Latest News

Saturday, November 2, 2019

David Hume dan Filsafat Empirisme


David Hume adalah filosof asal Skotlandia, dan juga dikenal sebagai sejarawan dan esais.[1] Hume lahir dari keluarga beragama Presbyterian yang ketat mengamalkan ajaran agama. Ia kuliah saat umur 12 tahun di Universitas Edinburgh dan berniat mempelajari hukum. Namun, kemudian ia mundur dari keingin tersebut karena kemauannya yang begitu kuat untuk mempelajari filsafat.

Saat berusia 26 tahun, ia menulis A Treatise of Human Nature. Karya tulis ini kurang begitu sukses, kendati isinya merupakan fundasi filsafat dan epistemologi ilmu pengetahuan Hume. Hume juga gagal memperoleh pekerjaan sebagai profesor di Universitas Edinburgh dan Universitas Glasgow. Kegagalan itu karena Hume dianggap atheis. Hume juga menulis ulang karyanya yang pertama menjadi dua karya tulis yaitu An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals. Dua karya ini merupakan standar dari kematangan filsafat Hume, kendati secara komersial tidak begitu sukses pula. 

Karena merasa kurang berhasil menulis karya filsafat, Hume putar arah menulis esai-esai singkat, berisikan kritik agama. Juga ia menulis tentang sejarah dan terbukukan menjadi History of England sebanyak 6 jilid. Ini ia tulis saat menjadi pustakawan di Fakultas Advokat Universitas Edinburgh. Karya sejarah ini ternyata sukses dan menambah sedikit kekayaan material atas Hume. Setelah menulis sejarah Inggris, Hume tinggal sementara di Perancis di mana ia bertemu dan bergaul dengan Jean-Jacques Rousseau. Ia kemudian pindah kembali ke Inggris, dan sempat menduduki sejumlah jabatan rendahan di pemerintahan. Dipicu oleh penyakit usus yang diderita, ia pun meninggal dunia. Proses dari sakit hingga meninggal dijalaninya dengan penuh kegembiraan dan kepasrahan a la Stoa. 

Empirisme Hume

Epistemologi Hume didasarkan atas Empirisme, yaitu bahwa seluruh pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan sebab itu, tidak boleh ada yang di luar itu.[2] Bagi Hume, ilmu pengetahuan tentang manusia (science of man) adalah satu-satunya fundasi solid bagi ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu pengetahuan tentang manusia ini harus didasarkan atas pengalaman dan observasi atasnya. Namun, Hume juga disebut sebagai seorang Skeptis, sebab ia menyatakan “tis still certain we cannot go beyond experience; and any hypothesis, that pretends to discover the ultimate original qualities of human nature, ought at firs to be rejected as presumptuous and chimerical.”[3] 

Hume meneruskan tradisi Empirisme John Locke. Bagi Locke, “Ide datang dari Sensasi atau Refleksi … Pikiran adalah sebuah Kertas kosong, tanpa Ide. Lalu dari mana isinya … Atas pertanyaan ini saya menjawab, dengan satu kata, dari Pengalaman. Dari Pengalamanlah Pengetahuan kita didirikan.”[4] Locke, juga Hume, berseberangan dengan Rene Descartes. Descartes menekankan teori Ide kekal dan intuisi rasional. Bagi Descartes, manusia memiliki akal murni (pure reason) sehingga ia dapat melakukan pemahaman atas realitas tanpa harus mengambil Pengalaman sebelumnya. Hume justru sebaliknya, Ide baru muncul setelah Kesan, yaitu saat indera mencerap obyek material di luar pikiran manusia. Apabila manusia berpikir di luar pengalamannya, maka Hume menyebutnya Imajinasi. 

Hume dan Persepsi 

Fundasi filsafat David Hume adalah pandangannya atas cara berpikir manusia. Konsep sentral Hume dalam membedah cara berpikir manusia adalah Persepsi. Persepsi adalah isi, atau elemen penyusun kesadaran manusia.[5] Persepsi adalah blok-blok bangunan dasar dunia mental, dan sebab itu ia merupakan isi total dari pikiran kita.[6] Parushkova menyamakan Persepsi dalam pikiran Hume dengan atom dalam pikiran Newton.[7] Jadi, kesadaran manusia tidak lain terdiri atas gulungan persepsi, seperti manusia dan seluruh material alam tersusun atas atom-atom. Hume menyatakan, “tidak ada satupun yang benar-benar ada di dalam pikiran manusia kecuali Persepsi.” Bagi Hume, persepsi adalah satu-satunya eksistensi yang diketahui secara pasti. Persepsi segera muncul melalui kesadaran manusia, yang dinamakan pikiran. 

Apa sesungguhnya yang dimaksud Hume dengan Persepsi? Hume menggambarkan persepsi sebagai obyek pikiran. Hume membedakan obyek pikiran dengan obyek eksternal. Obyek pikiran adalah isi dari kondisi sadar manusia. Obyek eksternal adalah obyek yang terus-menerus terpisah dari pikiran kita, misalnya gunung, awan, laut, ikan, atau batu. Obyek eksternal hanya bisa dikenali secara langsung atau diulangi untuk dikenal, lewat Persepsi. Termasuk ke dalam Persepsi adalah aneka modifikasi inderawi (sensory), rasa (affection), dan aneka kognisi yang kita hasilkan lewat tindakan melihat, mendengar, menilai, mencinta, membenci, dan berpikir.[8] Dengan demikian Hume menyamakan Persepsi dengan substansi, yaitu sesuatu yang hadir secara terpisah ataupun tidak memerlukan hal selainnya, untuk mendukung eksistensinya. Persepsi adalah sebuah entitas otonom dalam manusia.

Untuk lebih mengkerucutkan pemikiran Hume mengenai watak dan prinsip pikiran manusia, dapat dilihat pada bagan. Pada bagan tersebut, Persepsi adalah sentral dalam pemikiran Hume. Persepsi terbagi dua yaitu Kesan dan Ide. Kesan terdiri atas Sensasi Eksternal dan Sensasi Reflektif. Ide terbagi dua yaitu Memory dan Imajinasi. Imajinasi terbagi dua menjadi Pemahaman dan Fancy. Pemahaman terbagi dua lagi menjadi Fakta dan Relasi Ide.[9]



Kesan dan Ide adalah dua jenis Persepsi yang dibedakan menurut derajat kekuatan (force) dan sifat nyatanya (liveliness). Perbedaan derajat ini terasa saat Kesan ataupun Ide tampak di pikiran kita. Kesan lebih kuat dan nyata ketimbang Ide. Kesan juga meliputi sensasi, hasrat, dan emosi, dan ketiganya muncul pertama kali di dalam jiwa.[10] Di sisi lain, Ide adalah pencitraan (imaji) yang merupakan upaya kita untuk kembali menampilkan Kesan, manakala obyek materialnya sudah tidak ada.

Contoh Kesan dan Ide adalah sebagai berikut: Saat tangan kita memegang api maka langsung terasa panas di tangan. Persepsi langsung seperti itu adalah Kesan (berjenis Sensasi). Lalu kita langsung merasa kaget, sakit, dan kesal yang disebut Kesan (berjenis Refleksi). Keesokan harinya, saat kita membayangkan rasanya memegang api, termasuk bagaimana panasnya api di tangan, maka itu adalah Ide. Dengan demikian, Ide selalu lebih lemah derajat kekuatan dan nyatanya ketimbang Kesan. Kesan selalu berhubungan dengan obyek nyata, sementara Ide berhubungan dengan Persepsi. Ide juga tidak bisa muncul tanpa adanya Kesan. Di sinilah maka filsafat Hume disebut sebagai Empirisme: Paham filsafat yang mensyaratkan pengalaman manusia terhadap peristiwa aktual atau nyata.

Hume membagi Kesan menjadi dua, yaitu Kesan Sensasi dan Kesan Refleksi. Kesan Sensasi adalah sesuatu yang dicerap langsung indera kita, sehingga kita dapat merasakan panas atau dingin, haus atau lapar, nikmat atau derita, durian berkulit tajam, langit berwarna biru, ikan berbau, gajah berhidung panjang. Kesan Sensasi ini kemudian dibagi tiga lagi oleh Hume, yaitu: 1) Kualitas Eksternal Obyek (misalnya bentuk, gerak, kepadatan); 2) Atribut Obyek (misalnya warna, rasa, bau, dingin, panas); dan 3) Kondisi Mental (misalnya senang, sakit). [11] Pada sisi lain, Kesan Reflektif, bagi Hume meliputi hasrat, keinginan, dan emosi, yang langsung muncul di dalam pikiran sebagai tanggapan atas Kesan Sensasi, dan berwujud pada refleksi yang menyenangkan atau menyakitkan, buruk atau indah, amis atau harum. Kesan Reflektif ini terjadi langsung manakala Kesan Sensasi tengah berlangsung. Jadi, tidak ada jeda layaknya Ide. Studi penginderaan yang dilakukan manusia, yaitu Kesan, diserahkan Hume kepada filsafat alam atau ilmuwan eksakta. Hume lebih tertarik untuk melakukan kajian atas Ide (berikut turunannya). Ini akibat Hume menganggap dirinya filosof moral.[12]

Menariknya, Hume menyebut bahwa Kesan dan Ide ini bisa sangat dekat satu sama lain dalam hal nyatanya. Dalam sejumlah kondisi manusia seperti saat tidur, terserang demam, kegilaan, dan aneka peristiwa yang menyakiti jiwa, Ide dapat saja menyerupai Kesan dalam hal nyatanya. Di sisi lain, juga dapat saja terjadi kebalikannya, yaitu Kesan begitu lemah sehingga ia tidak lagi bisa dibedakan dengan Ide. Pendapat Hume tentang dua situasi yang berkebalikan dari Kesan dan Ide didasarkan atas pembedaan kualitatifnya atas aneka jenis kondisi kesadaran manusia.[13] Sebab itu dikenal konsep-konsep psikologis seperti halusinasi, delusi, skizoprenia, dan aneka fobia (klaustrofobia, agorafobia, Islamofobia, dan lain-lain).

Dalam konteks kesadaran manusia, Kesan dapat disebut Perasaan (feeling), sementara Ide dapat disebut Pemikiran (thought). Bagi Hume, Perasaan lebih superior ketimbang Pemikiran.[14] Kedua entitas Persepsi ini, Kesan dan Ide, dijelaskan Hume secara lebih lanjut. Bagi Hume, saat kita merasakan hasrat, emosi, atau pengaruh dari aneka obyek eksternal secara langsung terhadap indera kita, maka Persepsi kita sebut dengan Kesan. Sementara, saat kita tengah melakukan refleksi atas hasrat, emosi, atau pengaruh dari aneka obyek eksternal terhadap indera kita, dengan mana obyek tersebut sudah tidak ada, maka Persepsi kita sebut dengan Ide.[15] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesan adalah tangkapan langsung atas suatu sensasi, berupa hasrat, emosi, manakala obyek ekternal tengah kita hadapi. Di sisi lain, Ide adalah tangkapan reflektif kita atas sensasi, hasrat, atau emosi, di manakala obyek eksternal sudah berlalu.

Kesan dan Ide Sederhana dan Rumit

Persepsi juga dibedakan Hume menjadi dua: Persepsi Sederhana dan Persepsi Rumit. Keduanya, diterapkan baik untuk Kesan maupun Ide. Jadi, ada Kesan Sederhana dan Rumit juga ada Ide Sederhana dan Rumit.[16] Ide Sederhana adalah salinan Kesan tunggal dan Ide Rumit adalah kombinasi aneka Ide Sederhana.[17] Ide Rumit, sebab itu, bukan salinan dari aneka Kesan Rumit karena akan berlebihan (redundant), kendati Kesan Rumit ini punya peran dalam mengkomposisi watak manusia. Kembali ke pokok, yaitu Persepsi Sederhana dan Rumit. Bagi Hume, Persepsi Sederhana menerima tidak adanya pembedaan dan pemisahan, baik dalam konteks Kesan maupun Ide. Sebaliknya, Persepsi Rumit adalah kondisi di mana Kesan ataupun Ide dapat dibagi lagi ke dalam sejumlah bagian (diuraikan).

Kesan Sederhana, misalnya, Kesan atas warna, rasa, atau bentuk yang tunggal (merah, putih, asam, manis, oval, bulat). Kesan Rumit menyatukan aneka Kesan Sederhana yang bersifat spesifik, misalnya warna, bentuk, bau, tekstur, ataupun rasa dari satu jenis apel. Apel terdiri atas data indera (sensory) yang Rumit karena merupakan penyatuan dari aneka Kesan Sederhana. Pada sisi lain, Ide Sederhana diturunkan dari Kesan Sederhana. Dalam contoh apel, Ide Sederhananya adalah kebulatannya, kemerahannya (atau kehijauannya, kekuningannya), atau kemanisannya.[18] Dengan demikian, Ide Rumit terdiri atas Ide Sederhana, contohnya Ide tentang apel, yang tidak berisikan warna atau rasa yang pasti dari apel tertentu, tetapi sekadar ciri yang bersifat umum seperti bulat, keras, merah, dan lainnya. Jadi, manakala kita melihat langsung sebuah apel, sesungguhnya indera kita tengah mencerap sebuah kesan rumit. Kesan Rumit tidak bisa kita cerap tanpa kita mencernanya ke dalam sejumlah Kesan Sederhana. Dengan demikian, muncul satu prinsip dari kaum Empiris: “Seluruh Ide Sederhana kita dalam tangkapan pertamanya berasal dari Kesan Sederhana, yang berkorespondensi dengan suatu obyek.”[19] Dalam kasus Kesan Rumit berupa buah apel, tidak akan kita bisa tangkap tanpa sebelumnya kita mengalami Kesan-kesan Sederhana seperti bulat, merah, hijau, lonjong, manis, asam, hambar. Dengan penyerapan inderawi atas Kesan-kesan Sederhana tersebut, maka kita dapat membedakan antara apel Malang, apel Washington, apel Cina, dan apel Thailand. 

Sekarang kita berpindah ke persoalan Ide. Bagaimana Ide Sederhana bisa membentuk Ide Rumit? Jawaban Hume adalah akibat fungsi asosiasi. Ada tiga fungsi yang bersifat asosiatif yaitu: keserupaan (resemblance), persentuhan (contiguity), dan sebab-akibat (causation).[20] Contoh dari keserupaan adalah, suatu lukisan pantai Parangtritis lalu diasosiasikan dengan Ide asal-usulnya yaitu suatu wilayah pantai di Parangtritis (Kesan). Contoh dari persentuhan adalah apabila kita melihat sebuah apartemen maka mendorong munculnya Ide apartemen manakala kita melihat apartemen lainnya. Contoh dari sebab-akibat adalah bekas luka di tangan kita mendorong munculnya Ide pisau yang menggoresnya, dan saat melihat pisau muncul Ide tergores (dan berdarah serta perih, biasanya). Ketiga prinsip ini berjalan spontan manakala kita melakukan asosiasi Ide. Dasar dari tiga asosiasi ini adalah gaya tarik antar Ide, sehingga Ide Sederhana dapat membentuk Ide Rumit. Ide Rumit inilah yang merupakan subyek dari Imajinasi untuk membentuk pemahaman (understanding). Epistemologi Hume, menekankan pada penalaran (reasoning) atas aneka fakta, yang secara prinsipil harus dialami dalam wujud Kesan sebelumnya. Fakta adalah aneka obyek di dalam dunia empiris atau di dalam yang kita anggap sebagai dunia nyata, bukan angan-angan.[21]

Hume menyebut, dalam tiga asosiasinya (keserupaan, persentuhan, dan sebab-akibat) mengacu pada kegiatan Imajinasi yang terjadi secara spontan saat kita melakukan asosiasi Ide. Dari tiga jenis asosiasi ini, Hume menurunkannya lagi menjadi tujuh relasi filosofis yaitu keserupaan, identitas, lokasi sehubungan waktu dan tempat, kuantitas, derajat kualitas, kontradiksi, dan sebab-akibat.[22] Dalam epistemologi Hume mengenai Pemahaman, sebagai asal-usul Ide, Hume telah membaginya menjadi dua: Fakta dan Relasi Ide. Hume lalu mengkategorisasi ke mana dari tujuh relasi filosofisnya harus ditempatkan dalam konteks Pemahaman. Keserupaan, Kontradiksi, Derajat Kualitas, dan Kuantitas ia masukkan ke dalam Relasi antar Ide. Sementara Identitas, Hubungan Ruang dan Waktu, dan Sebab-akibat ia masukkan ke Fakta. Dalam filsafat manusia, terkait dengan ilmu-ilmu non eksak, maka masalah Identitas, hubungan Ruang dan Waktu, dan sebab-akibat ini lebih signifikan untuk dibahas.

Dalam hal pemahaman, Hume membedakan pemahaman yang didasarkan atas fakta dengan pemahaman yang didasarkan atas relasi antar Ide. Relasi antar Ide hanya melibatkan operasi pemikiran semata, yaitu seperti terjadi dalam ilmu matematika, yang tidak menemui eksistensinya di semesta.[23] Misalnya, salah satu sudut dari segitiga siku-siku besarnya pasti 90 derajat. Atau, operasi perkalian dan pembagian dilakukan terlebih dahulu dari operasi penjumlahan dan pengurangan. Di sisi lain, Pemahaman atas fakta mengarah pada pembentukan ilmu seperti politik, ekonomi, hukum, ataupun antropologi. Ilmu politik mengacu pada fakta adanya kepentingan manusia, kelompok manusia, partai politik, perwakilan politik, atau bagaimana mencapai tujuan bersama. Ilmu ekonomi didasarkan atas adanya fakta kelangkaan sumber daya yang dibutuhkan manusia, dan sebab itu fokus pada proses produksi, distribusi dan konsumsi atas kebutuhan manusia yang dianggap langka tadi. Dengan asosiasi, Ide membentuk jaringan pemikiran yang jelas, dan merupakan jalinan dunia kita yang jelas pula. [24]

Tibalah kini Hume membicarakan Ide abstrak atau biasa disebut sebagai konsep. Menurut Hume, Ide abstrak adalah aneka Ide yang mewakili sejumlah obyek menurut jenis tertentu. Ide abstrak ini merupakan fungsi Imajinasi, saat mengasosiasikan aneka Ide yang muncul dari Kesan menurut prinsip keserupaan dan hasilnya adalah istilah umum (general term). Inilah apa yang kemudian kita kenal sebagai teori. Teori adalah Ide abstrak, yang prosesnya dibentuk melalui Imajinasi, yang Idenya berasal dari Pemahaman (understanding), baik yang didasarkan atas fakta ataupun relasi antar Ide.

Memory dan Imajinasi

Hume, seperti telah disebutkan, fokus pada Ide, karena observasi atas Kesan ia serahkan pada ilmuwan eksakta. Masih dalam rangka pembicaraan mengenai Ide Sederhana dan Ide Rumit, beserta asosiasinya, maka dalam hal Ide, Hume membaginya menjadi dua yaitu Memory dan Imajinasi. Memory (ingatan) memunculkan Ide yang didasarkan pada pengalaman (Kesan) yang sungguh terjadi (faktual) kendati obyeknya sudah lama berlalu. Sebaliknya, Imajinasi memunculkan Ide yang bisa dipecah, dibagi, lalu disusun kembali, baik itu mengacu pada Memory (ingatan yang bersifat faktual) maupun tidak. Mengenai Imajinasi ini Hume menyatakan bahwa “saat Imajinasi melihat perbedaan antar Ide, ia dengan mudah melakukan pemisahan, pembagian, dan penggabungan kembali.”[25]

Contoh, Ide mengenai ‘kuda bersayap’ bukanlah Ide yang berasal dari Memory melainkan Imajinasi, karena siapa yang pernah melihat ‘kuda bersayap’ yang hidup layaknya Kuda Arab? Imajinasi merekam bahwa ada Memory tentang ‘kuda’ dan tentang ‘sayap,’ yang dianggap dapat menyusun sebuah Ide Rumit baru: ‘kuda bersayap’. Sebaliknya, ‘kuda bersayap’ juga dapat dipecah menjadi dua Ide yang faktual (berdasarkan Memory) yaitu ‘kuda’ dan ‘sayap’ yang sungguh-sungguh ada. Sekadar informasi, dalam pemikiran Hume, ‘kuda bersayap’ termasuk Ide yang berjenis fancy atau fantasi yang hingga akhir masa hidupnya, Hume belum pernah mencerapnya secaar inderawi. Dengan demikian, 'kuda bersayap' termasuk ke dalam tahayul (Imajinasi yang didasarkan pada Fantasi). ‘Kuda bersayap’ bagi Hume hanya bisa muncul karena Imajinasi manusia, dan sebab itu Hume menyatakannya sebagai the power of imagination.

Hume mengidentifikasi Memory dan Imajinasi sebagai dua operasi mental dimana Kesan yang secara aktual pernah hadir di pikiran kembali dihadirkan sebagai Ide.[26] Imajinasi bebas dalam mengacak dan mengubah Ide, dan sebab itu Hume (berdasarkan adanya Imajinasi ini) berujar bahwa tidak ada satu pun yang sangat tak terikat (jadi, sangat bebas, liar) seperti pikiran manusia. Pikiran manusia mampu mengkombinasikan aneka Ide Sederna menjadi Ide-ide Rumit yang bahkan sangat ganjil dan nyeleneh, bahkan di luar batas Kesan, kendati Imajinasi tidak bisa melakukan pengkombinasian tersebut tanpa Kesan sebelumnya. Imajinasi ‘kuda bersayap’ misalnya, tidak akan bisa ada tanpa sebelumnya ada Kesan ‘kuda’ dan ‘sayap’ terlebih dulu.

Imajinasi yang disengaja untuk menghasilkan gambar novel (atau komik) disebut fantasi. Fantasi biasa ditemui dalam puisi, roman, di mana alam sepenuhnya berisi kuda bersayap, naga, dan raksasa. Dengan Imajinasi, lanjut Hume, kita mampu memisahkan, menghubungkan, dan mengkombinasikan Ide, untuk kemudian diformulasikan menjadi konsep dan penilaian.[27] Bahkan, Hume menyatakan, lewat Imajinasi kita bisa meluaskan Ide tentang ruang dan waktu, di luar batas yang mampu diterima Kesan. Ini karena ada kecenderungan Imajinasi untuk terus bergerak, bahkan manakala obyeknya sendiri (Kesan) gagal membuktikannya. Hume menyebut ini terjadi dalam Ide persamaan geometris, konsep ruang kosong, konsep waktu kosong, hubungan kausal, eksistensi terus-menerus obyek eksternal, dan identitas personal yang berkesinambungan. Hume menekankan Ide-ide tersebut terus bergerak, menabrak batasan yang ditentukan oleh Kesan. Hume menyebut Imajinasi sebagai kekuatan kreatif pikiran (creative power of the mind).[28]

Memory, bagi Hume, adalah Ide yang sifatnya lebih hidup dan kuat ketimbang Imajinasi. Tidak seperti Imajinasi, Memory terikat dengan urutan dan posisi dari Persepsi yang muncul sebelumnya (melalui Kesan). Memory lebih kuat dari Imajinasi, dan sebab itu Memory merupakan ciri khas dari apa yang kita sebut sebagai kepercayaan (belief).[29] Memory, bagi Hume, dicirikan dalam kegiatan pikiran seperti saat meditasi. Dengan demikian, Hume memadankan antara Memory dengan kepercayaan. Kepercayaan adalah cara tertentu dalam menghasilkan Ide. Namun, Hume mengakui bahwa ia kesulitan dalam menemukan kata-kata yang bisa digunakan untuk menjelaskan masalah kepercayaan ini. Satu-satunya kata yang ia temukan adalah Perasaan (feeling) dan di sinilah letak keterbatasan empirisme Hume.[30]

Bagi Hume, Memory dan Imajinasi dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif menurut derajat nyata dan kekuatannya, sementara secara kualitatif menurut perasaaan (feeling) atau cara konsepsi atas Ide. Pembedaan atas Ide yang muncul dari Memory dan dari Imajinasi ditentukan lewat penilaian atas relasi di dalam Ide tersebut, dengan obyek eksternal.[31] Semakin banyak ditemukan dalam kenyataan (obyek eksternal), maka Ide tersebut dapat dikatakan sebagai Memory, dan semakin sedikit, maka disebut sebagai Imajinasi.

Sebab-Akibat

Sebab-akibat dalam pemikiran Hume adalah tidak ada. Apa yang disangka sebagai sebab-akibat, sesungguhnya adalah sekadar peristiwa yang bersamaan kejadiannya. Contoh yang sering dikutip orang dari Hume adalah bola bilyar. Jika bola putih didorong dan mengenai bola hitam, lalu bola hitam bergerak, maka dikatakan bola putih menyebabkan bola hitam bergerak. Bagi Hume, sebab-akibat yang terjadi atas bola-bola bilyar bukan sebab-akibat yang sesungguhnya, melainkan sekadar kebiasaan (kita sering tegaskan dalam kata 'biasanya'). Akibat selalu terjadi bersamaan, maka apabila bola putih didorongkan ke bola hitam (atau bola kuning, hijau, atau biru), maka bola lainnya itu akan bergerak. Sebab itu, maka kita selalu berharap itu untuk terjadi. Bagi Hume, fenomena bola putih menggerakkan bola hitam itu terdiri atas 3 noumena. Pertama, bola putih bergerak ke arah bola hitam. Kedua, terjadi persentuhan antara bola putih dan bola hitam. Ketiga, bola hitam bergerak (entah ke mana). Bagi Hume, ada 3 noumena terpisah dan masing-masing otonom. Orang tidak bisa menyimpulkan bahwa bola putih itu sebab, dan gerakan bola hitam akibat. Hume secara kritis menganggap ada sesuatu yang lain terjadi, yaitu tepat saat bola putih mengalami persentuhan dengan bola hitam. Persentuhan ini, menurut Hume, yang dapat saja berakibat pada konsekuensi berbeda. Bagi Hume, selalu ada kemungkinan ‘persentuhan’ itu menggerakkan atau tidak menggerakkan bola hitam. 

Contoh lainnya adalah kebiasaan untuk menganggap bahwa kilat sebagai penyebab suara gemuruh. Selalu, setelah kita melihat kilat, telinga kita mendengar gemuruh. Maka disimpulkan bahwa kilat adalah sebab, dan gemuruh adalah akibat. Karena terus terjadi berulang-ulang dari zaman nenek-moyang, maka disimpulkan bahwa kilat menyebabkan gemuruh. Kesimpulan itu tentu saja keliru, karena kilat dan gemuruh terjadi bersamaan akibat persentuhan. Guruh muncul belakangan karena suara merambat di udara lebih lambat kecepatannya ketimbang cahaya (kilat). Di sini masalah ruang dan waktu sangat penting dalam penyimpulan hubungan sebab-akibat. Dan sebab itu, Hume menyangsikan hukum sebab-akibat karena seluruh peristiwa berdiri secara sendiri-sendiri. Dalam kasus kilat dan guruh ada tiga peristiwa yaitu kilat, gesekan muatan listrik, dan guruh. Ketiganya berdiri sendiri-sendiri, tidak bersifat kausalitas. Lalu, apa solusi Hume atas hal-hal ini?

Bagi Hume, ada suatu konsep yang dinamakan hubungan yang diperlukan (necessary connection). Dalam kasus bola biliar, manakala bola putih melakukan persentuhan dengan bola hitam, persentuhan tersebut dinamakan hubungan yang dibutuhkan. Dalam kasus kilat dan guruh, masalahnya bukan kilat dan guruh, melainkan pada persentuhan awan bermuatan positif dengan negatif. Hubungan yang dibutuhkan inilah konsep yang disumbangkan Hume untuk ilmu pengetahuan. Hume menginginkan kita untuk secara kritis dan empiris dalam melakukan pengamatan, dengan tidak semata-mata menyandarkan diri pada kebiasaan. 

Identitas Manusia

Dalam hal Identitas manusia, Hume berdalih bahwa tidak ada yang namanya ego. Ego adalah Ide Rumit, bukan Ide Sederhana. Seperti sudah disampaikan Hume, bahwa manusia tidak lain sekadar gulungan Persepsi. Ego dengan demikian tidak bersifat tetap melainkan selalu dalam kondisi berubah. ‘Saya’ yang kemarin, tidak sama dengan ‘saya’ hari ini. Atau, samakah ‘saya’ ketika kelas 2 SMP dengan ‘saya’ ketika tengah menempuh S1? Mungkin hanya namanya saja yang sama tetapi Persepsinya pasti berbeda.

Dengan demikian, menurut logika Hume, ego itu hadir seperti film yang kita tonton di bioskop. Film sesungguhnya terdiri atas ribuan atau jutaan foto yang terpisah satu sama lain. Foto yang satu berbeda dengan foto lainnya. Demikian pula ego dan sebab itu, Hume menentang pendapat Descartes tentang ego yang selalu tetap, tidak berubah. Sekadar mengulang, bahwa bagi Hume manusia tidak lain melainkan segulungan Persepsi. Ego dibatasi oleh ruang dan waktu. ‘Saya’ di sekolah berbeda dengan ‘saya’ di rumah. ‘Saya’ di sekolah harus masuk saat bel berbunyi, harus minta izin jika ingin ke toilet, dan banyak mendengarkan orang lain bicara. Sementara ‘saya’ di rumah lebih bebas, dapat tidur atau ke toilet tanpa terlebih dahulu meminta izin. Dengan demikian, bagi Hume, perasaan bahwa kita memiliki ego yang tetap adalah perasaan yang keliru. Ego tidak lain adalah Persepsi, yaitu Persepsi yang merupakan rangkaian panjang Kesan-kesan Sederhana, yang tidak pernah kita alami secara serempak.[32] Ego tidak lain dari seikat atau sekumpulan Persepsi yang berbeda-beda, yang kejar-mengejar satu sama lain dengan kecepatan tak terhitung, dan terus berubah dan bergerak.’[33] Manusia, sebab itu, tidak memiliki ‘jati diri’ karena ia selalu berubah, bergantung Persepsi yang diinternalisasikan untuk kemudian dihadirkan melalui pikiran. [sb]

DAFTAR KUTIPAN:

[1] Paul Kelly, “Hume” dalam David Boucher, ed., Political Thinkers from Plato to Present (Oxford & New York: Oxford University Press, 2005) p. 198
[2] Zuzana Parushnikova, David Hume, Sceptic (Switzerland: Springer, 2016) p. 27. 
[3] Ibid … , p. 27. 
[4] John Locke seperti dikutip Zuzana, p. 27. 
[5] David Hume dalam Claudia M. Schmidt, David Hume: Reason in History (Pennsylvania: The Pennsylvania University Press, 2003, p. 14
[6] Zuzana, p. 28. 
[7] Ibid, p. 28. 
[8] Claudia, p. 14. 
[9] James Fieser, David Hume (1711 – 1776) dalan Internet Encyclopedia of Philosophy and Its Author (University of Tennessee at Martin) dalam https://www.iep.utm.edu/hume/#H1
[10] Zuzana, p. 14. 
[11] Claudia, p. 15
[12] Ibid., p. 20.
[13] Ibid, p. 15. 
[14] Pendapat Hume ini mempengaruhi filosof selanjutnya, yaitu Schopenhauer dalam konsepnya tentang angst yaitu bahwa penggerak manusia bukanlah pikiran rasional melainkan kehendak.
[15] Ibid, p. 15. 
[16] Claudia, p. 16. 
[17] Zuzana, p. 21.
[18] Ibid, p. 21. 
[19] Ibid, p. 21. 
[20] Claudia, p. 26. 
[21] Zuzana, p. 29. 
[22] Claudia, p. 29. 
[23] Zuzana, p. 29.
[24] Zuzana, p. 30.
[25] Claudia, p. 16.
[26] Claudia, p. 20.
[27] Ibid, p. 20.
[28] Ibid, p. 22. 
[29] Ibid, p. 22. 
[30] Claudia, p. 24. 
[31] Ibid, p. 25. 
[32] Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (Bandung: Mizan, 2011) p. 425. 
[33] Ibid, p. 425. 

No comments:

Post a Comment