Latest News

Saturday, January 18, 2020

Pluralisme dan Elitisme di Indonesia


Indonesia secara formal mendeklarasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Sejak tanggal tersebut, Indonesia menunjukkan gejala disintegrasi dan elitisme di dalam kehidupan politiknya. Gejala disintegrasi (berupa secession) sekurangnya terjadi dalam aneka pemberontakan Negara Islam Indonesia, PRRI-Permesta, PKI Madiun, berdirinya gerakan politik semacam Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka. 

Berbagai fenomena ini menunjukkan kecenderungan umum belum selesainya proses integrasi politik Indonesia. Gejala lain yang juga mendorong munculnya pertanyaan bagaimana sesungguhnya pola integrasi yang terjadi tanggal 17 Agustus 1945? Integrasi semacam apa yang terjadi pada tanggal tersebut, mengingat segera setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, Indonesia terus dirundung oleh aneka peristiwa yang dekat dengan disintegrasi.

Dalam 3 era Demokrasi yang berlangsung di Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal I (1953 – 1957), Demokrasi Pancasila (selama Orde Baru), dan Demokrasi Liberal II (pasca reformasi 1998), proses integrasi seolah belum selesai. Pola tetap hubungan pusat-daerah seperti belum terbangun sempurna, sementara keterlibatan warganegara di dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat (juga daerah) seolah tersekat oleh elitisme politik yang terbentuk oleh oligarki partai politik. Keresahan politik yang dialami pada level warganegara seperti mengalami distorsi manakala telah dimobilisasi oleh partai politik, sehingga perundang-undangan yang kemudian muncul kerap bukan merupakan jawaban paralel atas tuntutan yang masuk dari level warganegara. Perundang-undangan yang terbentuk justru merupakan penyesuaian kepentingan elit politik yang mereka terjemahkan ke dalam bentuk undang-undang. 

Sebagai contoh, di dalam menyikapi fenomena hubungan pusat-daerah, amandemen UUD 1945 memang telah menempatkan senator sebagai wakil daerah dengan nama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD sebagai wujud respresentasi daerah di pemerintahan pusat malah menjadi semacam manequin politik: Ia ada, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah total anggota DPR dari partai politik, tidak memiliki kewenangan dan veto dalam membentuk legislasi berkenaan dengan kepentingan daerah, dan hanya boleh bicara atau berkomentar seputar undang-undang yang berkenaan dengan otonomi daerah. 

Permasalahan

Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasi sekurangnya dua masalah dalam jalannya perpolitikan Indonesia. Pertama, masalah yang berkenaan dengan hubungan pusat-daerah yang mendorong terbitnya aneka gejala disintegrasi sejak Indonesia berdiri hingga saat ini. Kedua, masalah yang berkenaan dengan penyampaian aspirasi warganegara, terutama di daerah (wilayah selain domisili pemerintah pusat) yang seharusnya ditampung dan dikonversi ke dalam perundangan (konstitusi) yang aturannya bersifat simetris.

Berdasarkan identifikasi atas permasalahan yang dilakukan, maka pertanyaan penelitian ini kami rumuskan ke dalam dua proposisi berikut:

  1. Disintegrasi politik Indonesia diakibatkan oleh aspek pluralisme politik yang belum tertangani secara paripurna melalui pola hubungan pusat-daerah yang simetris, sehingga proses sentrifugal lebih mengentara ketimbang proses sentripetal. 
  2. Elitisme politik merupakan penyebab dari tidak simetrisnya mobilisisasi kepentingan warganegara yang dibawakan partai politik dengan tuntutan aktual warganegara, terutama yang secara geografi politik berada di luar Jawa. 
Untuk menganalisis proposisi pertama akan digunakan teori pluralisme politik yang critical reviewnya disampaikan oleh Anthony H. Birch dan Nazaruddin Sjamsuddin, sementara untuk masalah elitisme penulis akan menguraikan pendapat Birch dalam mengkritisi "teori elit" dari Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels, dan C. Wright Mills.  

Teori

Pluralisme Politik 

Pluralisme politik yang dijadikan teori untuk membuktikan proposisi permasalahan memang belajar dari kasus Amerika Serikat. Namun, penulis melihat adanya relevansi antara kasus secession di Amerika Serikat dengan Indonesia. Birch mencatat, pemikir Pluralis pertama di Amerika Serikat adalah James Madison dan Alexander Hamilton. Obyek dari Pluralisme mereka adalah kasus negara bagian Amerika Serikat. Madison dan Hamilton mengajukan proposal yang hendak mengubah konfederasi longgar negara bagian menjadi Federal. 

Secara metodologis, Birch mengungkap 4 hipotesis, 1 pernyataan normatif, dan konklusi terhadap proposal Madison dan Hamilton. Empat hipotesisnya sebagai berikut:[1]

  1. Para politisi tidak termotivasi oleh altruisme ataupun kepentingan publik, sebaliknya, mereka menikmati penggunaan kekuasaan dan cenderung akan memaksimalisasinya manakala memperoleh kesempatan.
  2. Konflik kepentingan dalam masyarakat tidak terelakkan, lalu konflik akan mendorong pertikaian antar faksi. Kepentingan tersebut misalnya tanah, pabrik, perdagangan, atau masalah keuangan.
  3. Aneka faksi dalam masyarakat, apabila tidak dikoreksi pihak lain, cenderung memaksimalisasi kepentingan sendiri dan merugikan pihak lain. 
  4. Aneka faksi dipimpin atau diwakili para politisi yang diharapkan menggunakan kekuasaannya untuk mempromosikan kepentingan faksionalnya.
Pernyaataan normatif dari Madison dan Hamilton adalah, Amerika harus mengorganisir sistem pemerintahannya sehinga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain. Dominasi disebut Madison sebagai perampasan hak (deprivation of rights). Konklusinya adalah, penggabungan 13 negara bagian ke dalam Federasi sangat dikehendaki, atas dasar peningkatan jumlah dan perbedaan faksi mereduksi kemungkinan satu faksi mendominasi faksi lain.

Jika Madison dan Hamilton adalah ‘suara dari Utara’ maka John C. Calhoun adalah ‘suara dari Selatan.’ Calhoun khawatir apabila pihak Utara mendominasi Kongres, maka mereka akan memanfaatkan kemayoritasannya untuk menghapus perbudakan (cara produksi penting bagi pihak Selatan). Calhoun menyatakan apabila konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) diterapkan pada pemerintahan perwakilan, maka kepentingan minoritas geografis di Amerika akan terlindungi 

Calhoun menganggap konsep mayoritas bersaing ini termaktub dalam konstitusi Amerika. Setiap negara bagian punya perwakilan yang sama di Senat. Pengakuan lainnya adalah, harus ada 2/3 suara dari seluruh negara bagian sebelum amandemen konstitusi diloloskan. Esensi argumentasi Calhoun adalah prinsip kesetaraan suara harus diperluas lewat konvensi, sehingga mayoritas numerik di Kongres tidak akan pernah menggunakan kekuasaannya untuk memotong kepentingan negara bagian tertentu. Calhoun memperingatkan, jika pihak Utara menolak konvensi ini semata karena hendak menghapus perbudakan, maka Selatan akan keluar dari Federasi. Setelah perdebatan di atas, meletuslah Perang Saudara di Amerika, perang antara Utara versus Selatan. 

Birch menarik suatu garis, bahwa fenomena perdebatan Utara-Selatan sebagai bentuk Pluralisme politik yang didasarkan atas seksional (geografis). Pasca Perang Saudara, Amerika mengalami reintegrasi dan Pluralisme yang obyeknya isu kepentingan negara bagian meredup. Keredupan ini, catat Birch, akibat meningkatnya teknologi komunikasi dan industri, yang membuat Amerika semakin homogen. [2] Homogenisasi ini membuat egosektoral Utara dan Selatan berkurang secara signifikan.

Penulis menganalogikan hubungan Utara – Selatan di Amerika Serikat dengan hubungan Jawa – Luar Jawa di Indonesia. Daerah Luar Jawa menguasahi hampir 80% sumber daya alam Indonesia, tetapi mereka tidak mampu memaksimalisasi pemanfaatannya untuk kemakmuran daerahnya sendiri karena terganjal oleh aturan konstitusi yang membatasi kewenangan daerah dalam proses pembuatan legislasi di tingkat pusat. 

Untuk mendukung Teori Birch, penulis akan menambahkan teori integrasi politik dari Nazaruddin Sjamsuddin. Sjamsuddin juga menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan ‘integrasi politik’ adalah :
… suatu proses integrasi yang mengandung bobot politik dan, karenanya, proses ini bersifat politik. Integrasi politik bisa mencakup bidang vertikal, yaitu integrasi antara elit dan massa, atau dapat pula meliputi bidang horizontal, yaitu yang bertujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan teritorial … [dan ini menurut Sjamsuddin] melibatkan dua masalah. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat.[3] 
Sehubungan dengan adanya dua masalah di dalam integrasi politik, Sjamsuddin kemudian mengklasifikasi adanya dua dimensi, melalui pernyataannya bahwa “dimensi yang pertama adalah bagaimana membangun suatu ‘masyarakat teritorial yang homogen’, secara bersamaan dengan dimensi kedua, yakni ‘masyarakat politik yang berpartisipasi.”[4] Bagi Sjamsuddin, tanpa hadirnya ancaman terhadap kepentingan mereka, perasaan kedaerahan tidak akan memiliki motivasi kuat untuk bertindak. [5] Mereka di dalam pemahaman ini adalah warganegara yang hidup di daerah selain pusat kekuasaan. 

Elitisme

Elitisme memandang Elit sebagai aktor politik inti di setiap masyarakat yang terstruktur secara hirarkis, dengan demikian Elitisme berarti cara yang berguna untuk mengidentifikasi dan mempromosikan aneka kondisi yang menguatkan efektivitas Elit. [6] Dengan demikian Elit politik didefinisikan sebagai kelompok individual, yang berukuran kecil, yang relatif kohesif, serta stabil, yang memiliki kekuasaan disproporsional untuk mempengaruhi outcome politik nasional dan supranasional dalam basis yang berkelanjutan.[7]

Studi Birch lebih terletak pada studi klasik Elit, bukan pada Neo-Elitisme maupun Demo-Elitisme. Sebelum mengkritisi pemikiran Pareto, Mosca, Michels, dan Mills [8], Birch terlebih dahulu mengajukan tiga proposisinya sendiri mengenai Elitisme politik, yang kemudian ia gunakan untuk menilai pandangan Elitisme keempat orang tokoh yang ia kritisi. Proposisi A: Bahwa akses ke jabatan politik hanya terbatas pada anggota kelompok sosial kohesif dan relatif kecil, mereka punya kepentingan dan nilai identik yang berdampak politik, dan tidak merefleksikan kepentingan dan nilai mayoritas warganegara.[9] Proposisi B: Pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik secara umum. [10] Proposisi C: Pemegang jabatan, kendatipun tidak mencari kepentingan pribadi, secara teratur mengambil keputusan demi kepentingan kelas atau kelompok warganegara yang relatif kecil. [11] 

Pembahasan

Proposisi 1 

Disintegrasi politik Indonesia diakibatkan oleh aspek pluralisme politik yang belum tertangani secara paripurna melalui pola hubungan pusat-daerah yang simetris, sehingga proses sentrifugal lebih mengentara ketimbang proses sentripetal. Menurut James Madison, Amerika Serikat harus mengorganisir sistem pemerintahan sehingga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain, dan solusi atas hal tersebut adalah penggabungan 13 negara bagian (Selatan) ke dalam federasi Amerika Serikat. Hal ini juga disuarakan oleh Calhoun bahwa pihak Utara tidak boleh mendominasi kongres dan sebab itu harus diterapkan konsep concurrent majority, sehingga kepentingan minoritas geografis akan terlindungi. 

Minoritas dalam konteks Indonesia bukan dalam masalah jumlah, melainkan akses terhadap penyusunan legislasi. Calhoun mengkhawatirkan jika konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) tidak diterapkan, maka akan selalu ada dominasi Selatan oleh Utara. Demikian pula di Indonesia, manakala DPD sebagai representasi daerah hanya punya kekuatan 1/3 suara dari total keanggotaan DPR, maka tidak akan pernah DPD mampu mengimbangi kehendak pemerintah pusat dalam menegosiasikan kepentingan daerah mereka. 

Dalam konteks Amerika Serikat, Calhoun menyebutkan angka 2/3 untuk membuat kesepakatan penerbitan legislasi yang melibatkan kepentingan negara bagian dan dalam konteks Indonesia, apabila jumlah anggota DPD tidak bisa memperoleh jumlah yang setara dengan jumlah anggota DPR, maka paling tidak DPD harus memiliki hak pengusulan undang-undang yang bernuansa kepentingan daerah atau memiliki veto untuk membatalkan undang-undang yang merugikan kepentingan daerah. Dalam kondisi status quo DPD tidak memiliki kewenangan yang signifikan untuk memajukan kepentingan daerah. Untuk mengubah peran DPR ini perlu sebuah amandemen konstitusi yang menentapkan komposisi jumlah anggota DPR dan DPD serta kewenangan yang dimilikinya dan ini tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. 

Alternatif lain upaya preventif fenomena disintegrasi politik wilayah diajukan oleh Nazaruddin Sjamsuddin. Sjamsuddin dalam teori integrasi politiknya menyatakan bahwa dalam hal integrasi horizontal, harus ada upaya untuk menjembatani perbedaan-perbedaan teritorial. Daerah harus diberikan kesempatan yang sama besarnya dengan pemerintah pusat dalam mengelola keunikan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka masing-masing. Persoalan pemerintah pusat bagi Sjamsuddin adalah bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara dan bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat. Kedua hal ini hanya dapat terselenggara apabila daerah diberikan kesempatan yang setara dengan pusat dalam menentukan karakter politik wilayah masing-masing. Hal ini hendaknya dilakukan mengingat sebelum Indonesia terbentuk, sesungguhnya Indonesia terdiri atas komunitas politik yang sifatnya multinasional: Ada Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Deli, Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Kupang, Kerajaan Hitu, Kesultanan Tidore dan masih banyak lagi. Ini belum ditambah dengan potensi daerah dan karakter masyarakat yang satu daerah dan daerah lain cukup berbeda, paling tidak bahasa (kendati Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan). 

Tujuan dari integrasi politik Indonesia adalah masyarakat teritorial yang homogen dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Makna dari homogen ini bukan semua harus sama melainkan setiap daerah dimungkinkan memiliki keunikan masing-masing, memelihara, dan mengembangkannya sehingga pada diri masing-masing daerah akan muncul kebanggaan yang homogen tentang apa itu Indonesia. Kondisi homogen ini, lanjut Sjamsuddin dapat terjamin apabila daerah, melalui wakil-wakil mereka, berpartisipasi dalam setiap pembuatan peraturan yang melibatkan diri mereka. Sebab, tanpa adanya partisipasi mereka dalam proses pembuatan kebijakan, mereka akan terasing dari padanya dan akan menganggap bahwa kebijakan yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat sebagai wujud agresi atas komunitas politik mereka. 

Persoalan-persoalan seperti ini yang mengemuka selama terjadinya kasus disintegrasi politik di Indonesia. Akar masalahnya adalah pada distribusi kesejahteraan dan perhatian pusat atas daerah. Distribusi dan perhatian ini tidak akan pernah selesai manakala pemerintah pusat tidak responsif atas kepentingan daerah yang sangat beragam dan belingkup wilayah geografis begitu luas. 

Berpartisipasi [12] artinya daerah bukan obyek eksploitasi pusat melainkan mitra (partner), di mana mereka (daerah-daerah ini) saling sepakat satu sama lain, bahwa mereka mengikat diri ‘dengan sejumlah kontrak’ dengan pemerintah pusat (negara) dan ikut menentukan nasib mereka lewat penerbitan perangkat undang-undang yang menguntungkan daerah mereka. Setiap terjadi masalah antara pusat dan daerah, maka Sjamsuddin menyatakan pencarian solusinya berdasarkan “at the problems from the perspective of the region concerned, and not from the national level.” [13]

Fenomena disintegrasi di Indonesia sulit untuk diselesaikan mengingat luasnya dan sifat masyarakat Indonesia yang multinasional. Apabila negara (pemerintah pusat) tidak sensitif dalam menanganinya, maka situasi akan lebih diperparah dengan adanya asumsi dikalangan rakyat bahwa pemerintah pusat identik dengan unsur primordial tertentu (etnis, bangsa).[14] Nazaruddin Sjamsuddin secara terbuka menyatakan bahwa di Indonesia kecurigaan tersebut adalah faktual dengan menyatakan “.. memang kebanyakan elit politik dan pakar di Pulau Jawa cenderung untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan: untuk itu mereka sering mendiskreditkan Federalisme.” [15] Wujudnya adalah sikap politik negara bagian atau provinsi itu bahwa jalan sudah buntu, dan satu-satunya jalan menghapus ketimpangan ekonomi dan politik adalah dengan memisahkan diri dengan pemerintah pusat. Inilah yang menjadi kekhawatiran dari Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya Mengapa Indonesia Harus Menjadi Negara Federasi. [16] “Arus sentrifugal akan terakomodasi dengan baik dalam sistem federal. Kebebasan dan kekuasaan yang besar dan yang dimiliki masyarakat daerah-daerah akan memungkinkan sistem itu [yaitu federasi] mengubah arus sentrifugal … menjadi sentripetal. Di dalam sistem federal, tingkat kepuasan masyarakat daerah terhadap negara [pusat] secara keseluruhan akan meninggi. [17]

Proposisi 2

Elitisme politik merupakan penyebab dari tidak simetrisnya mobilisisasi kepentingan warganegara yang dibawakan partai politik dengan tuntutan aktual warganegara, terutama yang secara geografi politik berada di luar Jawa. Birch menyatakan dalam Proposisi B yang menyatakan bahwa pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik secara umum. Ini adalah elitisme dari partai politik berskala nasional. 

Seperti diketahui bersama bahwa amandemen UUD 1945 yang kemudian menghasilkan kebijakan berdirinya DPD memang cukup melegakan. Namun, karena yang menyusun adalah partai-partai politik skala nasional, mereka ingin tetap memegang kendali. Maka disusunlah di dalam amandemen UUD 1945 itu bahwa DPD boleh ada tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi 1/3 jumlah anggota DPR dari partai politik. Secara logika pengambilan keputusan, tidak akan mungkin 1/3 akan mengalahkan 2/3, padahal menurut Calhoun sendiri dalam konsepnya mengenai concurrent majority jumlah 2/3 dari para pengambil keputusan harus menjamin keterwakilan dari kelompok minoritas, yang dalam hal ini ditempati oleh ‘daerah.’ 

Partai politik di Indonesia rata-rata masih berpola patron-klien, dalam arti pengangkatan para pimpinan partai di tingkat daerah dan cabang harus memperoleh restu dari pusat. Pimpinan partai di tingkat pusat ini telah mengalami aneka keuntungan manakala hanya DPR yang berperan di legislatif dan sebab itu berupaya menahan arus bertumbuhnya peran DPD. Ini merupakan suatu gejala politik elit yang tidak sehat sehingga membuat elit-elit potensial yang benar-benar mewakili daerah tertentu (senator) tidak akan dapat berbuat banyak bagi perkembangan daerahnya sendiri lewat serangkaian legislasi yang dibuat oleh pemerintah pusat. 

Kesimpulan

1. Disintegrasi politik Indonesia diakibatkan oleh aspek pluralisme politik yang belum tertangani secara paripurna melalui pola hubungan pusat-daerah yang simetris, sehingga proses sentrifugal lebih mengentara ketimbang proses sentripetal. Hal ini akibat daerah tidak memiliki representasi politik yang memadai di dalam pembuatan legislasi tingkat pusat, yang terwujud dari ‘kerdilnya’ peran legislatif dari Dewan Perwakilan Daerah. 

2. Elitisme politik merupakan penyebab dari tidak simetrisnya mobilisisasi kepentingan warganegara yang dibawakan partai politik dengan tuntutan aktual warganegara, terutama yang secara geografi politik berada di luar Jawa. Hal ini diakibatkan masih kuatnya budaya patron-klien yang membuat pimpinan partai di tingkat daerah dan cabang harus tunduk pada kepentingan pimpinan partai di tingkat pusat. 

Temuan Masalah

1. Hubungan pusat-daerah di Indonesia tidak akan pernah selesai. Daerah memiliki sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh pemerintah pusat. Namun, daerah merasa bahwa pusat melakukan eksploitasi atas sumber daya alam milik daerah yang seharusnya dikelola secara maksimal oleh daerah, bukan pusat. Baru kemudian daerah membayar fee hasil pengolahan kepada pemerintah pusat yang dananya akan digunakan pusat untuk membiayai aparatus dan pembangunan yang sifatnya lintas daerah. 

2. Elitisme partai politik merupakan penyebab utama tersumbatnya aspirasi komunitas politik di tingkat daerah. Partai-partai berskala nasional ditengarai masih tunduk pada pimpinan partai di tingkat pusat, dan pimpinan partai di tingkat pusat memiliki vested interestnya sendiri terhadap fenomena negara kesatuan yang menguntungkan mereka. Sebab itu perlu didorong munculnya partai-partai politik yang sifatnya memperjuangkan kepentingan daerah. Namun, hal ini cukup sulit mengingat legislasi untuk dikeluarkannya peraturan mengenai hal tersebut harus disetujui oleh DPR, di mana pimpinan partai tingkat pusat mengatur anggotanya melalui aneka fraksi yang ada di dalam parlemen. [sb]
    ---------------------------------------

    Catatan Kaki:
    1. Anthony H. Birch, The Concept and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London and New York: Routledge, 2001) pp. 177 – 212. pp. 177 – 8. 
    2. ibid., p. 179.
    3. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989).., h. 5.
    4. ibid., h. 7.
    5. ibid., h. 17.
    6. John Higley, “Continuities and Discontinuities in Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave Handbook of Political Elites (London: Palgrave MacMillan, 2018) p. 30.
    7. ibid., p. 3. Jan Pakulski menyatakan, pelacakan teori Elit dapat dirujuk hingga tulisan Niccolo Machiavell dan Thomas Hobbes, yang kemudian dilanjutkan oleh kalangan Liberal Eropa seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels, Max Weber, Joseph Schumpeter, dan Ortega y Gasset yang berkembang dari 1890an hingga 1940an. Lihat Jan Pakulski, “The Development of Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave …, op.cit., p. 9.
    8. Vilfredo Pareto adalah sosiolog Italia dalam masa pembentukan ilmu tersebut. Gaetano Mosca adalah pengacara konstitusi dan anggota parlemen garis liberal Italia yang kerap dipandang sebagai Bapak ilmu politik Italia yang menerbitkan The Ruling Class tahun 1896. Robert Michels adalah sosiolog Jerman yang karya utamanya terbit tahun 1911, dan Michels sekaligus anggota partai Sosial Demokrat Jerman. C. Wright Mills adalah sosiolog Amerika yang menulis The Power Elite tahun 1956. Dari 4 penulis ini, 3 orang teridentifikasi sebagai sosiolog sekaligus pemain politik (Pareto, Mosca, dan Michels). Sebagai sosiolog, tentu saja mereka akan berbeda dalam memandang fenomena politik seperti Birch (yang berasal dari disiplin Ilmu Politik). Dengan demikian, penilaian Birch atas teori Elit mereka layak untuk dikritisi, karena Birch kendati ilmuwan politik bukan pemain politik. 
    9. Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 187.
    10. ibid.
    11. ibid.
    12. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi … , op.cit., h. 7.
    13. Nazaruddin Sjamsuddin, The Republical Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985) p. viii. 
    14. Ibid., p. 96. 
    15. Nazaruddin Sjamsuddin, Mengapa Indonesia Harus Menjadi Negara Federasi (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2002) h. 23. 
    16. Ibid.
    17. Ibid.


    No comments:

    Post a Comment