Latest News

Sunday, January 19, 2020

Model-model Demokrasi Lijphart dan Aplikasi Ringkas di Indonesia


Artikel ini akan menyoroti dua pokok pembicaraan Lijphart dalam bukunya Democracies: Patterns of Majoritarian dan Concescus Government in Twenty-One Countries, buku yang pertama kali terbit tahun 1984 dan edisi revisinya terbit tahun 1999.[1] Kedua pokok pembicaraan itu adalah komparasinya atas: 1) Dua Model Demokrasi (Westminster dan Konsensus) dan 2) Pola hubungan legislatif-eksekutif dalam sistem pemerintahan Presidensial dan Parlementer.

Pertama, akan dimuat secara ringkas komparasi Lijphart mengenai Model Demokrasi Westminster dan Konsensus. Model Westminster ideal typhusnya mengaju pada Inggris, yang juga berlaku di Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Model Konsensus ideal typhusnya mengacu pada Swiss dan Belgia. Kedua model ini mengacu pada mekanisme perwakilan warganegara di dalam sistem politik. 

Model Westminster, menurut Lijphart memiliki 9 karakteristik yaitu: 1) Konsentrasi kekuasaan eksekutif di satu partai dan kabinet yang berasal dari partai mayoritas; 2) Fusi kekuasaan dan dominannya posisi kabinet; 3) Bikameralisme asimetris; 4) Sistem dua partai; 5) Sistem kepartaian yang satu dimensi seputar isu; 6) Sistem Pemilu pluralitas (suara terbanyak); 7) Pemerintahan sentralistik dan bentuk negara kesatuan; 8) Konsitusi tak tertulis dan kedaulatan di tangan parlemen; dan 9) Demokrasi perwakilan yang sifatnya eksklusif (hampir tidak memberi tempat pada Demokrasi Partisipatoris/Referendum). [2]

Model Konsensus, menurut Lijphart terdiri atas 8 karakteristik utama yaitu: 1) Adanya pembagian kekuasaan eksekutif berdasarkan koalisi; 2) Pemisahan kekuasaan, formal dan informal; 3) Bikameralisme setimbang dan perwakilan minoritas; 4) Sistem multi partai; 5) Sistem kepartaian yang bersifat multidimensi dalam hal isu; 6) Perwakilan proporsional; 7) Federalisme teritorial dan nonteritorial serta desentralisasi bentuk negara; dan 8) Konstitusi tertulis dan veto minoritas. [3]

Kedua, setelah menawarkan dua ideal-typhus Model Demokrasi, Lijphart kemudian bicara seputar hubungan eksekutif-legislatif di dua sistem pemerintahan: parlementer dan presidensial.[4] Bagi Lijphart, secara umum, Model Westminster mendorong adanya dominasi kekuasaan oleh cabang eksekutif, sementara parlementer mendorong kesetimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.[5] Menurut Lijphart, dengan mengutip Leon D. Epstein, sistem pemerintahan parlementer adalah “the form of constituional democracy in which executive authority emerges from, and is responsible to, legislative authority.”[6] Perdana menteri beserta kabinetnya dipilih berdasarkan konfigurasi suara di dalam parlemen, yang apabila tidak ada satu partai berkuasa 50 + 1 maka posisi eksekutif rentan untuk dimakzulkan oleh parlemen. Sementara itu, mengenai sistem presidensial, Lijphart menulis “In a presidential system, the chief executive – the president --- is elected for a constituionally prescribed period and in normal circumstances cannot be forced to resign by a legislative vote of no confidence … presidents are popularly elected …. And that prime ministers are selected by the legislatures [7] Secara ideal, presiden (dan kabinetnya) di sistem pemerintahan presidensil tidak dapat dijatuhkan begitu saja oleh parlemen, berbeda dengan sistem parlementer di mana perdana menteri (dan kabinetnya) menjadi obyek dari mosi tidak percaya parlemen. 

Aplikasi Konsep Lijphart di Indonesia Era 1953 - 1957

Dua Model Demokrasi Lijphart secara paripurna tidak pernah terjadi di Indonesia. Namun, apabila dilihat melalui sejumlah karakteristiknya dapat saja sejumlah fakta empiris ditemui. Model Westminster dan Konsensus pernah berlangsung sejak 1953 hingga 1957, di era Demokrasi Liberal I, atau yang disebut Herbert Feith sebagai Demokrasi Konstitusional.[8] Agar lebih sistematis, era ini akan dikomparasikan menurut 9 karakter Demokrasi Westminster Lijphart. 

Pertama, konsentrasi kekuasaan eksekutif di satu partai dan kabinet yang berasal dari dari partai mayoritas tidak terjadi. Indonesia era 1953-1957 ditandai polarisasi ideologi yang tajam dan tercermin ke dalam 4 besar parpol pemenang Pemilu, berturut-turut PNI, NU, Masyumi, dan PKI yang keempatnya mencerminkan bifurkasi dalam masyarakat Indonesia. Justru yang berlaku adalah karakteristik Model Konsensus, yaitu ada pembagian kekuasaan eksekutif berdasarkan koalisi. Namun, koalisi yang terjadi cukup rapuh sehingga mudah dijatuhkan oleh mosi tidak percaya parlemen. 

Kedua, Indonesia era 1953-1957 memang ditandai fusi kekuasaan dan dominannya posisi kabinet karena kabinet terbentuk atas koalisi sejumlah partai. Ini menandai Indonesia sedikit mendekati Model Westminster ketimbang Model Konsensus. Konfigurasi koalisi dalam parlemen tercermin ke dalam kabinet yang kemudian terbentuk berdasarkan konfigurasi tersebut. 

Ketiga, Indonesia era 1953-1957 lebih dekat ke Model Konsensus ketimbang Model Westminster dalam hal kamar legislatif. Pemilu 1955 memilih langsung dua jenis keanggotaan parlemen. Satu kamar untuk DPR dan kamar lain untuk Badan Konstituante. Kamar DPR membentuk eksekutif, sementara Badan Konstituante menyusun Undang-undang Dasar baru (untuk menggantikan UUD Sementara 1950). Untuk periode yang singkat (kurang lebih 4 tahun) Indonesia memiliki dua kamar legislatif yang setimbang, kendati perwakilan minoritas tidak secara spesifik disediakan tempat, melainkan melalui partai-partai politik. 

Keempat, untuk sistem kepartaian, sangat jelas bahwa era 1953-1957 ditandai oleh sistem multipartai dan ini merupakan karakter khas dari Model Konsensus. Partai yang mengikuti Pemilu 1955 lebih dari 10 partai, dan 4 partai teratas justru mencerminkan bifurkasi yang tajam dalam masalah ideologi. 

Kelima, Demokrasi Indonesia di era 1953-1957 jelas tidak bisa dikategorikan dengan Model Westminster yang bercirikan yang satu dimensi seputar isu melainkan lebih kepada Model Konsensus yang bersifat multidimensional dalam soal isu. Empat partai teratas mencerminkan isu yang berbeda: PNI yang mewakili isu kejawaan, birokrat, dan nasionalisme domestik; NU yang mewakili kalangan santri kultural dan kalangan Islam wilayah pedesaan dengan mayoritas pemilih berasal dari Pulau Jawa (kendati di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi juga terdapat, kendati tidak signifikan), Masyumi merepresentasikan isu Islam yang lebih puritan, kalangan pedagang (terutama wilayah perkotaan dan pesisir), juga kalangan Islam modernis dengan basis terutama di luar Pulau Jawa; dan PKI yang merepresentasikan isu internasionalisme, Islam abangan, kalangan buruh-tani, dengan basis utama di Jawa Tengah. Secara geografi politik pun, Indonesia terbelah menjadi Jawa dan Luar Jawa. Munculnya pemberontakan Negara Islam Indonesia dan PRRI-Permesta di era ini menguatkan mutidimensi isu politik yang ada di Indonesia. 

Keenam, sistem Pemilu yang berlaku di era 1953-1957 jelas bukan pluralitas melainkan proporsional. Dengan demikian, era Demokrasi Indonesia tersebut lebih dekat kepada Model Konsensus ketimbang Model Westminster. Pemilihan sistem proporsional tersebut jelas disengaja mengingat begitu terbelahnya masyarakat Indonesia dan tercermin ke dalam banyaknya partai politik yang mengikuti Pemilu 1955. 

Ketujuh, pemerintahan sentralistik dan bentuk negara kesatuan tengah berlaku kembali di Indonesia pasca bubarnya Republik Indonesia Serikat 1950 melalui mosi integralistik kabinet Natsir I. Melihat pada fakta ini maka akan mudah sekali untuk menyebutkan bahwa Indonesia lebih dekat kepada Model Westminster ketimbang Model Konsensus. Namun, di era ini bentuk negara belum final apakah kesatuan ataukan federasi mengingat sedang diprosesnya konstitusi baru oleh Badan Konstituante. 

Kedelapan, mengenai ciri konstitusi tidak tertulis dan kedaulatan di tangan parlemen, Demokrasi Indonesia era 1953-1957 sukar untuk dipastikan untuk masuk kategori Model Westminster. Juga sulit untuk dimasukkan ke dalam Model Westminster yaitu adanya konstitusi tertulis dan veto oleh kelompok minoritas. Hal yang dapat dipastikan di era ini adalah, terdapat kegelisahan di kalangan militer (yang direpresentasikan Jenderal Nasution) bahwa jatuh-bangunnya kabinet era 1953-1957 dan kemungkinan deadlock di Badan Konstituante, mendorong Nasution berkoalisi dengan Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan Badan Konstituante dan memberlakukan kembali konstitusi 18 Agustus 1945. Demokrasi di era 1953-1957 merupakan ‘laboratorium’ pertama Demokrasi Indonesia, yang akibat ‘ketidaksabaran’ pihak militer terpaksa harus berakhir secara prematur. Namun, kegelisahan pihak militer ini dapat dipahami mengingat usia Indonesia yang masih muda ditengarai oleh sejumlah embrio disintegrasi wilayah. Terjadi pemberontakan PRRI-Permesta yang didukung oleh Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, yang di daerah didukung oleh sejumlah perwira menengah yang tidak puas atas perlakuan pemerintah pusat, terutama dalam hal restruktrurisasi dan reorganisasi sistem kemiliteran Indonesia. 

Kesembilan, era Demokrasi Liberal I Indonesia 1953-1957, apabila dikategorikan sebagai menganut Model Westminster yaitu Demokrasi Perwakilan yang sifatnya eksklusif pun tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan tepat. Demokrasi Liberal I yang terjadi di Indonesia bercorak elitis, dengan mana elit-elit partai yang memperoleh ‘karcis’ parlemen lewat Pemilu 1955 secara oligarkis memonopoli kendali arah negara. Massa mereka libatkan sebatas untuk memperkuat argumentasi mereka, bukan sebaliknya. [sb]

---------------

Catatan Kaki:

[1] Arend Lijphard, Democracies: Patterns of Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1984) pp. 1 – 97. 
[2] Ibid., p. 6 – 9. 
[3] Ibid., p. 23-30.
[4] Ibid., p. 67. 
[5] Ibid. p. 67.
[6] Ibid., p. 68. 
[7] Ibid. p. 68. 
[8] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Singapore: Equinox, 2007) p. 556. Era Desember 1949 hingga Juni 1953 terdiri atas 4 kabinet, yaitu Hatta, Natsir I, Sukiman, dan Wilopo. Kabinet ini tidak dipilih lewat Pemilu melainkan ditunjuk oleh Sukarno sebagai presiden saat itu. Sukarno sendiri tidak memiliki kewenangan besar atas eksekutif karena eksekutif ada di bawah kendali parlemen. 


No comments:

Post a Comment