Latest News

Sunday, March 1, 2020

Studi Kasus menurut Jennifer Rowley

Rowley menyebut Studi Kasus sebagai strategi penelitian. [1] Studi Kasus banyak digunakan oleh para mahasiswa dan peneliti newbie yang proyek risetnya cukup sederhana, yaitu di tempat kerja mereka ataupun membandingkan sejumlah organisasi secara terbatas.

Tantangan Studi Kasus, bagi Rowley, adalah mengatrol investigasi dari sekadar fokus pada 'what happens' menjadi sebuah penelitian yang cukup berharga, sehingga dapat menambah pengetahuan. Tulisan Rowley ini didasarkan atas karya-karya Yin, Hamel et.al., Eaton, Gomm, Perry, dan Saunders et.al. Namun, Rowley sendiri berupaya menyuling aspek-aspek kunci dari Studi Kasus agar para peneliti newbie bisa memanfaatkannya sebagai prinsip kunci dalam pendekatan riset mereka. Sebab itu, tulisan Rowley ini berkisar pada: kapan Studi Kasus bisa digunakan, bagaimana desain risetnya, bagaimana pengumpulan datanya, bagaimana analisis datanya, dan bagaimana menuliskan aneka bukti yang dihasilkan ke dalam suatu laporan ataupun disertasi. 

Kapan Studi Kasus Digunakan 

Bagi Rowley, Studi Kasus kerap dianggap metode atau strategi penelitian yang secara tradisional dinilai kurang ketat dan obyektif. Ini apabila ia diperbandingan dengan metode-metode riset sosial lainnya. Namun, Studi Kasus justru banyak digunakan sebab ia menawarkan cara pandang yang tidak bisa dicapai lewat pendekatan lain. Studi Kasus kerap dilihat sebagai suatu metode yang bermanfaat manakala hendak dilakukan studi pendahuluan, tahapan eksploratif atas sebuah proyek penelitian, sebagai dasar dari pembangunan instrumen penelitian yang “lebih terstruktur” dan penting dalam mengkonduksi survey ataupun eksperimen di penelitian-penelitian selanjutnya.

Mengenai definisi Studi Kasus, Rowley mengutip Eisenhardt, “ ... secara khusus cocok bagi area penelitian baru atau area penelitian di mana teori yang ada dinilai sudah tidak lagi mencukupi. Jenis karya ini (Studi Kasus) sangat komplementer dengan pembangunan teori secara inkremental dari penelitian riset umumnya. Studi Kasus bermanfaat di awal tahapan penelitian atas suatu topik atau di saat cara pandang baru yang lebih segar dibutuhkan, sementara yang belakangan (penelitian ilmiah biasa) bermanfaat dalam tahap lanjutan dari pengembangan pengetahuan.” Menurut Rowley, Studi Kasus bermanfaat dalam menjawab pertanyaan how dan why. Peran Studi Kasus adalah pada penelitian eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif. 

Tahap pertama dalam penentuan Studi Kasus adalah apakah ia akan berguna dalam jenis penyelidikan tertentu. [2] Ada 3 (tiga) faktor yang menentukan metodologi penelitian terbaik: (1) jenis pertanyaan yang hendak dijawab; (2) perluasan kendali atas aneka perilaku; dan (3) derajat fokus pada fenomena kontempore saat dilawankan dengan fenomena historis. Jenis pertanyaan penting yang diajukan dalam Studi Kasus adalah who, what, dan where yang bisa diselidiki lewat dokumen, analisis arsip, survey, dan wawancara. Studi Kasus adalah satu pendekatan yang mendukung kedalaman dan investigasi yang lebih rinci dalam menjawab pertanyaan ‘apa’ dan ‘mengapa.’

Rowley menyebut, Studi Kasus juga baik untuk menginvestigasi aneka fenomena aktual dengan mana aneka perilaku yang relevan tidak bisa dimanipulasi. Umumnya, Studi Kasus menggunakan buki dari berbagai sumber berbeda: dokumen, artifak, wawancara dan observasi, dan ini melampaui apa yang biasanya tersedia dalam penelitian historis. Dengan demikian, seraya mengutip Yin, Rowley menyimpulkan bahwa Studi Kasus bermanfaat tatkala “suatu pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ tengah ditanyakan tentang seperangkat peristiwa kontemporer di mana si peneliti hanya punya sedikit atau tidak memiliki kendali. Rowley membuat tabel sederhana bagaimana suatu strategi penelitian dipilih berdasarkan pertanyaan penelitiannya:


Kembali ke masalah definisi Studi Kasus.[3] Dengan mengutip Yin, Rowley mendefinisikan Studi Kasus sebagai “inkuiri empiris yang menginvestigasi fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata, terutama manakala batasan antara fenomena dan konteks tidak begitu jelas.” Kekuatan Studi Kasus adalah kemampuannya melakukan investigasi atas suatu fenomena dalam konteksnya sendiri. Ia tidak butuh replikasi fenomena nyata untuk dipindahkan ke dalam laboratorium seperti dalam penelitian eksperimental. Rowley mengingatkan, jangan kacaukan Studi Kasus dengan Studi Etnografi dan paradigma riset Kualitatif lainnya. Data dalam penelitian Studi Kasus dapat didasarkan atas campuran Kuantitatif dan Kualitatif. Data dalam Studi Kasus dapat bersumberkan atas dokumen, wawancara, observasi. Sebagai tambahan, Studi Kasus dapat terdiri atas kasus single ataupun multipel. 

Desain Riset

Rowley menyebut desain riset kerap dianggap suatu misteri bagi para peneliti newbie. Penjelasan desain riset Rowley atas Studi Kasus menggunakan pendekatan positivistik dan deduktif. Sebab itu, ia perlu menentukan pertanyaan dan proposisi sebagai arahan dalam pengambilan data. Hal ini kontras dengan dengan Grounded Theory atau pendekatan induktif, dengan mana pertanyaan, pemahaman, proposisi, dan gambaran muncul dari pengambilan data. Rowley berpijak pada pendapat bahwa pendekatan Positivistik menyediakan fundasi yang lebih kuat untuk pemahaman dan menangani masalah seperti validitas dan reliabilitas, serta dalam hal melakukan strukturasi atas pengambilan data dan analisisnya. 

Apa itu desain riset? Bagi Rowley, desain riset adalah nalar yang menghubungkan antara data yang akan dikumpulkan dan kesimpulan yang hendak diambil atas pertanyaan penelitian sebelumnya; Ia harus memastikan terjadinya koherensi. Cara lain Desain Riset juga merupakan rencana aksi dari pertanyaan hingga kesimpulan penelitian. Sebab itu, dalam Studi Kasus hal yang harus dicapai adalah serupa, dan sebab itu harus melibatkan penentuan komponen dasar investigasi seperti pertanyaan penelitian dan proposisi, agaimana validitas dan reliabilitas dapat diterapkan, dan semilihan desain Studi Kasus. 

Rowley menyusun desain penelitian menjadi 5 (lima) tahap, yaitu: [4] (1) Pertanyaan penelitian; (2) proposisi penelitian; (3) unit analisis; (4) nalar yang menghubungkan antara data dengan proposisi; dan (5) kriteria dalam menafsirkan hasil temuan. 

Pertama, pertanyaan penelitian harus dibuat sejelas mungkin. Aneka teori sehubungan topik Studi Kasus dapat dijadikan bahan membuat pertanyaan penelitian. Kedua, studi-studi deskriptif dan ekplanatif perlu proposisi. Pertanyaaan penelitian perlu diterjemahkan ke dalam proposisi. Peneliti harus membuat spekulasi, atas dalasar literaratur dan aneka bukti yang ada terlebih dahulu sebagaimana apa yang mereka harapkan untuk ditemukan di dalam penelitian. Pengumpulan data dan analisis lalu bisa distrukturasi dalam rangka mendukung atau menolak proposisi penelitian. Ketiga, unit analisis adalah basis (dasar) bagi Studi Kasus. Ia bisa berupa individu (seperti pimpinan bisnis atau seseorang yang punya pengalaman merarik), atau peristiwa (seperti keputusan, program, proses impelementasi atau perubahan organisasi), atau organisasi ataupun tim ataupun departemen di dalam organisasi. Kadang sulit mengidentifiksi batasan dari uni analisis. Isu sentralnya adalah bahwa Studi Kasus wajib hanya mempertanyakan unit analisis, dan sub-sub unitnya; sumber-sumber bukti dan bukti yang diperoleh ditentukan oleh batasan yang menentukan unit analisis tersebut. Keempat, karena pilihan atas unit analisis atau kasus adalah penting, maka pilihan kasus harus ditentukan oleh tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, proposisi penelitian, dan konteks teoretis. Namun, juga ada batasan lain yang berdampak atas pilihan kasus. Ini termasuk aksesibilias (apakah data yang dibutuhkan dapat diperoleh dari kasus individu atau organisassi), sumberdaya (apakah sumber daya tersedia untuk mendukung perjalanan dan pengumpulan data serta biaya analisis), dan waktu yang tersedia (jika waktu terbatas, lebih mudah menganalisis bisnis skala kecil keimbang bisnis skala besar atau untu mengidentifikasi unit analisis di dalam organisasi skala berskala besar ketimbang organisasi sebagai keseluruhannya. Kelima, penting untuk menentukan data mana yang penting dalam rangka mendukung ataupun memusnahkan proposisi, dan untuk merefleksikan kriteria penafsiran temuan penelitian.

Generalisasi, Validitas, dan Reliabilitas 

Generalisasi Studi Kasus bermanfaat dalam melaukan kontribusi atas teori, dan ini hanya dapat terjdi jika desain Studi Kasus secara mencukupi menggunakan teori. [5] Dalam Studi Kasus, generalisasi dilakukan bukan secara statistik melainkan secara analisits. Teori terdahulu digunakan sebagai template untuk kemudian diperbandingkan dengan temuan Studi Kasus. Morley menyebut ada 4 (empat) tes yang perlu diadakan untuk menguji kualitas riset empiris, yaitu: (1) Validitas Konstruk; (2) Validitas Internal; (3) Validitas Eksternal; dan Reliabilitas.

Sama seperti Bhattarjee, Rowley mempermasalahkan single-case dan multiple-case dalam desain Studi Kasus. Desain single-case mirip dengan sigle experiment. Multiple-case didesain untuk membangun atau menolak suatu teori. Studi Kasus juga bisa dibedakan ke dalam studi yang sifatnya holistik ataupun embedded. Holistik adalah Studi Kasus yang menguji kasus sebagai satu unit, fokus pada aneka isu yang luas seperti budaya atau strategi organisasi. Embedded adalah Studi Kasus yang didesain untuk mengidentifiksasi jumlah sub—sub unit (seperti pertemuan, peran, atau lokasi) yang setiapnya dijelajahi secara individual. 

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam Studi Kasus bergantung pada kompetensi peneliti. Penelitian adalah agen aktif dalam melakukan penafsiran atas data yang terkumpul. Sebab itu, peneliti harus cerdas dalam melancarkan pertanyaan wawancara, mendengarkan, dan menginterpretasikan jawaban. Morley menawarkan protokol pengumpulan data dalam Studi Kasus yaitu: (1) Tinjauan atas proyek Studi Kasus; (2) prosedur-prosedur lapangan; (3) pertanyaan penelitian atau pertanyaan yang harus dicamkan peneliti dalam pengumpulan data. [6] 

Pengumpulan Bukti

Bagi Morley, Studi Kasus memperoleh data dari aneka sumber.[7] Termasuk ke dalamnya adalah dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipatoris, dan artifak fisik. Persoalannya adalah, bagaimana peneliti harus menyikapi seluruh sumber data yang berlimpah ini? Morley menawarkan 3 cara yaitu: (1) Triangulasi, dengan mana bukti-bukti dapat dikumpulkan dari aneka sumber, kemudian triangulasi dilakukan dengan misi hanya bukti yang menguatkan saja yang dimanfaatkan; (2) Database Studi Kasus, tetap penting untuk dipelihara kendati disertasi sudah selesai, yaitu berupa catatan, memo, dokumen yang diperoleh selama periode penelitian, transkrip wawancara; dan (3) Rantai Bukti, yaitu bahwa laporan penelitian seharusnya punya bagian yang jelas seputar pengutipan dokumen dan wawancara.

Analisis Bukti Studi Kasus

Strategi analisis data dalam Studi Kasus adalah menggunakan proposisi penelitian yang merangkum tujuan dari penelitian dan yang telah turut menentukan pengumpulan data. [8] Dari proposisi inilah semua bukti disuling, dicari mana yang mendukung ataupun menolak proposisi yang sudah diajukan sebelumnya. Secara umum, tidak ada sesuatu yang baku dalam menganalisis aneka bukti yang diperoleh dalam Studi Kasus, tetapi Morley menyebutkan 4 (empat) hal yaitu: (1) analisis hanya mengambil bukti yang relevan; (2) analisis mempertimbangkan semua penafsiran rival yang utama, dan menjelajahi setiapnya; dan (4) analisis seharusnya ditujukan pada aspek paling signifikan dari Studi Kasus. 

Menulis Laporan Studi Kasus

Menurut Morley, menulis laporan Studi Kasus bisa merupakan suatu hal yang menakutkan. Di sinilah peneliti harus menentukan apa yang perlu atau tidak perlu dimuat dalam laporan disertasi. Analisis yang efektif akan membantu struktur penulisan laporan. Hal yang menjadi acuan dalam penulisan laporan disertasi adalah siapa audiensnya. Audiens potensial dari Studi Kasus adalah kolega akademik, pembuat kebijakan, profesional-praktisi, masyarakat umum, promotor disertasi dan pengujinya, serta penyandang dana penelitian. Para audiens ini punya kebutuhan yang berbeda. [9] 

Perspektif Altenatif Studi Kasus

Morley lebih condong pada Studi Kasus Positivistik. Ia mengutip Yin bahwa pendekatan Studi Kasus Positivistik dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Pendekatan analitis ke arah generalisasi; (2) Teori seharusnya mengkonfirmasi proposisi, dan proposisi mengkonfirmasi pengumpulan dan analisis data; dan (3) Peneliti bertindak selaku komentator, dalam mewakili dan menafsirkan kasus yang berhubungan dengan teori sebelumnya. 

Morley juga mengetengahkan perdebatan antara kalangan Positivistik dan Fenomenologis. Perdebatan ini berkisar pada 3 hal, yaitu: (1) Generalisasi, yaitu apakah generalisasi itu penting? Bagi kalangan Positivistik, generalisasi yang didasarkan atas sampel adalah penting. Pertanyaannya adalah, dapatkan Studi Kasus diterima sebagaimana adanya, dengan pembaca membuat penafsirannya sendiri, dan mengambil gagasan dari Studi Kasus ke dalam pengalamannya sendiri (kerap disebut naturalistic generalisation). Alternatifnya, dapatkan Studi Kasus digunakan sebagai dasar formulasi hipotesis kerja?; (2) Peran teori, yaitu apakah pentng untuk menggunakan teori untu mengkonfirmasi proposisi atau dapatkan Studi Kasus digunakan sebagai dasar pembangunan Grounded Theory, dengan mana teori muncul melalui pengumpulan dan analisis data?; dan (3) Otentisitas dan otoritas, yaitu suara siapa yang direkam dalam laporan Studi Kasus? Sejumlah peneliti menggunakan Studi Kasus sebagai cara untuk ‘mengizinkan suara para partisipan agar bisa terdengar.” Posisi ini didasarkan atas penolakan atau setiap otoritas dari sudut pandangan penelitian Studi Kasus. Di sisi lain, sejumlah orang akan berdalih bahwa setiap tindakan penelitian mengatasnamakan otentisitas suara dengan mana peneliti berupa usaha untuk mendengar, dan bahwa setiap tindakan interaksi dengan para para partisipan menyumbang situasi Studi Kasus. 

Buku Sumber:

Jennifer Rowley, “Using Case Study in Research” dalam Management Research News, Vol. 25 No. 1 (MBC UP Ltd, 2002), pp. 16-27

Sumber Kutifan:

[1] Jennifer Rowley, “Using Case Study in Research” dalam Management Research News, Vol. 25 No. 1 (MBC UP Ltd, 2002), pp. 16
[2] Ibid., p. 17.
[3] Ibid., p. 18.
[4] Ibid., p. 19.
[5] Ibid., p. 20.
[6] Ibid.,p. 22. 
[7] Ibid., p. 23.
[8] Ibid., p. 24.
[9] Ibid., p. 25.

Studi Kasus menurut Anol Bhattacherjee

Menurut Bhattacherjee, case research atau riset kasus juga biasa disebut case study (Studi Kasus).[1] Penyebutan Studi Kasus ini di Indonesia lebih populer. Dengan demikian, review (ulasan) ini akan menggunakan kata ‘Studi Kasus’ ketimbang ‘riset kasus.’
Bagi Bhattacherjee, Studi Kasus adalah studi intensif atas fenomena yang saat penelitiannya berlangsung di dalam natural setting di satu atau sejumlah lokasi. Studi Kasus menggunakan aneka cara pengambilan data, seperti wawancara, observasi, aneka dokumen yang telah tersedia, serta data-data sekunder lain. Aneka cara pengambilan data ini dimaksudkan agar inferensi (penyimpulan) atas fenomena yang diteliti lebih kaya, rinci, dan kontekstual. Bagi Bhattacherjee, Studi Kasus bisa diterapkan secara positivistik (menguji suatu teori) atau interpretive (membangun teori). Menurut Bhattacherjee, Studi Kasus lebih populer dalam riset bisnis ketimbang disiplin ilmu sosial lainnya. 

Bagi Bhattacherjee, ada 4 (empat) keunggulan Studi Kasus ketimbang metode penelitian lain seperti Metode Eksperimental ataupun Metode Survey. Pertama, Studi Kasus bisa dipakai baik untuk membangun teori baru atau menguji teori. Metode Positivistik Cuma bisa sekadar menguji teori belaka. Pada Studi Kasus Interpretive, konstruk riset kita tidak perlu dimunculkan terlebih dahulu, melainkan ia akan muncul seiring penelitian tengah dilakukan semata bergantung pada aneka data yang ditemukan. Kedua, pertanyaan penelitian (research question) dapat dimodifikasi dari yang originalnya (saat awal penelitian), manakala peneliti berpendapat pertanyaan tersebut dianggap kurang relevan, atau modifikasi tersebut dianggap lebih menonjol/menarik. Modifikasi semacam ini tidak memungkinkan pada Metode Positivistik. Ketiga, Studi Kasus mendorong interpretasi yang lebih kaya, kontekstual, dan otentik atas fenomena yang kita teliti. Keempat, fenomena yang kita teliti dapat dipelajari lewat sudut pandang sejumlah partisipan dan bisa menggunakan multiple level of analysis (individu ataupun organisasi). 

Selain keunggulan, Bhattacherjee juga mengungkap 3 (tiga) kelemahan Studi Kasus. Pertama, karena Studi Kasus tidak melibatkan kendali eksperimental, maka validitas inferensinya (penyimpulannya) adalah lemah secara internal. Namun, kelemahan ini pun menimpa aneka metode riset lainnya (kecuali Metode Eksperimental). Kelemahan Studi Kasus ini, bagi Bhattacherjee, dapat diatasi lewat natural control (ia akan jelaskan kemudian). Kedua, kualitas inferensi yang ditarik dari Studi Kasus amat bergantung pada kemampuan si peneliti. Peneliti kawakan tentu lebih bisa melihat aneka konsep dan pola tertentu dari data, sementara peneliti newbie akan luput perhatiannya. Akibatnya, aneka temua dari Studi Kasus sifatnya lebih subyektif. Ketiga, akibat inferensi sifatnya sangat kontekstual, akan sulit untuk melakukan generalisasi yang dihasilkan dari satu Studi Kasus terhadap aneka Studi Kasus lainnya. 

Bhattacherjee menyebut bahwa Studi Kasus adalah metode penelitian yang cukup sukar, karena menghendaki kemampuan riset advanced dari si peneliti. [2] Dengan mengutip Benbasat, et.al., Bhattacherjee menyebut 5 (lima) hal yang menghantui Studi Kasus. Pertama, kerap kali Studi Kasus tidak diawali pertanyaan penelitian yang spesifik, dan sebagai konsekuensi logisnya ia berakhir tanpa punya jawaban ataupun penyimpulan yang mencerahkan secara rinci. Kedua, kerap kali Studi Kasus dipilih berdasarkan kemudahan akses ataupun kenyamanan belaka, ketimbang dipilih berdasarkan kecocokannya dengan pernyataan penelitian. Akibatnya mudah ditebak, alurnya akan melenceng dari pertanyaan penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya. Ketiga, peneliti kerap kali tidak melakukan validasi ataupun triangulasi atas data yang terkumpul (lewat aneka cara). Ketidaksensitivan ini mendorong terjadinya interpretasi yang bias, dari aneka respon dari resonden yang diwawancarai (yang juga mengalami bias). Keempat, banyak Studi Kasus yang menjelaskan tata cara pengumpulan data secara rinci (misal: apa pertanyaan wawancaranya, dokumen apa saja yang diperiksa, apa posisi para responden yang diwawancarai di dalam suatu organisasi) atau dianalisis. Ini mengakibatkan keraguan seputar reliabilitas dari inferensi yang ditarik dari Studi Kasus. Kelima, banyak Studi Kasus tidak mengikuti suatu fenomena secara longitudinal, dan sebab itu ia hanya sekadar berupa cross-sectional belaka, dengan konsekuensi cara pandang atas aneka proses dan fenomena organisasi menjadi terbatas dan sifatnya amat temporer. 

Kunci Penentuan Studi Kasus 

Bhattacherjee menyebut ada 5 (lima) kunci bilamana seorang peneliti hendak menggunakan Studi Kasus. Pertama, apakah Studi Kasus itu metode penelitian yang cocok sehubungan dengan pertanyaan penelitian yang ditetapkan? Studi Kaus cocok bagi studi-studi ekploratif, guna menemukan aneka konstruk yang relevan, dalam mana pembangunan suatu teori sedang dalam proses. Juga, Studi Kasus cocok penelitian dengan mana pengalaman dari para partisipan dan konteks tindakan adalah sangat penting. Studi Kasus juga cocok bagi penelitian yang bertujuan untuk memahami proses-proses yang sifatnya temporal tetapi rumit. Akhirnya, Studi Kasus pun cocok bagi penelitian seputar proses organisasi yang rumit, yang melibatkan sejumlah partisipan yang saling berinteraksi dalam suatu peristiwa, misalnya dalam proses perubahan organisasi ataupun implementasi proyek teknologi dalam skala besar. 

Kedua, unit analisis apa yang cocok bagi Studi Kasus? Studi Kasus dapat saja meneliti unit-unit analisis banyak. Namun, tetap saja si peneliti harus memutuskan apakah ia hanya akan sekadar meneliti individu, kelompok, maupun organisasi pada single level ataukah multiple level. Ketiga, apakah peneliti akan menerapkan desain penelitian yang sifatnya single-case ataukah multiple-case? Desain single-case cocok dalam tahap awal pengembangan teori, jika situasinya sungguh unik/khas ataupun ekstrim. Juga Studi Kasus diterapkan manakala ia memang harus dilakukan mengingat situasi yang hendak diteliti sulit diakses oleh sebuah penelitian ilmiah. Selain itu, Studi Kasus cocok diterapkan manakala terdapat suatu fenomena atau kasus yang justru melawan teori yang sudah terformulasi dan baku. Pada sisi lain, desain multiple-cases cocok untuk melakukan pengujian teori, mengembangkan generalisasi atas inferensi yang diperoleh (lewat hasil penelitian Studi Kasus), dan untuk mengembangkan interpretasi atas fenomena secara lebih kaya dan bernuansa. 

Keempat,[3] lokasi mana yang harus dipilih dalam Studi Kasus? Karena sifat Studi Kasus yang sifat inferensinya kontekstual, pilihan lokasi menjadi isu sentral. Kesalahan dalam memilih lokasi justru akan mendorong inferensi yang salah pula. Jika tujuan penelitian adalah menguji teori atau menguji generalabilitas inferensi, lokasi penelitian yang tidak sama (lokasi berbeda) sangat dianjurkan demi meningkatkan nilai varians dalam observasi. Contoh jika tujuan penelitian adalah untuk memahami proses implementasi teknologi di sebuah firma hukum, campuran dari firma besar, menengah, dan kecil sebaiknya dipilih demi menguji apakah proses implementasi teknologi berbeda antar firma yang beda besarannya itu. Pilihan atas lokasi sebaiknya pun tidak oportunis atau semata-mata didasarkan atas kenyamanan peneliti, tetapi didasarkan atas kecocokannya denga pertanyaan penelitian lewat proses yang disebut theoretical sampling. 

Kelima, teknik pengambilan data apa yang sebaiknya digunakan dalam Studi Kasus? Kendati pun wawancara (baik open-ended, tidak terstruktur ataupun fokus, terstruktur) adalah yang paling populer, tetapi data wawancara tersebut sesungguhnya dapat diperkaya oleh teknik-teknik lain seperti observasi langsung (misal: menghadiri rapat dewan eksekutif, briefing, dan sesi-sesi perencanaan dalam suatu organisasi), dokumentasi (laporan internal, presentasi, dan memorandum, juga dari luar, seperti laporan surat kabar), rekaman arsip (bagan organisasi, rekaman keuangan) dan artifak yang sifatnya fisik (misalnya perangkat kerja, alat kerja, produk kerja). Peneliti harus melakukan triangulasi atau validasi atas aneka data yang diobservasi dan memperbandingkannya dengan responden yang diwawancarai. 

Melakukan Studi Kasus 

Bagi Bhattacherjee, sebagian besar Studi Kasus punya watak Interpretif, bukan Positivistik. Studi Kasus Interpretive adalah teknik induktif dengan mana bukti dikumpulkan dari satu atau lebih lokasi dianalisis dan disintesiskan secara sistematis, sedemikian rupa sehingga memungkinkan aneka pola dan konsep akan muncul demi tujuan penciptaan teori baru atau memperluas generalisasi teori yang ada. Bhattacherjee mengutip Eisenhardt, yang menawarkan semacam roadmap untu menciptakan aneka teori dari Studi Kasus. Untuk Studi Kasus Positivistik, sejumlah tahapan berikut perlu disusun atau dimodifikasi terlebih dahulu: sampling, pengambilan data, teknik analisis data. 

Bhattacherjee menganjurkan 9 (sembilan) langkah dalam melakukan Studi Kasus, yaitu: (1) Define research questions; (2) Select case sites; (3) Create instruments and protocols; (4) Select respondents; (5) Start data collection; (6) Conduct within-case data analysis; (7) Conduct cross-case analysis; (8) Build and test hyphotesis; dan (9) Write case research report. Bhattacherjee membahas kesembilan langkah tersebut satu per satu. 

Pertama, tentukan pertanyaan riset. Studi Kasus Interpretive, harus diawali oleh penentuan pertanyaan penelitian, yang menarik baik secara teoretis maupun praktis. Lalu, identifikasi sejumlah harapan yang sifatnya intuitif seputar jawaban yang mungkin dari pertanyaan penelitian tersebut. Atau paling tidak, ada konstruk awal untuk memberi arah pada jalannya penelitian. Pada Studi Kasus Positivistik, konstruk awal didasarkan atas teori, dan tidak boleh ada teori ataupun hipotesis yang sifatnya ex ante (ramalan) dalam Studi Kasus Interpretive. Pertanyaan dan konstruk penelitian mungkin saja berubah dalam Studi Kasus Interpretive, sementara dalam Studi Kasus Positivistik tidak. 

Kedua, pilih situs kasus penelitian. Peneliti sebaiknya melakukan proses sampling teoretis (ingat, beda dengan random sampling) guna mengindentifikasi lokasi penelitian. Situs kasus harus dipilih berdasarkan pertimbangan teoretis, bukan statistik, yaitu dalam rangkat mereplikasi kasus-kasus terdahulu, meluaskan generalisasi aneka teori awal, atau mengisi khasanah kategori teoretis. Kehati-hatian sangat diperlukan dalam peyakinan bahwa situs yang dipilih cocok dengan watak dari pertanyaan penelitian, meminimalisir varians ataupun noise (gangguan) yang sifatnya asing baik dalam hal ukuran firma, dampak industri, dan sebagainya, serta memaksimalisasi varians pada sisi aneka variabel dependen (terikat) yang menjadi perhatian penelitian.[4] Contoh, jika tujuan sebuah penelitian adalah menguji bagaimana sejumlah firma berinovasi secaralebih baik ketimbang lainnya, maka peneliti seharusnya memiliki aneka firma yang berukuran serupa dalam industri yang juga serupa untuk mengurangi noise akibat dampak ukuran industri terhadap tujuan penelitian. Alangkah lebih baik, bai peneliti, untuk menghubungi seseirang di level eksekutif di setiap firma yang punya otoritas untu menyetujui suatu proyek atau seseorang yang mampu mengidentifikasi siap yang punya otoritas tersebut. Selama percakapan awal, peneliti sebaiknya mampu menggambarkan sifat dan tujuan dari proyek, aneka keuntungan potensial dari situs kasus, bagaimana data yang terkumpul digunakan, orang yang terlibat dalam pengambilan data (peneliti lain, asisten peneliti), responden yang dikehendaki, dan jumlah waktu, upaya, serta biaya yang dibutuhkan oleh organisasi yang mensponsori penelitian. Peneliti juga harus meyakinkan kerahasiaan, privasi, dan anonimitas baik firma tersebut maupun setiap respondennya. 

Ketiga, ciptakan aneka instrumen dan protokol. Modul utama pengambilan data Studi Kasus adalah wawancara. Sebab itu harus ada protokol wawancara yang didesain untuk mengarahkan proses wawancara. Secara esensial, ini adalah daftar pertanyaan yang ingin ditanyakan. Pertanyaan bisa saja bersifat open-ended (tak terstruktur) atau closed-ended (terstruktur), atau kombinasi antara keduanya. Protokol wawancara harus diikuti secara disiplin, dan pewawancara tidak boleh mengubah tata urut pertanyaan atau melewatkan begitu saja suatu pertanyaan selama proses wawancara. Ini kendati sejumlah penyimpangan diizinkan guna menyelidiki komentar para responden yang dianggap ambigu atau menarik. Pewawancara harus memelihara nada suara yang netral, tidak mengarahkan responden ke arah tertentu (misalnya, menyetujui atau tidak menyetujui konten wawancara). Sebagai tambahan, Bhattacherjee mengingatkan bahwa sumber-sumber data tambahan seperti aneka dokumen internal dan memorandum, laporan tahunan, pernyataan keuangan, artikel koran, dan observasi langsung sebaiknya dicari demi melengkapi dan memvalidasi data wawancara. 

Keempat, pilih responden. Pilih responden yang hendak diwawancarai, di mana mereka ini harus berasal dari aneka level, departemen, posisikeorganisasian yang beda satu sama lain. Apa tujuannya? Tujuannya adalah menambah aneka perspektif yang berbeda atas fenomena yang menarik perhatian penelitian (pertanyaan penelitian). Teknik random sampling untuk menentukan siapa yang akan di wawancara lebih diharapkan; kendatipun demikian snowball sample juga bisa diterima selama keragaman perspektif terwakili di dalam sampel tersebut. Responden yang kita wawancarai harus dipilih berdasarkan keterkaitan mereka dengan fenomena yang sedang kita investigasi, selain kemampuan mereka untuk menjawab pertanyaan secara akurat dan mencukupi. Jadi, jangan pilih responden wawancara semata karena kemudahan akses ataupun kenyamanan belaka. 

Kelima, mulai pengumpulan data. Bhattacherjee menganggap cukup menarik untuk menggunakan alat perekam elektronik (tape recorder atau di era kekinian, handphone) demi referensi di masa mendatang. Walaupun demikian, kita harus meminta izin terlebih dahulu kepada narasumber, apakah mereka setuju direkam atau tidak. Jangan memaksakan kehendak atau merekam secara diam-diam (melakukan penyadapan). Bhattacherjee juga mengingatkan, kendati kita sudah melakukan perekaman secara elektronik, ada baiknya tetap peneliti melakukan pencatatan manual (pakai buku notes), untu menangkap komentari penting, bservasi kritis, respon perilaku (bahasa tubuh responden), dan impresi pribadi peneliti seputar responden atas komentar mereka. Setelah wawancara selesai dilaksanakan, segera lakukan transkripsi verbatim (diketik) menjadi sebuah dokumen untuk keperluan analisis. 

Keenam, lakukan data analisis dalam kasus. Analisis data dapat saja berurutan ataupun overlaping dengan pengambilan data. Analisis dan pengambilan data yang bersifat overlapping punya keuntungan dalam mhal penyesuaian proses pengumpulan data yang didasarkan atas tema yang muncul dari analisis data. Analisis data dapat diselesaikan lewat 2 tahapan. Tahap pertama (analisis dalam kasus), peneliti sebaiknya menguji aneka konsep yang muncul secara terpira di tiap situ kasus dan pola-pola antara aneka konsep ini dalam rangka menghasilkan teori awal berdasarkan masalah yang diminati. Peneliti menginterpretasi data yang terkumpul secara subyektif untuk membuat masalah penelitian menjadi ‘masuk akal’ dan merajutnya dengan observasi atau pengalamannya sendiri di situ kasus. Alternatifnya, strategi coding (di sini Bhattacherjee mengutip Glasser and Strauss) yang diterapkan pada pendekatan Grounded Theory, melakukan aneka teknik seperti open coding, axial coding, dan selective coding, juga mungkin untuk digunakan untuk membentu rantai bukti dan menarik inferensi. Aneka teknik yang sifatnya tumbuh di dalam situs kasus (homegrown techniques) seperti representasi data yang bersifat grafis (diagram jaringan, mirip di film-film detektif) ataupun sequence-analysis (analisis urutan) untuk data longitudinal juga bisa digunakan. [5] 

Ketujuh, lakukan analisis antar-kasus. Penelitian yang kasusnya terletak di sejumlah situs perlu analisis cross-case sebagai tahap kedua analisis data. Dalama nalisis ini, peneliti harus mencari aneka konsep dan pola yang serupa di antara situs-situs kasus yang berbeda. Ini ia lakukan dengan melakukan pengabaikan atas perbedaan kontekstual yang dapat saja mendorong ke arah simpulan yang sifatnya ideosinkretik (pola pemahaman yang terbentuk di dalam diri peneliti). Aneka pola ini dapat dimanfaatkan untuk memvalidasi teori awal, atau menghaluskannya (dengan menambah atau membuang aneka konsep dan hubungan) demi membangun teori yang lebih inklusif (terbuka) dan bersifat lebih general. Analisis ini bisa mengambil sejumlah bentuk. Contoh, peneliti mungkin saja memilih aneka kategori (seperti ukuran firma, industri, dan sebagainya) kemudia mencari aneka keserupaan intra-grup dan perbedaan antar-grup (contoh: kinerja tinggi versus kinerja rendah, inovator versus pencorot). Selain itu, peneliti bisa membandingkan aneka firma dengan cara mendaftar aneka keserupaan dan perbedaan antar pasangan firma. 

Kedelapan, susun dan ujilah hipotesis. Menurut Bhattacherjee, karena Studi Kasus didasarkan atas aneka konsep dan tema yang sekonyong-konyong muncul dalam proses penelitian, dengan mana konsep dan tema tersebut bisa digeneralisasikan lintas situs kasus, maka hipotesis yang sifatnya tentatif dapat saja dikonstruksi. Aneka hipotesis ini harus diperbandingkan secara berulang dengan bukti yang sudah diobservasi guna melihat apakah mereka (hipotesis tersebut) cocok dengan data hasil observasi. Jika tidak cocok, maka aneka konstruk dan hubungan sebaiknya dibesut agar lebih baik lagi. Juga, peneliti sebaiknya membandingkan kemunculan aneka konstruk dan hipotesis dengan yang telah dilaporkan dalam aneka literatur terdahulu agar kasus punya nilai validitas internal dan sifat generalibilitas. Aneka temuan yang konfliktual jangalah langsung ditolak, tetapi cobalah untuk direkonsiliasikan dengan cara “berpikir kreatif” untuk menghasilkan pandangan yang lebih luas seputar teori yang muncul tersebut. Manakala pengulangan lanjutan antara teori dan data tidak menampakkan pandangan baru atau perubahan pada teori yang ada, “pembentukan teoretis” tercapai dan proses pembangunan teori is complete. 

Kesembilan, tulislah laporan Studi Kasus. Dalam menulis laporan, peneliti sebaiknya membuat gambaran yang jelas seputar rincian proses yang ia gunakan seputar sampling, pengumpulan data, analisis data, dan pengembangan hipotesis, sehinga para pembaca dapat secara bebas menlai kemasukakalan, kekuatan, dan konsistensi dari inferensi (kesimpulan) yang dihasilkan. Tingkat kejelasan metode riset yang tinggi sangat dibutuhkan untuk meyakinkankan bahwa temuan kita tidak dibiaskan oleh prekonsepsi si peneliti. 

Contoh Studi Kasus Interpretive 

Bhattacherjee memberi contoh Studi Kasus Interpretif. Pengulas hanya akan menyajikannya secara singkat saja. Bhattacherjee di sini mengutip studi Eisenhardt tentang bagaimana para eksekutif membuat keputusan di lingkungan yang berkecepatan tinggi (High Velocity Environments atau HVE). Eisenhardt mengji bahgaimana tim para eksekutif di sejumlah firma HVE membuat keputusan cepat, sementara di firma-firma lain tidak. Dan, apakah keputusan yang cepat justru meningkatkan atau memperburuk kinerja mereka di HVE. Eisenhardt terlebih dahulu mendefinisikan HVE sebagai suatu kondisi di mana terdapat perubahan berupa tuntutan, kompetisi, dan teknologi yang berubah begitu cepatnya dan memutus aneka informasi yang kalaupun ada, disebut sebagai tidak akurat, tidak mencukupi, atau cacat. Eisenhardt membangun dua asumsi: (1) Adalh sulit untu membuat keputusan cepat dalam kondisi informasi yang tidak mencukup di dalam HVE; (2) Keputusan cepat bisa saja tidak efisien dan malah menghasilnya kinerja firma yang buruk. 

Eisenhardt membaca aneka literatur yang berhubungan dengan pembuatan keputusan para eksekutif. [6] Ia menemukan sejumlah pola, kendati tidak satupun dari pola tersebut spesifik bicara soal HVE. Studi literatur mensugestikan bahwa demi kepentingan kelayakan, aneka firma harus membuat keputusan cepat yang sumber input (informasinya) sangat sedikit, mereka harus mempertimbangkan alternatif yang sangat sedikit, membuat analisis yang sangat terbatas, membatasi partisipasi individu dalam pembuatan keputusan, melakukan sentralisasi bagi otoritas pengambilan keputusan, dan membatasi konflik internal. Kendati begitu, tetap saja Eisenhardt menentang bahwa aneka pandangan tersebut tidak cukup dalam menjelaskan baagimana pembuat keputusan membuat keputusan di tengah HVE, di mana keputusan harus dibuat secara cepat dengan informasi tak lengkap pula, dengan tetap mengupayakan kualitas keputusan yang paripurna. 

Eisenhardt lalu melakukan penelitian induktif atas 8 firma yang bergerak di bidang industri Personal Computer (PC). Industri PC tengah mengalami perubahan dramatis dalam hal teknologi dengan diperkenalkannya sistem operasi UNIX, arsitektur RISC, dan RAM (Random Access Memory) 64kb di tahun 1980-an, yang meningkat tajam kompetisinya dengan masuknya IBM (International Business Machine) ke dalam bisnis PC, dan peningkatan tuntutan customer berupa double-digit pertumbuhan permintaan. Inilah, menurut Eisenhardt sebagai sebab munculnya kondisi HVE. Kasus Eisenhardt ini masuk kategori desain kasus multiple dengan logika replikasi, dengan mana setiap kasus diharapkan akan mengkonfirmasi atau menolak inferensi (kesimpulan) dari aneka kasus lain. Situs kasus yang dipilih didasarkan atas akses mereka dan proksimitas bagi peneliti: Yaitu firma-firma komputer di Lembah Silikon, Amerika Serikat. Pilihan atas kesamaan lokasi ini (Lembah Silikon) dapat menghindari noise dalam penarikan inferensi. 

Studi Eisenhardt didesain menggunakan analisis aneka tingkat (multiple levels of analysis): keputusan (perbandingan aneka keputusan strategis di setiap firma), tim eksekutif (membandingkan tanggung jawab aneka tim berbeda dalam hal keputusan strategis), dan firma (keseluruhan kinerja firma). Data Eisenhardt peroleh dari 5 (lima) sumber yaitu: (1) Wawancara awal dengan para CEO; (2) Wawancara dengan para kepala divisi; (3) Kuesioner, yang diisi oleh para anggota tim eksekutif di tiap firma, kuesioner itu berjenis data Kuantitatif yang membahas masalah konflik dan distribusi kekuasaan di tiap firma; [7] (4) Data sekunder, dokumen internal dan laporan firma seperti kondisi demografi para tim eksekutif, kinerja keuangan setiap firma; dan (5) Observasi personal, dengan mana peneliti menghadiri sesi strategi dalam 1 hari dan pertemuan mingguan atas dua firma yang ia teliti. 

Analisis data Eisenhardt adalah kombinasi teknik Kualitatif dan Kuantitatif. Data Kuantitatif diterapkan atas konsep kekuasaan dan konflik, yang dianalisis guna menjaci aneka pola lintas firma dan keputusan. Data Kualitatif berupa wawancara yang dikombinasikan ke dalam profil keputusan, menggunakan sifat profil si pembuat keputusan (misal: ngga sabaran) yang dilakkan oleh lebih dari satu eksekutif. Selanjutnya Eisenhardt melakukan analisis secara cross-case. Ia mencari keserupaan dan perbedaan, baik di dalam firma maupun antar firma PC. Ia lalu membangun aneka konstruk dan proposisi tentatif yang diturukan secara induktif dari setiap kisah firma. Konstruk dan proposisi tentatif tersebut lalu diperiksa ulang dengan memperbandingkannya dengan literatur yang ada, dan atas dasar tersebut, Eisenhardt membangun cara pandang baru. Akhirnya sejumlah proposisi yang telah divalidasi disintesiskan secara induktif ke dalam teori pembuatan keputusan strategis oleh aneka firma dalam kondisi HVE. 

Bagaimana seterusnya nasib dari teori yang dibangun Eisenhardt ini? Inferensi yang ia turunkan ternyata berkontradiksi dengan pola-pola pembuatan keputusan di aneka literatur yang sudah ada. Ada 5 (lima) hal baru dari studi Eisenhardt yaitu: (1) Para pembuat keputusan cepat dalam HVE ternyata menggunakan lebih banyak informasi, tidak seperti literatur sebelumnya yang hanya sedikit sumber informasinya; (2) Para pembuat keputusan cepat menguji lebih banyak alternatif; (3) Para pembuat keputusan cepat tidak mensentralisasi pembuatan keputusan atau membatasi infot dari orang lain, malahan mereka menggunakan konsultan berpengalaman; (4) Parapembuat keputusan cepat tidak terlibat ke dalam konflik, malahan mereka lebih mampu melakukan resolusi konflik guna mengurangi konflik dan meningkatkan kecepatan pembuatan keputusan; dan (5) Para pembuat keputusan cepat menampilkan kinerja firma yang lebih superior yang dimungkinkan oleh kebajikan yang sifatnya built-in baik dalam hal kognitif, emosi, dan proses politik sehingga memungkinkan mereka membuat keputusan-keputusan yang cepat dan akurat. 

Contoh Studi Kasus Positivistik 

Studi Kasus juga bisa digunaka dalam cara yang sifatnya positivistik guna menguji sejumlah teori atau hipotesis. Studi jenis ini jarang, kendati bukan tidak ada. Bhattacherjee mengutip karya Markus ML dalam konteks Studi Kasus Positivistik ini. Tujuan studinya ingin memahami mengapa implementasi Financial Information System atau FIS yang baru dan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja para akuntan di GTC didukukn goleh para akuntan di Mabes GTC tetapi dilawan oleh para akuntan di cabang-cabang GTC. Studi Markus, beda dengan Eisenhardt, adalah single-case research karena hanya di satu organisasi saja (GTC). [8] 

Studi Kasus Positivistik Markus ML mendorong ia membuat 3 alternatif penjelasan: (1) System-determined theory, perlawakan akibat aneka faktor terkait sistem yang kurang lengkap, seperti defisiensi teknis, desain ergonis yang buruk, atau kurangnya hubungan hangat antar-user; (2) People-determined theory, perlawanan akibat aneka fakttor internal pengguna, seperti gaya kognitif para akuntan ataupun sifat personal yang tidak cocon dengan sistem tersebut yaitu FIS; dan (3) Interaction theory, perlawanan bukanlah tidak terkait aneka faktor instrinsik sistem dan people melainkan interaksi antara kedua faktor tersebut (sistem dan orang). Teori interaksi mensugestikan bahwa FIS memunculkan redistribusi kekuasaan intra-organisasi, dan para akuntan yang kehilangan status, elevansi, atau kekuasaannya organisasionalnya akibat FIS menolak sistem tersebut sementara yang memperoleh kekuasaan akibat FIS justru menyukainya. 

Markus harus menguji ketiga teori. Ia membuat prediksi atas ketiga teori tersebut, dengan mana ia menguji yang manakah mampu menjawab persoalan perlawanan atas FIS di GTC oleh para akuntan. Alternatif (1) menjelaskan sejak pelawanan para akuntan diakibatkan oleh sistem yang dianggap tidak menukupi, memperbaiki masalah teknis sistem akan menghilangkan perlawanan tersebut. Setelah setahun dilakukan perbaikan, perlawanan tetap ada. Altenatif (2) menjelaskan penggantian individu yang melawan atau mengkooptasi mereka dengan para akuntan yang kurang agresif akan mengurangi perlawan atas FIS. Dilakukanlah aneka rotasi dan hasilnya tetap saja rotasi tersebut memunculkan perlawanan terhadap sistem. Alternatif (3) menjelaskan baik perubahan sistem atau orang tidak akan mengurangi perlawanan sejauh kekuasaan para akuntan menjadi timpang dan redistribusi yang berlaku pra implementas FIS tidak diperhatikan. Akhirnya alternatif (3) inilah yang mendorong FIS berhasil diterapkan di GTC: perhatian pada sistem baru dan perhatian pada nasib orang-orangnya. 

Perbandingan dengan Riset Tradisional 

Bhattarjee[9] membandingkan antara Studi Kasus dengan riset-riset tradisional. Perbandingannya atas 5 (lima) hal. Pertama, Riset Kasus Positivistik bertujuan demi menguji hipotesis, dan kerap dikritik oleh peneliti ilmu alam karena kurangnya observasi terkendali, deduksi terkendali, replikabilitas, dan genaralisasi temua. Hal-hal ini adalah khas penelitian bercorak Positivistik. Bagi Bhattarjee, kekurangan ini bisa diatasi lewat desain Studi Kasus yang cocok. Contoh, masalah observasi terkendali mengacu pada sulitnya membangun kendali statistik atau ekperimen dalam Studi Kasus. Walau demikian, penelitian Studi Kasus dapat menambal kekurangan ini dengan penerapan “kendali alamiah”, yang dalam kasus Markus ML adalah pakuntan perusahaan yang awalnya membela sistem FIS tetapi kemudian berubah sikap melawan karena dipindahtugaskan (dirotasi). 

Kedua, Masalah deduksi terkendali mengacu pada kurangnya bukti Kuantitatif yang dianggap mencukupi utu mendukung inferensi (kesimpulan), akibat Studi Kasus lebih mengandalkan data Kualitatif. Namun, Bhattarjee membela, kendati kurang data Kuantitatif untuk pengujian hipotesis, deduksi terkendali dapat diterapkan dalam Studi Kasus dengan menghasilkan prediksi perilaku yang didasarkan atas pertimbangan teoretis dan menguji aneka prediksi tersebut setiap saat. 

Ketiga, masalah replikabilitas (pengulangan teori) mengacu pada kesulitan pengobservasian fenomena yang serupa memberi keunikan dan keideosinkresian di setiap situs kasus. Walau demikian, digunakannya tiga teori oleh Markus sebagai ilustrasi, peneliti berbeda dapat menguji aneka teori yang serupa di sejumlah situ kasus yang berbeda. Uji tersebut apakah aneka prediksi berbeda dapat muncul didasarkan kepada masalah sifat ideosinkresi dari situs kasus yang baru. 

Keempat, Studi Kasus cenderung menguji fenomena unik dan non-replikabel yang tidak memungkinkan untu digeneralisasikan kepada setting lain. Generalibilitas di dalam ilmu alam dibangun lewat penelitian tambahan. Demikian halnya, Studi Kasus tambahan yang diadakan pada aneka konteks berbeda dengan aneka prediksi yang juga berbeda dapat membangun generalibilitas temuan, jika aneka temuan tersebut diobservasi dan sifatnya konsisten oleh aneka penelitian berbeda. 

Kelima, Bhattarjee mengutip Karl Popper, yang mendeskripsikan 4 persyaratan teori agar bersifat ilmiah: (1) teori bisa dipalsukan; (2) teori seharusnya konsisten secara logis; (3) teori seharusnya punya kemampuan prediktif, dan (4) teori seharusnya menyediakan penjelasan lebih baik ketimbang teori rivalnya. Dalam Studi Kasus, persyaratan pertama hingga ketiga (dari Popper) dapat ditingkatkan dengan cara menambah derajat kebebasan dari temuan-temuan yang bisa diobservasi, seperti peningkatan jumlah situs kasus, jumlah prediksi alternatif, dan jumlah levels of analysis yang diuji. Bagi Bhattarjee, [10] syarat Popper ini bisa ditemukan dalam karya Markus ML, di mana syarat pertama hingga ketiga terpenuhi. Sementara syarat keempat, teori rival, juga terpenuhi manakala hipotesis Markus ML yang ketiga, mampu memberi penjelasan yang lebih memuaskan ketimbang hipotesis pertama dan kedua. 

Buku Sumber: 

Anol Bhattacherjee, “Case Research” dalam Anol Bhattercherjee, Social Science Research: Principles, Methods, and Practices, 2nd Edition (Florida: University of South Florida, 2012) pp. 93-102. 

Daftar Kutifan: 

[1] Anol Bhattacherjee, “Case Research” dalam Social Science Research: Principles, Methods, and Practices, 2nd Edition (Florida: University of South Florida, 2012) p. 93. 
[2] ibid., p. 94. 
[3] ibid.p.95. 
[4] ibid., p. 96. 
[5] ibid., p. 97. 
[6] ibid., p. 98. 
[7] ibid., p. 99. 
[8] ibid., p. 100. 
[9 ibid., p. 101. 
[10] ibid., p. 102. 

Grounded Theory menurut T. Marshall Egan

Apa itu Grounded Theory? Dengan mengutip Strauss and Corbin, Egan menuliskan yang dimaksud Grounded Theory adalah “ … sesuatu yang secara induktif diturunkan dari penelitian atas fenomena yang ada. Fenomena itu harus ditemukan, dikembangkan, dan diverifikasi keberlakuannya secara sementara lewat pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang didasarkan atas fenomena. Sebab itu, pengumpulan data, analisis, dan teori bersifat resiprokal satu sama lain.” [1]

Grounded Theory berjanji untuk mengembangkan teori yang secara minimal cocok dengan situasi yang tengah muncul secara aktual dalam proses penelitian.[2] Responsivitas dari penelitian Grounded Theory tidak melulu berasal dari peneliti melainkan juga subyek studinya.

Egan juga menyebut bahwa Grounded Theory berasumsi bahwa teori ditemukan lewat data yang terkumpul selama proses penelitian. Dengan demikian, Grounded Theory tidak menekankan perlunya kerangka teoretis baku yang digunakan di awal penelitian. 

Sifat dari kerangka analisis adalah sementara dan kemungkinan besar (dan biasanya pasti) berubah manakala peneliti sudah bersentuhan dengan lapangan. Teori yang terbangun didasarkan atas kategorisasi yang dibangun peneliti, dan didasarkan atas similaritas data hasil penelitian. Sebab itu, peneliti Grounded Theory harus punya sensitivitas teoretis, karena apabila tidak demikian, maka tidak akan ada bangunan teoretis baru dari penelitian yang ia lakukan. Bangunan teoretis ini pun tidak lepas dari penguasaan peneliti atas aneka teori. Namun, peneliti harus menghindari penggunaan teori yang ‘kacamata kuda’. Ia harus terbuka atas aneka teori. 

Temuan yang diperoleh berdasarkan Grounded Theory cendrung berupa kombinasi antara aneka konsep dan hipotesis yang muncul dari data, dengan mana ia (data) dianggap bermanfaat. [3] Sebab itu, Grounded Theory ibarat David (yang induktif) melawan raksasa Goliath (yang deduktif).

Langkah-langkah Grounded Theory

Menurut Egan, sejumlah langkah dari Grounded Theory adalah: [4] (1) initiating research; (2) data selection; (3) initiation and ongoing data collection; (4) data analysis; dan (5) concluding the research. Pertama, initiating research melibatkan pemilihan area inkuiri oleh peneliti dan situs yang cocok untuk studi. [5] Area inkuiri dapat digambarkan dalam varietas cara atau level, termasuk fenomena spesifik, tempat atau lokasi, atau konteks. Peneliti harus menghindari predisposisi dan prekonsepsi atas fenomena. [6] Literatur di area investigasi harus diabaikan terlebih dahulu dan baru dianggap saat penelitian berlangsung.

Kedua, masalah data selection. Kegiatan ini meliputi aplikasi dan identifikasi sumber data potensial yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Tanpa adanya keputusan berkenaan pengumpulan data awal, pengumpulan lanjutan tidak akan bisa direncanakan dalam memunculkan teori. Grounded Theory menekankan bahwa piihan atas data sifatnya fleksibel dan merupakan proses dialektis. Pilihan tersebut menekankankan bahwa theoretical sampling melibatkan pengumpulan data yang telah dilakukan dalam hubungannya dengan analisis. Theoretical sampling adalah proses pengumpulan data untuk melahirkan teori dengan mana peneliti secara bersamaan mengumpulkan, mengkoding, dan menganalisis data dan memutuskan data apa yang harus diperoleh di waktu kemudian dan di mana memperolehnya, dalam rangka menciptakan teori saat ia muncul. Proses pengumpulan data ini dikendalikan oleh teori yang muncul. 

Ketiga, initiation and data collection. [7] Pengumpulan data sangat penting, yaitu data yang dihasilkan dari aneka varietas sumber yang sekaligu merupakan cara mengekspose aneka variasi dan cara guna membangun kerangka konseptual. Kendati wawancara adalah data mainstream dalam Grounded Theory, tetapi dokumen dan observasi juga bisa digunakan. Pengumpulan data tidak berlangsung di satu saat saja, melainkan ia terus berkembang sepanjang proses analisis data sampai tiba saatnya peneliti telah menentukan titik jenuh (saturation). Data yang diperoleh sepanjang proses pengumpulan data meliputi pertukaran antara pengumpulan data dalam konteks lingkungan alamiah dan pemberlakuan koding, pengkategorian, dan rasionalisasi yang dibangun selama proses penelitian. Peneliti terlibat, merespon, dan menyesuaikannya selama proses tersebut. 

Keempat, data analysis. [8] Analisis data dalam Grounded Theory melibatkan komparasi yang sifatnya konstan dalam hal penghasilan dan penganalisisan data. Metode ini meliputi kegiatan seperti pengkarakteristikkan penghasilan dan pengintegrasian aneka kategori dan propertinya, sebagaimana pembatasan dan penulisan teori yang muncul. Pengumpulan dan analisis data terus berlangsung hingga tahap keempat Grounded Theory ini. Dinamika fenomena yang diinvestigasi membuat setiap analisis data adalah momen unik. 

Kelima, concluding the research. [9] Grounded Theory disimpulkan manakala peneliti telah mengobservasi titik jenuh data dan suatu teori yang mencukupi telah muncul dari para data. Data jenuh adalah bukti manakala pengumpulan data tidak lagi berkontribusi pada elaborasi atas fenomena yang tengah diinvestigasi. Segera setelah kejenuhan data terbukti, dokumentasi menjadi fokus utama bagi peneliti; konstruksi dan konsolidasi aneka kategori yang berkembang di sekeliling garis kisah utama dari penelitian dielaborasi. Kerangka struktural penelitian diciptakan lewat klarifikasi atas aneka asosisasi antara kategori sentral dan aneka kategori yang sifatnya sekadar mendukung dan perlu. 

Contoh Grounded Theory

Egan memberikan contoh penelitian yang menggunakan Grounded Theory. [10] Contohnya di seputaran masalah Human Resources Department (HRD). Kajian Grounded Theory dalam masalah HRD utamanya dalam melakukan eksaminasi atas individu yang berhadapan dengan perubahan organisasi, ekspolorasi nilai-nilai kepemimpinan demi kualitas dalam konteks pabrik, konflik intra firma dalam penyusunan strategi bisnis dalam seting perusahaan, persepsi pasien atas kualitas perawatan, dan dampak konflik dan kohesi dalam pembelajaran dan kinerja organisasi. 

Perubahan organisasi merupaan suatu pertimbangan utama di banyak sektor kehidupan di Amerika Serikat. Pemahaman atas atas reaksi individu atas dan bagaimana mereka memanage perubahan dalam konteks organisassi secara logis penting bagi HRD. Menggunakan penelitian Grounded Theory dalam mengeksplorasi bagaimana individu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan merespon perubahan organisasi. Aneka kategori yang muncul dari pengumpulan data menyingkap eksistensi dari periode, yaitu: (a) interval antisipatif; (b) interval peristiwa; dan (c) interval post-event. Dengan mengutip Johansen, Egan menulis bahwa diteorikan selama interval antisipatif, pekerja melakukan pembacaan menyeluruh atas lingkungan; ini untuk memperoleh informasi sehubungan dengan event selanjutnya. Event - event ini lalu didiskusikan dengan orang lain dan dievaluasi berdasarkan even yang diyakini akan berdampak pada aktor individu. Johansen mengidentfikasi event interval (b) sebagai pencetus terbangunnya aneka tindakan yang mungkin. Selama interval post-event, partisipan menilai perubahaan yang mereka identifikasi dan antisipasi mereka atas dampaknya atas event-event lanjutan, kenali aktor dipersepsikan, biaya dan keuntungan dihitung sebagai hasil perubahan, dan rasa keadilan dari event yang berubah. [sb]

Buku Sumber:

T. Marshall Egan, “Grounded Theory Research and Theory Building” dalam Advances in Developoing Human Resources Vol. 4, No. 3 August 2022, (London and New York: Sage Publication, 2002) pp. 277-295

Daftar Kutifan:

[1] T. Marshall Egan, “Grounded Theory Research and Theory Building” dalam Advances in Developoing Human Resources Vol. 4, No. 3 August 2022, (London and New York: Sage Publication, 2002) p. 277.
[2] Ibid., p. 278
[3] Ibidp. 279.
[4] Ibid., p. 280.
[5] Ibid., p. 281.
[6] Ibid., p. 282. 
[7] Ibid., p. 283. 
[8] Ibid, p. 284.
[9] Ibid., p. 286.
[10] Ibid., p. 291.

Grounded Theory menurut Kathy Charmaz

Tulisan Kathy Carmaz ini diawali dengan kutipannya atas pendapat Denzin & Lincoln bahwa “Grounded Theory ada di garis depan ‘revolusi Kualitatif.’[1] Mengapa Charmaz mencantumkan kutipan provokatif semacam itu? 

Kualitatif adalah metodologi baru sebagai penantang berat metodologi Kuantitatif yang menjadi mainstream dalam aneka tindak penelitian. Bagi Charmaz, ada 2 tokoh yang perlu mendapat penghargaan sepatutnya atas jasa mereka dalam mempertahankan metodologi Kualitatif yaitu Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, keduanya guru Charmaz sendiri. Metodologi ini mereka kenalkan saat pada tahun 1960an mereka melakukan studi di rumah sakit Amerika Serikat. Studi dilakukan akibat paramedis jarang bicara seputar kondisi sekarat dan kematian dari para pasien yang sakitnya serius. 

Bagi Charmaz, inkuiri ilmiah ilmu sosial yang sistematis bukan hanya dimiliki metodologi Kuantitatif, melainkan juga Kualitatif. Salah satu metode penelitian dalam metodologi Kualitatif adalah Grounded Theory. Bagi Charmaz, Grounded Theory adalah metode yang memberikan pedoman induktif yang sistematis untuk melakukan pengumpulan dan analisis data guna membangun kerangka teoretis yang bersifat middle-range, yang mampu menjelaskan data yang telah terkumpul. Dalam proses penelitian, Grounded Theory mengembangkan interpretasi atas data yang digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan pengambilan data selanjutnya, dan data (sekali lagi, data) ini digunakan pada gilirannya untuk mengkormisasi dan menghaluskan analisis teoretis yang dikembangkan. 

Tema tulisan Charmaz kali ini adalah adanya serangan terhadap Grounded Theory, baik dari dalam maupun luar. Serangan dari dalam berasal dari kaum Posmodernis dan Postrukturalis, sementara serangan dari luar lebih bersifat senyap, yaitu dari kaum Positivistik. Glaser, Strauss, dan Corbin dianggap Charmaz membawa Grounded Theory ke arah yang konfliktual.[2] Kendati merupakan pelopor Grounded Theory, Charmaz menyatakan bahwa baik Glaser maupun Strauss sesungguhnya tetap dijiwai oleh Positivisme lewat kecederungan-kecenderungan Obyektivis mereka. Posisi Glaser kerap dekat dengan Positivisme tradisional, dengan aneka asumsinya atas obyektivitas, realitas eksternal, pengamat yang netral, yang menemukan data, lewat inkuiri yang sifatnya reduksionis atas masalah penelitian, demi memperoleh data yang sifatnya obyektif. Bagi Charmaz, pendapat Strauss dan Corbin ini akibat mereka mengasumsikan adanya realitas eksternal yang bersifat obyektif, penelitian selalu bertujuan untuk melakukan pengumpulan data yang tidak biasa, menawarkan perangkat prosedur teknis, dan mendukung verifikasi. Posisi mereka ini, bagi Charmaz, telah mengarah pada Pospositivisme, karena mereka pun menawarkan bahwa para responden diberi kesempatan bersuara seakurat mungkin, menemukan serta memberi pengakuan pada bagaimana para responden memandang realitas konflik dalam cara pandang mereka sendiri, serta menerima seni sebagaimana pula ilmu pengetahuan dalam proses dan hasil analisisnya. Charmaz coba mengatasi keriuhan ini dengan ambil posisi dengan menjadikan dirinya penganut Constructivist Grounded Theory (CGT).

CGT menerima pengetahuan atas dunia empiris dari tangan pertama, ambil posisi tengah antara Posmodernisme dan Positivisme, serta menawarkan aneka metode yang sifatnya aksesibel bagi riset Kualitatif di abad ke-21. Konstruktivisme mengasumsikan relativisme realitas sosial karena sifatnya realitas tersebut memang majemuk, serta harus menerima penciptaan pengetahuan yang sifatnya mutual baik oleh peneliti maupun yang diteliti. Konstruktivisme bertujuan mencapai pemahaman ‘makna’ dari subyek secara interpretive. Kekuatan Grounded Theory ada pada alat yang ia gunakan dalam memahami dunia nyata. Pendekatan Konstruktivis atas Grounded Theory menguatkan kembali atas manusia di dalam seting alamiahnya untu kemudian mengalihkan penelitian Kualitatif jauh dari Positivisme. Argumen Charmaz terdiri atas 3 (tiga) yaitu: (a) strategi Grounded Theory tidak boleh kaku ataupun preskriptif; (b) suatu fokus akan makna harus terjadi manakala Grounded Theory diterapkan, ketimbang melakukan pembatasan, dalam melakukan pemahaman yang interpretive; dan (c) kita bisa mengadopsi strategi Grounded Theory tanpa harus terkontaminasi ‘penyakit’ Positivis. Lewat aneka kecenderungan inilah, maka Charmaz mensinyalir adanya dua kecenderungan arus dalam Grounded Theory yaitu kaum Obyektivis dan kaum Konstruktivis. 

Bagi Charmaz, peneliti Grounded Theory dapat saja menggunakan data Kualitatif maupun Kuantitatif. Kendati demikian, bagi Charmaz sendiri Grounded Theory lebih cocok untuk data-data yang sifatnya Kuantitatif. Juga, pilihan data ini (Kualitatif dan Kuantitatif) bisa diterapkan oleh kaum Obyektivis maupun Konstruktivis. 

Keketatan pendekatan Grounded Theory menawarkan para peneliti Kualitatif seperangkat pedoman jelas dari mana kerangka eksplanatori disusun. Kerangka tersebut merinci hubungan antarkonsep di dalam penelitian. Metode Grounded Theory tidak merinci tenik pengumpulan data; ia melangkah dari tahap penelitian satu ke tahapan penelitian lain atas nama perkembangan data, penghalusan teori, dan ketersalinghubungan konsep. Strategi Grounded Theory meliputi: (a) pengumpulan dan analisis data secara simultan; (b) dua tahapan dalam proses koding data, (c) metode komparatif; (d) penulisan memo yang ditujukan dalam mengkonstruksi analisis konseptual, (e) proses sampling sekadar untuk menghaluskan gagasan teoretis yang tiba-tiba muncul pada diri peneliti, dan (f) integrasi kerangka teoretis.[3] Grounded Theory hendaknya jangan lagi menggunakan cara pikir sempit kaum Positivis dan Obyektivis. Grounded Theory hendaklah mendekat pada kaum Konstruktivis yang menekankan pada pengalaman subyektif, baik dari para responden maupun si peneliti sendiri. 

Pengembangan Grounded Theory

Charmaz menilai, Grounded Theory berkembang sejak karya Glaser and Strauss. Karya mereka menentang arus utama metodologi ilmiah saat itu: Metodologi Kuantitatif. Kuantitatif menganggap bahwa semua dapat diukur dan diangkakan. Ini menyulitkan berkembangnya metodologi alternatif. Grounded Theory kemudian memecah kebekuan penelitian akibat hegemoni metodologi Kuantitatif ini. Hegemoni Kuantitatif ini (yang pastinya Posititivistik) pun membuat terpisahnya jarak antara teori yang terbangun dengan penelitian empiris. Penelitian Kuantitatif sekadar menguji teori yang telah ditentukan oleh model pikir logico-deductive. Akibatnya, para teoretisi hidup terpisah dengan peneliti. 

Mengapa karya Glaser dan Strauss dianggap revolutif? Bagi Charmaz itu karena karya mereka menentang hegemoni metodologi Kuantitatif, yang nuansanya adalah: (a) pemisahan arbiter antara teori dan kegiatan penelitian; (b) pandangan bahwa penelitian Kualitatif sekadar pendahulu bagi pendekatan Kuantitatif yang lebih ketat; (c) klaim bahwa upaya untuk mengetatkan metodologi Kualitatif ilegitimate; (d) keyakinan bahwa metode Kualitatif sifatnya impresionis dan tidak sistematis; dan (f) aneka asumsi bahwa penelitian Kualitatif bisa menghasilnya Studi Kasus yang sifatnya deskriptif belaka ketimbang pengembangan teori.

Charmaz menduga bahwa Glaser dan Strauss menyodorkan pembenaran intelektual untuk menerapkan penelitian Kualitatif yang memungkin peneliti newbie melaksanakannya. Sebelum karya Glaser dan Strauss, metodologi Kualitatif hanya diajarkan secara oral di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Glaser sendiri kemudian menerapkan analisis data secara Kualitatif atas data Kuantitatif penelitiannya. Sebab itu, Grounded Theory dibangun berdasarkan asumsi epistemologis Glaser, istilah-istilah metodologisnya, logika induktif, dan pendekatan yang sistematis.[4] Strauss sendiri dilatih di Universitas Chicago oleh Herbert Blumer dan Robert Park, yang hasilnya adalah terbawanya penelitian lapangan dan interaksionisme simbolik a la Chicago School ke dalam Grounded Theory. 

Lalu, apa sesungguhnya Grounded Theory itu? Menurut Glaser (seperti dicatat oleh Charmaz), ialah yang punya versi termurni dari Grounded Theory. Bag Charmaz, pernyataan tersebut tepat, jika orang setuju bahwa formulasi awal sebaiknya dijadikan standar penelitian. Untuk menerapkan Grounded Theory, seseorang tidak perlu jadi Obyektivis ataupun Positivistik karena Grounded Theory menawarkan fleksibilitas dalam hal strategi penelitian, tidak memiliki preskripsi yang kaku. Grounded Theory bisa saja mengadopsi pendekatan interaksionalisme simbolik, terutama dalam hal membangkitkan makna dalam konteks penelitian, antara peneliti dan responden. Grounded Theory juga bersifat pragmatis, karena ia mudah digunakan dan bermanfaat.[5] 

Strategi Grounded Theory 

Charmaz menulis sejumlah strategi dalam metode Grounded Theory yaitu: (a) masalah data; (b) masalah koding data; (c) masalah penulisan memo; (d) masalah theoretical sampling; dan (e) masalah analisis dengan bantuan komputer. 

Pertama, Grounded Theory fokus pada strategi analisis yang rinci, bukan pada masalah pengumpulan data. Ini membuat Grounded Theory krap diasosiasikan dengan penelitian wawancara terbatas (baik membatasi siapa yang diwawancarai dan berapa jumlahnya).[6] Sama seperti Studi Kasus, Grounded Theory bisa menggunakan aneka sumber data: observasi, konversasi, wawancara formal, otobiografi, arsip publik, laporan organisasi, diari dan jurnal responden. Jadi, dalam Grounded Theory, data yang bicara, data sebagai realitas, dan data tidak pernah bohong. 

Kedua, masalah koding data.[7] Grounded Theory adalah metode untuk langsung meneliti. Bagi Charmaz, analisis segera diberlakukan setiap data ditemukan. Lewat koding data, peneliti mulai menentukan dan mengkategorikan data. Dalam koding Grounded Theory, peneliti menciptakan aneka kode saat tengah melakukan penelitian atas data. Peneliti harus berinteraksi dengan data dan mengajukan pertanyaan saat melakukan koding tersebut. Koding membantu peneliti memperoleh perspektif baru atas bahan penelitian dan menentukan fokus pada data apa yang harus kemudian dicari, yang sebelumnya belum ketahuan dari mana ia. Ini jauh berbeda dengan penelitian Kuantitatif yang menghendaki data seperti apa harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian, Grounded Theory memungkinkan seperti apa data baru muncul hanya dapat terjadi saat peneliti tengah melakukan penelitian. Koding memicu munculnya rantai pengembangan teori, karena sifat induktif dari Grounded Theory. Koding memicu munculnya kata-kata ataupun konsep-konsep kunci di dalam penelitian, yang kemudian jadi pedoman dalam pencarian data baru. 

Ketiga, masalah penulisan memo. Bagi Charmaz, penulisan memo adalah langkah antara, setelah koding dan draft awal analisis. Memo mendorong munculnya letupan pemikiran dan memungkinkan kita melihat data dan kode dalam cara baru. Memo bisa membantu kita menentukan arah pengumpulan data pula. Lewat memo, kita bisa mengelaborasi aneka proses, asumsi, dan tindakan. Bagi Charmaz, memo membimbing kita mengeksplorasi kode-kode kita; kita bisa meluaskan penggunaan memo dalam melakukan sorting (pemangkasan) data.[8] 

Keempat, masalah theoretical sampling. Grounded Theory mendorong kita menciptakan aneka kategori dan mengembangkannya menjadi konstruk teoretis, dan kemudian muncul gap antara data yang kita miliki dan lubang di dalam teori kita. Untuk itu, Charmaz menyarankan kita kembali ke lapangan dan mengumpulkan data tertentu untuk mengisi gap konseptual ini. Inilah yang disebut theoretical sampling. Pada theoretical sampling kita memiliki sampel untuk isu tertentu saja, bukan semuannya. Tujuannya untuk mendekatkan gap data dan menambal lubang teori.

Kelima, masalah analisis dengan bantuan komputer. Grounded Theory tidak alergi terhadap bantuan komputer. Komputer justru dapat memberi bantuan teknis seputar koding, sorting, dan integrating data. Sejumlah program seperti NUD*1ST dan Ethnograph memang diperuntukkan guna membantu analisis Grounded Theory. Program lain seperti Hyper Research, program yang sengaja didesain untuk melakukan pengelompokan data, telah bertindak selaku alat bantu kaum sosiolog Kualitatif di aneka penerapan analitis data mereka. Alat bantu ini terasa saat peneliti menghadapi gunungan data yang seolah sulit diurai. Apa yang dikatakan Charmaz tentang alat bantu komputer ini adalah: (a) metode Grounded Theory kerap sulit dipahami; (b) alat bantu komputer hanya sekadar melegitimasi penelitian, bukan melakukannya; (c) paket-paket software mungkin lebih cocok bagi Grounded Theory yang Obyektivis ketimbang Konstruktivis; dan (d) software tersebut kemungkinan besar sekadar menciptakan ilusi ketimbang karya yang interpretive. 

Grounded Theory dalam Penelitian Kualitatif

Bagi Charmaz, penelitian Grounded Theory cocok bagi tradisi yang luas dan lapangan studi analisis Kualitatif. Sebagian besar penelitian ini bersandar pada material Kualitatif yang rinci, yang diperoleh melalui temuan lapangan atau etnografis (Grounded Theory tidak melulu etnografis karena tidak semata ditujukan pada komunitas tertentu). Grounded Theory sama seperti studi Kualitatif lainnya sekadar hanya bisa memotret fenomena secara temporer.[9] Bagi Charmaz, kekuatan Grounded Theory terletak pada: (a) strategi yang membimbing peneliti untuk melakukan langkah demi langkah proses analisis; (b) sifat proses pengambilan data yang self-correcting; (c) metodenya secara inheren tidak terikat oleh teori dan deskripsi tanpa melibatkan konteks penelitian; dan (d) penekanan pada metode komparatif. 

Bagi Charmaz, Grounded Theory lebih sebagai proses yang muncul ketimbang produk dari masalah penelitian tunggal yang sifatnya logis dan deduktif. Pertanyaan penelitian awal pada Grounded Theory bisa saja konkrit dan deskriptif, tetapi peneliti dapat mengembangkan pertanyaan analitis yang lebih dalam lewat studinya atas data yang diperoleh. Analisis dari kaum Grounded Theory memberitahu kita aneka kisah tentang orang, proses sosial, dan aneka situasi dalam bahasa-bahasa yang menyentuh kendati tetap ilmiah. Peneliti mengkomposisi kisah-kisah tersebut, dan ini pun, sekali lagi, bukan berarti tidak obyektif. Kisah tersebut mencerminkan pengamat sebagaimana yang diamati (Konstruktivis). Bagi Charmaz pula, Grounded Theory terletak antara metodologi penelitian tradisional dan Posmodernis. 

Grounded Theory Konstruktivis versus Obyektivis

Kaum Konstruktivis mengakui pengamat dapat menciptakan data dan melakukan analisis lewat interaksinya dengan pihak yang diamati. Bagi mereka, data tidak memberikan jendela atas realitas.[10] Realitas harus ditemukan, dan muncul dari proses interaktif, yang sifatnya kontekstual secara temporal, kultural, dan struktural.[11] Peneliti dan responden membingkai interaksi dan meyingkap makna penelitian. Pengamat adalah bagia dari yang diamati, ketimbang terpisah daripadanya. Apa yang pengamat lihat membentuk apa yang ia akan tentukan, ukur, dan analisis. Karena kaum Obyektivis pun berangkat dari titik tolak ini, mereka dengan demikian berbeda dengan kaum Positivistik. 

Menurut Charmaz, bagi kaum Konstruktivis, sebab-akibat itu sifatnya sugestif, tidak lengkap, dan tidak bisa ditentukan dalam kamus kaum Konstruktivis. Sebab itu, sekali lagi bagi Charmaz, Grounded Theory Konstruktivis amat terbuka untuk diperbaiki. Makna dan tindakan responden lebih mendapat prioritas ketimbang kepentingan analitis dan metodologi pengamat. Kaum Konstruktivis mencari cara mbagaimana menentukan pernyataan yang sifatnya kondisional guna menginterpretasikan bagaimana responden mengkonstruksi realitas mereka. Kendati demikian, pernyaataan kondisional ini tidak sama pendekatannya dengan generalisasi kebenaran. Lebih dari itu, mereka menghadirkan seperangkat hipotesis dan konsep yang penelitian lain dapat transportasikan kepada masalah penelitian serupa dan lapangan substantif lain. 

Bagaimana dengan kaum Obyektivis Grounded Theory ? Mereka ini lebih dekat dengan ‘qanun’ ilmu pengetahuan tradisional. Kaum Obyektivis mengasumsikan bahwa anutan atas perangkat metode yang sistematis akan mendorong peneliti dalam menemukan realitas dan mengkonstruksi pernyataan sementara yang bisa diterima, teruji, dan dan teori yang bisa diverifikasi. Teori ini menyediakan tidak hanya pemahaman tetapi juga prediksi. Tiga perluasan dari posisi kaum Obyektivis adalah: (a) aplikasi strategi Grounded Theory secara sistematis dapat memberi jawaban atas pertanyaan kaum Positivistik seputar reliabilitas dan validitas, karena aneka prosedur yang diambil memungkinkan reproduktibilitas teoretis; (b) pengujian hipotesis dalam Grounded Theory mengarah pada konfirmasi atau diskonfirmasi atas teori yang muncul; dan (c) metode Grounded Theory memungkinkan penerapan kendali dan sebab itu mendorong pengubahan apa yang dijadikan obyek studi dimungkinkan. 

Kesimpulan

Charmaz menyimpulkan tulisannya sebagai berikut. Pertama, Grounded Theory berkembang dalam cara berbeda bergantung pada cara padandang dan kecenderungan dari pengikutnya. Charmaz sendiri cenderung pada yang Konstruktivis. Kedua, kita dapat mereduksi atau menyelesaikan ketegangan antara Posmodernisme dan Konstruktivis dalam konteks Grounded Theory manakala kita menggunakan Posmodernisme untuk memberi pencerahan dan memperluas penggunaan Konstruktivis. Ketiga, masa depan Grounded Theory terletak baik di dalam visi kaum Obyektivis maupun Konstruktivis.

Buku Sumber:

Kathy Charmaz, “Grounded Theory: Objectivist and Constructivist Methods” dalam Norman Denzin and Yvonna Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London and New York: Sage Publication, 2000) pp. 509-535

Daftar Kutipan:

[1] Kathy Charmaz, “Grounded Theory: Objectivist and Constructivist Methods” dalam Norman Denzin and Yvonna Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London and New York: Sage Publication, 2000) p. 509.
[2] Ibidp. 510.
[3] Ibidp. 511.
[4] Ibidp. 512.
[5] Ibid., p. 513.
[6] Ibid., p. 514.
[7] Ibidp. 515.
[8] Ibid. p. 517.
[9] Ibidp. 522
[10] Ibidp. 523.
[11] Ibid., p. 524.