Latest News

Tuesday, February 4, 2020

Resensi Buku Filsafat Politik Obituari Perspektif Pemikiran dari Klasik sampai Modern


Pembaca, tiadalah Anda akan merugi tatkala mengaji buku Ahmad Chumaedy ini. Jika Anda pecinta kebijaksanaan, maka buku inilah kekasih Anda. Penulis selektif memilih, hanya Grand Master 'faylasuf,' yang ia muat testamennya. Mereka berasal dari dua masa, yang penulis sebut sebagai era Klasik ke Middle Ages dan Renesans ke Modern. Saya testimonikan kisah 'cinta' apa yang para 'faylasuf' kisahkan dalam setiap kurun sejarah itu, seperti termuat di buku ini.




Dari Klasik ke Middle Ages, Anda akan menikmati bagaimana kuatnya dimensi Pure Reason Plato dan gagasannya mengenai kekuatan Ide lebih superior ketimbang Inderawi, yang kini jadi instrumen para agamawan, kaum rasionalis dan eksistensialis (baik mereka itu zindiq maupun non-zindiq) di era individualisme milenial, hingga aneka rezim kerjasama Internasional. 

Dari Plato, penulis pindah ke kisah Aristoteles: 'the grandmaster of political realism,' biolog, klasifikator ulung atas segala sesuatu, inspirator para 'faylasuf' Muslim, sesepuh Biopolitik Neo-Darwinian, sekaligus sparring-partner kelas berat kaum feminis. 

Dari Aristoteles, penulis melakukan 'quantum-leap' menuju Cicero. Marcus Tullius Cicero, siapakah orang ini? Di sinilah nilai menarik buku Chumaedy ini. Cicero seorang moralis yang 'galau,' advokat yang pragmatis, dan ahli pidato. Hidupnya terbantu akibat menikahi perempuan 'darah biru.' Ia hidup saat Republik Romawi tengah bergulir menuju Kediktatoran Julius Caesar, yang kemudian dilanjutkan Oktavianus. Kisah Cicero ini bahkan sengaja dibuat triloginya oleh novelis-sejarawan-politikolog Inggris, Robert Harris dalam buku-buku Imperium, Konspirata, dan Diktator. Mengapa Cicero penting ? Karena Cicero manusia unik: Di satu sisi ia seorang moralis 'galau' dan punya idealisme Republikan, tapi di sisi lain terpaksa melakukan transaksi politik-akomodasionis saat menghadapi kelihaian para Machiavellian 'Il Principe' yang kemudian membangun Diktator-Triumvirat Romawi: Caesar-Crassus-Pompey, perpaduan mantap antar kekuatan politik-ekonomi-militer. Cicero dikepung tiga raksasa Romawi tersebut dan ... kalah. Lalu apa hasil pikirannya? Silakan telusuri saja buku Chumaedy ini. 

Lepas dari aneka 'faylasuf' sekuler, A. Chumaedy mulai melansir 'faylasuf' teodis. Santo Agustinus, membelah dunia jadi dua: Negara Tuhan dan Negara Diaboli (dalam Islam, Darul Islam vs Darul Harb). Tulisan Agustinus sarat dengan 'angst' (persis seperti dimaksud Schopenhauer) ajaran Kristus versi Paulus. Jadi jangan aneh, apabila nuansanya sedikit emosional dan agak fundamentalis. Secara cerdas, A. Chumaedy mengontraskannya dengan Santo Thomas Aquino (Aquinas) yang 'dingin' dan logis. Jika Agustinus banyak dipengaruhi Plato, maka Aquino oleh Aristoteles. Lewat Summa Theologia yang 9 jilid, Aquino menyuguhkan filsafat berspirit Katolikisme, tetapi 'paganis' dalam epistemologinya. Lho, kok bisa begitu? Silakan Anda telusuri dalam buku ini.

Dari Renesans ke Modern, kembali A. Chumaedy memuat para Grand Master. Niccolo Machiavelli, si orang Florence, manusia dualis, idealis-realis, dipuji-dicerca. Penggemar idealisme politik ia puaskan dengan Discourse on Livy. Namun, praktisi politik, silakan baca The Prince. Masih banyak buku Machiavelli lain, tentunya. Namun, dua itulah buku Machiavelli yang paradoks. Di sanalah kita bisa mengambil sintesis bahwa Machiavelli adalah manusia paradoksal. Mungkin di alam barzah, ia sedang santai berkipas dan menertawakan kelakuan konyol para politisi Indonesia, yang mencampuradukkan Discourse dan The Prince. Di alam barzah itu, ia tinggal di zona arbitrase, zona yang tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Ini sekadar joke, pemirsa, jangan terlalu serius. 

Setelah Machiavelli, Chumaedy melangkah pada Thomas Hobbes, the Englisman, yang hidup saat Inggris dalam kebobrokan politik yang luar biasa. Sebab itu, Hobbes memandang manusia sifatnya homo homini lupus, dan sebab itu masyarakat ada dalam kondisi bellum omnium contra omnes. Ujungnya, secara romantis ia merindukan 'seekor' Leviathan, monster laut berkepala 7 dalam Injil Wahyu, untuk memerintah Inggris. Bagaimana penjelasannya? Silakan telusuri buku ini. 

Lanjut kemudian ke pikiran 'the Englishman' lainnya: John Locke. Orang ini 'licin' dan pembela hak properti dan milik kaum aristokrat (jadi, rakyat biasa seperti saya tidak termasuk).  Bagi Locke, kuasa raja yang absolut membuat kalangan aristokrat dalam posisi bahaya. Sebab itu, kuasa raja harus dibagi: kuasa legislatif (wakil-wakil 'darah biru' yang susun undang-undang), kuasa eksekutif (raja laksanakan apa yang 'darah biru' inginkan), kuasa federatif berkenaan dengan daerah dan perang, yang bagi Locke, biarkan saja di tangan raja. Wah, bagaimana itu mungkin? Jawaban saya sama, segera telusuri buku ini. 

Dari 'the Englismen,' Chumaedy bergerak agak ke selatan Eropa. Di sini ia angkat 'the Frenchman': Montesquieu (baca: Monteskiu!). Pria Perancis yang bawel ini (Monteskiu) sekadar mengembangkan konsep Locke tentang pemisahan kekuasaan. Bedanya, ia bagi menjadi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Persis, di macam cabang kuasa dalam negara menurut Montesquieu inilah yang dipraktekkan di seluruh negara Demokrasi saat ini. Tenar dengan Trias Politika. Apa yang kemudian terjadi? Gagasan Montesquieu, manakala dilaksanakan, ternyata tidak sempurna (apa sih buatan manusia yang sempurna?). 

Muncul kritik dari Jean-Jacques Rousseau (baca: Zang Zaks Ruzzo), the Genevan. Apa pula kata si orang Jenewa ini? Segera rebut kuasa penyusunan undang-undang dari para wakil rakyat, kembalikan kuasa itu langsung pada rakyat! Ubah Demokrasi Perwakilan jadi Demokrasi Langsung yang partisipatoris. Wakil rakyat cuma membuat undang-undang 'seenak perutnya.' Kembalikan pada Kami, kata Rousseau. Rousseau juga bilang, Demokrasi cuma sistem pemerintahan yang cocok bagi para Dewa, bukan manusia. Mengapa demikian? Sekali lagi, jawaban akan Anda temukan dalam buku ini. 

Dari orang Jenewa, Chumaedy pindah ke Jerman: Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Murid intelektual Plato, peletak dasar Superioritas Ide dan Dialektika: Tesis, Antitesis, Sintesis. Secara metafisis, Hegel anggap ada Ruh Semesta (bukan Tuhan, lho) yang tengah menyempurnakan dirinya di dunia. Ruh semesta itu adalah Ide Absolut. Ide Absolut itu menjelma jadi Negara. Negara, sebab itu organisasi politik yang final, wujud Ide Absolut, the end of human civilization. Jangan coba-coba lawan negara, lho. Kok bisa begitu? Silakan baca buku ini deh

Terakhir, Chumaedy mengisahkan Moses Mordecai (nama tenarnya: Karl Marx), the Jew. Penggemar syair dan puisi kelam bernada satanis ini, murid intelektual Hegel dan Demokritus. Dari Hegel ia ambil Dialektika, dari Demokritus ia bangun Materialisme. Mordecai ini orang yang harus bertanggung jawab atas aneka kelakuan telengas Pol Pot dengan karyanya Gunung Tengkorak, paramiliter Cheka pasca Revolusi Bolshevik, sampai preman-preman Revolusi Budayanya Mao Tse-tung. Kenapa ia harus tanggung jawab? Karena Mordecai ini ciptakan Utopia yang seolang bernuansa agama, yang saat dipraktekkan, malah justru berujung pada Dystopia. Determinisme ekonominya sungguh timpang dan wajib dikritisi (kendati dikemas dalam bentuk sophisticated rationalism di Das Kapital, buku 'pesanan' yang ngga pernah selesai), Manifesto Komunisnya menyatakan "kalau perlu dengan kekerasan" sangat mengawang-awang dan saat dipraktekkan malah menciptakan Robespierre-Robespierre baru di aneka negara yang menerapkan Revolusi Komunis. Yang paling merisaukan saya, ia tidak mempraktekkan apa yang ia yakini ke dalam praktek kehidupannya sendiri. Ia bilang agama adalah candu, sehingga membuat orang bergegas meninggalkan agama. Namun, ia sendiri masih terus merapal Talmud, kitab 'suci' agama moyangnya. Bagi saya wajar saja, karena Mordecai ini sekadar boneka dari seorang 'pemikir lain.' Sayang, masih banyak pengikutnya yang 'taqlid buta' terhadap aneka teori Mordecai yang rata-rata absurd itu. Di buku ini, A. Chumaedy akan membuktikan asumsi ini.

Demikian yang bisa saya testimonikan dari buku bertajuk puitis Filsafat Politik: Obituari Perspektif Pemikiran dari Klasik sampai Modern karya Ahmad Chumaedy ini. Saran saya, beli dan bacalah. Anda akan menemukan fakta bahwa rumitnya filsafat sungguh dapat disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami. Mantap! [sb]

No comments:

Post a Comment