Latest News

Tuesday, February 4, 2020

Model Demokrasi Westminster atau Mayoritarian


Demokrasi Model Westminster atau Mayoritarian yang ditulis Lijphart adalah Demokrasi yang sehari-hari dijalankan di sebagian negara Demokrasi. Demokrasi sendiri adalah pemerintahan oleh rakyat, dengan diasumsikan rakyat tidak bisa langsung memerintah akibat sejumlah keterbatasan. Rakyat, di era moderen di mana negara memiliki penduduk dan wilayah luas, tidak bisa memerintah secara langsung. Rakyat harus memerintah secara tidak langsung melalui wakil-wakil mereka. Wakil-wakil ini dipilih secara bebas dan setara. Sebab itu, Demokrasi, dalam makna kekinian, adalah setara dengan Demokrasi Perwakilan. Pemerintahan yang dilakukan oleh para wakil yang dipilih rakyat secara bebas. 

Demokrasi juga berarti pemerintahan untuk rakyat. Jadi, pemerintahan yang terbentuk harus memiliki kecocokan dengan pilihan-pilihan rakyat. Sebab itu, pemerintahan yang dihasilkan melalui Demokrasi perwakilan harus responsif terhadap pilihan rakyat, kendati di alam kenyataan hal tersebut sulit terjadi. Demokrasi Model Westminster yang ditulis Lijphart tidak bicara tentang Demokrasi ideal, melainkan Demokrasi yang dipraktekkan sehari-hari atau seperti yang disebut Robert Dahl sebagai Poliarki. Poliarki ini untuk membedakan antara Demokrasi ideal dengan Demokrasi aktual. 

Demokrasi yang dibicarakan Lijphart tidaklah responsif secara maksimal dengan kemauan rakyat, melainkan sekadar relatif berkorespondensi dengan keinginan banyak warganegara di dalam suatu periode pemerintahan. [1] Bagi Robert Dahl, Demokrasi yang responsif secara lebih masuk akal, yaitu apabila ada 8 jaminan kelembagaan sebagai berikut: (1) kebebasan membentuk dan ikut serta dalam organisasi; (2) Kebebasan berekspresi; (3) Hak pilih; (4) Kemungkin dipilih ke dalam jabatan publik; (5) hak politik pimpinan politik untuk bersaing dalam memperoleh dukungan suara; (6) Sumber-sumber informasi alternatif; (7) Pemilu yang adil dan bebas; dan (8) Lembaga-lembaga pembuat kebijakan pemerintah bergantung pada suara dan pilihan ekspresi lainnya. [2]

Bagi Dahl, jaminan 1 sampai 6 masuk kategori hak kebebasan Demokratis yang bersifat klasik. Di dalam obyek penelitiannya, ke-6 jaminan ini secara merata terjadi. Jaminan 7 dan 8 memiliki derajat perbedaan di lapangan penelitiannya. Tulisan Lijphart ini fokus pada variasi lembaga formal dan informal, berikut prakteknya, yang digunakan untuk menerjemahkan pilihan warganegara ke dalam kebijakan publik. Dalam kasus ini, Lijphart membahas dua model Demokrasi yang secara kontrak memiliki perbedaan yaitu Model Westminster dan Moden Konsensus. Kedua model ini digunakan sebagai alat ukur untuk dilihat praktek lapangannya di 21 negara (jadi 22 karena Perancis diselidiki Republik ke-4 dan ke-5nya). Negara-negara tersebut mayoritas di Atlantik Utara ditambah dengan Jepang, Israel, Australia, Selandia Baru. Isi tulisan Lijphart berkisar pada kesalingterhubungan antara ciri Westminster dan Konsensus di setiap negara. [3] Artikel ini hanya akan membahas Demokrasi Model Westminster atau Mayoritarian saja. Demokrasi lainnya, yaitu Model Konsensus rencananya akan dibuat pada artikel terpisah menunggu sempatnya waktu. 

Sembilan Ciri Mayoritarian Model Westminster

Bagi Lijphart, esensi dari Model Westminster adalah pemerintahan mayoritas. [4] Dalam tulisan ini pula, Lijphart menggunakan istilah Westminster dan Mayoritarian secara bergantian dengan tetap mengacu pada entitas yang sama. [5] Model ini juga mengacu pada karakteristik utama dari parlemen Inggris Raya berikut lembaga pemerintahannya (Westminster adalah tempat pertemuan parlemen Inggris Raya, yaitu Istana Westminster di London). Model Inggris Raya ini paling mendekati model Mayoritarian. Model Westminster ini diekspor ke Kanada, Australia, Selandia Baru, dan koloni-koloni Inggris di Asia dan Afrika. 

Model Westminster memiliki 9 karakteristik berikut: (1) Konsentrasi kekuasaan eksekutif, yaitu satu partai pemerintah dan kabinet mayoritas nyata; (2) Fusi kekuasaan dan dominasi kabinet; (3) Bikameralisme asimetris; (4) Sistem dua partai; (5) Sistem kepartaian satu dimensi; (6) Sistem Pemilu pluralitas; (7) Pemerintahan sentral dan kesatuan; (8) Konstitusi tak terlulis dan kedaulatan parlemen; dan (9) Demokrasi perwakilan yang eksklusif. Pernjelasan dari ke-9 karakteristik model Westminster ada di dalam paragraf berikut. 

Pembahasan Ciri Pertama: Dalam model Westminster, terjadi konsentrasi kekuasaan eksekutif karena yang memegang kekuasaan adalah satu partai dan kabinetnya adalah terdiri atas mayoritas yang nyata. [6] Organ politik yang paling berkuasa di Inggris adalah kabinet. Kabinet terdiri atas anggota partai mayoritas di House of Commons. Minoritas tidak diikutsertakan ke dalam kabinet, sehingga sangat jarang terjadi kabinet koalisi. Inggris diwarnai oleh persaingan setara antara 2 partai, dan biasanya partai pemenang Pemilu merupakan mayoritas ‘tipis’ dan minoritasnya relatif ‘besar.’ Namun, dengan adanya kemayoritasan tersebut, kekuasaan partai pemenang pemilu relatif besar. Partai yang kalah Pemilu dipaksa untuk menjadi oposisi. 

Pembahasan Ciri Kedua: Walter Bagehot dalam bukunya The English Constitutio (1867) menulis “kesatuan yang dekat, fusi yang hampir komplet antara kuasa legislatif dan eksekutif” adalah penjelasan kunci atas efisiensi pemerintahan Inggris. Inggris memiliki sistem pemerintahan parlementer, yang artinya kabinet bergantung pada keyakinan Parlement. Kebalikannya adalah pemerintahan presidensial, di mana eksekutif tidak bisa dibubarkan oleh parlemen (legislatif). Secara teoretis, House of Commons (di Inggris) dapat membubarkan kabinet (eksekutif). House of Commons mengendalikan kabinet. Secara praktis, hubungan tersebut berkebalikan, karena kabinet berisikan pimpinan partai mayoritas yang kohesif di House of Commons, mereka (kabinet) yakin bahwa mereka akan tetap memegang jabatan dan proposal legislasi mereka disetujui. Sebab itu, kabinet lebih dominan ketimbang parlemen. [7]

Pembahasan Ciri Ketiga: Model Westminster mengandung konsep bikameralisme asimetris. Parlemen Inggris terdiri atas 2 kamar: House of Lords dan House of Commons. Anggota House of Commons dipilih melalui Pemilu, sementara anggota House of Lords terdiri atas kaum bangsawan turun-temurun. [8] Hubungan kedua kamar tersebut asimetris karena kuasa legislatif hanya dimiliki House of Commons saja. Satu-satunya kekuasaan yang dimiliki House of Lords adalah melakukan penundaan legislasi. Legislasi keuangan ditunda 1 bulan, dan legislasi lainnya 1 tahun. Sebab itu, dalam Westminter yang lebih murni, adalah bersifat unikameral, karena satu kamar didominasi oleh partai mayoritas dan kabinet mayoritas adalah manifestasi sempurta dari pemerintahan oleh mayoritas. Inggris semakin mendekat ke arah Unikameralisme ini. 

Pembahasan Ciri Keempat: Politik Inggris diwarnai oleh adanya 2 partai besar yaitu Partai Konservatif dan Partai Buruh. [9] Kendati begitu, ada pula partai lain, misalnya Partai Liberal, yang kerap ikut Pemilu dan mampu duduk di parlemen. Namun, Partai Liberal ini tidak pernah jadi mayoritas. Kursi House of Commons didominasi oleh 2 partai besar secara bergantian. Partai Buruh di Pemilu 1945 – 1951, 1964 – 1970, dan 1974 – 1979. Partai Konservatif berkuasa di Pemilu 1951 – 1964, 1970 – 1974, dan dari 1979 hingga saat ini (tulisan Lijphart dibuat tahun 1984). 

Pembahasan Ciri Kelima: Model Westminster dicirikan sistem kepartaian satu dimensi, karena isu utama dalam politik kepartaian Inggris adalah masalah sosial-ekonomi. [10] Spektrum politik Inggris bergerak dari kiri ke kanan. Partai Buruh mencerminkan spektrum kiri ke tengah, sementara Partai Konservatif dari kanan ke tengah. Spektrum ini merupakan refleksi atas pola suara warganegaranya. Pemilih dari kelas pekerja cenderung memiliki Partai Buruh, sementara kalangan kelas menengah cenderung memilih Partai Konservatif. Pola suara berdasarkan spektrum ini tercermin dalam House of Commons. Memang ada isu lain seperti agama (Protestan dan Katolik), etnis (Skot, Wales, Inggris), dan regional, tetapi tidak signifikan dalam membelah pemilih seperti isu sosial ekonomi. Sebab itu, Inggris disebut sebagai masyarakat yang cenderung homogen. 

Pembahasan Ciri Keenam: Model Mayoritarian Inggris terdiri atas 650 anggota House of Commons, yang dipilih berdasarkan satu orang wakil dari setiap distrik (pluratitas). Di Inggris sistem pemilihan semacam ini disebut first-past-the-post di mana kandidat dengan suara mayoritas, atau minoritas terbesar, memenangkan suara. [11]

Pembahasan Ciri Ketujuh: Model Westminster ditandai oleh peran pemerintah nasional (pusat) yang besar. [12] Pemerintahan lokal ada, tetapi mereka sekadar menjalankan kebijakan pemerintah pusat. Kuasa pemerintah lokal juga tidak memiliki jaminan di dalam konstitusi, seperti di negara Federal. Pemerintahan lokal Inggris bergantung secara keuangan terhadap pemerintah pusat. 

Pembahasan Ciri Kedelapan: Model Majoritarian Inggris tidak punya konstitusi tertulis, sementara parlemen berdaulat. [13] Inggris punya konstitusi ‘tidak tertulis.’ Penjelasannya adalah, tidak ada satu dokumen khusus yang berisikan rincian kuasa dan komposisi lembaga pemerintahan, juga hak-hak warganegara. Rincian ini tersebar di serangkaian hukum dasar (basic laws), kebiasaan, dan konvensi. Parlemen biasa patuh pada konstitusi ‘gaya’ ini, tetapi tidak secara formal mengantungkan dirinya ke sana. Aneka ‘konstitusi’ tersebut kerap diubah oleh Parlemen, layaknya undang-undang biasa. Pengadilan (yudikatif) tidak punya kuasa melalukan judicial review. Sebab itu parlemen memiliki kedaulatan tertinggi. Kedaulatan parlemen ini merupakan bahan baku penting dalam model Westminster, karena tidak ada batasan formal atas kekuasaan mayoritas di tubuh House of Commons. 

Pembahasan Ciri Kesembilan: Model Mayoritarian memiliki prinsip Demokrasi perwakilan yang eksklusif. Ini akibat kekuasan terkonsentrasi di House of Commons maka mereka bertindak selaku perwakilan rakyat yang paling berdaulat. Hampir tidak ada ruang untuk diadakannya referendum. Referendum adalah asing bagi praktek konstitusional Inggris, sebab kedaulatan parlemen tidak cocok dengan kedaulatan popular, maka Demokrasi Inggris adalah bentuk Demokrasi perwakilan yang eksklusif. [14]

Penyimpangan atas Model Westminster 

Lijphart menekankan bahwa model Westminster tidak lantas mendorong munculnya tirani mayoritas, kendati tidak atas batasan formal atas kuasa parlemen. [15] Lijphart menyebutkan bahwa ada kebiasaan informal yang cukup kuat dalam melakukan pembatasan kuasa mayoritas. [16] Hak dan kebebasan rakyat tidak dilanggar dan minoritas tidak disupresi. 

Di House of Commons minoritas diperlakukan secara terhormat dan juga menjadi kebiasaan, pimpinan oposisi diajak konsultasi oleh kabinet dalam hal sejumlah isu sensitif atau penting. Demokrasi Inggris, kendati mayoritarian, adalah toleran dan beradab. Namun, sejak tahun 1970 terdapat sejumlah penyimpangan yang dilakukan Inggris atas model Westminster. Penyimpangan tersebut dirangkum ke dalam 9 penyimpangan berikut:

1. Dalam hal Konsentrasi kekuasaan eksekutif, yaitu satu partai pemerintah dan kabinet mayoritas nyata. Kenyataannya, kabinet mayoritas satu partai hanya terjadi di 60% Pemilu dalam rentang 1918 – 1980. Pernah terjadi koalisi dua atau lebih partai di Pemilu 1918 hingga 1945. [17] Penyimpangan paling nyata terjadi dari tahun 1940 – 1945, yaitu dalam periode perang, di mana terjadi koalisi antara Partai Konservatif (mayoritas) dengan Partai Buruh dan Partai Liberal di bawah Winston Churchill (sebagai perdana menteri). [18] Juga, pernah terjadi kabinet berisikan 2 anggota Partai Buruh yang minoritas tahun 1970-an. Di dalam Pemilu 1974, Partai Buruh menang secara pluralitas tetapi tidak mencapai posisi mayoritas di House of Commons. Hal ini kembali terjadi di tahun 1977, kabinet minoritas Partai Buruh menegosiasikan pakta formal dengan 13 anggota Partai Liberal di House of Commons dalam rangka memperoleh mayoritas parlemen. Partai Liberal setuju mendukung kabinet dengan menukarnya dengan konsultasi proposal legislasi. Namun, tidak ada kaum Liberal yang masuk kabinet, dan fenomena ini disebut pakta Lab-Lib yang baru berakhir tahun 1978. 

2. Dalam hal fusi kekuasaan dan dominasi kabinet. Kepemimpinan kabinet yang kuat bergantung pada dukungan mayoritas di House of Commons dan kekohesivan partai mayoritas. [19] Saat salah satu dari dua kondisi ini tidak ada, kabinet kehilangan posisi dominannya. Sejak 1970 terjadi peningkatan jumlah kekalahan parlemen, baik dalam hal proposal legislasi yang diajukan kabinet mayoritas maupun minoritas. Setelah aneka kekalahan ini, sebuah aturan tidak tertulis disepakati, yaitu bahwa hanya suara eksplisit atas ‘tidak percaya’ dibutuhkan untuk membubarkan kabinet dan mengadakan Pemilu baru. James Callaghan, perdana menteri dan kabinet minoritas Partai Buruh adalah contoh dari jatuhnya kabinet akibat suara tidak percaya ini tahun 1979. [20]

3. Dalam hal Bikameralisme asimetris. Ada batas waktu 1 tahun kekuasaan House of Lords untuk menunda pemberlakuan undang-undang non keuangan diberlakukan tahun 1949. Namun, dalam periode 1911 hingga 1949, House of Lords bahkan melakukan penundaan tersebut selama 2 tahun. Bahkan, kerap terjadi di era lemahnya kekuasaan Partai Buruh di tahun 1970an. Ini mendorong sentimen di kalangan Partai Buruh untuk menghapuskan House of Lords dan mendorong berlakunya unikameralisme murni. [21] 

4. Dalam hal Sistem dua partai. Masa perang dunia adalah masa transisi di mana Partai Buruh digantikan oleh Partai Liberal sebagai satu dari 2 partai besar. Dalam Pemilu 1945, Partai Buruh dan Konservatif, secara total, memenangi 85% suara dan 92,5% kursi di House of Commons. Hegemoni dua partai ini semakin jelas di 7 Pemilu dari 1950 hingga 1970, yang apabila digabung, suara mereka minimal 87,5% dan penguasaan kursi parlemen 98%. Tren ini menurun sejak 1970, kendati kursi parlemen (secara bersama) total dikuasi 85%, tetapi suara dalam Pemilu hanya berkisar 75% di Pemilu 1974 dan 81% di Pemilu 1979. Pada sisi lain, Partai Liberal memperoleh 19% suara di Pemilu 1974 dan 14% di Pemilu 1979. Di tahun 1980an muncul Partai Sosial Demokrat, yang anggotanya banyak berasal dari pelarian Partai Buruh. Partai Sosial Demokrat ini berpotensi membayangi dua partai besar Inggris saat melakukan koalisi dengan Partai Liberal. [22]

5. Dalam hal Sistem kepartaian satu dimensi. Sejak tahun 1970, sulit untuk menganggap Inggris sebagai masyarakat homogen. Ini dalam konteks region non Inggris (Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara). [23] Tiga wilayah ini menunjukkan kecenderungan perbedaan perilaku pemilih, di mana kondisi multinasional menggejala. Faktor etnis menguat di Skotlandia, dengan indikasi Partai Nasional Skot beroleh 30% suara dan 11 kursi di House of Commons, hampir sebanyak kursi yang dimiliki Partai Liberal. Gejala serupa juga terjadi di Wales. Faktor agama juga masih mengentara, terutama posisi Protestan-Katolik di Irlandia Utara. [24] 

6. Dalam hal Sistem Pemilu pluralitas. Kendati hampir tidak ada perubahan dalam sistem Pemilu, ada kejadian menarik di tahun 1970. Saat itu, Partai Buruh memenangkan mayoritas parlemen (319 dari 635 kursi), tetapi hanya 39,3% total suara dalam Pemilu 1974. Di sisi lain, Partai Liberal memenangi 13 kursi parlemen dengan 18,6% suara Pemilu (hampir setengah suara Partai Buruh). [25] Partai Liberal terkesan siap untuk memperkenalkan sistem proporsional, tetapi dua partai besar (Konservatif dan Buruh) tetap mempertahankan pluralitas. Namun, dalam konteks Irlandia Utara, sistem proporsional diberlakukan pasca meletusnya konflik Protestan-Katolik, dan perselisihan dalam tubuh Partai Konservatif di awal 1970an. Kabinet Partai Buruh meneruskan kebijakan ini. Dengan demikian, secara keseluruhan Inggris tidak didominasi oleh sistem Pemilu pluralitas saja. [26] 

7. Dalam hal Pemerintahan sentral dan kesatuan. Inggris memang dapat disebut menganut sistem negara kesatuan yang terpusat. Namun, ada dua pengecualian. [27] Pertama, Irlandia Utara diperintah oleh parlemennya sendiri sejak 1921 (sejak Irlandia lepas dari Inggris), di samping kabinetnya punya derajat otonomi yang lebih tinggi ketimbang kabinet federal negara federasi. Ini terus terjadi hingga 1972, dengan pemberlakuan pemerintahan langsung dari Inggris. Kedua, pengecualian gerakan gradual untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di Skotlandia dan Wales. [28] 

8. Dalam hal Konstitusi tak tertulis dan kedaulatan parlemen. Masuknya Inggris ke dalam Komunitas Ekonomi Eropa, lembaga supranasional, pada tahun 1973 menyebabkan ia harus mengadopsi lembaga dan hukum Komunitas Eropa sebagai otoritas yang lebih tinggi ketimbang parlemen nasionalnya, di dalam sejumlah area kebijakan. [29] Sebab itu, parlemen Inggris tidak lagi bisa disebut sebagai berdaulat penuh. Komunitas Eropa juga memperkenalkan hak potensial judicial review baik untuk Pengadilan Komunitas maupun pengadilan Inggris. [30] 

9. Dalam hal Demokrasi perwakilan yang eksklusif. Tahun 1975 terjadi referendum mengenai apakah Inggris akan bergabung ke dalam Komunitas Eropa. [31] Ini merupakan referendum pertama kali yang dilakukan Inggris. 

Inggris, seperti juga negara Demokrasi lainnya, tidak semata-mata menyandarkan mandatnya dari pemilih saja. [32] Terdapat sejumlah kelompok terorganisir yang mencari pengaruh. Kelompok ini bertindak layaknya pengimbang bagi kekuasaan pemerintah dan partai-partai politik. Di Inggris juga berkembang apa yang disebut sebagai corporate pluralist, yaitu kondisi di mana kelompok kepentingan besar di bidang ekonomi terlibat dalam pembuatan keputusan. Contohnya adalah, manakala Partai Konservatif berkuasa, kelompok pekerja tambang dapat mengalahkan dominasi partai tersebut dan menuntut diadakannya Pemilu ulang. [33]

Model Westminster di Selandia Baru

Model Westminster Inggris juga diterapkan di Austalia, Kanada, dan Selandia Baru. Namun, Kanada dan Australia adalah negara Federasi. Sementara Selandia Baru sama dengan Inggris, menganut pemerintahan negara Kesatuan. 

1. Konsentrasi kekuasaan eksekutif, yaitu satu partai pemerintah dan kabinet mayoritas nyata. Selandia Baru juga memiliki kabinet masa perang, dari 1915 sampai 1919 dan 1931 – 1935. [34] Sejak 1935, Selandia Baru didominasi oleh dua partai besar yaitu Partai Buruh dan Partai Nasional. Sejak 1935 pula, kabinet adalah kabinet satu partai, kendati di parlemen kemayoritasan ini tidak paralel. Jumlah kursi yang dimenangkan partai mayoritas biasanya antara 50 – 60%, dan sejak 1938 tidak pernah lebih dari 2/3 jumlah kursi di parlemen. [35]

2. Fusi kekuasaan dan dominasi kabinet. Selandia Baru adalah contoh sempurna dari model Westminster di luar Inggris. Kabinetnya bergantung pada kepercayaan parlemen. Namun, terdapat suatu fenomena kekinian bahwa disiplin kaku sistem dua partai berkontribusi atas konsentrasi kekuasaan di dalam kabinet, yang dibentuk dari anggota parlemen yang merupakan partai mayoritas. [36]

3. Unikameralisme. Selandia Baru memiliki dua kamar, yaitu upper house dan lower house. Upper house anggotanya ditunjuk sementara lower house anggotanya dipilih lewat Pemilu. Lambat laun, upper house ini kehilangan kekuasaannya. Tahun 1950 upper house dihapuskan dan Selandia Baru menerapkan unikameral secara murni. 

4. Sistem kepartaian. Sejak 1935, hanya dua partai besar Selandia Baru yang memegang kekuasaan. Partai Buruh tahun 1935 – 49, 1957 – 160, dan 1972 – 175. Partai Nasional tahun 1949 – 57, 1960 – 72, dan sejak 1975. Sejak masa pasca perang, hanya satu partai lain yang mampu menduduki kursi parlemen, yaitu Partai Kredit Sosial tahun 1966 dan 1978 (satu kursi) dan 1981 (dua kursi). [37]

5. Sistem kepartaian satu dimensi. Perpecahan etnis antara kulit putih dan Maori membuat sulit untuk menganggap Selandia Baru sebagai masyarakat homogen. Namun, jumlah Maori cukup kecil sehingga populasi keseluruhan cukup homogen. Sebab itu, isu-isu partai politik berkisar pada masalah sosial-ekonomi, ketimbang etnis. Partai Buruh mereprentasikan spektrum kiri ke tengah, sementara Partai Nasional merepresentasikan spektrum kanan ke tengah. [38]

6. Sistem Pemilu pluralitas. Parlemen unikameral Selandia Baru dipilih berdasarkan metode pluralitas dengan single member district. [39] Namun, ada 4 distrik khusus yang luasnya, secara geografis melampaui distrik lain yang lebih kecil, dan diperuntukkan bagi Maori. 

7. Pemerintahan sentral dan kesatuan. Inggris memberikan hak Konstitusi Representatif kepada Selandia Baru tahun 1852. Selandia Baru dibagi menjadi 6 provinsi dengan sejumlah kekuasaan dan fungsi relatif otonom terhadap pemerintah pusat. [40] Namun, sejak 1975 keenam provinsi tersebut dihapuskan dan pemerintahan Selandia Baru didasarkan atas kesatuan dan tersentralisasi. [41]

8. Konstitusi tak terlulis dan kedaulatan parlemen. Seperti halnya Inggris, Selandia Baru tidak memiliki satu dokumen tertulis mengenai konstitusinya. [42] Konstitusi ‘tak tertulis’ Selandia Baru terdiri atas Constitution Act 1952 dan undang-undang mendasar lain, aneka konvensi dan kebiasaan. Parlemen Selandia Baru adalah berdaulat, sama halnya dengan Inggris.

9. Demokrasi perwakilan yang eksklusif. Kendati Demokrasi Selandia Baru sifatnya perwakilan, tetapi ada sejumlah fakta Demokrasi langsung (referendum). [43] Referendum ini berkenaan dengan perizinan minuman keras, tahun 1949 ada referendum tentang wajib militer, dan tahun 1967 tentang masa jabatan parlemen 3 tahun ataukah 4 tahun. [44]

Demokrasi Selandia Baru jelas Mayoritarian dan contoh cukup serupa dengan Inggris. Selandia Baru hanya memiliki dua pengecualian (dari Inggris) yaitu disediakannya kursi parlemen untuk minoritas Maori dan frekuensi referendum yang cukup sering. [45] [sb]

------------------------------------------

Disclaimer:
Artikel ini adalah rangkuman yang didasarkan atas buku Arend Lijphart.

Sumber Kutipan:

[1]Arend Lijphard, Democracies: Patterns of Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Century (New Haven and London: Yale University Press, 1984)
[2] Lijphart, p. 2.
[3] Lijphart, p. 3.
[4] Lijphart, p. 4.
[5] Lijphart, p. 5. 
[6] Lijphart, p. 6. 
[7] Lijphart, p. 7. 
[8] Lijphart, p. 7. 
[9] Lijphart, p. 7. 
[10] Lijphart, p. 8. 
[11] Lijphart, p. 8. 
[12] Lijphart, p. 8. 
[13] Lijphart, p. 9. 
[14] Lijphart, p. 9. 
[15] Lijphart, p. 9-10. 
[16] Lijphart, p. 10. 
[17] Lijphart, p. 10. 
[18] Lijphart, p. 11.
[19] Lijphart, p. 11.
[20] Lijphart, p. 12. 
[21] Lijphart, p. 12.
[22] Lijphart, p. 13. 
[23] Lijphart, p. 13. 
[24] Lijphart, p. 13-14. 
[25] Lijphart, p. 14. 
[26] Lijphart, p. 14. 
[27] Lijphart, p. 14. 
[28] Lijphart, p. 14. 
[29] Lijphart, p. 15. 
[30] Lijphart, p. 15. 
[31] Lijphart, p. 15. 
[32] Lijphart, p. 16. 
[33] Lijphart, p. 16. 
[34] Lijphart, p. 16. 
[35] Lijphart, p. 17.
[36] Lijphart, p. 17. 
[37] Lijphart, p. 17. 
[38] Lijphart, p. 18. 
[39] Lijphart, p. 18. 
[40] Lijphart, p. 18. 
[41] Lijphart, p. 19. 
[42] Lijphart, p. 19. 
[43] Lijphart, p. 19. 
[44] Lijphart, p. 19. 
[45] Lijphart, p. 19.

No comments:

Post a Comment