Latest News

Friday, February 28, 2020

Teori Negara Kesejahteraan dan Kritiknya

Negara Kesejahteraan atau Welfare State adalah upaya ideologi Liberalisme untuk bertahan hidup. Bagi William Ebenstein, konsep kesejahteraan secara alami telah melekat pada konsep negara.[1] Apapun bentuk negaranya, pasti ada kehendak kuat bahwa kesejahteraan dapat dicapat lewat instrumentalitas dari organisasinya, pemerintah.[1] Ebenstein menyatakan, kendati disangkal oleh teoretisi pendukung laissez-faire, masalah kesejahteraan ini bahkan sudah dibahas oleh Bapak laissez-faire, Adam Smith tahun 1776, dalam The Wealth of Nations. Bagi Ebenstein, The Wealth of Nations mengindikasikan konsep ekonomi laissez-faire yang kuat tetapi tidak dogmatis, sebab bagi Smith, catat Ebenstein, upaya menumpuk kesejahteraan adalah tujuan hakiki eksistensi manusia.

Fundasi Konsep Negara Kesejahteraan

Bagi Adam Smith, menurut Ebenstein, tugas utama negara ada empat. Pertama, menjamin kebebasan rakyatnya terhadap agresi asing dan perbudakan, kendati untuk itu harus melakukan pengorbanan finansial yang signifikan. Kedua, melindungi setiap anggota masyarakat terhadap ketidakadilan dan opresi yang dilakukan satu anggota terhadap anggota lainnya. Ketiga, mengadakan dan memelihara berbagai lembaga dan pekerjaan publik, yang diyakini memberi kebaikan bagi masyarakat sebagai keseluruhan, tanpa ada satu atau sekelompok individu yang mengambil keuntungan daripadanya.[2] Bagi Smith, lanjut Ebenstein, negara tidak hanya bertanggung jawab untuk menyediakan aneka infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, ataupun kanan, tetapi juga harus memperhatikan pendidikan rakyat dan sejumlah aspek kesehatan publik. Keempat, kendati menolak intervensi merusak negara terhadap mekanisme harga, negara harus meregulasi harga roti dalam rangka melindungi rakyat terhadap eksploitasi yang tidak adil atas mereka.[3]

Utilitas adalah konsep kunci yang menghubungkan antara analisis dengan kebijakan ekonomi. Dalam konsep Utilitas, tidak ada suatu lembaga ataupun kebijakan yang selamanya terus bersifat valid, karena ia menjadi relatif manakala diperhadapkan dengan kebahagiaan manusia. Awalnya, para ekonom Klasik seperti Adam Smith, John Stuart Mill, dan Jeremy Bentham, menyatakan laissez-faire sebagai konsep ekonomi yang paling dekat dengan kebahagiaan manusia.Namun, ketiganya tidak dogmatik dalam memandang Utilitas laissez-faire berkenaan dengan pencapaian kebahagiaan manusia. Ebenstein mencatat, baik Bentham maupun Mill menunjukkan perubahan cara pandang manakala Industrialisme berkembang. Bahkan, pandangan keduanya semakin dekat dengan konsep welfare state abad ke-20. Bentham dan Mill tetap memposisikan kebahagiaan sebagai tujuan negara, laissez-faire atau lainnya, sekadar cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.

Ebenstein menguraikan tiga kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan pemikiran para ekonom Liberal Klasik, dari laissez-faire menuju welfare state. Pertama, kekuatan yang bersifat ekonomi. Di abad ke-18 atau awal abad ke-19, kegiatan ekonomi bertumpu pada pertanian, perdagangan, dan perusahaan skala kecil. Kegiatan ini utamanya dikendalikan oleh sebuah keluarga. Sebab itu, mereka menolak intervensi negara ke dalam kegiatan ekonomi mereka. Warganegara di masa ini relatif mandiri dalam mengurus kebutuhan dan urusan bisnis mereka, dan situasi ekonomi saat itu memang memungkinkan. Namun, begitu ditemukan teknologi mesin uap yang kemudian disusul berdirinya aneka pabrik skala menengah dan besar, kondisi ekonomi berubah. Muncul korporasi-korporasi bisnis di mana warganegara semakin bergantung kepadanya. 

Industrialisasi berakibat munculnya fenomena interaksi dari tiga hal: Kekuatan impersonal dari siklus bisnis, investasi, dan kebijakan fiskal pemerintah. Ketiganya amat menentukan apakah warganegara yang kini menjadi ketergantungan, untuk tetap memiliki atau kehilangan pekerjaannya. Juga, pada berapa besaran income yang mereka peroleh. Keputusan ini bukan lagi berada di tangan individu melainkan pada interaksi rumit dari tiga fenomena tadi. Efek yang paling terasa bagi warganegara adalah dalam situasi terjadinya wabah penyakit massal, yaitu manakala asosiasi karitatif sukarela tidak lagi dapat menanggulanginya. Kini, tinggallah negara sebagai satu-satunya instrumen tempat mereka menyandarkan problemnya. Dalam cara pandang ini welfare state diterima sebagai wujud pengakuan kaum Liberal Klasik atas fakta Kapitalisme telah mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa lalu. Warganegara di era Kapitalisme lebih banyak merupakan orang upahan ketimbang berswadaya ekonomi. Sebab itu, warganegara di era Kapitalisme sangat bergantung pada kekuatan ekonomi di luar diri mereka sendiri, dan kekuatan ini bersifat impersonal: Tidak jelas lagi siapa yang dituju. Pada sisi lain, Kapitalisme bersifat egoistik karena individu yang kuat secara ekonomi cenderung memikirkan kepentingannya sendiri: Profit. 

Kedua, kekuatan yang mendorong transisi pemikiran dari laissez-faire menuju welfare state adalah politik.[4] Hak pilih yang semakin luas di abad ke-20 mendorong munculnya kesadaran pada diri warganegara bahwa mereka punya kapasitas lain di luar sekadar memilih para wakil rakyat dan pemerintahan yang nantinya akan dibentuk. Kapasitas lain tersebut adalah kesadaran akan kemampuan diri mereka untuk mengubah kondisi ekonomi dan sosialnya lewat suara yang mereka berikan. 

Pada saat awal, warganegara semata hanya memilih wakil mereka dan setelah itu mempercayakan proses pengambilan kebijakan padanya. Seiring perjalanan waktu, warganegara sadar bahwa suara mereka juga merupakan instrumen kekuasaan politik yang sifatnya individual. Kini mereka memanfaatkan kegiatan Pemilu berdasarkan kebutuhan aktual mereka. Mayoritas Pemilih yang menderita kondisi kemiskinan dan aneka kekurangan dalam hidupnya, mengarahkan pilihan politik mereka hanya pada calon wakil rakyat atau presiden yang dianggap akan memberi jalan keluar atas kesulitan mereka. Siapapun wakil rakyat atau presiden yang mampu memberi harapan atas jalan keluar tersebut yang punya kesempatan menang Pemilu ketimbang yang tidak. Kepentingan warganegara semacam ini mendorong partai-partai di Amerika dan Inggris cenderung memiliki kesamaan isu dan kebijakan: Aneka partai politik memprioritaskan komitmennya atas welfare state

Ketiga, kekuatan yang mendorong transisi pemikiran dari laissez-faire menuju welfare state adalah psikologis.[5] Warganegara tidak lagi menganggap penderitaan dan kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak diubah. Warganegara menyadari hak-hak mereka untuk mengalami kebahagiaan hidup di dunia, bukan sekadar di akhirat. Kebahagiaan tadi juga bukan semata harus bersifat kejiwaan, merupakan juga harus terwujud secara material, dan keduanya harus terjadi saat ini juga dalam masa hidup mereka. Warganegara juga telah sadar bahwa pengetahuan yang mereka kuasai, dan penguasaan mereka atas alam, punya kekuatan potensial guna mengenyahkan kemiskinan dari muka bumi. Sebelum Revolusi Industri, kemiskinan kerap dipandang sebagai nasib, tetapi setelah Revolusi Industri kemiskinan dianggap akibat masalah struktural dalam masyarakat dan sebab itu dapat dihabisi hingga akar-akarnya. 

Bagi Ebenstein, prinsip utama welfare state cukup sederhana. Pertama, pengakuan bahwa setiap anggota masyarakat berhak menikmati standar hidup minimal. Kedua, welfare state punya komitmen atas kebijakan ekonomi yang berorientasi progres dan stabilitas, yang berupaya meniadakan kemungkinan krisis ekonomi untuk terjadi di masyarakat, manakala perusahaan-perusahaan swasta tidak bisa menanganinya. Ketiga, welfare state berkomitmen penuh pada penyediaan lapangan kerja sebagai prioritas kebijakannya. Depresi ekonomi tahun 1930-an menunjukkan gagalnya laissez-faire dalam menjinakkan Kapitalisme yang berujung pada pengangguran massal dan menurunnya daya beli masyarakat. 

Namun, welfare state tidak lantas dipersamakan dengan Sosialisme-Komunisme. Dalam welfare state inisiatif-inisiatif perusahaan dan bisnis privat justru diperkuat.[6] Penguatan ini tampak pada perhatian negara atas sektor pajak, tingkat suku bunga, kebijakan fiskal, insentif investasi, proyek padat karya (public works), dan kredit pemerintah. Di sektor sosial, welfare state memberikan perlindungan atas warganegara miskin, jompo, dan sakit.

Pandangan Roosenvelt atas Welfare State dalam The Philosophy of the New Deal 

Di Amerika Serikat, welfare state menemukan momentumnya dalam Depresi Besar tahun 1930-an. Depresi ini diawali crash pada Wall Street Oktober 1929 dan mencapai puncaknya tahun 1932. Peristiwa ini mendorong munculnya ketidakpercayaan pada tradisi ekonomi laissez-faire untuk mengatasinya. Alternatifnya, muncul dorongan untuk melibatkan intervensi pemerintah dalam mengatasi krisis dan membuat serangkaian kebijakan preventif atasnya.

Serangkaian kebijakan ini dikenal sebagai New Deal, yang diawali pada tahun pertama pemerintahan Franklin D. Roosenvelt.[7] Ebenstein menulis, sesungguhnya apa yang diberlakukan Roosenvelt bukan hal baru dalam sejarah Amerika sebab sebelumnya sudah dikenal konsep good life dalam tradisi Amerika. Hanya saja, awalnya konsep ini menyandarkan diri pada aspek relijiusitas manakala imigran dari Inggris dan Eropa datang ke benua Amerika. Di Amerika mereka membentuk commonwealth atau koloni-koloni yang ingin memastikan terciptanya kesejahteraan bersama. Saat di Amerika ini, mereka menemukan bahwa sumberdaya yang ada di tanahnya begitu melimpah. Sejak itulah, konsep good life yang awalnya berkonteks relijius berubah menjadi material.[8]

Namun, konsep good life ini masih kabur akibat lebih berbobot psikologis ketimbang tercermin dalam kebijakan negara. Baru kemudian saat Amerika dalam proses pendirian, terdapat upaya membakukan konsep good life ke dalam konstitusi. Maka terdapatlah premis-premis perdagangan, tarif, mata uang, dan isu ekonomi lainnya selain tentunya pembentukan republik rakyat dalam konstitusi Amerika. Misalnya, tahun 1791 Alexander Hamilton mengajukan Report on Manufactures yang isinya proposal bahwa sebaiknya perkembangan industri [privat] Amerika dibantu oleh negara.[9] Juga, Thomas Jefferson dan Andrew Jackson mengajukan gagasan dan kebijakan untuk menyesuaikan perkembangan ekonomi Amerika dengan perkembangan bangsa Amerika ke dalam konstitusi.

Setelah Perang Saudara, efek Revolusi Industri, berbarengan dengan ekonomi laissez-faire, menyebar dan memunculkan aneka masalah baru. Ini mendorong terbentuknya organ-organ di level pemerintah Federal yang tujuannya meregulasi bisnis demi melindungi kepentingan publik, seperti misalnya Interstate Commerce Commission dan the Federal Trade Commission. Juga muncul aneka protes dari warganegara yang mempermasalahkan masalah monopoli ekonomi oleh perusahaan besar. Kini rakyat Amerika sudah membuka mata bahwa laissez-faire semata tidak akan bisa menangani daya rusak yang inheren di dalam perilaku Kapitalisme yang tak terkendali. 

Ebenstein menulis, apabila New Deal diperbandingkan dengan aneka kebijakan yang dibuat di masa pra Roosenvelt (administrasi Hoover), maka kebijakan welfare state ini terkesan radikal bahkan agak revolusioner.[10] Namun, apabila New Deal diperbandingan dengan kebijakan eliminasi atas aneka trust di era Theodore Roosenvelt atau New Freedom yang dikampanyekan Woodrow Wilson, New Deal cukup 'jinak' dan cenderung tradisional. Ini akibat welfare state dalam New Deal hanya bersifat pragmatis, bukan perencanaan yang disusun secara teoretis, sehingga kebijakan Roosenvelt ini hanya berlaku kasuistik (mengatasi depresi ekonomi), tidak holistik dalam pengertian bisa diterapkan begitu saja di negara-negara lain. 

Apa sebenarnya yang dimaksud welfare state di dalam New Deal Roosenvelt? Dalam pidatonya, New Deal yang dijanjikan Roosevelt meliputi peningkatan ketersediaan lapangan kerja, dukungan atas harga komoditas pertanian, penciptaan pasar pegadaian, mempersingkat hari dan minggu kerja, meregulasi keamanan, memulihkan perdagangan internasional, penghijauan pedesaan, dan mengulangi aneka aturan pembatasan. Pada akhir dekade 1930an, New Deal merambah asuransi sosial bagi kaum jompo, penganggur, dan cacat, manajemen irigasi, dukungan atas serikat buruh, asuransi deposito, dan penguatan Federal Reserve System. [11] Namun, New Deal tidaklah mengakhiri Great Depression melainkan ”industries needed to make guns for World War II made that happen.”[12] Maknanya, kebergairahan ekonomi baru lantas terjadi bukan akibat New Deal melainkan peningkatan produksi (juga pelibatan tenaga kerja ke dalamnya) ke dalam industri Perang Dunia II. Sungguh memiriskan hati.

Kondisi paling jelas yang melingkupi munculnya New Deal adalah, kegelisahan publik atas ketidakmampuan Hoover dan kaum Republikan dalam mengatasi Depresi ekonomi. Roosenvelt dianggap membawa angin segar dan diasumsikan akan mampu mengatasi sejumlah persoalan ekonomi mendasar. Roosenvelt, dalam kampanye kepresidennya, menekankan harus adanya intervensi negara dalam mengatasi Depresi ekonomi. Roosenvelt juga mengingatkan bahwa intervensi negara sudah ada, bahkan sebelum Depresi terjadi. Misalnya, dalam hal perdagangan, praktisi bisnis Amerika meminta negara melidungi mereka lewat kebijakan tarif, untuk mengatasi persaingan dengan pengusaha dari negara asing. Namun, aneka proteksi yang diminta tersebut bersifat eksklusif, akibat hanya diajukan oleh sekelompok pengusaha. Bagaimana dengan warganegara lainnya yang jumlahnya lebih banyak?

Roosenvelt menyatakan ‘setiap kelompok mencari proteksi pemerintah hanya untuk kepentingan khusus mereka saja, tanpa sadar bahwa sesungguhnya fungsi pemerintah bukan sekadar itu, melainkan memproteksi hak-hak kemerdekaan dan properti pribadi seluruh warganegara.[13] Roosenvelt gelisah atas kenyataan dikuasainya sektor ekonomi oleh sejumlah kecil perusahaan besar.[14] Menurut Roosenvelt, seperti dicatat Ebenstein, terdapat 600 korporasi yang mengendalikan 2/3 industri Amerika, sementara 10 juta bisnis kecil hanya menguasai sisanya. Ketidakseimbangan ini, bagi Roosenvelt, mendorong Amerika harus menilai ulang nilai-nilainya (laissez-faire, yang dipertahankan Hoover). Bagi Roosenvelt, adalah penting melakukan penyesuaian antara produksi dengan konsumsi dan juga pendistribusian ‘kemakmuran dan hasil produksi secara lebih setara.’ Roosenvelt menyatakan “the day of the great promoter or the financial Titan, to whom we granted anything …. is over.”[15]

Apa yang dikehendaki Roosenvelt dengan New Dealnya? Roosenvelt menyatakan tugas rakyat Amerika bukan lagi menemukan dan mengeksploitasi sumber daya alam ataupun memproduksi barang lagi, karena rakyat Amerika secara tradisional sudah melakukannya. Jadi, yang tersisa adalah tugas pemerintah Amerika untuk “mengadministrasikan aneka sumber daya dan pabrik yang sudah ada, mencari cara bagaimana membuka pasar bagi surplus produksi, menyelesaikan masalah rendahnya konsumsi, menyesuaikan tingkat produksi dengan konsumsi, mendistribusikan kemakmuran dan komoditas secara lebih setara, dan mengadaptasi aneka organisasi ekonomi yang sudah ada demi melayani publik.”[16] Inilah sejumlah kebijakan pragmatis Roosenvelt yang dikenal sebagai New Deal

Korporasi besar harus tunduk pada konstitusi Amerika, dan mereka harus melakukan rekonsiliasi dengan kepentingan masyarakat Amerika sebagai keseluruhan. Untuk mengejawantahkannya, diperlukan penciptaan deklarasi hak-hak ekonomi, yang berisikan pengaturan ekonomi secara konstitusional. Deklarasi ini harus disusun bersama oleh pemerintah dan kalangan bisnis. Fokusnya adalah, setiap warganegara tidak hanya berhak untuk hidup melainkan juga berhak untuk hidup secara nyaman.[17] Namun, Roosenvelt tetaplah seorang Liberal, dengan menyatakan bahwa pemerintah seharusnya mengatur kegiatan ekonomi hanya sebagai upaya terakhir, yaitu manakala inisiatif-inisiatif swasta gagal melakukannya. Pemerintah hanya berperan selaku penyeimbang, bukan pemain ekonomi.

Saat Roosenvelt menjadi presiden tahun 1933, sekitar 25% pekerja menganggur dan 50 juta lainnya menderita kemiskinan.[18] Di akhir bulan pertama pemerintahannya, ia mendirikan Civilian Conservation Corps (CCC). CCC bertujuan menyediakan lapangan kerja untuk para pemuda rincian pekerjaan menanam pohon (jutaan pohon), membangun track di hutan dan perkemahan, mengendalikan nyamuk, dan memadamkan kebakaran hutan. Program CCC berhasil menarik 300 ribu pekerja dan 2,5 juta lainnya ikut berpartisipasi dalam salah satu program New Deal ini.

Wujud dari program New Deal lainnya adalah Federal Emergency Relief Administration (FERA), yang dipimpin Harry Hopkins.[19] Tujuan didirikannya FERA adalah mencegah penderitaan fisik dan mempertahankan standar kehidupan. Dalam hitungan jam, organ ini telah menggelontorkan dana lebih dari 5 juta Dollar AS. Tugas utamanya adalah memberi makan mereka yang lapar secara cepat. FERA memberikan dana berupa grant pada yang membutuhkan, juga mendanai proyek-proyek publik, baik di lingkup negara bagian maupun pemerintahan lokal. Di akhir masa kerjanya, tahun 1935, FERA telah menggelontorkan dana sekitar 4 Milyar Dollar AS, dan sebagian besar adalah dana Federal. FERA dinilai mampu menyelamatkan keluarga Amerika dari kelaparan. 

Program New Deal lainnya adalah pendirian Agricultural Adjusment Act (AAA). Program ini ditujukan kepada para petani dengan pertimbangan 40% populasi Amerika hidup di rural area. Persoalannya adalah sederhana yaitu petani terlalu banyak memproduksi hasil pertanian sehingga mengakibatkan jatuhnya harga.[20] Strategi dasar dari AAA adalah meningkatkan harga dengan mengurangi tingkat produksi. Namun, strategi ini membutuhkan partisipasi dari para petani itu sendiri dalam hal merancang kuota produksi dan mengendalikan produksi bagi setiap komoditas. Program ini ternyata lebih menguntungkan para petani besar yang duduk di komite-komite lokal. AAA kurang berhasil karena dibentuk bersamaan dengan wabah kelaparan juga tengah melanda Amerika akibat Depresi ekonomi sehingga produksi dialokasikan untuk mengatasi hal tersebut. Namun, selain AAA terdapat pula program New Deal lainnya yaitu Commodity Credit Corporation. Dalam program ini, petani yang meminjam boleh mengembalikan apabila harga jual komoditas seperti kapas dan jagung telah berada di atas ambang batas yang ditentukan.[21]

Di bidang industri, keluar program National Industrial Recovery Act (NIRA). NIRA bertujuan kembali menciptakan kelangkaan ekonomi demi melakukan stabilisasi industri. Masalah yang dihadapi NIRA adalah terlalu banyaknya persaingan sehingga mendorong harga turun, yang diikuti penurunan pekerjaan dan upah. Pemecahannya adalah pengaturan monopoli. Pebisnis akan diproteksi dari pemberlakuan hukum anti-trust di tiap industri apabila mereka sepakat melakukan kompetisi secara adil berupa pengaturan harga, upah, dan kuota produksi.[22] Singkatnya, pebisnis menghindari overproduksi dan kebangkrutan sehingga mempertahankan tingkat ketersediaan pekerjaan.

Pandangan Hoover atas Welfare State dalam “The Welfare State – Road to Collectivism

Kampanye Partai Demokrat, saaat mengajukan Roosenvelt sebagai presiden, banyak menyerang inkumben: Presiden Herbert Hoover. Ia menjadi sasaran empuk karena di masa Hoover memerintah (1929 – 1933) inilah Depresi ekonomi terjadi tahun 1929 dan berpuncak pada 1932. Hoover banyak dicerca akibat terus menyatakan bahwa New Deal merupakan penyimpangan berbahaya atas tradisi kebebasan Amerika.[23]

Hoover menyasar bahwa New Deal cenderung akan berujung pada sentralisasi pemerintahan akibat semakin banyaknya birokrasi di dalam negara.[24] Dalam pidatonya saat memperingati ultahnya yang ke-76 tanggal 10 Agustus 1949 di Universitas Stanford, Hoover menyatakan telah terjadi (akibat New Deal) ekspansi besar atas pengeluaran pemerintah Federal. Hoover menyatakan, 30 tahun lalu (sekitar tahun 1924), beban biaya birokrasi Federal per tahunnya, cuma mengambil charge sebesar 200 Dollar per keluarga, tetapi di saat ia pidato, beban itu sudah meningkat menjadi 1300 Dollar per keluarga.[25] Hoover memprediksi jumlah tersebut akan meningkat jadi 1900 Dollar apabila proposal yang diajukan pemerintah (tahun 1954) disetujui Kongres. Hoover juga mengkritik birokrasi yang semakin gemuk akibat penerapan welfare state. Hoover menyatakan, perbandingan jumlah pegawai negeri 147 tahun yang lalu hanya 1 banding 120 per populasi. Dua puluh lima tahun yang lalu perbandingannya adalah 40 per populasi. Saat welfare state berlaku, perbandingannya adalah 22 per populasi.[26] Dengan demikian terjadi peningkatan jumlah birokrat yang harus dibayar oleh pendapatan negara.

Hoover juga mengkritik welfare state telah membuat warganegara semakin bergantung pada pemerintah. Menurutnya, 25 tahun lalu proporsi warganegara yang menerima uang secara langsung dari pemerintah adalah 1 banding 40 populasi penduduk. Profesi penerima tersebut meliputi birokrat, tentara, pelaut, pensiunan, orang-orang yang berhak mendapat subsidi dan pekerja kontrak yang bekerja secara eksklusif untuk pemerintah.[27] Proporsi ini meningkat menjadi 1 berbanding 7 populasi penduduk atau sekitar satu setengah kali lipat jumlah pemilih dalam sebuah Pemilu di masa Hoover hidup.

Masalah lain yang dikritisi Hoover atas welfare state di Amerika adalah ‘penyitaan’ tabungan warganegara. Menurut Hoover, pemerintah nasional dan lokal telah menyedot 75 hingga 85 persen tabungan rakyat. Dari jumlah ini, sebagian kecil warganegara benar-benar melakukan proses menabung secara aktual, tetapi sebagian besarnya terpaksa ‘menabung’ ke dalam bentuk pembayaran aneka pajak. Akibatnya, sebagian besar warganegara ini harus menurunkan standar hidupnya demi membayar aneka pajak tersebut. Secara hakiki, tabungan adalah penggerak ekonomi rakyat, ia digunakan untuk memberi rumah, peternakan, dan asuransi. Saat seorang warganegara ingin membeli rumah, dan ia tidak lagi punya tabungan aktual karena telah disetorkan kepada negara dalam bentuk pembayaran pajak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, warganegara terpaksa ‘meminjam’ uang kepada negara, di mana uang tersebut pun sudah dipinjamkan kepada aneka bank. Tidak seperti tabungan aktual, warganegara harus mengembalikan ‘tabungannya sendiri’ kepada bank berikut rentenya. Jadilah negara, menurut Hoover, sumber modal dan kredit dalam sistem ekonomi welfare state.[28]

Kritik lain yang dilontarkan Hoover atas welfare state adalah proposal pemerintah untuk meningkatkan jumlah hutang. Hutang ini akan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Peningkatan jumlah hutang antarwaktu akan berakibat pada terjadinya inflasi.[29] Selain itu, meningkatnya permintaan pajak mendorong warganegara menurunkan standar kehidupannya, hingga di bawah batas yang bisa diterima. Bagi Hoover, sangat mudah pemerintah bicara ‘tingkatkan pajak perusahaan.’ Apakah yang kemudian terjadi? Bagi Hoover, Korporasi akan membebankan biaya pajak yang ditarik pemerintah tersebut pada para konsumen: Setiap keluarga Amerika.[30]

Hoover mencurigai peran sejumlah pressure-group dalam mendirikan rezim welfare state. Menurut Hoover, kritik atas aneka implementasi kebijakan welfare state Amerika harus dialamatkan pada mereka ini, bukan pada administrasi negara ataupun Legislator. Pressure-group ini juga berasal dari sekelompok kecil warganegara. Namun, mereka membayar orang untuk melakukan lobi-lobi politik di Washington, guna memaksakan klaim mereka atas administrasi negara maupun Legislasi. Legislator yang maju di setiap Pemilu dapat dipaksa untuk kalah oleh pressure-group ini. Juga, para birokrat dipaksa berpikir menurut cara pandang kelompok ini ketimbang menurut cara pandang rakyat yang mereka wakili.[31]

Hoover juga melihat bahwa di dalam welfare state, semakin besar ketergantungan warganegara Amerika kepada negaranya, baik langsung maupun tidak langsung.[32] Ini merupakan isu serius hubungan negara dan warganegara dalam tradisi Liberal Amerika. Bagi Hoover, ancaman nyata Amerika bukan hadirnya ratusan ribu anasir Komunis di dalam negeri, melainkan pada para petualang dan simpatisan mereka, yang merekayasa munculnya kompromi antara orang bebas (tradisi Liberal Amerika) dengan infeksi penyakit dari Eropa (welfare state).[33] Kendati mayoritas rakyat Amerika menentang Kolektivisme, tetapi kecenderungan aktual berupa tingginya pengeluaran pemerintah dan pajak menunjukkan terjadinya proses berangsur ke arah Kolektivisme ekonomi Amerika. Welfare state sebab itu didefinisikan Hoover sebagai penyamaran negara kolektivis (Sosialis) lewat jalur pengeluaran anggaran.[34]

Pandangan Roscoe Pound terhadap Welfare State dalam “The Welfare State and Constituonal Government

Penolakan lain atas welfare state ditunjukkan oleh Roscoe Pound, ahli hukum yang juga pengajar di Universitas Harvard. Kendati dalam sikapnya awalnya mengenai welfare state ia termasuk kategori reformis dan Liberal, tetapi setelah melihat dampak dari welfare state, Pound mengambil sikap Konservatif. Pound tidak mau menyebut welfare state melainkan service state.

Fokus kritik Pound adalah pada aspek konstitusional welfare state. Bagi Pound, di era rumitnya masyarakat industri, negara tidak bisa hanya membatasi perannya hanya pada masalah penegakkan hukum dan ketertiban, tetapi harus merambah bidang lain di mana inisiatif publik dan perusahaan swasta tidak bisa melakukannya. Titik kritik Pound adalah bahwa layanan publik hanya bisa dilakukan pemerintah di dalam konsep welfare state. Juga tidak adanya batasan yang diatur secara konstitusional mengenai sejauh mana dan seperti apa pelayanan publik yang boleh diselenggarakan pemerintah. Ini akan mendorong administrator (birokrat) bertindak layaknya Superman, Mahakuasa dan Mahatahu, dalam masalah kesejahteraan publik.

Pound melanjutkan, negara pelayan yang super ini akan menciptakan birokrasi besar dan menjelma ke dalam bentuk negara Totaliter. Bagi Pound, ada tendensi welfare state mereduksi makna kemerdekaan warganegara hanya dari kemiskinan dan ketakutan saja. Namun, welfare state mengabaikan kebebasan lain yang juga dijamin konstitusi seperti self-assertion dan self-determination.[35] Korosi atas konsep kebebasan tradisional oleh welfare state adalah awal diinjak-injaknya konsepsi Amerika mengenai bill of right, khususnya manakala rasa takut atas opresi pemerintah digantikan oleh ketergantungan atas negara paternalistik yang baik hati (benevolent paternalistic state). Bagi Pound, welfare state terlalu banyak mengobral janji, dan mereka menciptakan bill of rights baru yang sifatnya melambungkan harapan politik yang bersifat kosong, sementara secara ekonomi aktual tidaklah mungkin tercapai (utopis). Kondisi ini akan melemahkan kepercayaan Amerika atas konstitusinya sendiri dan berujung pada masuknya negara ini ke dalam Totalitarianisme akibat warganegara terjebak ke dalam harapan kosong kesejahteraan dan akibat ketidaksabarannya, mempercayakan tindakan-tindakan mereka kepada anasir pembela kekuasaan absolut mengambil alih pemerintahan negara.

Pound juga mengkritik bahwa service state telah mengambil alih segala fungsi pelayanan publik melalui birokrasi mereka. Negara dapat melakukan pengambilalihan ini akibat adanya empat kondisi. Pertama, birokrasi memiliki kewenangan luas dan sedikit restriksi praktis atas kewenangan tersebut. Kedua, melalui posisi pemerintahan yang semakin membesar seiring meningkatnya populasi penduduk. Ketiga, melalui propaganda sistematis yang dilakukan para Birokrat. Keempat, melalui sistem subsidi bagi dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, dan riset. Keempat cara pengambilalihan layanan publik oleh service state ini, bagi Pound, mendorong pada terjadinya prakondisi bagi terciptanya pemerintahan absolut, kendati tetap di bawah slogan Demokrasi.[36]

Pound melansir adanya pendapat dari para pendukung ekstrim service state, bahwa Demokrasi Konstitusional memiliki kontradiksi di dalam peristilahannya sendiri. Bagi mereka, Demokrasi haruslah berwujud pemerintahan mayoritas yang tidak dibatasi: Mayoritas harus menjadi penguasa absolut. Padahal pada kenyataannya, menurut Pound, service state yang diselenggarakan negara atas nama Demokrasi sesungguhnya sekadar melayani tuntuan sejumlah kelompok agresif yang memiliki kekuatan di tengah masyarakat. Di sinilah bahaya munculnya Totalitarianisme dalam welfare state karena wakil-wakil kelompok ini dapat saja naik ke singgasana kekuasaan dan memaksakan pemerintahan absolut manakala sudah berkuasa.[37]

Sama seperti Hoover, bagi Pound yang terjadi di dalam service state adalah layanan mahal untuk satu pihak atas biaya pihak lain, yang kemudian dianggap sebagai layanan publik.[38] Pound melihat bahwa pembebanan ini sesungguhnya diinisiasi oleh suatu kelompok agresif yang sengaja mengupayakan suatu legislasi welfare state agar mereka dapat ditempatkan selaku eksekutornya. Kelompok ini secara serampangan mengidentifikasi dirinya dengan publik. Dengan demikian, Pound semakin menguatkan anjurannya bahwa konsepsi layanan publik perlu secara hati-hati didefinisikan dan dibatasi, agar negara tidak masuk ke dalam absolutisme mayoritas atau pluralitas dominan.

Pandangan A.C. Pigou terhadap Welfare State dalam “Economic Aspects of Welfare State 

Aspek ekonomi dari welfare state juga disorot oleh A. C. Pigou.[39] Menurut Ebenstein, ia dapat disejajarkan dengan John Maynard Keynes, dan termasuk ekonom Inggris cemerlang abad ke-20. Ia menuliskan pikirannya mengenai welfare state di dalam Economics Welfare yang terbit tahun 1920. Di tulisan lainnya, Socialism versus Capitalism yang terbit tahun 1937, Pigou bicara tentang keterampilan ekonomi, yang lepas dari nilai etis dan tujuan politik. Di dalam karya lainnya, Some Aspects of the Welfare State (1954), Pigou memberi perhatian atas dimensi ekonomi dari welfare state. Pigou menyatakan bahwa negara yang menerapkan welfare state tidak lantas pula dapat disebut Demokratis. Bagi Pigou, rezim Peron di Argentina dan Hitler di Jerman juga mempromosikan welfare state akibat dukungan mereka atas kaum miskin. Kedua rezim ini tidak Demokratis dalam prosedur dan substansinya.

Analisis Pigou bersifat teknis bidang ekonomi. Ia menempatkan welfare state dalam konteks ekonomi, bahwa operasi dari pemberlakuan konsep ini di dalam implementasi kebijakan tidak bisa dijawab sekadar oleh pernyataan ‘ya’ atau ‘tidak.’[40] Welfare state bukan ditujukan atas masalah ekonomi secara umum melainkan harus dipandang sebagai kebijakan yang diterapkan di area khusus. Misalnya, jika ditanya perlukah ada pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan kolektif warganegara di bidang angkatan bersenjata, politik, pengadilan, mesin pemerintah (birokrasi), dan pemeliharaan gedung pemerintahan, maka dapat dijawab cukup cepat. Namun, manakala kebijakan pemerintah menyasar kebutuhan individual warganegara seperti dimaksud welfare state, maka warganegara terlebih dahulu harus tahu betul apa sesungguhnya yang ia inginkan dan bagaimana cara memenuhinya. Akibat welfare state sangat mengandalkan transfer kesejahteraan dari yang makmur kepada yang miskin maka ia akan mendorong terciptanya kesimpulan di benak publik bahwa kemiskinan adalah akibat adanya orang kaya.[41] Pandangan seperti ini lebih dominan di Inggris ketimbang Amerika, tetapi menurut Ebenstein perspektif kini menjadi lumrah di setiap negara industri.

Sebanyak apa properti yang harus diredistribusi welfare state dalam memenuhi syarat hidup minimal setiap warganegara? Pigou menjawab tidak bisa dipastikan, sebab akan dianggap terlalu besar di satu saat, atau sebaliknya, terlalu kecil di saat lain. Bagi Pigou, tidak ada politisi ataupun ekonom mampu memastikan. Bagi Ebenstein, Pigou menganggap sudah terjadi peralihan kecenderungan yang dulunya negara hanya membantu warganegara yang mengalami kesulitan ekstrim saja, sekarang (di dalam welfare state) negara tidak perlu menunggu situasi ekstrim terjadi: Bantuan selalu diberikan. Pigou melihat bahaya apabila kaum kaya terus-menerus dipajaki. Kaum ini akan berkurang kemampuannya melakukan saving (tabungan), berinvestasi, dan melakukan kegiatan produksi. Cadangan dana yang potensial (di tangan kaum makmur) lama kelamaan menipis dan membuat inisiatif usaha mereka meredup. 

Sama seperti yang sudah diungkap oleh Herbert Hoover, Pigou juga memberikan argumentasi bahwa dalam welfare state warganegara mengalihkan tugas mereka untuk menabung kepada negara. Tabungan tersebut untuk berjaga-jaga apabila mereka (warganegara) sewaktu-waktu melarat, menjadi jompo, atau meninggal dunia. ‘Tabungan’ ini dipaksakan oleh negara ke dalam bentuk aneka pajak yang ditarik dari warganegara. Apabila warganegara dapat terus-menerus menabung secara swakelola, welfare state mungkin tidak lagi dibutuhkan. Namun, rata-rata warganegara menganggap lebih mudah membayar pajak yang tinggi ini, baik tiap bulan atau tahun, sehingga memastikan jaminan sosialnya terbayarkan ketimbang menabungnya ke dalam akun personal. Pigou menganggap tata cara ‘menabung’ melalui negara ini tidak salah. Namun, inilah yang perlu diketahui setiap warganegara, bahwa jaminan sosial yang mereka peroleh dalam welfare state sesungguhnya pajak yang mereka bayarkan sendiri. Dengan demikian, bukan transfer properti dari si kaya kepada si miskin, mengingat kelompok lower-income pun dipaksa untuk membayar pajak semacam ini. 

Pigou menganalisis, setelah tiga dekade welfare state diberlakukan baik oleh kalangan Republik maupun Demokrat, ekonomi Amerika lebih sehat, standar hidup meningkat, produktivitas meningkat, usia hidup lebih panjang dan meningkat kualitasnya, dan terdapat kesetaraan ekonomi di antara aneka kelompok penghasilan. Singkatnya, kondisi kehidupan warganegara Amerika lebih baik ketimbang di masa lampau.[42] Welfare state pun mampu menurunkan tensi politik antara kaum Republikan dan Demokrat, sementara kaum revolusioner semakin kehilangan daya tariknya di mata warganegara. 

Pigou juga melihat sisi positif welfare state lainnya yaitu ekonomi Amerika lebih dinamis, bergerak, dan berinisiatif ketimbang mengalami pelemahan atau stagnasi. Welfare state telah memperkuat Demokrasi dengan memberi penguatan atas jaminan keamanan sosial, penghargaan atas diri sendiri, dan kemerdekaan warganegara. Hanya dua negara di dunia yaitu Amerika dan Inggris, menurut Pigou, di mana Komunisme kehilangan daya tariknya untuk hadir. Ini akibat tidak adanya basis untuk munculnya kebencian antarkelas karena welfare state telah memoderasinya. [sb]

DAFTAR KUTIPAN :

[1] William Ebenstein, Great Political Thinkers (New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1960) pp. 808.., p. 808. 
[2] Ibid.
[3] Ibid, p. 809.
[4] Ibid, p. 810.
[5] Ibid., p. 811.
[6] Ibid., p. 812. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid., p. 813. 
[9] Ibid. 
[10] Ibid., p. 814. 
[11] Eric Rauchway, The Great Depression & the New Deal: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2008) p. 1.
[12] Ibid., p. 5. 
[13] William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 814. 
[14] Ibid., p. 815. 
[15] Roosenvelt dalam Ibid, p. 824.
[16] Ibid, p. 824. 
[17] Ibid, p. 815. 
[18] M. J. Heale, Franklin D. Roosevelt: The New Deal and War (London: Routledge, 1999) p. 18.
[19] Ibid., p. 19.
[20] Ibid.
[21] Ibid. p. 20.
[22] Ibid., p. 21.
[23] William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 815. 
[24] Tulisan Hoover ini adalah pidato ulang tahunnya yang ke-76 di Universitas Standford.
[25] Herbert Hoover, dalam ibid., p. 827.
[26] Ibid, p .827.
[27] Ibid., p. 827 – 8.
[28] Ibid., p. 828.
[29] Hoover dalam William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 828.
[30] Hoover dalam ibid., p. 829.
[31] ibid, p. 830.
[32] Ibid, p. 816.
[33] Ibid., p. 816.
[34] Ibid.
[35] Ibid, p. 817.
[36] Roscoe Pound dalam William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 834. 
[37] Ibid., p. 835. 
[38] Ibid.
[39] William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 817. 
[40] Ibid.
[41] Ibid., p. 818. 
[42] Ibid, p. 819.

No comments:

Post a Comment