Latest News

Monday, January 20, 2020

Kritik atas Demokrasi Liberal

Demokrasi Liberal sarat dengan aneka kelemahan, kendati ia kini tengah menjadi trend praktek bernegara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ciri utama Demokrasi Liberal adalah kompetisi partai politik, pemberian hak pilih untuk warganegara yang dijamin konstitusi, dan pemerintahan oleh mayoritas dan dilakukan oleh wakil rakyat (bukan rakyat secara langsung).

Proposisi utama artikel ini adalah Demokrasi Liberal yang dipraktekkan bukannya tanpa ketidaksempurnaan. Demokrasi Liberal kerap dinyatakan sebagai memunculkan tirani oleh mayoritas, dominasi dan monopoliti pembuatan kebijakan oleh para pemodal kuat (kapitalis), dengan mana mereka ini bisa mempengaruhi hasil pemilihan umum. Selain itu, Demokrasi Liberal pun memungkinkan terjadinya tirani oleh minoritas apabila minoritas ini memiliki pressure group yang kuat di tingkat konversi sistem politik.  

Persoalan Demokrasi Liberal, dalam hal praktis, sesungguhnya berkisar pada masalah inheren di dalam Demokrasi itu sendiri, yaitu sistem perwakilan. Di negara dengan luas wilayah dan penduduk besar, setiap warganegara tidak bisa mewakilili dan menjalankan kekuasaan diri mereka secara langsung. Mereka harus mewakilkan ‘kedaulatan’ diri mereka kepada pihak lain. Di sinilah sesungguhnya terletak akar kritik terhadap Demokrasi Liberal itu sendiri. Sebagai suatu mekanisme pemerintahan yang tidak dijalankan sendiri oleh pemilik kedaulatan, maka distorsi kepentingan sangat mungkin terjadi. 

Permasalahan

Persoalan dari Demokrasi Liberal kemudian dikritik sekurangnya dari 3 pespektif. Pertama, dari perspektif keadilan sebagai kelayakan. Kedua, dari perspektif dominasi dan monopoli. Ketiga, dari perspektif politik perbedaan. 

Dipandang dari sudut keadilan sebagai kelayakan (justice as fairness), Demokrasi Liberal dikritik oleh John Rawls lewat dua prinsip keadilannya. Dipandang dari sisi dominasi dan monopoli, Demokrasi Liberal dikritik oleh Michael Walzer dari sisi distribusi keadilan di tengah masyarakat. Dipandang dari sisi politik perbedaan, Demokrasi Liberal dinyatakan oleh Irish Marion Young sebagai interelasi antara patriarki kontemporer dengan Kapitalisme kontemporer. 

Berdasarkan sejumlah kritik yang dialamatkan pada Demokrasi Liberal seperti dilancarkan oleh ketiga kritikus tersebut di atas, maka masalah di dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan John Rawls terhadap Demokrasi Liberal dalam konteks keadilan sebagai kelayakan ?

2. Bagaimana pandangan Michael Walzer terhadap Demokrasi Liberal dalam konteks keadilan distribusi kepentingan di tengah masyarakat?

3. Bagaimana pandangan Irish Marion Young terhadap Demokrasi Liberal dalam konteks politik perbedaan, khususnya pandangannya mengenai interelasi antara patriarki dan Kapitalisme kontemporer?

John Rawls dan Justice as Fairness 

John Rawls memuat kritiknya atas Demokrasi Liberal lewat dua bukunya yaitu Theory of Justice (1971) dan Political Liberalism (1993). Teori utamanya ada di buku pertama, sementara di buku kedua lebih kepada realisme Rawls atas idealismenya di buku pertama. 

Sasaran Rawls terletak pada pertahanannya atas gagasan Demokrasi Konstitusional Liberal.[1] Kendati demikian, Rawl memperhatikan bahwa praktek Demokrasi Liberal bukannya tanpa kelemahan. Kelemahan ini ia rangkum ke dalam dua proposisinya mengenai keadilan. Proposisi pertama menyatakan bahwa “setiap orang punya hak setara dan semaksimal mungkin untuk dipenuhi dalam hal kebebasan asasi yang setara dan cocok dengan sistem kebebasan serupa untuk semua.” Proposisi kedua menyatakan “ketimpangan sosial dan ekonomi harus disikapi sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) dapat mencapai keuntungan terbesar bagi yang paling kurang diuntungkan … dan … (b) kesempatan untuk menduduki jabatan publik harus terbuka bagi semua orang di bawah kondisi kelayakan kesetaraan kesempatan.” [2] Prinsip dalam proposisi pertama berkenaan dengan prinsip kebebasan, sementara prinsip kedua berkenaan dengan prinsip perbedaan. Prinsip dalam proposisi pertama lebih pokok ketimbang prinsip dalam proposisi kedua. 

Bagi Rawls, Demokrasi Liberal mengandung dua gagasan yang terpisah. Pertama, prosedur voting mayoritas. Kedua, perlindungan atas hak-hak individu tertentu. Jika hanya menitikberatkan pada gagasan pertama, maka mayoritas dapat saja mendorong munculnya kondisi yang opresif, di mana kepentingan mayoritas mendominasi kepentingan minoritas. Ancamannya adalah adanya tirani oleh mayoritas. Selain itu, ancaman kedua adalah kebodohan Demokrasi. Siapapun orang, dengan kualifikasi apapun, dapat duduk sebagai pemimpin. Hitler pun terpilih secara Demokratis. Di sinilah letak pandangan Rawls atas Demokrasi Liberal, ia ingin melindungi hak-hak individu dan inilah inti dari pikirannya dalam Theory of Justice[3]. 

Dalam rangka perlindungan atas hak-hak individu, Rawls menyatakan perlunya prinsip partisipasi politik yang setara. Untuk ini, hak-hak individu pertama sekali harus dijamin di dalam konstitusi. Lalu, seluruh orang dewasa harus punya hak suara dalam Pemilu reguler, yang adil dan bebas. Rakyat harus bebas mendirikan partai politik dan menerapkan oposisi loyal atas siapapun yang berkuasa. Hal-hal ini disebut Rawls sebagai politik yang masuk akal. Selanjutnya Rawls melangkah pada adanya kemungkinan kelompok atau individu yang punya uang banyak untuk mempengaruhi jalannya Pemilu dan hasilnya. Apabila ini terjadi, bagi Rawls, maka hanya kepentingan mereka sajalah yang akan berkembang biak di dalam aneka keputusan politik dan sebab itu harus diminimalisasi kemungkinannya. Cara yang paling radikal adalah menghapuskan ketimpangan ekonomi. Namun, ini merupakan target jangka panjang sehingga bagi Rawls, target jangka pendek-menengahnya adalah membiayai partai politik menggunakan pajak rakyat. Dengan pembiayaan seperti ini maka partai politik tidak akan bertanggung jawab lagi pada pemodal besarnya melainkan pada seluruh rakyat di suatu negara selaku sponsor utama mereka. [4]

Pandangan Rawls lainnya adalah seputar pemerintahan mayoritas. Pemerintahan mayoritas di sini tidak dilarang oleh Rawls, melainkan bagaimana para wakil rakyat yang mampu menyusun dan melaksanakan legislasi berasal dari spektrum kepentingan yang begitu luas di dalam masyarakat. Rawls menyadari bahwa masyarakat itu beragam segmentasinya dan setiap segmentasi memiliki kepentingan yang berbeda. Bagi Rawls, dan ini cukup pragmatis, persoalan utama pemerintahan mayoritas adalah memungkinkan para wakil rakyat yang berasal dari aneka segmen masyarakat yang punya kepentingan berbeda dapat masuk selaku perumus dan eksekutor undang-undang. 

Michael Walzer dan Distribusi Keadilan

Kritik Walzer atas Demokrasi Liberal berdiri di atas pandangan politiknya yang Marxis. Kendati begitu, apa yang disampaikan Walzer adalah wajar untuk ditujukan atas praktek-praktek Demokrasi Liberal di dunia post moderen saat ini. Inspirasi Walzer tidak hanya pada studi-studi moderen melainkan pembacaannya yang luas atas Talmud dan mitologi Aztec. [5] Pikiran-pikiran Walzer tentang kritiknya atas Demokrasi Liberal ada dalam bukunya Spheres of Justice (1983). Walzer menitikberatkan kritiknya atas Demokrasi Liberal pada aspek ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh masalah dominasi, yaitu saat komoditas berada dalam penguasaan satu kelompok sosial maka akan berimbas pada pola distribusi komoditas tersebut.[6] Sebab itu, kunci bagi distribusi yang adil adalah pada dialog sosial yang rumit dan interpretive dengan mana komoditas dari lingkup sosial yang otonom secara relatif didistribusikan dengan suatu cara sehingga tidak satupun lingkup sosial mampu mendominasinya. [7]

Masalah distribusi keadilan ini menjadi semakin nyata bagi Walzer terutama sejak mulai munculnya new social movements, yaitu gerakan sosial baru yang membawakan tema-tema identitas seperti ras, kelompok jenis kelamin, dan etnis. Gejala ini berlawanan dengan tradisi politik neokonservatif dan liberalisme klasik yang memandang masyarakat relatif secara homogen. Dengan demikian Walzer dapat dipandang sebagai seorang yang berpandangan partikularisme[8] dan ini tidak lepas dari posisinya sebagai penganjur Sosialisme Demokratis. 

Konsep distribusi keadilan Walzer ada dalam tulisannya mengenai Complex Equality di mana ia melakukan pembedaan antara rezim yang adil dan tidak adil. Partikularisme Walzer yaitu perhatiannya antar kelompok sosial berbeda kemudian mendorongnya pada Pluralisme, dengan menyatakan “prinsip keadilan hakikatnya pluralistik wujudnya; bahwa komoditas sosial berbeda wajib didistribusikan atas alasan berbeda, sesuai dengan prosedur yang juga berbeda, oleh agen yang juga berbeda; dan bahwa semua perbedaan tersebut diturunkan dari pemahaman atas berbeda atas komoditas sosial tersebut --- dan ini merupakan hasil tidak terelakkan dari partikularisme historis dan budaya.” [9] 

Berangkat dari pemahaman atas dimensi partikularisme yang kemudian mendorong pluralisme kepentingan dalam distribusi keadilan, Walzer memperkenalkan konsep dominasi dan monopoli. Dalam konteks dominasi dan monopoli ini Walzer menjelaskannya: “(1) Klaim bahwa komoditas dominan, apapun itu, seharusnya diredistribusikan sehingga dapat dimiliki secara setara dan meluas; dan apabila ini terjadi maka monopoli dapat kita katakan sebagai tidak adil; (2) Klaim bahwa cara yang seharusnya dibuka bagi distribusi otonom atas semua komoditas sosial, dan mengenai ini dapat dikatan bahwa dominasi tidak adil; (3) Klim bahwa sejumlah komoditas baru, yang dimonopoli oleh sejumlah kelompok baru seharusnya menggantikan komoditas yang saat ini dominan: jika ini terjadi maka dapt dikatakan bahwa pola dominasi dan monopoli adalah tidak adil.” [10]

Melihat pada potensi monopoli dan dominasi yang cenderung mengarah pada ketidakadilan, maka Walzer menekankan bahwa kekuasaan politik adalah ssuatu yang mesti didistribusikan secara bebas dari dominasi uang, posisi sosial, dan bentuk lain dari komoditas otonom lainnya. Satu orang satu suara, menurut Walzer, adalah ekuivalen secara fungsional di dalam lingkup politik, yang akan mencegah pemerintahan yang mengeksklusi dan mendegradasi lingkup kesejahteraaan. Bagi Walzer pula, setiap warganegara adalah partisipan potensial, politisi yang potensial. Walzer mengimajinasikan rezim yang sifatnya setara secara sederhana. [11] 

Rezim kesetaraan sederhana ini adalah menyikapi monopoli, dan bukan dominasi, sebagai isu sentral dalam keadilan distributifnya. Ini sejalan dengan pandangan Walzer yang berposisi pada Sosialisme Demokratis, di mana negara yang impersonal bertanggung jawab untuk memegang monopoli atas seluruh komoditas yang kemudian didistribusikan secara merata kepada seluruh kelompok yang berkepentingan atas komoditas tersebut, yang tentu saja berbeda-beda. Monopoli negara ini bebas dari kepentingan satu kelompok karena setiap warganegara berpotensi untuk melakukan hak pilih dan dipilih, dari manapun kelompok mereka berasal, demi menjamin distribusi komoditas yang dimonopoli negara tersebut terdistribusikan secara adil. 

Irish Marion Young dan Politik Perbedaan 

Young adalah eksponen dari gerakan New Left dan gerakan perempuan (feminis). [12] Bagi Young, patriarki kontemporer dan kapitalisme kontemporer saling berinterelasi. [13] Young memandang perempuan sekadar tenaga kerja sekunder dalam kapitalisme akibat masih berkembangkan budaya patriarki di alam kontemporer. Keadilan dalam pemikiran Young dapat diletakkan pada dua konsep yaitu dominasi dan opresi. Dua konsep ini yang digunakan Young dalam memetakan ketidakadilan struktural. [14] Young menganggap bahwa Kapitalisme kesejahteraan mungkin saja lebih humanis ketimbang pendahulunya (laissez-faire) tetapi ketidakadilan terus berlanjut secara stsruktural dan pembuatan keputusan yang partisipatoris terus melemah.

Young mendefinisikan dominasi sebagai hambatan institusional atas penentuan nasib sendiri dan sebab itu berlawanan langsung terhadap Demokrasi,yang dipahami sebagai partisipasi. Young juga mendefinisikan opresi sebagai hambatan institusional atas perkembangan diri. Opresi punya aneka ‘wajah’ yang seluruhnya berhubungan dengan keyakinan Young yang menganggap Demokrasi sebagai partisipasi. Sebab itu, untuk memerangi ketidakadilan, bagi Young, bukan hanya dibutuhkan Demokrasi, tetapi juga Demokrasi dalam jenisnya yang khusus. [15] Dengan demikian, Young dikenal sebagai penggagas Demokrasi Partisipatoris yang tujuannya meningkatkan kendali individu atas lembaga ekonomi dan sosial. Jadi, Demokrasi tidak semata-mata berkaitan dengan kendali atas politik, melainkan pula distribusi sosial dan ekonomi.

Young melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa masalah kesetaraan dasar dalam situasi kehidupan semua orang adalah suatu nilai moral dan sebagai itu ketidakadilan struktural harus dirombak dengan cara perubahan institusional oleh kelompok yang disebut Young sebagai yang mengalami opresi. Demokrasi, sebab itu, ada dalam kerangka apa yang yang orang lakukan, bukan apa yang orang miliki, dan ini berujung pada hubungan orang dengan cara produksi bukan sekadara distribusi belaka. Ini merupakan pandangan New Left yang cukup khas. 

Young kemudian memperkenalkan konsep good life. Konsep ini berkenaan dengan dua nilai, yaitu: “(1) pengembangan dan penerapan kapasitas seseorang berikut pengekspresian pengalaman seseorang; dan (2) partispasi dalam menentukan tindakan seseorang dan kondisi yang diperlukan bagi tindakan tersebut.” [16] Dalam konteks ini Young menekankan hal yang cukup senada dengan Rousseau yaitu direct representation[17]. Young menekankan solusi atas masalah ketidakdilan harus meliputi pengubahan ke aras suatu sistem Demokrasi yang memasukkan perwakilan langsung bagi dan partisipasi oleh kelompok sosial yang kurang beruntung. Partisipasi dalam pembuatan keputusan ini memiliki baik nilai instrumental dan instrinsik dalam menantang dominasi dan opresi. [18] Bagi Young, perbedaan antar kelompok sosial harus ditangani oleh aspek-aspek positif dari perbedaan tersebut dan dimuat ke dalam kebijakan negara. [19]

Hal menarik dari Young adalah konsepnya mengenai Demokrasi Partisipatoris. Paling tidak, terdapat 3 hal yang patut diberikan perhatian atas konsep Demokrasi versi Young ini. Pertama, standar dari tawaran new left bahwa Demokrasi sebaiknya diperluas hingga ke tempat kerja dan bahwa orang patut menyampaikan suaranya di dalam proses pembuatan keputusan yang ada hubungannya dengan pekerjaan mereka. Kedua, partisipasi seharusnya menjadi hak aneka kelompok sosial bahkan individual, yang bagi Young perbedaan antara kelompok sosial harus dipelihara dan aspek-aspeok positif dari perbedaan tersebut seharusnya ditetapkan dalam kebijakan. Ketiga, adanya implisit pendapat Young tentang Demokrasi Komunikatif, yaitu penekanan Young (yang ia kembangkan dari konsep Demokrasi Deliberatif Juergen Habermas) pada kenyataan bahwa argumentasi memegang peranan penting, ketimbang sekadar masalah jumlah, dalam proses pengambilan keputusan, dan sebab itu Young menganggap Demokrasi Deliberatif perlu memasukkan metode komunikasi yang lebih luuas dan beragam, mengingat kelompok yang kurang beruntung kadang mengalami intimidasi oleh aturan formal dari institusi-institusi deliberatif (lembaga yang menangani kepentingan khusus mereka). [20]

Pembahasan

Apa yang disampaikan Rawls tentang keadilan sebagai kesetaraan/kelayakan memiliki fakta sesuatu yang sulit untuk diterapkan di dalam suatu masyarakat yang masih menganut masalah primordial. Bagi Rawls, keadilan hanya dapat terselenggara di dalam Demokrasi Liberal manakala setiap orang, dengan latar belakang apapun, berkesempatan untuk mendukuki jabatan publik. Di Inggris ini sudah terjadi di mana seorang warga yang berasal dari imigran Arab dapat menjadi walikota London. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia sendiri?

Dalam kasus Indonesia, hal ini masih menjadi tanda tanya besar. Secara konstitusi, syarat sebagai calon presiden tidak menekankan adanya masalah agama. Namun, secara primordial hal ini menjadi masalah: Umat dari agama lain akan sulit untuk mencalonkan diri sebagai presiden di Indonesia karena adanya konvensi tidak tertulis bahwa seorang presiden juga harus berasal dari agama mayoritas. Contoh kasus nyata untuk hal ini adalah saat pertarungan Ahok-Djarot versus Anis-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2018 lalu. Bagaimana Ahok-Djarot yang keduanya memiliki track record sebagai pimpinan daerah (Ahok di Belitung Timur, mantan wagub DKI Jakarta) dan Djarot (mantan Bupati Blitar) harus kandas di tangan pasangan yang sama sekali tidak memiliki track record sebagai pimpinan daerah (Anis-Sandi, keduanya belum pernah menjadi pimpinan daerah). Hal yang menjatuhkan Ahok-Djarot adalah isu primordial seperti agama, bahwa gubernur harus berasal dari agama mayoritas. Padahal posisi gubernur adalah pelayan publik dan seorang gubernur tidak dapat semaunya berkuasa mengingat ia akan diawasi kinerjanya oleh DPRD yang mayoritas anggotanya berasal dari kalangan umat mayoritas. 

Apa yang disampaikan oleh Walzer mengenai distribusi keadilan berkenaan dengan, terutama, fenomena partai politik di Indonesia. Dominasi dan monopoli kebijakan negara bukan berada di tangan negara melainkan di tangan para donatur partai politik yang memiliki sumber keuangan besar. Keputusan apapun yang diambil oleh partai politik, baik itu pengajuan calon legislatif maupun eksekutif akan mengikuti logika siapa yang mendominasi distribusi keadilan di dalam negara. 

Dari sudut pandang Walzer ini pula, maka negara belum menjadi pemegang monopoli bagi kepentingan yang saling berbeda, terutama dari daerah. Wakil-wakil daerah tidak memiliki ‘orang-orang’ yang secara khusus mewakili kepentingan daerah. DPD tidak memiliki hak mengajukan undang-undang terkait otonomi daerah secara otonom melainkan harus menyodorkannya terlebih dahulu kepada DPR. Di DPR ini pula maka terjadi distorsi kepentingan, dalam mana DPR memegang monopoli sekaligus dominasi dalam penyusunan undang-undang yang berkenaan dengan kepentingan daerah. Sementara di sisi lain, DPR terdiri atas orang-orang partai politik yang mereka lebih tunduk atas kepentingan elit partai politik ketimbang tunduk kepada negara.

Apa yang disampaikan oleh Irish Marion Young cukup aktual. Bagi Young, ada dominasi dan opresi atas sejumlah warga yang kurang beruntung. Dan sebab itu, untuk membela kepentingan mereka, Young menawarkan suatu bentuk Demokrasi yaitu Demokrasi Partisipatoris. Dalam Demokrasi ini, kelompok warganegara yang memiliki kepentingan langsung atas suatu pilihan kebijakan secara langsung mewakili diri mereka sendiri. Namun, Demokrasi Partisipatoris ini kemudian menemukan diri mereka atas suatu ‘tembok’ yang dinamakan ‘lembaga negara.’ Di tangan lembaga negara ini maka kelompok warganegara tersebut kehabisan ‘amunisi’ yaitu dalam hal berargumentasi signifikannya kepentingan mereka diakui atau tidak oleh suatu lembaga. Sehingga, misalnya, kepentingan kaum pekerja migran, secara praktis belum bisa diwakili oleh diri mereka sendiri tanpa melibatkan perantara, yaitu LSM-LSM yang memberi perhatian atas masalah pekerja migran ini. 

Kesimpulan

1. John Rawls menandaskan masalah yang cukup krusial yaitu partai politik harus didanai oleh dana publik, dana yang berasal dari pajak rakyat. Harapannya adalah partai politik tidak tunduk kepada sponsor keuangan besar mereka melainkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. 

2. Michael Walzer menandaskan masalah dominasi dan monopoli atas komoditas yang penting bagi publik, publik di sini berasal dari aneka segmen yang membutuhkan alokasi khusus. Walzer berpandangan bahwa monopoli oleh negara dalam hal distribusi keadilan menjadi suatu keharusan ketimbang menyerahkannya kepada kelompok sosial yang dominan yang justru akan mendominasi penyebaran atau distribusi komoditas tersebut di kalangan masyarakat. 

3. Irish Marion Young menandaskan masalah krusial yaitu perlu adanya Demokrasi Partisipatoris, yaitu Demokrasi yang sifatnya lebih langsung yang tidak hanya berkenaan dengan masalah politik melainkan juga masalah ekonomi dan sosial. 

Temuan Masalah

1. Dari John Rawls diperoleh temuan bahwa pendanaan partai politik perlu mendapat perhatian serius karena partai politik adalah pilar dari Demokrasi Liberal: Partai politik harus dibersihkan dari kepentingan kaum pemodal. 

2. Dari Michael Walzer diperoleh temuan bahwa negara harus memegang monopoli dalam hal distribusi keadilan atas segmen-segmen masyarakat yang berbeda sehingga negara bisa mengatasi dominasi oleh kelompok sosial tertentu atas distribusi komoditas tersebut. 

3. Dari Irish Marion Young diperoleh temuan bahwa Demokrasi Liberal yang sekadar menekankan Demokrasi Politik tidak lagi mencukupi dalam membangun peradaban Demokrasi yang sesungguhnya karena cenderung mengabaikan Demokrasi lain yang juga penting yaitu Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Sosial. [sb]

-----------------------

Catatan Kaki :

[1] Jonathan Wolff, “John Rawls: Liberal Democracy Restated” dalam April Carter and Geoffrey Stokes, Liberal Democracy and Its Critics: Perspectives in Contemporary Political Thought (Cambridge Oxford Malden: Polity Press, 1998) p. 118.
[2] Ibid., p. 120.
[3] Jonathan Wolff, “John …” op.cit., p. 123. 
[4] Ibid., p. 125. 
[5] Mark Kingwell, ”Michael Walzer: Pluralism, Justice and Democracy“ dalam April Carter and Geoffrey Stokes, Liberal Democracy and Its Critics: Perspectives in Contemporary Political Thought (Cambridge Oxford Malden: Polity Press, 1998) p. 135.
[6] Ibid., p. 135. 
[7] Ibid., p. 135-6
[8] Ibid., p. 139. 
[9] Mark Kingwell, ”Michael …” op.cit.,., p. 141. 
[10] Ibid., p. 142. 
[11] Ibid., p. 143. 
[12] Don Fletcher, “Irish Marion Young: The Politics of Difference, Justice and Democracy” dalam April Carter and Geoffrey Stokes, Liberal Democracy and Its Critics: Perspectives in Contemporary Political Thought (Cambridge Oxford Malden: Polity Press, 1998) p. 197. 
[13] Ibid., p. 197. 
[14] Ibid., p. 199. 
[15] Ibid. 
[16] Ibid. 200. 
[17] Ibid., p. 203. 
[18] Ibid. 
[19] Ibid., p. 205. 
[20] Ibid, p. 204-5.

No comments:

Post a Comment