas kemerdekaan manusia. Pertama, saat manusia sudah mengikatkan diri ke dalam negara (menjadi warganegra) cenderung untuk berpihak pada perdamaian. Perang, sebab itu, bukan tabiat dari warganegara melainkan tabiat negara. Kedua, saat manusia belum mengikatkan diri ke dalam negara, maka yang ada di benaknya adalah bagaimana memaksimalisasi kepentingan pribadinya. Kondisi ini berakhir saat manusia mengikatkan diri ke dalam negara, yang setelahnya manusia sebagai warganegara. Setelah menjadi warganegara inilah, manusia mulai mengembangkan nilai-nilai moralnya dan memberi perhatian kepada kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rousseau melangkah lebih jauh dari konsep kebebasan negatif yaitu kemerdekaan individu untuk bertindak tanpa batasan pihak lain menjadi kebebasan positif.[52] Satu-satunya pihak yang mampu menjamin kebebasan positif ini adalah negara, tetapi perlu ditekankan bahwa negara tidaklah otonom melainkan selalu bersandar pada persetujuan rakyat, general will.[53] Bagi Rousseau, kemerdekaan individu muncul setelah undang-undang diterapkan, dengan mana undang-undang ini diproduksi oleh badan berdaulat di mana seluruh individu dalam negara menjadi anggotanya.[54]

Keamanan 

Dalam Social Contract, Rousseau menekankan bahwa harus ada suatu cara dengan mana sebuah sistem perundang-undangan mampu mengamankan setiap warganegara terhadap ketergantungannya secara personal pada kehendak orang lain.[55] Tema ketergantungan personal ini cukup mendalam dalam tulisan Rousseau dalam Kontrak Sosial, karena dalam buku tersebut, ia berargumentasi bahwa kondisi tidak aman adalah manakala seseorang dipaksa untuk patuh pada kehendak individu lain, atau dengan kata lain, saat sesuatu di luar diri individu memiliki kontrol atas dirinya. Jalan keluar untuk keamanan individu adalah membuat setiap individu menjadi subyek dari undang-undang dan harus mereka sendiri yang membuatnya. Keamanan hanya akan ada apabila terdapat undang-undang yang mengatur keamanan individu. 

Dalam pandangan Rousseau, negara adalah kolektivitas individu yang muncul melalui kesatuan para anggotanya. Kemudian perhatian Rousseau beranjak pada bagaimana cara memeliharanya. Untuk memelihara, maka negara harus punya kekuataan koersif dalam rangka menggerakkan dan mengendalikan setiap bagian di dalam dirinya dengan cara yang paling menguntungkan bagi keseluruhan. Keadaan ini mendorong Rousseau menyatakan bahwa negara, atas nama general will yang mewujud ke dalam Daulat, punya kekuasaan absolut.[56] Masalah kekuasaan absolut ini penting untuk dibahas sehubungan dengan masalah keamanan individu karena konsep kekuasaan absolut Rousseau ini rentan untuk dikorupsi. 

Rousseau mengetengahkannya dalam persoalan seberapa jauh penghargaan atas hak-hak Daulat diperbandingkan dengan hak-hak warganegara dan juga antara tugas-tugas yang harus dijalankan warganegara sebagai subyek dan hak-hak alamiahnya sebagai manusia.[57] Bagi Rousseau, yang ditransfer oleh setiap orang (dalam kontrak sosial) adalah kekuasaannya, barang-barangnya, dan kemerdekaannya, yang jumlahnya mencukupi dan penting saja, sehingga komunitas dapat menggunakannya. Sehubungan dengan hal mencukupi dan penting ini, maka otoritas Daulat lah yang menjadi hakim dalam hal derajatnya. Warganegara berhutang pada negara seputar layanan yang diberikan, dengan mana Daulat memintanya. Sebagai subordinasi dari Daulat, pejabat pemerintah tidak dapat membebani warganegara hal-hal yang kemudian justru menjadi mubazir bagi komunitas. 

Dalam masalah hidup, Rousseau cukup permisif. Setiap orang punya hak untuk membahayakan hidupnya sendiri dalam rangka mempertahankannya.[58] Bagi Rousseau, tidaklah salah orang terjun dari suatu ketinggian gedung manakala menyelamatkan dirinya dari kebakaran. Dalam konteks negara, Rousseau mengajukan pendapat bahwa mereka yang ingin hidupnya dilindungi oleh orang lain juga harus, saat dibutuhkan, memberikan hidupnya kepada mereka.[59] Namun, bukan warganegara yang menjadi hakim mengenai hal ini melainkan dalam pertimbangan kepentingan negara (general will).[60] Penentuan penyerahan hidup seorang individu dalam kontrak sosial Rousseau tidaklah mudah, melainkan melalui sejumlah pertimbangan, karena menurut Rousseau adalah bukan tujuan para pihak yang mengikatkan diri ke dalam kontrak sosial untuk membiarkan diri mereka dihukum gantung. 

Hukuman gantung, bagi Rousseau, hanya cocok diterapkan bagi pemberontak dan pengkhianat negara.[61] Perlindungan negara bagi perilaku mereka telah berakhir karena mereka melanggar bahkan memeranginya. Salah satu harus hilang dari muka bumi, yaitu apakah negara ataukah individu pelanggar. Dengan demikian, penilaian tinggi Rousseau atas hidup manusia tetap memiliki batas, yaitu tidak berlaku bagi para pelanggar tertib sosial. Setiap peradilan dan tuntutan yang diadakan atas mereka adalah deklarasi bahwa mereka telah memecahkan perjanjian sosial dan konsekuensinya para pelanggar ini bukan lagi anggota negara.[62] Namun, Rousseau mengingatkan bahwa semakin sering berlakunya hukuman mati menunjukkan malasnya sebuah pemerintahan. Tidak ada seorangpun yang sedemikian jahatnya, sehingga ia sama sekali tidak bermanfaat. Hak peradilan untuk menentukan hidup matinya seseorang adalah prerogatif Daulat.[63]

Persamaan Sosial 

Konsep Rousseau mengenai persamaan sosial setiap manusia harus dipandang dalam konteks kontrak sosial, yaitu di dalam negara sipil. Bagi Rousseau, di dalam kondisi alamiah, di mana ada unsur kekuatan yang bervariasi antara individu yang satu dan lainnya, terdapat kecenderungan manusia saling mendominasi. Bergabungnya orang-orang ke dalam negara sipil membuat insting yang tadinya ada dikonversi menjadi prinsip keadilan dalam perilakunya. Juga, penggabungan ini menyertakan unsur moral ke dalam perilaku manusia, sesuatu yang tadinya tidak ada dalam kondisi alamiah.[64]

Bagi Rousseau, unsur yang hilang dari bergabungnya manusia ke dalam negara sipil adalah kemerdekaan alamiah dan hak-hak yang tidak terbatas atas segala sesuatu, hak yang selalu menggoda dan berusaha untuk dipenuhinya.[65] Hilangnya dua kondisi ini (kemerdekaan alamiah dan hak yang tidak terbatas) digantikan dengan kemerdekaan sipil dan hak atas properti yang ia kuasai. 

Rousseau menyatakan, internalisasi kebebasan moral adalah hal yang membuat manusia menjadi tuan sejati atas dirinya. Sebaliknya, apabila manusia sekadar hanya menuruti seleranya sendiri justru membuatnya menjadi budak. Rousseau menyimpulkan, apabila seseorang mematuhi undang-undang yang diterapkan pada dirinya maka ia berada dalam kondisi merdeka.[66]

John Gingell menyatakan bahwa salah satu pemikiran yang jelas dari Rousseau adalah kritiknya yang mendalam atas ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik di abad ke-18 di Perancis.[67] Saat itu di Perancis berlaku kondisi dengan mana sukses dan kemakmuran seseorang sangat bergantung pada patronase aristokratis ketimbang nilai instrinsik seorang individu. Dalam logika Rousseau, ketimpangan jadi berlaku karena tidak ada pengaturan negara yang mengeliminasinya. Dengan demikian, kemanusiaan bagi Rousseau hanya akan hadir setelah individu bergabung ke dalam masyarakat.[68] Secara lebih lanjut, persamaan sosial akan tercipta hanya sejauh kontrak sosial diberlakukan. Kondisi persamaan sosial ini akan hadir saat terjadi rekonsiliasi antara undang-undang dengan kemerdekaan individu, yang basisnya adalah general will.[69]

Pertimbangan Publik 

Dalam kajian mengenai pertimbangan publik ini, dapat kita cari pada pandangan-pandangan Rousseau mengenai penyusunan undang-undang (law). Undang-undang adalah pengaturan yang dibuat oleh seluruh rakyat, bersifat umum, dan tidak terbagi-bagi obyeknya. Obyek undang-undang selalu bersifat umum, dalam mana undang-undang mempertimbangkan subyek-subyek dari suatu negara sebagai suatu kolektivitas dan bertindak secara abstrak.[70] Undang-undang tidak pernah bertindak atas nama individu maupun tindakan-tindakan khusus, melainkan atas nama general will. Bagi Rousseau, undang-undang semata-mata bicara mengenai kondisi-kondisi yang berhubungan dengan masyarakat dan sebab itu rakyat, yang menjadi subyek dari undang-undang sajalah yang bisa menciptakannya.[71]

Masih dalam rangka pertimbangan publik ini, Rousseau bicara mengenai hubungan undang-undang dengan general will.[72] Ia menyatakan bahwa rakyat, pada dirinya sendiri, selalu menginginkan kebaikan, tetapi tidak selalu melihatnya. Sebab itu general will menjadi pedoman karena ia selalu benar. Peran general will ini signifikan karena individu dapat saja melihat kebaikan dan kemudian menolaknya, di sisi lain publik menginginkan kebaikan tersebut tetapi tidak dapat melihatnya. Sebab itu, baik individu maupun publik, memerlukan pedoman. Di sinilah terletak pentingnya negara memiliki legislator (penyusun undang-undang), selaku terjemahan dari general will.[73]

Dalam konteks pertimbangan publik versi Rousseau, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pertimbangan publik tetap mendapat tempat dalam pemikiran Rousseau. Meskipun definisi Rousseau atas pertimbangan publik ini tidak terlampau jelas, tetapi keyakinan Rousseau mengenai pentingnya penyusunan undang-undang yang berlaku umum dan mengedepankan kebaikan bersama merupakan suatu indikasi bahwa pertimbangan publik merupakan hal yang diutamakan dalam pemikiran Rousseau. 

Resolusi Konflik secara Damai 

Resolusi konflik secara damai merupakan satu nilai substantif dalam Demokrasi. Konflik di dalam Demokrasi diselesaikan bukan melalui kekerasan fisik melainkan melalui lembaga-lembaga yang memiliki otoritas dan legitimasi di mata rakyatnya. Sehubungan dengan hal ini maka Rousseau kurang spesifik dalam membahasnya. Rousseau hanya menekankan bahwa di dalam negara, perebut kedaulatan selalu potensial untuk ada.[74] Bagi Rousseau, perebut kedaulatan tersebut selalu mendorong kegiatannya di masa-masa sulit guna memainkan kegelisahan publik. Di masa-masa seperti inilah dituntut peran dari seorang legislator, yang mengedepankan kehendak bersama ketimbang kepentingan sempit dari seorang tiran. Dengan kata lain, Rousseau belum menentukan mekanisme resolusi konflik secara damai, apakah oleh general will, majelis rakyat, ataukah institusi politik tertentu. 

Prosedural 

Sistem Politik Multipartai yang Kompetitif 

Dalam pemikiran Rousseau, sistem politik multipartai yang kompetitif dapat dikatakan tidak ada. Rousseau sama sekali tidak menyebutkannya paling tidak di dalam bukunya Social Contract. Bagi Rousseau semakin besar tingkat kerukunan yang berlaku di majelis-majelis publik berarti semakin banyak keputusan bulat yang dicapai, semakin banyak kepentingan umum mendominasi.[75] Sebaliknya, semakin banyak perdebatan panjang, pertikaian, dan kekacauan adalah tanda bahwa kepentingan-kepentingan khusus ada dalam kekuasaan dan negara berada dalam kemunduran.[76] Dari pendapat Rousseau mengenai kebulatan dan kesepakatan yang dihargai tinggi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem politik multipartai yang kompetitif kurang mendapat tempat di dalam pemikirannya. Sistem politik multipartai, dengan mana partai-partai politik yang mengemban kepentingan masing-masing dan beragam, adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam adanya perdebatan dan pertikaian di majelis seperti terjadi dalam negara Demokrasi moderen. Karakteristik dan keberadaan partai politik adalah hal yang selalu ingin dihindari dalam logika Rousseau mengenai kebaikan general will dan Daulat. 

Sehubungan dengan masalah mengapa Rousseau tidak memberi penekanan sama sekali atas sistem politik multipartai yang kompetitif adalah indikasi bahwa Rousseau cenderung memperkenalkan totalitarianisme seperti dilansir oleh Terence Ball.[77] Menurut Ball, terdapat empat alasan mengapa pemikiran Rousseau dekat dengan totalitarianisme. Pertama, adalah perhatian Rousseau pada general will yang selalu benar dan tidak dapat salah. Kedua, penekanan berulang-ulang Rousseau bahwa pihak yang berbeda harus ‘dipaksa untuk bebas.’ Ketiga, adanya figur legislator yang digambarkan seperti dewa dan tidak menyenangkan. Keempat, adanya agama sipil yang menyuplai rasionalisasi atas undang-undang dan lembaga-lembaga yang dapat memaksa. Keempat catatan ini mendorong munculnya pendapat bahwa pemikiran Rousseau adalah paradoks, karena pada satu sisi Rousseau sangat mengagung-agungkan hak individu di dalam masyarakat, tetapi di sisi lain Rousseau mengembangkan perangkat-perangkat konsep yang justru memiliki kecenderungan untuk menghentikan pelaksanaan hak-hak tersebut apabila disalahgunakan (totalitarianisme politik). Aparatus politik dari Rousseau sehubungan dengan general will akan sulit dikontrol. Hal ini terjadi manakala fenomena Revolusi Perancis dan Kediktatoran Robbespierre mengambil spiritnya dari pemikiran Rousseau juga Karl “Moses Mordechai” Marx, yang menelurkan komunisme dengan diktator proletariatnya yang absolutis. 

Hak Pilih Universal untuk Pemilih Dewasa 

Mengenai hak pilih universal untuk pemilih dewasa, dapat dipastikan pandangan Rousseau adalah positif. Hal ini didasarkan pada maksimalitasnya dalam Daulat. Bagi Rousseau, warganegara, siapapun dia dan apapun status sosio-ekonominya, secara bersama-sama adalah pemilik negara. Dalam Kontrak Sosial, Rousseau tidak bicara langsung mengenai hak pilih universal, melainkan dapat dicari dalam pandangannya mengenai hak-hak memberi opini, mengusulkan sesuatu, membedakan masalah, dan berdebat yang harus dijamin oleh negara.[78]

Mengenai hak pilih ini, Rousseau menyatakan bahwa hak tersebut harus dikaitkan dengan general will. Pemilihan dalam pikiran Rousseau adalah berbeda dengan pemilihan di era modern yang bersendikan Demokrasi perwakilan. Pemilihan di dalam pikiran Rousseau adalah harus selaras dengan general will.[79] Hak pilih dalam pikiran Rousseau harus pula mandiri, dengan mana individu warganegara tidak melakukan pemberian suara melalui blok-blok politik yang terorganisir, partai-partai, ataupun koalisi-koalisi.[80] Hasil dari pilihan warganegara ini adalah general will yang diterjemahkan ke dalam bentuk undang-undang bersama, dan bukan keputusan kekuasaan eksekutif tertentu, edict, ataupun deklarasi, karena seluruh yang terakhir ini sifatnya partikularis, bukan bersama. 

Pemilu Reguler 

Rousseau berbicara mengenai pemilihan pejabat politik, yaitu penguasa (ruler) dan pejabat pemerintahan (administrator). Pemilihan tersebut didasarkan atas dua cara, pertama dengan pemilihan (choice) dan kedua dengan suara terbanyak (lot). Mengenai pemilihan dengan suara terbanyak, dengan mengutip Montesquieu, Rousseau menyatakannya sebagai sesuatu yang alamiah dalam Demokrasi.[81] Pemilihan dengan suara terbanyak inheren di dalam Demokrasi karena pejabat-pejabat yang dipilih adalah untuk lebih jarang bertindak, sebab yang sering bertindak diidealkan adalah seluruh warganegara. 

Rousseau melanjutkan, bahwa dalam Demokrasi sejati, memegang jabatan bukanlah suatu manfaat melainkan tugas berat yang secara tidak adil dibebankan pada satu atau beberapa warganegara.[82] Mengenai jatuhnya tugas berat ini ke pundak seorang warganegara, Rousseau menyatakan bahwa hanya undang-undang yang dapat melakukannya. Undang-undanglah yang memberikan tugas kepada salah satu atau sejumlah warganegara, untuk bekerja berdasarkan jumlah suara yang diberikan kepadanya. Di dalam Aristokrasi, penguasalah yang memilih penguasa, bukan warganegara. 

Bagi Rousseau terdapat sejumlah kelemahan akibat seseorang dipilih berdasarkan suara terbanyak di dalam Demokrasi sejati. Di dalam Demokrasi sejati segala sesuatunya bersifat setara, tidak hanya dalam hal standar kemampuan dan moral, tetapi juga prinsip-prinsip politik dan kesejahteraan, dan dengan demikian pemilihan dengan suara terbanyak ini merupakan pengabaian atas kemampuan warganegara lainnya. Untunglah, dalam pandangan Rousseau, tidak ada negara Demokrasi sejati di dunia.[83]

Metode pemilihan dan suara terbanyak ini kemudian diperbandingkan oleh Rousseau, yang menganggap bahwa yang pertama cocok diterapkan guna mengisi jabatan-jabatan yang memerlukan kemampuan khusus seperti jabatan kemiliteran, sementara yang kedua hanya apabila dibutuhkan syarat seperti pengertian bersama, kesetaraan, dan integritas karena syarat-syarat seperti ini telah ada di diri setiap warganegara[84]. Bagi Rousseau, di dalam bentuk pemerintahan Monarki tidak ada pengangkatan pejabat berdasarkan pemilihan dan suara terbanyak: Pilihan pejabat hanya ditentukan oleh si Monark sendiri. 

Akses Publik atas Calon-calon Pemimpin Mereka 

Akses publik atas calon-calon pemimpin mereka relatif kurang jelas dalam pandangan Rousseu. Kendati demikian, akan dilakukan upaya untuk mendekatinya dari sejumlah pandangannya mengenai badan legislatif. Bagi Rousseau, kekuasaan yang lebih penting di dalam suatu negara adalah kekuasaan menyusun undang-undang (legislatif) ketimbang pelaksanannya (eksekutif). Rousseau menyatakan bahwa prinsip kehidupan politik terletak pada otoritas Daulat. Kekuasaan legislatif adalah jantung dari negara, kekuasaan eksekutif adalah benaknya, yang membuat setiap bagian dalam negara bergerak.[85] Benak ini mungkin saja berhenti bekerja, tetapi individu masih dapat tetap hidup. Namun, apabila jantung berhenti berkerja maka ‘hewan’ (animal) akan mati. Bagi Rousseau, kuasa legislatif yang menyusun undang-undang ini harus beradaptasi terhadap perkembangan negara. 

Rousseau juga menekankan pentingnya pelayanan publik bagi warganegara.[86] Mengenai ini Rousseau menyatakan bahwa segera setelah pelayanan publik bukan lagi perhatian utama dari warganegara, dan mereka lebih memilih untuk melakukannya bukan oleh dirinya sendiri melainkan dompetnya, maka negara ada di ambang kehancuran.[87] Mereka hanya memilih deputi-deputi untuk melakukan pelayanan publik sementara dirinya sendiri memilih untuk tinggal di rumah. Bagi Rousseau, di negara bebas sejati, para warganegaranya melakukan segala sesuatu dengan tangannya, dan bukan dengan uang. Semakin baik negara didirikan, semakin tinggi prioritas yang diberikan di benak warganegara untuk masalah publik ketimbang bisnis partikulir. 

Rousseau tidak memandang akses publik atas deputi atau perwakilan sebagai sesuatu yang penting akibat pandangannya bahwa keterlibatan warganegara dalam urusan-urusan publik adalah maksimal. Justru kehadiran deputi atau perwakilan ini menunjukkan negara dalam situasi di ambang kehancuran akibat warganegara tidak lagi perhatian terhadap kelangsungan aktivitasnya, karena para Deputi ini justru dicurigai memiliki kepentingannya sendiri yang bertentangan dengan general will. Deputi dan perwakilan politik dipandang Rousseau sebagai malah akan menggerogoti kekuatan negara. 

Rousseau juga menyatakan bahwa deputi yang ditunjuk oleh warganegara bukanlah mewakili Daulat karena Daulat tidak bisa ditransfer ataupun diwakili. Deputi hanyalah agen dari warganegara dan mereka ini tidak bisa membuat keputusan yang definitif.[88] Mungkin dapat dikatakan secara bebas, bahwa dalam pemikiran Rousseau Deputi sekadar orang suruhan yang mekanis serta tidak boleh berpikir. 

Bagi Rousseau, setiap undang-undang yang bukan diratifikasi oleh seluruh warganegaranya adalah bukan undang-undang. Mengenai hal ini, Rousseau mengkritik rakyat Inggris yang secara percaya diri mereka nyatakan sebagai warganegara bebas. Bagi Rousseau, kepercayaan ini adalah salah karena rakyat Inggris hanya bebas selama proses pemilikan anggota Parlemen. Segera sesaat setelah anggota Parlemen terpilih dan menjalankan tugasnya, rakyat Inggris justru ada dalam masa perbudakan karena mereka telah menjual ‘dirinya’ berupa ‘kepercayaanya’ kepada para pejabat terpilih yang dikhawatirkan memiliki kepentingan pribadinya sendiri dalam proses pembuatan undang-undang.[89] Korupsi dalam pembuatan undang-undang bagi Rousseau adalah pengkhianatan tertinggi di dalam negara. 

Mengenai gagasan perwakilan, Rousseau menyatakannya sebagai warisan feodal, yang bersifat tidak adil dan absurd, karena praktek tersebut mendegradasikan umat manusia: Manusia tidak dihormati lagi harga dirinya. Bagi Rousseau, di republik-republik lama bahkan Monarki, rakyat tidak memiliki perwakilan dan kata ‘perwakilan’ sendiri pun tidak dikenal. Bagi Rousseau, undang-undang tidak lain merupakan deklarasi dari kehendak bersama, dan sehubungan dengan kekuasaan legislatif, rakyat tidak bisa diwakili.[90] Namun, kekuasaan eksekutif dapat dan harus diwakili, dan harus dicatat bahwa kekuasaan eksekutif ini sekadar untuk mengaplikasikan undang-undang semata. Di sinilah sulitnya pembedahan pemikiran Rousseau, bahwa rincian bagaimana kekuasaan eksekutif yang diidealkannya tidak terlampau jelas. Penjelasan Rousseau seolah-olah berputar-putar antara kuasa eksekutif yang dipercayakan pada pihak lain dibolehkan dan dilarang olehnya. 

Bagi Rousseau, segera setelah kekuasaan legislatif dibentuk, kekuasaan eksekutif menyusul.[91] Kekuasaan eksekutif ini cenderung fokus pada tindakan-tindakan yang bersifat partikular dan tidak serupa dengan kekuasaan legislatif dan harus terpisah darinya. Pakta yang dibuat antara rakyat dengan individu-individu tertentu di kekuasaan eksekutif adalah tindakan partikular. Pakta ini bukan merupakan undang-undang ataupun tindakan dari Daulat. Ini akibat otoritas tertinggi (Daulat) tidak bisa dimodifikasi maupun ditransfer. Adalah absurd bahwa otoritas ini, sehubungan dengan kekuasaan eksekutif, mengangkat pihak yang lain menjadi superiornya. [sb]

BUKU SUMBER :

Sumber tulisan yang jadi bahasan adalah buku Jean-Jacques Rousseau berbahasa Inggris (terjemahan dari bahasa Perancis) oleh Christopher Betts. Judul buku tersebut adalah Discourse on Political Economy and The Social Contract. Tulisan ini fokus hanya pada The Social Contract yang tertera di halaman 43 – 168 buku terjemahan Betts ini. Untuk pengutipan, maka judul lengkap buku ini adalah Jean-Jacques Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract, Translated by Christopher Betts (New York: Oxford University Press, 1994) pp. 43 – 168. [</>] 

DAFTAR PUSTAKA: 

Charles Tilly, Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) 

Colin Bird, An Introduction to Political Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) 

David West, “Continental Philosophy” dalam Robert E. Goodin, eds., et.al., A Companion to Contemporary Political Philosophy, Volume I (Malden: Blackwell Publishing, 2007) 

Jean-Jacques Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract: Translated with an Introduction and Notes by Christopher Betts (New York: Oxford University Press) pp. 43 – 175. 

Jeremy Jenning, “Rousseau, Social Contract and the Leviathan” dalam David Boucher, The Social Contract from Hobbes to Rawls (New York: Routledge, 1994) 

John Gingell, eds., et.al., Modern Political Thought: A Reader (New York: Routledge, 2000) 

Leslie Lipson, The Democratic Civilization (New York: Feiffer & Simons, 1964), p. 16 – 7. 

Terence Ball, “History and the Interpretation of Text” dalam Gerald F. Gaus and Chandran Kukanthas, eds., Handbook of Poltiical Theory, (London: Sage Publications, 2004) pp. 18 – 30. 

DAFTAR KUTIPAN :

[1] Jean-Jacques Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract: Translated with an Introduction and Notes by Christopher Betts (New York: Oxford University Press) pp. 43 – 175. 
[2] Charles Tilly, Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) p.7. Tilly menggunakan 4 pendekatan, tetapi untuk kebutuhan penulisan paper ini hanya akan digunakan 3 pendekatan saja yaitu Konstitusional, Substantif, dan Prosedural. 
[3] Ibid. 
[4] Ibid. 
[5] Ibid. 
[6] Ibid., p. 7 - 8 
[7] Ibid., p. 8. 
[8] Ibid., p. 46. 
[9] Ibid., p. 48. 
[10] Ibid., p. 63 
[11] John Gingell, eds., et.al., Modern Political Thought: A Reader (New York: Routledge, 2000) p. 136. 
[12] Ibid., p. 137. 
[13] Ibid, p. 55 
[14] Ibid, p. 56 
[15] Ibid, p. 99 
[16] Ibid. 
[17] Ibid. Di era Rousseau, bentuk pemerintahan monarki adalah yang paling lazim digunakan. 
[18] Leslie Lipson, The Democratic Civilization (New York: Feiffer & Simons, 1964), p. 16 – 7. 
[19] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … op.cit., p. 100. 
[20] Ibid., p. 101. 
[21] Ibid., p. 100. 
[22] Ibid. 
[23] Ibid. 
[24] Ibid. 
[25] Ibid. 
[26] Ibid. p. 102. 
[27] Ibid. 
[28] Ibid. 
[29] Ibid. p. 103. 
[30] Ibid. 
[31] Ibid. p. 104. 
[32] Ibid.
[33] Ibid. 
[34] Ibid., p. 105. Mungkin di sinilah letak mengapa pula Aristoteles menganggap Monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik. 
[35] Ibid., p. 106. 
[36] Ibid. 
[37] Ibid., p. 107. 
[38] Ibid. 
[39] Ibid., p. 110. 
[40] Ibid, p. 134. 
[41] Ibid, p. 172. Appendix. 
[42] Jeremy Jenning, “Rousseau, Social Contract and the Leviathan” dalam David Boucher, The Social Contract from Hobbes to Rawls (New York: Routledge, 1994) p. 120. 
[43] Jean-Jacques Rousseau, Discourse …. op.cit., p. 60. 
[44] Ibid. 
[45] Ibid p. 62. 
[46] Colin Bird, An Introduction to Political Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2006) p. 89. 
[47] John Gingell, eds., et.al., Modern … , op.cit., p. 137. 
[48] Jeremy Jenning, “Rousseau, Social Contract and the Leviathan” dalam David Boucher, The Social Contract from Hobbes to Rawls, p. 122. 
[49] Ibid.p. 123. 
[50] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … , op.cit., p. 49. 
[51] Ibid., p. 51. 
[52] John Gingell, eds., et.al., Modern … , op.cit, p. 136. 
[53] Ibid. 
[54] Ibid. 
[55] David West, “History …” , op.cit., p. 119. 
[56] Jean-Jacques Rousseau, Discourse …, op.cit., p. 67. 
[57] Ibid, pp. 67-8. 
[58] Ibid,, p. 71. 
[59] Ibid, 
[60] Ibid, 
[61] Ibid, 
[62] Ibid,, pp. 71-2. 
[63] Ibid,, p. 72. 
[64] Ibid,, p. 59. 
[65] Ibid,. 
[66] Ibid,
[67] John Gingell, Modern …, op.cit., p. 134. 
[68] David West, “Continental Philosophy” dalam Robert E. Goodin, eds., et.al., A Companion to Contemporary Political Philosophy, Volume I (Malden: Blackwell Publishing, 2007) p. 40. 
[69] Ibid,., p. 119. 
[70] Ibid,, p. 74. 
[71] Ibid,., p. 75. 
[72] Ibid,. 
[73] Ibid,. 
[74] Ibid,, p. 85. 
[75] Ibid,, p. 136. 
[76] Ibid,.
[77] Terence Ball, “History and the Interpretation of Text” dalam Gerald F. Gaus and Chandran Kukanthas, eds., Handbook of Political Theory, (London: Sage Publications, 2004) pp. 18 – 30. 
[78] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … op.cit., p. 136. 
[79] Colin Bird, An Introduction …, op.cit., p. 88. 
[80] Ibid p. 88. 
[81] Jean-Jacques Rousseau, Discourse … op.cit.,., p. 139. 
[82] Ibid, p. 139. 
[83] Ibid., p. 140. 
[84] Ibid.
[85] Ibid., p. 121, 
[86] Ibid., p. 126. 
[87] Ibid.
[88] Ibid., p. 127. 
[89] Ibid. 
[90] Ibid., p.128. 
[91] Ibid., p. 129.