Latest News

Sunday, March 1, 2020

Grounded Theory menurut Kathy Charmaz

Tulisan Kathy Carmaz ini diawali dengan kutipannya atas pendapat Denzin & Lincoln bahwa “Grounded Theory ada di garis depan ‘revolusi Kualitatif.’[1] Mengapa Charmaz mencantumkan kutipan provokatif semacam itu? 

Kualitatif adalah metodologi baru sebagai penantang berat metodologi Kuantitatif yang menjadi mainstream dalam aneka tindak penelitian. Bagi Charmaz, ada 2 tokoh yang perlu mendapat penghargaan sepatutnya atas jasa mereka dalam mempertahankan metodologi Kualitatif yaitu Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, keduanya guru Charmaz sendiri. Metodologi ini mereka kenalkan saat pada tahun 1960an mereka melakukan studi di rumah sakit Amerika Serikat. Studi dilakukan akibat paramedis jarang bicara seputar kondisi sekarat dan kematian dari para pasien yang sakitnya serius. 

Bagi Charmaz, inkuiri ilmiah ilmu sosial yang sistematis bukan hanya dimiliki metodologi Kuantitatif, melainkan juga Kualitatif. Salah satu metode penelitian dalam metodologi Kualitatif adalah Grounded Theory. Bagi Charmaz, Grounded Theory adalah metode yang memberikan pedoman induktif yang sistematis untuk melakukan pengumpulan dan analisis data guna membangun kerangka teoretis yang bersifat middle-range, yang mampu menjelaskan data yang telah terkumpul. Dalam proses penelitian, Grounded Theory mengembangkan interpretasi atas data yang digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan pengambilan data selanjutnya, dan data (sekali lagi, data) ini digunakan pada gilirannya untuk mengkormisasi dan menghaluskan analisis teoretis yang dikembangkan. 

Tema tulisan Charmaz kali ini adalah adanya serangan terhadap Grounded Theory, baik dari dalam maupun luar. Serangan dari dalam berasal dari kaum Posmodernis dan Postrukturalis, sementara serangan dari luar lebih bersifat senyap, yaitu dari kaum Positivistik. Glaser, Strauss, dan Corbin dianggap Charmaz membawa Grounded Theory ke arah yang konfliktual.[2] Kendati merupakan pelopor Grounded Theory, Charmaz menyatakan bahwa baik Glaser maupun Strauss sesungguhnya tetap dijiwai oleh Positivisme lewat kecederungan-kecenderungan Obyektivis mereka. Posisi Glaser kerap dekat dengan Positivisme tradisional, dengan aneka asumsinya atas obyektivitas, realitas eksternal, pengamat yang netral, yang menemukan data, lewat inkuiri yang sifatnya reduksionis atas masalah penelitian, demi memperoleh data yang sifatnya obyektif. Bagi Charmaz, pendapat Strauss dan Corbin ini akibat mereka mengasumsikan adanya realitas eksternal yang bersifat obyektif, penelitian selalu bertujuan untuk melakukan pengumpulan data yang tidak biasa, menawarkan perangkat prosedur teknis, dan mendukung verifikasi. Posisi mereka ini, bagi Charmaz, telah mengarah pada Pospositivisme, karena mereka pun menawarkan bahwa para responden diberi kesempatan bersuara seakurat mungkin, menemukan serta memberi pengakuan pada bagaimana para responden memandang realitas konflik dalam cara pandang mereka sendiri, serta menerima seni sebagaimana pula ilmu pengetahuan dalam proses dan hasil analisisnya. Charmaz coba mengatasi keriuhan ini dengan ambil posisi dengan menjadikan dirinya penganut Constructivist Grounded Theory (CGT).

CGT menerima pengetahuan atas dunia empiris dari tangan pertama, ambil posisi tengah antara Posmodernisme dan Positivisme, serta menawarkan aneka metode yang sifatnya aksesibel bagi riset Kualitatif di abad ke-21. Konstruktivisme mengasumsikan relativisme realitas sosial karena sifatnya realitas tersebut memang majemuk, serta harus menerima penciptaan pengetahuan yang sifatnya mutual baik oleh peneliti maupun yang diteliti. Konstruktivisme bertujuan mencapai pemahaman ‘makna’ dari subyek secara interpretive. Kekuatan Grounded Theory ada pada alat yang ia gunakan dalam memahami dunia nyata. Pendekatan Konstruktivis atas Grounded Theory menguatkan kembali atas manusia di dalam seting alamiahnya untu kemudian mengalihkan penelitian Kualitatif jauh dari Positivisme. Argumen Charmaz terdiri atas 3 (tiga) yaitu: (a) strategi Grounded Theory tidak boleh kaku ataupun preskriptif; (b) suatu fokus akan makna harus terjadi manakala Grounded Theory diterapkan, ketimbang melakukan pembatasan, dalam melakukan pemahaman yang interpretive; dan (c) kita bisa mengadopsi strategi Grounded Theory tanpa harus terkontaminasi ‘penyakit’ Positivis. Lewat aneka kecenderungan inilah, maka Charmaz mensinyalir adanya dua kecenderungan arus dalam Grounded Theory yaitu kaum Obyektivis dan kaum Konstruktivis. 

Bagi Charmaz, peneliti Grounded Theory dapat saja menggunakan data Kualitatif maupun Kuantitatif. Kendati demikian, bagi Charmaz sendiri Grounded Theory lebih cocok untuk data-data yang sifatnya Kuantitatif. Juga, pilihan data ini (Kualitatif dan Kuantitatif) bisa diterapkan oleh kaum Obyektivis maupun Konstruktivis. 

Keketatan pendekatan Grounded Theory menawarkan para peneliti Kualitatif seperangkat pedoman jelas dari mana kerangka eksplanatori disusun. Kerangka tersebut merinci hubungan antarkonsep di dalam penelitian. Metode Grounded Theory tidak merinci tenik pengumpulan data; ia melangkah dari tahap penelitian satu ke tahapan penelitian lain atas nama perkembangan data, penghalusan teori, dan ketersalinghubungan konsep. Strategi Grounded Theory meliputi: (a) pengumpulan dan analisis data secara simultan; (b) dua tahapan dalam proses koding data, (c) metode komparatif; (d) penulisan memo yang ditujukan dalam mengkonstruksi analisis konseptual, (e) proses sampling sekadar untuk menghaluskan gagasan teoretis yang tiba-tiba muncul pada diri peneliti, dan (f) integrasi kerangka teoretis.[3] Grounded Theory hendaknya jangan lagi menggunakan cara pikir sempit kaum Positivis dan Obyektivis. Grounded Theory hendaklah mendekat pada kaum Konstruktivis yang menekankan pada pengalaman subyektif, baik dari para responden maupun si peneliti sendiri. 

Pengembangan Grounded Theory

Charmaz menilai, Grounded Theory berkembang sejak karya Glaser and Strauss. Karya mereka menentang arus utama metodologi ilmiah saat itu: Metodologi Kuantitatif. Kuantitatif menganggap bahwa semua dapat diukur dan diangkakan. Ini menyulitkan berkembangnya metodologi alternatif. Grounded Theory kemudian memecah kebekuan penelitian akibat hegemoni metodologi Kuantitatif ini. Hegemoni Kuantitatif ini (yang pastinya Posititivistik) pun membuat terpisahnya jarak antara teori yang terbangun dengan penelitian empiris. Penelitian Kuantitatif sekadar menguji teori yang telah ditentukan oleh model pikir logico-deductive. Akibatnya, para teoretisi hidup terpisah dengan peneliti. 

Mengapa karya Glaser dan Strauss dianggap revolutif? Bagi Charmaz itu karena karya mereka menentang hegemoni metodologi Kuantitatif, yang nuansanya adalah: (a) pemisahan arbiter antara teori dan kegiatan penelitian; (b) pandangan bahwa penelitian Kualitatif sekadar pendahulu bagi pendekatan Kuantitatif yang lebih ketat; (c) klaim bahwa upaya untuk mengetatkan metodologi Kualitatif ilegitimate; (d) keyakinan bahwa metode Kualitatif sifatnya impresionis dan tidak sistematis; dan (f) aneka asumsi bahwa penelitian Kualitatif bisa menghasilnya Studi Kasus yang sifatnya deskriptif belaka ketimbang pengembangan teori.

Charmaz menduga bahwa Glaser dan Strauss menyodorkan pembenaran intelektual untuk menerapkan penelitian Kualitatif yang memungkin peneliti newbie melaksanakannya. Sebelum karya Glaser dan Strauss, metodologi Kualitatif hanya diajarkan secara oral di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Glaser sendiri kemudian menerapkan analisis data secara Kualitatif atas data Kuantitatif penelitiannya. Sebab itu, Grounded Theory dibangun berdasarkan asumsi epistemologis Glaser, istilah-istilah metodologisnya, logika induktif, dan pendekatan yang sistematis.[4] Strauss sendiri dilatih di Universitas Chicago oleh Herbert Blumer dan Robert Park, yang hasilnya adalah terbawanya penelitian lapangan dan interaksionisme simbolik a la Chicago School ke dalam Grounded Theory. 

Lalu, apa sesungguhnya Grounded Theory itu? Menurut Glaser (seperti dicatat oleh Charmaz), ialah yang punya versi termurni dari Grounded Theory. Bag Charmaz, pernyataan tersebut tepat, jika orang setuju bahwa formulasi awal sebaiknya dijadikan standar penelitian. Untuk menerapkan Grounded Theory, seseorang tidak perlu jadi Obyektivis ataupun Positivistik karena Grounded Theory menawarkan fleksibilitas dalam hal strategi penelitian, tidak memiliki preskripsi yang kaku. Grounded Theory bisa saja mengadopsi pendekatan interaksionalisme simbolik, terutama dalam hal membangkitkan makna dalam konteks penelitian, antara peneliti dan responden. Grounded Theory juga bersifat pragmatis, karena ia mudah digunakan dan bermanfaat.[5] 

Strategi Grounded Theory 

Charmaz menulis sejumlah strategi dalam metode Grounded Theory yaitu: (a) masalah data; (b) masalah koding data; (c) masalah penulisan memo; (d) masalah theoretical sampling; dan (e) masalah analisis dengan bantuan komputer. 

Pertama, Grounded Theory fokus pada strategi analisis yang rinci, bukan pada masalah pengumpulan data. Ini membuat Grounded Theory krap diasosiasikan dengan penelitian wawancara terbatas (baik membatasi siapa yang diwawancarai dan berapa jumlahnya).[6] Sama seperti Studi Kasus, Grounded Theory bisa menggunakan aneka sumber data: observasi, konversasi, wawancara formal, otobiografi, arsip publik, laporan organisasi, diari dan jurnal responden. Jadi, dalam Grounded Theory, data yang bicara, data sebagai realitas, dan data tidak pernah bohong. 

Kedua, masalah koding data.[7] Grounded Theory adalah metode untuk langsung meneliti. Bagi Charmaz, analisis segera diberlakukan setiap data ditemukan. Lewat koding data, peneliti mulai menentukan dan mengkategorikan data. Dalam koding Grounded Theory, peneliti menciptakan aneka kode saat tengah melakukan penelitian atas data. Peneliti harus berinteraksi dengan data dan mengajukan pertanyaan saat melakukan koding tersebut. Koding membantu peneliti memperoleh perspektif baru atas bahan penelitian dan menentukan fokus pada data apa yang harus kemudian dicari, yang sebelumnya belum ketahuan dari mana ia. Ini jauh berbeda dengan penelitian Kuantitatif yang menghendaki data seperti apa harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian, Grounded Theory memungkinkan seperti apa data baru muncul hanya dapat terjadi saat peneliti tengah melakukan penelitian. Koding memicu munculnya rantai pengembangan teori, karena sifat induktif dari Grounded Theory. Koding memicu munculnya kata-kata ataupun konsep-konsep kunci di dalam penelitian, yang kemudian jadi pedoman dalam pencarian data baru. 

Ketiga, masalah penulisan memo. Bagi Charmaz, penulisan memo adalah langkah antara, setelah koding dan draft awal analisis. Memo mendorong munculnya letupan pemikiran dan memungkinkan kita melihat data dan kode dalam cara baru. Memo bisa membantu kita menentukan arah pengumpulan data pula. Lewat memo, kita bisa mengelaborasi aneka proses, asumsi, dan tindakan. Bagi Charmaz, memo membimbing kita mengeksplorasi kode-kode kita; kita bisa meluaskan penggunaan memo dalam melakukan sorting (pemangkasan) data.[8] 

Keempat, masalah theoretical sampling. Grounded Theory mendorong kita menciptakan aneka kategori dan mengembangkannya menjadi konstruk teoretis, dan kemudian muncul gap antara data yang kita miliki dan lubang di dalam teori kita. Untuk itu, Charmaz menyarankan kita kembali ke lapangan dan mengumpulkan data tertentu untuk mengisi gap konseptual ini. Inilah yang disebut theoretical sampling. Pada theoretical sampling kita memiliki sampel untuk isu tertentu saja, bukan semuannya. Tujuannya untuk mendekatkan gap data dan menambal lubang teori.

Kelima, masalah analisis dengan bantuan komputer. Grounded Theory tidak alergi terhadap bantuan komputer. Komputer justru dapat memberi bantuan teknis seputar koding, sorting, dan integrating data. Sejumlah program seperti NUD*1ST dan Ethnograph memang diperuntukkan guna membantu analisis Grounded Theory. Program lain seperti Hyper Research, program yang sengaja didesain untuk melakukan pengelompokan data, telah bertindak selaku alat bantu kaum sosiolog Kualitatif di aneka penerapan analitis data mereka. Alat bantu ini terasa saat peneliti menghadapi gunungan data yang seolah sulit diurai. Apa yang dikatakan Charmaz tentang alat bantu komputer ini adalah: (a) metode Grounded Theory kerap sulit dipahami; (b) alat bantu komputer hanya sekadar melegitimasi penelitian, bukan melakukannya; (c) paket-paket software mungkin lebih cocok bagi Grounded Theory yang Obyektivis ketimbang Konstruktivis; dan (d) software tersebut kemungkinan besar sekadar menciptakan ilusi ketimbang karya yang interpretive. 

Grounded Theory dalam Penelitian Kualitatif

Bagi Charmaz, penelitian Grounded Theory cocok bagi tradisi yang luas dan lapangan studi analisis Kualitatif. Sebagian besar penelitian ini bersandar pada material Kualitatif yang rinci, yang diperoleh melalui temuan lapangan atau etnografis (Grounded Theory tidak melulu etnografis karena tidak semata ditujukan pada komunitas tertentu). Grounded Theory sama seperti studi Kualitatif lainnya sekadar hanya bisa memotret fenomena secara temporer.[9] Bagi Charmaz, kekuatan Grounded Theory terletak pada: (a) strategi yang membimbing peneliti untuk melakukan langkah demi langkah proses analisis; (b) sifat proses pengambilan data yang self-correcting; (c) metodenya secara inheren tidak terikat oleh teori dan deskripsi tanpa melibatkan konteks penelitian; dan (d) penekanan pada metode komparatif. 

Bagi Charmaz, Grounded Theory lebih sebagai proses yang muncul ketimbang produk dari masalah penelitian tunggal yang sifatnya logis dan deduktif. Pertanyaan penelitian awal pada Grounded Theory bisa saja konkrit dan deskriptif, tetapi peneliti dapat mengembangkan pertanyaan analitis yang lebih dalam lewat studinya atas data yang diperoleh. Analisis dari kaum Grounded Theory memberitahu kita aneka kisah tentang orang, proses sosial, dan aneka situasi dalam bahasa-bahasa yang menyentuh kendati tetap ilmiah. Peneliti mengkomposisi kisah-kisah tersebut, dan ini pun, sekali lagi, bukan berarti tidak obyektif. Kisah tersebut mencerminkan pengamat sebagaimana yang diamati (Konstruktivis). Bagi Charmaz pula, Grounded Theory terletak antara metodologi penelitian tradisional dan Posmodernis. 

Grounded Theory Konstruktivis versus Obyektivis

Kaum Konstruktivis mengakui pengamat dapat menciptakan data dan melakukan analisis lewat interaksinya dengan pihak yang diamati. Bagi mereka, data tidak memberikan jendela atas realitas.[10] Realitas harus ditemukan, dan muncul dari proses interaktif, yang sifatnya kontekstual secara temporal, kultural, dan struktural.[11] Peneliti dan responden membingkai interaksi dan meyingkap makna penelitian. Pengamat adalah bagia dari yang diamati, ketimbang terpisah daripadanya. Apa yang pengamat lihat membentuk apa yang ia akan tentukan, ukur, dan analisis. Karena kaum Obyektivis pun berangkat dari titik tolak ini, mereka dengan demikian berbeda dengan kaum Positivistik. 

Menurut Charmaz, bagi kaum Konstruktivis, sebab-akibat itu sifatnya sugestif, tidak lengkap, dan tidak bisa ditentukan dalam kamus kaum Konstruktivis. Sebab itu, sekali lagi bagi Charmaz, Grounded Theory Konstruktivis amat terbuka untuk diperbaiki. Makna dan tindakan responden lebih mendapat prioritas ketimbang kepentingan analitis dan metodologi pengamat. Kaum Konstruktivis mencari cara mbagaimana menentukan pernyataan yang sifatnya kondisional guna menginterpretasikan bagaimana responden mengkonstruksi realitas mereka. Kendati demikian, pernyaataan kondisional ini tidak sama pendekatannya dengan generalisasi kebenaran. Lebih dari itu, mereka menghadirkan seperangkat hipotesis dan konsep yang penelitian lain dapat transportasikan kepada masalah penelitian serupa dan lapangan substantif lain. 

Bagaimana dengan kaum Obyektivis Grounded Theory ? Mereka ini lebih dekat dengan ‘qanun’ ilmu pengetahuan tradisional. Kaum Obyektivis mengasumsikan bahwa anutan atas perangkat metode yang sistematis akan mendorong peneliti dalam menemukan realitas dan mengkonstruksi pernyataan sementara yang bisa diterima, teruji, dan dan teori yang bisa diverifikasi. Teori ini menyediakan tidak hanya pemahaman tetapi juga prediksi. Tiga perluasan dari posisi kaum Obyektivis adalah: (a) aplikasi strategi Grounded Theory secara sistematis dapat memberi jawaban atas pertanyaan kaum Positivistik seputar reliabilitas dan validitas, karena aneka prosedur yang diambil memungkinkan reproduktibilitas teoretis; (b) pengujian hipotesis dalam Grounded Theory mengarah pada konfirmasi atau diskonfirmasi atas teori yang muncul; dan (c) metode Grounded Theory memungkinkan penerapan kendali dan sebab itu mendorong pengubahan apa yang dijadikan obyek studi dimungkinkan. 

Kesimpulan

Charmaz menyimpulkan tulisannya sebagai berikut. Pertama, Grounded Theory berkembang dalam cara berbeda bergantung pada cara padandang dan kecenderungan dari pengikutnya. Charmaz sendiri cenderung pada yang Konstruktivis. Kedua, kita dapat mereduksi atau menyelesaikan ketegangan antara Posmodernisme dan Konstruktivis dalam konteks Grounded Theory manakala kita menggunakan Posmodernisme untuk memberi pencerahan dan memperluas penggunaan Konstruktivis. Ketiga, masa depan Grounded Theory terletak baik di dalam visi kaum Obyektivis maupun Konstruktivis.

Buku Sumber:

Kathy Charmaz, “Grounded Theory: Objectivist and Constructivist Methods” dalam Norman Denzin and Yvonna Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London and New York: Sage Publication, 2000) pp. 509-535

Daftar Kutipan:

[1] Kathy Charmaz, “Grounded Theory: Objectivist and Constructivist Methods” dalam Norman Denzin and Yvonna Lincoln, Handbook of Qualitative Research (London and New York: Sage Publication, 2000) p. 509.
[2] Ibidp. 510.
[3] Ibidp. 511.
[4] Ibidp. 512.
[5] Ibid., p. 513.
[6] Ibid., p. 514.
[7] Ibidp. 515.
[8] Ibid. p. 517.
[9] Ibidp. 522
[10] Ibidp. 523.
[11] Ibid., p. 524. 

No comments:

Post a Comment