Latest News

Friday, February 28, 2020

Teori Negara Kesejahteraan dan Kritiknya

Negara Kesejahteraan atau Welfare State adalah upaya ideologi Liberalisme untuk bertahan hidup. Bagi William Ebenstein, konsep kesejahteraan secara alami telah melekat pada konsep negara.[1] Apapun bentuk negaranya, pasti ada kehendak kuat bahwa kesejahteraan dapat dicapat lewat instrumentalitas dari organisasinya, pemerintah.[1] Ebenstein menyatakan, kendati disangkal oleh teoretisi pendukung laissez-faire, masalah kesejahteraan ini bahkan sudah dibahas oleh Bapak laissez-faire, Adam Smith tahun 1776, dalam The Wealth of Nations. Bagi Ebenstein, The Wealth of Nations mengindikasikan konsep ekonomi laissez-faire yang kuat tetapi tidak dogmatis, sebab bagi Smith, catat Ebenstein, upaya menumpuk kesejahteraan adalah tujuan hakiki eksistensi manusia.

Fundasi Konsep Negara Kesejahteraan

Bagi Adam Smith, menurut Ebenstein, tugas utama negara ada empat. Pertama, menjamin kebebasan rakyatnya terhadap agresi asing dan perbudakan, kendati untuk itu harus melakukan pengorbanan finansial yang signifikan. Kedua, melindungi setiap anggota masyarakat terhadap ketidakadilan dan opresi yang dilakukan satu anggota terhadap anggota lainnya. Ketiga, mengadakan dan memelihara berbagai lembaga dan pekerjaan publik, yang diyakini memberi kebaikan bagi masyarakat sebagai keseluruhan, tanpa ada satu atau sekelompok individu yang mengambil keuntungan daripadanya.[2] Bagi Smith, lanjut Ebenstein, negara tidak hanya bertanggung jawab untuk menyediakan aneka infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, ataupun kanan, tetapi juga harus memperhatikan pendidikan rakyat dan sejumlah aspek kesehatan publik. Keempat, kendati menolak intervensi merusak negara terhadap mekanisme harga, negara harus meregulasi harga roti dalam rangka melindungi rakyat terhadap eksploitasi yang tidak adil atas mereka.[3]

Utilitas adalah konsep kunci yang menghubungkan antara analisis dengan kebijakan ekonomi. Dalam konsep Utilitas, tidak ada suatu lembaga ataupun kebijakan yang selamanya terus bersifat valid, karena ia menjadi relatif manakala diperhadapkan dengan kebahagiaan manusia. Awalnya, para ekonom Klasik seperti Adam Smith, John Stuart Mill, dan Jeremy Bentham, menyatakan laissez-faire sebagai konsep ekonomi yang paling dekat dengan kebahagiaan manusia.Namun, ketiganya tidak dogmatik dalam memandang Utilitas laissez-faire berkenaan dengan pencapaian kebahagiaan manusia. Ebenstein mencatat, baik Bentham maupun Mill menunjukkan perubahan cara pandang manakala Industrialisme berkembang. Bahkan, pandangan keduanya semakin dekat dengan konsep welfare state abad ke-20. Bentham dan Mill tetap memposisikan kebahagiaan sebagai tujuan negara, laissez-faire atau lainnya, sekadar cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.

Ebenstein menguraikan tiga kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan pemikiran para ekonom Liberal Klasik, dari laissez-faire menuju welfare state. Pertama, kekuatan yang bersifat ekonomi. Di abad ke-18 atau awal abad ke-19, kegiatan ekonomi bertumpu pada pertanian, perdagangan, dan perusahaan skala kecil. Kegiatan ini utamanya dikendalikan oleh sebuah keluarga. Sebab itu, mereka menolak intervensi negara ke dalam kegiatan ekonomi mereka. Warganegara di masa ini relatif mandiri dalam mengurus kebutuhan dan urusan bisnis mereka, dan situasi ekonomi saat itu memang memungkinkan. Namun, begitu ditemukan teknologi mesin uap yang kemudian disusul berdirinya aneka pabrik skala menengah dan besar, kondisi ekonomi berubah. Muncul korporasi-korporasi bisnis di mana warganegara semakin bergantung kepadanya. 

Industrialisasi berakibat munculnya fenomena interaksi dari tiga hal: Kekuatan impersonal dari siklus bisnis, investasi, dan kebijakan fiskal pemerintah. Ketiganya amat menentukan apakah warganegara yang kini menjadi ketergantungan, untuk tetap memiliki atau kehilangan pekerjaannya. Juga, pada berapa besaran income yang mereka peroleh. Keputusan ini bukan lagi berada di tangan individu melainkan pada interaksi rumit dari tiga fenomena tadi. Efek yang paling terasa bagi warganegara adalah dalam situasi terjadinya wabah penyakit massal, yaitu manakala asosiasi karitatif sukarela tidak lagi dapat menanggulanginya. Kini, tinggallah negara sebagai satu-satunya instrumen tempat mereka menyandarkan problemnya. Dalam cara pandang ini welfare state diterima sebagai wujud pengakuan kaum Liberal Klasik atas fakta Kapitalisme telah mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa lalu. Warganegara di era Kapitalisme lebih banyak merupakan orang upahan ketimbang berswadaya ekonomi. Sebab itu, warganegara di era Kapitalisme sangat bergantung pada kekuatan ekonomi di luar diri mereka sendiri, dan kekuatan ini bersifat impersonal: Tidak jelas lagi siapa yang dituju. Pada sisi lain, Kapitalisme bersifat egoistik karena individu yang kuat secara ekonomi cenderung memikirkan kepentingannya sendiri: Profit. 

Kedua, kekuatan yang mendorong transisi pemikiran dari laissez-faire menuju welfare state adalah politik.[4] Hak pilih yang semakin luas di abad ke-20 mendorong munculnya kesadaran pada diri warganegara bahwa mereka punya kapasitas lain di luar sekadar memilih para wakil rakyat dan pemerintahan yang nantinya akan dibentuk. Kapasitas lain tersebut adalah kesadaran akan kemampuan diri mereka untuk mengubah kondisi ekonomi dan sosialnya lewat suara yang mereka berikan. 

Pada saat awal, warganegara semata hanya memilih wakil mereka dan setelah itu mempercayakan proses pengambilan kebijakan padanya. Seiring perjalanan waktu, warganegara sadar bahwa suara mereka juga merupakan instrumen kekuasaan politik yang sifatnya individual. Kini mereka memanfaatkan kegiatan Pemilu berdasarkan kebutuhan aktual mereka. Mayoritas Pemilih yang menderita kondisi kemiskinan dan aneka kekurangan dalam hidupnya, mengarahkan pilihan politik mereka hanya pada calon wakil rakyat atau presiden yang dianggap akan memberi jalan keluar atas kesulitan mereka. Siapapun wakil rakyat atau presiden yang mampu memberi harapan atas jalan keluar tersebut yang punya kesempatan menang Pemilu ketimbang yang tidak. Kepentingan warganegara semacam ini mendorong partai-partai di Amerika dan Inggris cenderung memiliki kesamaan isu dan kebijakan: Aneka partai politik memprioritaskan komitmennya atas welfare state

Ketiga, kekuatan yang mendorong transisi pemikiran dari laissez-faire menuju welfare state adalah psikologis.[5] Warganegara tidak lagi menganggap penderitaan dan kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak diubah. Warganegara menyadari hak-hak mereka untuk mengalami kebahagiaan hidup di dunia, bukan sekadar di akhirat. Kebahagiaan tadi juga bukan semata harus bersifat kejiwaan, merupakan juga harus terwujud secara material, dan keduanya harus terjadi saat ini juga dalam masa hidup mereka. Warganegara juga telah sadar bahwa pengetahuan yang mereka kuasai, dan penguasaan mereka atas alam, punya kekuatan potensial guna mengenyahkan kemiskinan dari muka bumi. Sebelum Revolusi Industri, kemiskinan kerap dipandang sebagai nasib, tetapi setelah Revolusi Industri kemiskinan dianggap akibat masalah struktural dalam masyarakat dan sebab itu dapat dihabisi hingga akar-akarnya. 

Bagi Ebenstein, prinsip utama welfare state cukup sederhana. Pertama, pengakuan bahwa setiap anggota masyarakat berhak menikmati standar hidup minimal. Kedua, welfare state punya komitmen atas kebijakan ekonomi yang berorientasi progres dan stabilitas, yang berupaya meniadakan kemungkinan krisis ekonomi untuk terjadi di masyarakat, manakala perusahaan-perusahaan swasta tidak bisa menanganinya. Ketiga, welfare state berkomitmen penuh pada penyediaan lapangan kerja sebagai prioritas kebijakannya. Depresi ekonomi tahun 1930-an menunjukkan gagalnya laissez-faire dalam menjinakkan Kapitalisme yang berujung pada pengangguran massal dan menurunnya daya beli masyarakat. 

Namun, welfare state tidak lantas dipersamakan dengan Sosialisme-Komunisme. Dalam welfare state inisiatif-inisiatif perusahaan dan bisnis privat justru diperkuat.[6] Penguatan ini tampak pada perhatian negara atas sektor pajak, tingkat suku bunga, kebijakan fiskal, insentif investasi, proyek padat karya (public works), dan kredit pemerintah. Di sektor sosial, welfare state memberikan perlindungan atas warganegara miskin, jompo, dan sakit.

Pandangan Roosenvelt atas Welfare State dalam The Philosophy of the New Deal 

Di Amerika Serikat, welfare state menemukan momentumnya dalam Depresi Besar tahun 1930-an. Depresi ini diawali crash pada Wall Street Oktober 1929 dan mencapai puncaknya tahun 1932. Peristiwa ini mendorong munculnya ketidakpercayaan pada tradisi ekonomi laissez-faire untuk mengatasinya. Alternatifnya, muncul dorongan untuk melibatkan intervensi pemerintah dalam mengatasi krisis dan membuat serangkaian kebijakan preventif atasnya.

Serangkaian kebijakan ini dikenal sebagai New Deal, yang diawali pada tahun pertama pemerintahan Franklin D. Roosenvelt.[7] Ebenstein menulis, sesungguhnya apa yang diberlakukan Roosenvelt bukan hal baru dalam sejarah Amerika sebab sebelumnya sudah dikenal konsep good life dalam tradisi Amerika. Hanya saja, awalnya konsep ini menyandarkan diri pada aspek relijiusitas manakala imigran dari Inggris dan Eropa datang ke benua Amerika. Di Amerika mereka membentuk commonwealth atau koloni-koloni yang ingin memastikan terciptanya kesejahteraan bersama. Saat di Amerika ini, mereka menemukan bahwa sumberdaya yang ada di tanahnya begitu melimpah. Sejak itulah, konsep good life yang awalnya berkonteks relijius berubah menjadi material.[8]

Namun, konsep good life ini masih kabur akibat lebih berbobot psikologis ketimbang tercermin dalam kebijakan negara. Baru kemudian saat Amerika dalam proses pendirian, terdapat upaya membakukan konsep good life ke dalam konstitusi. Maka terdapatlah premis-premis perdagangan, tarif, mata uang, dan isu ekonomi lainnya selain tentunya pembentukan republik rakyat dalam konstitusi Amerika. Misalnya, tahun 1791 Alexander Hamilton mengajukan Report on Manufactures yang isinya proposal bahwa sebaiknya perkembangan industri [privat] Amerika dibantu oleh negara.[9] Juga, Thomas Jefferson dan Andrew Jackson mengajukan gagasan dan kebijakan untuk menyesuaikan perkembangan ekonomi Amerika dengan perkembangan bangsa Amerika ke dalam konstitusi.

Setelah Perang Saudara, efek Revolusi Industri, berbarengan dengan ekonomi laissez-faire, menyebar dan memunculkan aneka masalah baru. Ini mendorong terbentuknya organ-organ di level pemerintah Federal yang tujuannya meregulasi bisnis demi melindungi kepentingan publik, seperti misalnya Interstate Commerce Commission dan the Federal Trade Commission. Juga muncul aneka protes dari warganegara yang mempermasalahkan masalah monopoli ekonomi oleh perusahaan besar. Kini rakyat Amerika sudah membuka mata bahwa laissez-faire semata tidak akan bisa menangani daya rusak yang inheren di dalam perilaku Kapitalisme yang tak terkendali. 

Ebenstein menulis, apabila New Deal diperbandingkan dengan aneka kebijakan yang dibuat di masa pra Roosenvelt (administrasi Hoover), maka kebijakan welfare state ini terkesan radikal bahkan agak revolusioner.[10] Namun, apabila New Deal diperbandingan dengan kebijakan eliminasi atas aneka trust di era Theodore Roosenvelt atau New Freedom yang dikampanyekan Woodrow Wilson, New Deal cukup 'jinak' dan cenderung tradisional. Ini akibat welfare state dalam New Deal hanya bersifat pragmatis, bukan perencanaan yang disusun secara teoretis, sehingga kebijakan Roosenvelt ini hanya berlaku kasuistik (mengatasi depresi ekonomi), tidak holistik dalam pengertian bisa diterapkan begitu saja di negara-negara lain. 

Apa sebenarnya yang dimaksud welfare state di dalam New Deal Roosenvelt? Dalam pidatonya, New Deal yang dijanjikan Roosevelt meliputi peningkatan ketersediaan lapangan kerja, dukungan atas harga komoditas pertanian, penciptaan pasar pegadaian, mempersingkat hari dan minggu kerja, meregulasi keamanan, memulihkan perdagangan internasional, penghijauan pedesaan, dan mengulangi aneka aturan pembatasan. Pada akhir dekade 1930an, New Deal merambah asuransi sosial bagi kaum jompo, penganggur, dan cacat, manajemen irigasi, dukungan atas serikat buruh, asuransi deposito, dan penguatan Federal Reserve System. [11] Namun, New Deal tidaklah mengakhiri Great Depression melainkan ”industries needed to make guns for World War II made that happen.”[12] Maknanya, kebergairahan ekonomi baru lantas terjadi bukan akibat New Deal melainkan peningkatan produksi (juga pelibatan tenaga kerja ke dalamnya) ke dalam industri Perang Dunia II. Sungguh memiriskan hati.

Kondisi paling jelas yang melingkupi munculnya New Deal adalah, kegelisahan publik atas ketidakmampuan Hoover dan kaum Republikan dalam mengatasi Depresi ekonomi. Roosenvelt dianggap membawa angin segar dan diasumsikan akan mampu mengatasi sejumlah persoalan ekonomi mendasar. Roosenvelt, dalam kampanye kepresidennya, menekankan harus adanya intervensi negara dalam mengatasi Depresi ekonomi. Roosenvelt juga mengingatkan bahwa intervensi negara sudah ada, bahkan sebelum Depresi terjadi. Misalnya, dalam hal perdagangan, praktisi bisnis Amerika meminta negara melidungi mereka lewat kebijakan tarif, untuk mengatasi persaingan dengan pengusaha dari negara asing. Namun, aneka proteksi yang diminta tersebut bersifat eksklusif, akibat hanya diajukan oleh sekelompok pengusaha. Bagaimana dengan warganegara lainnya yang jumlahnya lebih banyak?

Roosenvelt menyatakan ‘setiap kelompok mencari proteksi pemerintah hanya untuk kepentingan khusus mereka saja, tanpa sadar bahwa sesungguhnya fungsi pemerintah bukan sekadar itu, melainkan memproteksi hak-hak kemerdekaan dan properti pribadi seluruh warganegara.[13] Roosenvelt gelisah atas kenyataan dikuasainya sektor ekonomi oleh sejumlah kecil perusahaan besar.[14] Menurut Roosenvelt, seperti dicatat Ebenstein, terdapat 600 korporasi yang mengendalikan 2/3 industri Amerika, sementara 10 juta bisnis kecil hanya menguasai sisanya. Ketidakseimbangan ini, bagi Roosenvelt, mendorong Amerika harus menilai ulang nilai-nilainya (laissez-faire, yang dipertahankan Hoover). Bagi Roosenvelt, adalah penting melakukan penyesuaian antara produksi dengan konsumsi dan juga pendistribusian ‘kemakmuran dan hasil produksi secara lebih setara.’ Roosenvelt menyatakan “the day of the great promoter or the financial Titan, to whom we granted anything …. is over.”[15]

Apa yang dikehendaki Roosenvelt dengan New Dealnya? Roosenvelt menyatakan tugas rakyat Amerika bukan lagi menemukan dan mengeksploitasi sumber daya alam ataupun memproduksi barang lagi, karena rakyat Amerika secara tradisional sudah melakukannya. Jadi, yang tersisa adalah tugas pemerintah Amerika untuk “mengadministrasikan aneka sumber daya dan pabrik yang sudah ada, mencari cara bagaimana membuka pasar bagi surplus produksi, menyelesaikan masalah rendahnya konsumsi, menyesuaikan tingkat produksi dengan konsumsi, mendistribusikan kemakmuran dan komoditas secara lebih setara, dan mengadaptasi aneka organisasi ekonomi yang sudah ada demi melayani publik.”[16] Inilah sejumlah kebijakan pragmatis Roosenvelt yang dikenal sebagai New Deal

Korporasi besar harus tunduk pada konstitusi Amerika, dan mereka harus melakukan rekonsiliasi dengan kepentingan masyarakat Amerika sebagai keseluruhan. Untuk mengejawantahkannya, diperlukan penciptaan deklarasi hak-hak ekonomi, yang berisikan pengaturan ekonomi secara konstitusional. Deklarasi ini harus disusun bersama oleh pemerintah dan kalangan bisnis. Fokusnya adalah, setiap warganegara tidak hanya berhak untuk hidup melainkan juga berhak untuk hidup secara nyaman.[17] Namun, Roosenvelt tetaplah seorang Liberal, dengan menyatakan bahwa pemerintah seharusnya mengatur kegiatan ekonomi hanya sebagai upaya terakhir, yaitu manakala inisiatif-inisiatif swasta gagal melakukannya. Pemerintah hanya berperan selaku penyeimbang, bukan pemain ekonomi.

Saat Roosenvelt menjadi presiden tahun 1933, sekitar 25% pekerja menganggur dan 50 juta lainnya menderita kemiskinan.[18] Di akhir bulan pertama pemerintahannya, ia mendirikan Civilian Conservation Corps (CCC). CCC bertujuan menyediakan lapangan kerja untuk para pemuda rincian pekerjaan menanam pohon (jutaan pohon), membangun track di hutan dan perkemahan, mengendalikan nyamuk, dan memadamkan kebakaran hutan. Program CCC berhasil menarik 300 ribu pekerja dan 2,5 juta lainnya ikut berpartisipasi dalam salah satu program New Deal ini.

Wujud dari program New Deal lainnya adalah Federal Emergency Relief Administration (FERA), yang dipimpin Harry Hopkins.[19] Tujuan didirikannya FERA adalah mencegah penderitaan fisik dan mempertahankan standar kehidupan. Dalam hitungan jam, organ ini telah menggelontorkan dana lebih dari 5 juta Dollar AS. Tugas utamanya adalah memberi makan mereka yang lapar secara cepat. FERA memberikan dana berupa grant pada yang membutuhkan, juga mendanai proyek-proyek publik, baik di lingkup negara bagian maupun pemerintahan lokal. Di akhir masa kerjanya, tahun 1935, FERA telah menggelontorkan dana sekitar 4 Milyar Dollar AS, dan sebagian besar adalah dana Federal. FERA dinilai mampu menyelamatkan keluarga Amerika dari kelaparan. 

Program New Deal lainnya adalah pendirian Agricultural Adjusment Act (AAA). Program ini ditujukan kepada para petani dengan pertimbangan 40% populasi Amerika hidup di rural area. Persoalannya adalah sederhana yaitu petani terlalu banyak memproduksi hasil pertanian sehingga mengakibatkan jatuhnya harga.[20] Strategi dasar dari AAA adalah meningkatkan harga dengan mengurangi tingkat produksi. Namun, strategi ini membutuhkan partisipasi dari para petani itu sendiri dalam hal merancang kuota produksi dan mengendalikan produksi bagi setiap komoditas. Program ini ternyata lebih menguntungkan para petani besar yang duduk di komite-komite lokal. AAA kurang berhasil karena dibentuk bersamaan dengan wabah kelaparan juga tengah melanda Amerika akibat Depresi ekonomi sehingga produksi dialokasikan untuk mengatasi hal tersebut. Namun, selain AAA terdapat pula program New Deal lainnya yaitu Commodity Credit Corporation. Dalam program ini, petani yang meminjam boleh mengembalikan apabila harga jual komoditas seperti kapas dan jagung telah berada di atas ambang batas yang ditentukan.[21]

Di bidang industri, keluar program National Industrial Recovery Act (NIRA). NIRA bertujuan kembali menciptakan kelangkaan ekonomi demi melakukan stabilisasi industri. Masalah yang dihadapi NIRA adalah terlalu banyaknya persaingan sehingga mendorong harga turun, yang diikuti penurunan pekerjaan dan upah. Pemecahannya adalah pengaturan monopoli. Pebisnis akan diproteksi dari pemberlakuan hukum anti-trust di tiap industri apabila mereka sepakat melakukan kompetisi secara adil berupa pengaturan harga, upah, dan kuota produksi.[22] Singkatnya, pebisnis menghindari overproduksi dan kebangkrutan sehingga mempertahankan tingkat ketersediaan pekerjaan.

Pandangan Hoover atas Welfare State dalam “The Welfare State – Road to Collectivism

Kampanye Partai Demokrat, saaat mengajukan Roosenvelt sebagai presiden, banyak menyerang inkumben: Presiden Herbert Hoover. Ia menjadi sasaran empuk karena di masa Hoover memerintah (1929 – 1933) inilah Depresi ekonomi terjadi tahun 1929 dan berpuncak pada 1932. Hoover banyak dicerca akibat terus menyatakan bahwa New Deal merupakan penyimpangan berbahaya atas tradisi kebebasan Amerika.[23]

Hoover menyasar bahwa New Deal cenderung akan berujung pada sentralisasi pemerintahan akibat semakin banyaknya birokrasi di dalam negara.[24] Dalam pidatonya saat memperingati ultahnya yang ke-76 tanggal 10 Agustus 1949 di Universitas Stanford, Hoover menyatakan telah terjadi (akibat New Deal) ekspansi besar atas pengeluaran pemerintah Federal. Hoover menyatakan, 30 tahun lalu (sekitar tahun 1924), beban biaya birokrasi Federal per tahunnya, cuma mengambil charge sebesar 200 Dollar per keluarga, tetapi di saat ia pidato, beban itu sudah meningkat menjadi 1300 Dollar per keluarga.[25] Hoover memprediksi jumlah tersebut akan meningkat jadi 1900 Dollar apabila proposal yang diajukan pemerintah (tahun 1954) disetujui Kongres. Hoover juga mengkritik birokrasi yang semakin gemuk akibat penerapan welfare state. Hoover menyatakan, perbandingan jumlah pegawai negeri 147 tahun yang lalu hanya 1 banding 120 per populasi. Dua puluh lima tahun yang lalu perbandingannya adalah 40 per populasi. Saat welfare state berlaku, perbandingannya adalah 22 per populasi.[26] Dengan demikian terjadi peningkatan jumlah birokrat yang harus dibayar oleh pendapatan negara.

Hoover juga mengkritik welfare state telah membuat warganegara semakin bergantung pada pemerintah. Menurutnya, 25 tahun lalu proporsi warganegara yang menerima uang secara langsung dari pemerintah adalah 1 banding 40 populasi penduduk. Profesi penerima tersebut meliputi birokrat, tentara, pelaut, pensiunan, orang-orang yang berhak mendapat subsidi dan pekerja kontrak yang bekerja secara eksklusif untuk pemerintah.[27] Proporsi ini meningkat menjadi 1 berbanding 7 populasi penduduk atau sekitar satu setengah kali lipat jumlah pemilih dalam sebuah Pemilu di masa Hoover hidup.

Masalah lain yang dikritisi Hoover atas welfare state di Amerika adalah ‘penyitaan’ tabungan warganegara. Menurut Hoover, pemerintah nasional dan lokal telah menyedot 75 hingga 85 persen tabungan rakyat. Dari jumlah ini, sebagian kecil warganegara benar-benar melakukan proses menabung secara aktual, tetapi sebagian besarnya terpaksa ‘menabung’ ke dalam bentuk pembayaran aneka pajak. Akibatnya, sebagian besar warganegara ini harus menurunkan standar hidupnya demi membayar aneka pajak tersebut. Secara hakiki, tabungan adalah penggerak ekonomi rakyat, ia digunakan untuk memberi rumah, peternakan, dan asuransi. Saat seorang warganegara ingin membeli rumah, dan ia tidak lagi punya tabungan aktual karena telah disetorkan kepada negara dalam bentuk pembayaran pajak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, warganegara terpaksa ‘meminjam’ uang kepada negara, di mana uang tersebut pun sudah dipinjamkan kepada aneka bank. Tidak seperti tabungan aktual, warganegara harus mengembalikan ‘tabungannya sendiri’ kepada bank berikut rentenya. Jadilah negara, menurut Hoover, sumber modal dan kredit dalam sistem ekonomi welfare state.[28]

Kritik lain yang dilontarkan Hoover atas welfare state adalah proposal pemerintah untuk meningkatkan jumlah hutang. Hutang ini akan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Peningkatan jumlah hutang antarwaktu akan berakibat pada terjadinya inflasi.[29] Selain itu, meningkatnya permintaan pajak mendorong warganegara menurunkan standar kehidupannya, hingga di bawah batas yang bisa diterima. Bagi Hoover, sangat mudah pemerintah bicara ‘tingkatkan pajak perusahaan.’ Apakah yang kemudian terjadi? Bagi Hoover, Korporasi akan membebankan biaya pajak yang ditarik pemerintah tersebut pada para konsumen: Setiap keluarga Amerika.[30]

Hoover mencurigai peran sejumlah pressure-group dalam mendirikan rezim welfare state. Menurut Hoover, kritik atas aneka implementasi kebijakan welfare state Amerika harus dialamatkan pada mereka ini, bukan pada administrasi negara ataupun Legislator. Pressure-group ini juga berasal dari sekelompok kecil warganegara. Namun, mereka membayar orang untuk melakukan lobi-lobi politik di Washington, guna memaksakan klaim mereka atas administrasi negara maupun Legislasi. Legislator yang maju di setiap Pemilu dapat dipaksa untuk kalah oleh pressure-group ini. Juga, para birokrat dipaksa berpikir menurut cara pandang kelompok ini ketimbang menurut cara pandang rakyat yang mereka wakili.[31]

Hoover juga melihat bahwa di dalam welfare state, semakin besar ketergantungan warganegara Amerika kepada negaranya, baik langsung maupun tidak langsung.[32] Ini merupakan isu serius hubungan negara dan warganegara dalam tradisi Liberal Amerika. Bagi Hoover, ancaman nyata Amerika bukan hadirnya ratusan ribu anasir Komunis di dalam negeri, melainkan pada para petualang dan simpatisan mereka, yang merekayasa munculnya kompromi antara orang bebas (tradisi Liberal Amerika) dengan infeksi penyakit dari Eropa (welfare state).[33] Kendati mayoritas rakyat Amerika menentang Kolektivisme, tetapi kecenderungan aktual berupa tingginya pengeluaran pemerintah dan pajak menunjukkan terjadinya proses berangsur ke arah Kolektivisme ekonomi Amerika. Welfare state sebab itu didefinisikan Hoover sebagai penyamaran negara kolektivis (Sosialis) lewat jalur pengeluaran anggaran.[34]

Pandangan Roscoe Pound terhadap Welfare State dalam “The Welfare State and Constituonal Government

Penolakan lain atas welfare state ditunjukkan oleh Roscoe Pound, ahli hukum yang juga pengajar di Universitas Harvard. Kendati dalam sikapnya awalnya mengenai welfare state ia termasuk kategori reformis dan Liberal, tetapi setelah melihat dampak dari welfare state, Pound mengambil sikap Konservatif. Pound tidak mau menyebut welfare state melainkan service state.

Fokus kritik Pound adalah pada aspek konstitusional welfare state. Bagi Pound, di era rumitnya masyarakat industri, negara tidak bisa hanya membatasi perannya hanya pada masalah penegakkan hukum dan ketertiban, tetapi harus merambah bidang lain di mana inisiatif publik dan perusahaan swasta tidak bisa melakukannya. Titik kritik Pound adalah bahwa layanan publik hanya bisa dilakukan pemerintah di dalam konsep welfare state. Juga tidak adanya batasan yang diatur secara konstitusional mengenai sejauh mana dan seperti apa pelayanan publik yang boleh diselenggarakan pemerintah. Ini akan mendorong administrator (birokrat) bertindak layaknya Superman, Mahakuasa dan Mahatahu, dalam masalah kesejahteraan publik.

Pound melanjutkan, negara pelayan yang super ini akan menciptakan birokrasi besar dan menjelma ke dalam bentuk negara Totaliter. Bagi Pound, ada tendensi welfare state mereduksi makna kemerdekaan warganegara hanya dari kemiskinan dan ketakutan saja. Namun, welfare state mengabaikan kebebasan lain yang juga dijamin konstitusi seperti self-assertion dan self-determination.[35] Korosi atas konsep kebebasan tradisional oleh welfare state adalah awal diinjak-injaknya konsepsi Amerika mengenai bill of right, khususnya manakala rasa takut atas opresi pemerintah digantikan oleh ketergantungan atas negara paternalistik yang baik hati (benevolent paternalistic state). Bagi Pound, welfare state terlalu banyak mengobral janji, dan mereka menciptakan bill of rights baru yang sifatnya melambungkan harapan politik yang bersifat kosong, sementara secara ekonomi aktual tidaklah mungkin tercapai (utopis). Kondisi ini akan melemahkan kepercayaan Amerika atas konstitusinya sendiri dan berujung pada masuknya negara ini ke dalam Totalitarianisme akibat warganegara terjebak ke dalam harapan kosong kesejahteraan dan akibat ketidaksabarannya, mempercayakan tindakan-tindakan mereka kepada anasir pembela kekuasaan absolut mengambil alih pemerintahan negara.

Pound juga mengkritik bahwa service state telah mengambil alih segala fungsi pelayanan publik melalui birokrasi mereka. Negara dapat melakukan pengambilalihan ini akibat adanya empat kondisi. Pertama, birokrasi memiliki kewenangan luas dan sedikit restriksi praktis atas kewenangan tersebut. Kedua, melalui posisi pemerintahan yang semakin membesar seiring meningkatnya populasi penduduk. Ketiga, melalui propaganda sistematis yang dilakukan para Birokrat. Keempat, melalui sistem subsidi bagi dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, dan riset. Keempat cara pengambilalihan layanan publik oleh service state ini, bagi Pound, mendorong pada terjadinya prakondisi bagi terciptanya pemerintahan absolut, kendati tetap di bawah slogan Demokrasi.[36]

Pound melansir adanya pendapat dari para pendukung ekstrim service state, bahwa Demokrasi Konstitusional memiliki kontradiksi di dalam peristilahannya sendiri. Bagi mereka, Demokrasi haruslah berwujud pemerintahan mayoritas yang tidak dibatasi: Mayoritas harus menjadi penguasa absolut. Padahal pada kenyataannya, menurut Pound, service state yang diselenggarakan negara atas nama Demokrasi sesungguhnya sekadar melayani tuntuan sejumlah kelompok agresif yang memiliki kekuatan di tengah masyarakat. Di sinilah bahaya munculnya Totalitarianisme dalam welfare state karena wakil-wakil kelompok ini dapat saja naik ke singgasana kekuasaan dan memaksakan pemerintahan absolut manakala sudah berkuasa.[37]

Sama seperti Hoover, bagi Pound yang terjadi di dalam service state adalah layanan mahal untuk satu pihak atas biaya pihak lain, yang kemudian dianggap sebagai layanan publik.[38] Pound melihat bahwa pembebanan ini sesungguhnya diinisiasi oleh suatu kelompok agresif yang sengaja mengupayakan suatu legislasi welfare state agar mereka dapat ditempatkan selaku eksekutornya. Kelompok ini secara serampangan mengidentifikasi dirinya dengan publik. Dengan demikian, Pound semakin menguatkan anjurannya bahwa konsepsi layanan publik perlu secara hati-hati didefinisikan dan dibatasi, agar negara tidak masuk ke dalam absolutisme mayoritas atau pluralitas dominan.

Pandangan A.C. Pigou terhadap Welfare State dalam “Economic Aspects of Welfare State 

Aspek ekonomi dari welfare state juga disorot oleh A. C. Pigou.[39] Menurut Ebenstein, ia dapat disejajarkan dengan John Maynard Keynes, dan termasuk ekonom Inggris cemerlang abad ke-20. Ia menuliskan pikirannya mengenai welfare state di dalam Economics Welfare yang terbit tahun 1920. Di tulisan lainnya, Socialism versus Capitalism yang terbit tahun 1937, Pigou bicara tentang keterampilan ekonomi, yang lepas dari nilai etis dan tujuan politik. Di dalam karya lainnya, Some Aspects of the Welfare State (1954), Pigou memberi perhatian atas dimensi ekonomi dari welfare state. Pigou menyatakan bahwa negara yang menerapkan welfare state tidak lantas pula dapat disebut Demokratis. Bagi Pigou, rezim Peron di Argentina dan Hitler di Jerman juga mempromosikan welfare state akibat dukungan mereka atas kaum miskin. Kedua rezim ini tidak Demokratis dalam prosedur dan substansinya.

Analisis Pigou bersifat teknis bidang ekonomi. Ia menempatkan welfare state dalam konteks ekonomi, bahwa operasi dari pemberlakuan konsep ini di dalam implementasi kebijakan tidak bisa dijawab sekadar oleh pernyataan ‘ya’ atau ‘tidak.’[40] Welfare state bukan ditujukan atas masalah ekonomi secara umum melainkan harus dipandang sebagai kebijakan yang diterapkan di area khusus. Misalnya, jika ditanya perlukah ada pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan kolektif warganegara di bidang angkatan bersenjata, politik, pengadilan, mesin pemerintah (birokrasi), dan pemeliharaan gedung pemerintahan, maka dapat dijawab cukup cepat. Namun, manakala kebijakan pemerintah menyasar kebutuhan individual warganegara seperti dimaksud welfare state, maka warganegara terlebih dahulu harus tahu betul apa sesungguhnya yang ia inginkan dan bagaimana cara memenuhinya. Akibat welfare state sangat mengandalkan transfer kesejahteraan dari yang makmur kepada yang miskin maka ia akan mendorong terciptanya kesimpulan di benak publik bahwa kemiskinan adalah akibat adanya orang kaya.[41] Pandangan seperti ini lebih dominan di Inggris ketimbang Amerika, tetapi menurut Ebenstein perspektif kini menjadi lumrah di setiap negara industri.

Sebanyak apa properti yang harus diredistribusi welfare state dalam memenuhi syarat hidup minimal setiap warganegara? Pigou menjawab tidak bisa dipastikan, sebab akan dianggap terlalu besar di satu saat, atau sebaliknya, terlalu kecil di saat lain. Bagi Pigou, tidak ada politisi ataupun ekonom mampu memastikan. Bagi Ebenstein, Pigou menganggap sudah terjadi peralihan kecenderungan yang dulunya negara hanya membantu warganegara yang mengalami kesulitan ekstrim saja, sekarang (di dalam welfare state) negara tidak perlu menunggu situasi ekstrim terjadi: Bantuan selalu diberikan. Pigou melihat bahaya apabila kaum kaya terus-menerus dipajaki. Kaum ini akan berkurang kemampuannya melakukan saving (tabungan), berinvestasi, dan melakukan kegiatan produksi. Cadangan dana yang potensial (di tangan kaum makmur) lama kelamaan menipis dan membuat inisiatif usaha mereka meredup. 

Sama seperti yang sudah diungkap oleh Herbert Hoover, Pigou juga memberikan argumentasi bahwa dalam welfare state warganegara mengalihkan tugas mereka untuk menabung kepada negara. Tabungan tersebut untuk berjaga-jaga apabila mereka (warganegara) sewaktu-waktu melarat, menjadi jompo, atau meninggal dunia. ‘Tabungan’ ini dipaksakan oleh negara ke dalam bentuk aneka pajak yang ditarik dari warganegara. Apabila warganegara dapat terus-menerus menabung secara swakelola, welfare state mungkin tidak lagi dibutuhkan. Namun, rata-rata warganegara menganggap lebih mudah membayar pajak yang tinggi ini, baik tiap bulan atau tahun, sehingga memastikan jaminan sosialnya terbayarkan ketimbang menabungnya ke dalam akun personal. Pigou menganggap tata cara ‘menabung’ melalui negara ini tidak salah. Namun, inilah yang perlu diketahui setiap warganegara, bahwa jaminan sosial yang mereka peroleh dalam welfare state sesungguhnya pajak yang mereka bayarkan sendiri. Dengan demikian, bukan transfer properti dari si kaya kepada si miskin, mengingat kelompok lower-income pun dipaksa untuk membayar pajak semacam ini. 

Pigou menganalisis, setelah tiga dekade welfare state diberlakukan baik oleh kalangan Republik maupun Demokrat, ekonomi Amerika lebih sehat, standar hidup meningkat, produktivitas meningkat, usia hidup lebih panjang dan meningkat kualitasnya, dan terdapat kesetaraan ekonomi di antara aneka kelompok penghasilan. Singkatnya, kondisi kehidupan warganegara Amerika lebih baik ketimbang di masa lampau.[42] Welfare state pun mampu menurunkan tensi politik antara kaum Republikan dan Demokrat, sementara kaum revolusioner semakin kehilangan daya tariknya di mata warganegara. 

Pigou juga melihat sisi positif welfare state lainnya yaitu ekonomi Amerika lebih dinamis, bergerak, dan berinisiatif ketimbang mengalami pelemahan atau stagnasi. Welfare state telah memperkuat Demokrasi dengan memberi penguatan atas jaminan keamanan sosial, penghargaan atas diri sendiri, dan kemerdekaan warganegara. Hanya dua negara di dunia yaitu Amerika dan Inggris, menurut Pigou, di mana Komunisme kehilangan daya tariknya untuk hadir. Ini akibat tidak adanya basis untuk munculnya kebencian antarkelas karena welfare state telah memoderasinya. [sb]

DAFTAR KUTIPAN :

[1] William Ebenstein, Great Political Thinkers (New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1960) pp. 808.., p. 808. 
[2] Ibid.
[3] Ibid, p. 809.
[4] Ibid, p. 810.
[5] Ibid., p. 811.
[6] Ibid., p. 812. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid., p. 813. 
[9] Ibid. 
[10] Ibid., p. 814. 
[11] Eric Rauchway, The Great Depression & the New Deal: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2008) p. 1.
[12] Ibid., p. 5. 
[13] William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 814. 
[14] Ibid., p. 815. 
[15] Roosenvelt dalam Ibid, p. 824.
[16] Ibid, p. 824. 
[17] Ibid, p. 815. 
[18] M. J. Heale, Franklin D. Roosevelt: The New Deal and War (London: Routledge, 1999) p. 18.
[19] Ibid., p. 19.
[20] Ibid.
[21] Ibid. p. 20.
[22] Ibid., p. 21.
[23] William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 815. 
[24] Tulisan Hoover ini adalah pidato ulang tahunnya yang ke-76 di Universitas Standford.
[25] Herbert Hoover, dalam ibid., p. 827.
[26] Ibid, p .827.
[27] Ibid., p. 827 – 8.
[28] Ibid., p. 828.
[29] Hoover dalam William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 828.
[30] Hoover dalam ibid., p. 829.
[31] ibid, p. 830.
[32] Ibid, p. 816.
[33] Ibid., p. 816.
[34] Ibid.
[35] Ibid, p. 817.
[36] Roscoe Pound dalam William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 834. 
[37] Ibid., p. 835. 
[38] Ibid.
[39] William Ebenstein, Great …, op.cit, p. 817. 
[40] Ibid.
[41] Ibid., p. 818. 
[42] Ibid, p. 819.

Apa Itu Liberalisme

Apa itu Liberalisme ? Liberalisme adalah paham yang mendasarkan dirinya pada filsafat individualitas manusia. Individualitas ini tidak steril dari pengaruh lingkungannya yang terus berubah. Manakala lingkungan berubah, maka pikiran mengenai individualitas manusia itu pun turut berubah.[1] Demikian pula yang terjadi dalam tradisi pikir Liberalisme: Arus pemikiran Liberalisme yang awalnya satu kemudian memecah ke dalam dua bentuk baru, Liberalisme Klasik (Lama) dan Liberalisme Moderen (Baru). lama dan baru adalah serupa, yaitu sama-sama Liberalisme, dengan sedikit perbedaan akibat perkembangan Kapitalisme.

Catatan Joseph A. Schumpeter tentang Liberalisme

Joseph A. Schumpeter mencatat telah terjadi pemisahan arus pikir Liberalisme yang memiliki akar sejak akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Schumpeter menyebut Liberalisme sebagai gerakan intelektual yang memberi penekanan atas kemerdekaan sebagai tujuan utama dan individualisme sebagai entitas utama di dalam masyarakat.[2] Liberalisme pada masa awal, masih menurut Schumpeter, mendukung laissez-faire domestik sebagai cara mereduksi peran negara dalam hubungan ekonomi dan sebab itu memperbesar peran individual dalam perekonomian. Laissez-faire juga mendukung perdagangan bebas mancanegara, sebagai cara merelasikan aneka bangsa dengan dunia global secara Demokratis dan damai. 

Namun, catat Schumpeter, berawal pada akhir abad ke-19 dan terutama setelah tahun 1930 di Amerika Serikat, makna Liberalisme lebih diasosiasikan dengan penekanan yang sama sekali berbeda, terutama sehubungan dengan kebijakan ekonomi. Arus baru Liberalisme ini terutama adalah kesediaan untuk menyandarkan diri pada negara ketimbang aturan-aturan sukarela secara privat seperti di masa lalu. Konsep Liberal baru ini lebih mengacu pada kesejahteraan dan kesetaraan ketimbang semata pada kemerdekaan. Schumpeter menutup observasinya atas munculnya Liberalisme baru ini dengan menyatakan, “In the name of welfare and equality, the twentieth-century liberal has come to favor a revival of the very policies of state intervention and paternalism against which classical liberalism fought.”[3] Berdasarkan cara pandang Schumpeterian ini, maka cukup tepat apabila William Ebenstein menempatkan Herbert Spencer sebagai eksponen Liberalisme Lama sementara John Maynard Keynes sebagai eksponen Liberalisme Baru.

Kajian perbandingan Liberalisme Lama dan Baru ini mempengaruhi konsep-konsep lain seperti Kapitalisme dan Demokrasi, juga sejumlah ideologi lain yang juga muncul hampir secara bersamaan: Sosialisme, Komunisme, dan Fasisme. Studi mengenai Liberalisme selain fokus pada individualitas manusia, juga merambah pada relasi antaara kegiatan ekonomi privat (warganegara) dengan kebijakan negara. Hal-hal seperti ini tampak dalam tulisan Herbert Spencer mengenai Laissez-faire dan tulisan Keynes The End of Laissez-Faire.

Sebelum masuk pada aneka penilaian Ebenstein mengenai keduanya, perlu disebutkan bahwa baik pemikiran Spencer maupun Keynes tetap memiliki common ground yaitu penekanan atas individualitas manusia dan intervensi minimal negara dalam dalam mengatur relasi antar warganegara. Spencer dan Keynes hanya berbeda dalam derajat keterlibatan negara ke dalam kehidupan publik serta privat warganegara, khususnya bagaimana gradasi sikap mereka terdapat masalah ketimpangan sosial yang terjadi akibat Kapitalisme. Dengan demikian, kurang tepat apabila Keynes, yang cenderung lebih longgar dalam menyikapi intervensi negara ketimbang Spencer, kemudian dilabelkan sebagai anasir Sosialis. Pada sisi lain, Spencer yang secara ekstrim melawan intervensi negara dalam kegiatan privat sebagai anasir Anarkis: Keduanya tetap eksponen Liberalisme dan pendukung Kapitalisme dan Demokrasi yang konsisten.

Liberalisme Lama: Herbert Spencer

Herbert Spencer adalah penganut teori Evolusi. Sebab itu, cara termudah dalam mengetahui pikirannya mengenai masyarakat adalah penggunaan proposi berikut: (1) Kultus negara (statist) abad ke-19 direpresentasikan Hegelianisme dan di abad ke-20 oleh Fasisme, yang secara esensial mengacu pada masyarakat militeristik, dan (2) Secara kontras, kultus individual diasosiasikan dengan rasionalisme dan industrialisme.[4] Evolusi masyarakat bagi Spencer adalah peralihan berangsur-angsur dari Proposisi 1 menuju Proposisi 2: Dari masyarakat militeristik menuju masyarakat Industrial.

Sebelum secara khusus membahas pikiran Spencer, Ebenstein menyatakan bahwa akar individualisme kaum rasionalis terletak pada asumsi kesetaraan manusia yang diarahkan oleh akal. Sebab itu, bagi Ebenstein, rasionalisme lebih percaya pada individualitas personal seorang manusia ketimbang aneka entitas lain yang bersifat superindividual (kuasa adikodrati), kolektivitas, ataupun lembaga masyarakat. Ketiga entitas ini asal-usulnya adalah tidak rasional karena merupakan sekadar hasil produk budaya dan keyakinan yang cenderung sentimentil. Bagi Ebenstein, paham Industrialisme Modern dalam masyarakat Industri merupakan wujud perlawanan kaum Liberal atas regulasi negara yang dianggap telah usang dan obstruksionis sifatnya atas kehidupan ekonomi seperti terjadi di dalam masyarakat militeristik.[5]

Lebih lanjut Ebenstein menyatakan bahwa semangat individualisme berakar kuat pada Revolusi Industri. Dari sini, individualisme (sebagai paham) lalu meluas ke seluruh aspek kehidupan manusia (di era tersebut) dalam bentuk rangkaian indikator berikut: agnotisisme dalam bidang agama, empirisme filsafat, utilitarianisme etika, laissez-faire ekonomi, antiotoritarianisme politik, pasifisme, anti-imperialisme dan perdagangan bebas dalam hubungan internasional, kelas, agama ataupun ras. Seluruh indikator ini adalah karakter utama dalam periode klasik Liberalisme (Liberalisme Lama).

Inggris dan John Locke, bagi Ebenstein, adalah negara dan filosof yang merupakan eksponen awal Liberalisme Klasik. Locke yang berasal dari Inggris, mendasarkan pandangan filsafatnya pada empirisme, pandangan politiknya pada kebebasan individual dan kolektivitas berdasarkan kesepakatan (kontrak sosial), dan pandangan agamanya pada toleransi atas keragaman agama. Secara bersemangat, Ebenstein menyatakan “saat pabrik menggantikan desa sebagai lembaga dominan di abad ke-19, saat ilmu pengetahuan memperhebat tantangannya atas otoritas budaya dan agama, maka individualisme mencapai puncaknya.”[6] Era Revolusi Industri menunjukkan semua kondisi ini. Nilai-nilai utama dalam Liberalisme Lama adalah hak-hak alamiah (natural right), utilitarianisme, liberalisme ekonomi, maupun Darwinisme sosial.[7] Seluruh nilai ini mengemuka dalam pemikiran Herbert Spencer.

Bagi Ebenstein, cerminan individualisme dalam bentuknya yang ekstrim di abad ke-19 adalah pemikiran Herbert Spencer (1820 – 1903).[8] Ekstrimitas ini dapat dilacak pada karyanya The Proper Sphere of Government yang ia tulis tahun 1842. Tulisan tersebut berisikan individualisme serta laissez-faire dalam bentuknya yang ekstrim. Dalam buku ini, Spencer menyatakan “everything in nature has its laws” dan ini berlaku baik bagi makhluk hidup maupun tak hidup. Keberlakuan hukum alamiah ini kemudian diintrojeksikan Spencer ke dalam pada pandangannya atas manusia. Bagi Spencer, manusia adalah subyek dari hukum alam, baik secara fisik maupun spiritual. Subyektivikasi ini berlaku baik manusia sebagai individu maupun makhluk sosial. 

Spencer memandang kehidupan secara evolusioner. Ia ingin membangun teori yang menempatkan kemerdekaan individual sebagai tujuan tertinggi evolusi sosial. Ambisi Spencer sebagai pemikir politik paralel dengan ambisinya yang lebih besar: Menjadi filosof.[9] Spencer menjelaskan bahwa alam semesta sesungguhnya ‘bergerak’, yaitu berpusar ke arah meningkatnya kompleksitas. Semakin ia berpusar, semakin semesta ini terurai ke dalam sejumlah agregasi. Agregasi ini pun kemudian menjadi semakin terdiferensiasi dan tidak lagi sama dengan bentuk sebelumnya akibatnya kerumitan dan kecenderungannya untuk semakin heterogen. Masalah mewujudnya heterogenitas dari homogenitas inilah yang menjadi akar filsafat Spencer mengenai segala hal di muka bumi.[10] Pandangan ini mirip dengan Teori Nebula dalam proses terjadinya alam semesta.

Sebagai dampak atas pandangan kosmologisnya yang meliputi segala hal, maka pandangan evolusi Spencer juga berlaku baik bagi lingkungan fisik, hewan, maupun manusia. Spencer menyatakan bahwa evolusi selalu bergerak dari entitas yang sederhana dan kemudian secara berangsur (secara alamiah, bukan diintervensi) bergerak ke arah yang lebih rumit. Perkembangan ini mencakup evolusi bumi, flora, fauna, dan akhirnya dalam evolusi masyarakat manusia.[11] Terjadi transformasi dari kondisi homogen menjadi heterogen, dalam mana proses ini terjadi berdasarkan kebutuhan setiap entitas, bukan sekadar kebetulan. Konsep ‘kejahatan’ dalam lingkungan negara diambilnya dari konsep biologi, bahwa kejahatan dalam masyarakat manusia (negara) muncul akibat konstitusi negara buatan manusia tidak mampu mengadaptasi kondisi aktual masyarakat yang membentuk dirinya sendiri secara evolutif tanpa bisa dicegah.

Dalam pandangan kosmologisnya mengenai evolusi, kosmos Spencer menyertakan proses kesinambungan perubahan dan adaptasi, yaitu berupa perubahan berangsur-angsur dari kondisi homogen menjadi heterogen yang menimpa setiap struktur yang disebut Spencer sebagai hukum semua kemajuan (the law of all progress). Menurutnya, hukum ini berlaku baik dalam perkembangan planet Bumi, kehidupan di permukaannya, perkembangan masyarakat, pemerintahan, pabrik, perdagangan, bahasa, sastra, ilmu pengetahuan, seni. Evolusi dari struktur sederhana menjadi rumit, lewat mekanisme diferensiasi yang terus-menerus, berlaku untuk semua.[12] Inilah kosmologi dalam pandangan Herbert Spencer.

Dalam mendiskusikan fungsi negara, Spencer fokus pada apa yang seharusnya tidak dilakukan negara ketimbang apa yang seharusnya dilakukan. Bagi Spencer, hanya ada dua peran negara yaitu: (1) Memelihara keteraturan, dan (2) Mengadministrasikan keadilan. Sebab itu bagi Spencer, eksistensi negara sekadar memastikan terjaminnya hak-hak alamiah manusia: Kehidupan dan propertinya. Pandangan ini tentu saja cukup identik dengan pandangan para penganut kontrak sosial Inggris seperti Thomas Hobbes dan John Locke. Spencer melanjutkan, negara tidak boleh mengurusi agama, meregulasi perdagangan dan keuangan, melakukan kolonialisasi, membantu kaum miskin, ataupun memaksakan undang-undang kesehatan. Pernyataan-pernyataan inilah yang membuktikan anutan Spencer atas peran negatif Negara dan pemerintah dalam kehidupan masyarakat.

Seperti telah diidentifikasi sebelumnya, Spencer merupakan eksponen pendukung teori kontrak sosial seperti yang ia tulis dalam The Proper Sphere of Government.[13] Kontrak sosial, dalam bahasa Spencer sendiri, berupa serangkaian pernyataan bahwa: “setiap orang segera menyimpulkan bahwa kepentingan individualnya --- sebagaimana juga bagi komunitas yang lebih besar --- akan lebih terlayani dengan cara masuk ke dalam ikatan perlindungan bersama. Setiap orang setuju untuk mematuhi keputusan rekan mereka yang terangkum dalam peraturan umum. Secara berangsur-angsur, manakala populasi meningkat, pertikaian yang terjadi di antara mereka pun bertambah banyak, dan mereka menemui kondisi bahwa alangkah lebih baiknya apabila terdapat kuasa arbitrase untuk menengahi pertikaian ini. Kuasa tersebut diserahkan kepada satu atau lebih individual yang akan diberikan legitimasi bersama, dengan mana mereka ini mencurahkan waktunya semata untuk urusan publik. Di sinilah kita memiliki pemerintahan yang secara alamiah dipersyaratkan oleh komunitas.”[14] Spencer, dengan demikian, sekadar melanjutkan tradisi pikir Hobbes dan Locke. Namun, sebagai seorang Liberalis Lama, tujuan kontrak sosial Spencer lebih dekat dengan Locke ketimbang Hobbes. 

Bagi Spencer, kendati negara diperlukan, tetapi perannya secara ekstrim haruslah minimal. Baginya, secara negatif peran negara itu “bukan untuk mengatur perdagangan, bukan untuk mengatur pendidikan rakyat, bukan untuk mengajarkan agama, bukan untuk mengadministrasi hal-hal yang bersifat karitatif, bukan untuk membangun jalan dan rel kereta.”[15] Lalu, apa sesungguhnya peran negara di mata Spencer? Peran negara sekadar untuk membela hak-hak alamiah manusia, melindungi individu dan propertinya, mencegah agresi yang kuat atas yang lemah, atau dengan kata lain, peran negara sekadar mengadministasikan keadilan di tengah masyarakat seperti terkandung dalam pikiran Spencer mengenai kontrak sosial.[16] Bagi Spencer, cukup itu saja peran negara dan tidak perlu dikurangi atau lebih lagi ditambah: Keadilan, dalam pikiran Spencer, adalah perlindungan atas hak alamiah manusia sementara ketidakadilan adalah pelanggaran atas hak-hak tersebut.

Selanjutnya, Ebenstein mengulas kecenderungan ekstrimitas pikiran Spencer dalam tulisan lainnya: Social Static.[17] Dalam tulisan ini Spencer melanjutkan katalogisasinya atas fungsi-fungsi negara yang seharusnya tidak dilakukan (peran negatif negara). Selain yang sudah disebutkannya dalam The Proper Sphere of Government, ia menambahkan dua lagi fungsi yang tidak boleh dilakukan negara. Pertama, negara harus abstain dalam pengaturan mata uang. Kedua, negara harus meletakkan kewenangannya dalam bisnis pos. Bagi Spencer, kedua fungsi tersebut akan lebih efektif apabila ditangani oleh entitas bisnis swasta.

Dalam mengatasi adanya konflik dari aneka kebijakan sosial, Spencer mencari solusinya pada postulat “the greatest happiness of the greatest number” sebagai standar tertingginya. Pandangan seperti ini merupakan ciri khas dari pemikiran John Stuart Mill. Apabila terjadi konflik akibat kebijakan sosial, Spencer tetap menolak peran negara dalam melakukan resolusi, karena bagi Spencer keterlibatan tersebut akan lebih berbahaya kendati bisa saja sedikit memberi perbaikan.

Dalam kehidupan pribadinya, Spencer adalah satu-satunya dari sembilan bersaudara yang mampu bertahan hidup hingga usia dewasa.[18] Dari ilmu biologi yang ia pelajari, Spencer mengamati bahwa hewan lemah dan tua lumrah apabila dibunuh oleh predatornya, dan kematian ini menciptakan tiga ‘kebahagiaan’: Pertama, hewan tua dan lemah terhentikan penderitaannya lewat kematian langsung ketimbang dibiarkan kelaparan dalam waktu lama untuk akhirnya mati; Kedua, hewan yang lebih muda hilang bebannya dalam upaya melindungi si tua dan lemah, dan; Ketiga, predator dapat memperpanjang hidupnya dengan membunuh si tua dan si lemah (dengan cara memakannya).[19] Fenomena natural ini oleh Spencer diderivasikan atas konsep kebahagiaan manusia, bahwa kebahagiaan ini dijamin oleh adanya upaya pendisiplinan yaitu melalui tidak diproduksinya aturan negara yang hanya bersifat parsial dan temporal belaka dalam mengatasi problematika interaksi antarmanusia. Sebab, secara sukarela, masyarakat manusia telah memiliki tata hubungan yang relatif lengkap sebelum hadirnya negara. Ekonomi laissez-faire sebab itu adalah ekonomi alamiah manusia, dengan mana seleksi alamiah terjadi dalam tata hubungan ekonomi dalam masyarakat layaknya hubungan antara hewan predator dan korbannya.

Spencer memberi peringatan atas intervensi negara, yang dalam mengelola pemerintahan, didasarkan atas alasan sentimentil saat memproduksi aturan-aturan yang bersifat kartitatif. Masyarakat, bagi Spencer, justru akan diuntungkan akibat adanya elimininasi atas para anggotanya yang ternyata tidak mampu beradaptasi dalam kehidupan. Bagi Spencer pula, survival of the fittest[20] akan memastikan terjadinya peningkatan konstan atas kualitas umat manusia. Mereka yang tidak mampu beradaptasi atas lingkungannya berada dalam situasi ‘pengadilan’: Jika mereka mampu mencukupi persyaratan untuk tetap hidup, mereka akan hidup. Jika tidak, maka sebaiknya mereka tereliminasi saja.”[21]

Spencer tidak memberi perhatian yang cukup lengkap atas bentuk pemerintahan. Bagi Spencer, hanya ada dua bentuk negara: (1) Negara Militeristik dan (2) Negara Industrial. Bagi Spencer, Negara Militeristik adalah bentuk awal organisasi sosial yang sifatnya primitif, barbar, dan selalu dipersiapkan semata untuk perang. Individu tidak lebih sekadar alat pencapaian tujuan negara: Menang perang. Dalam Negara Militeristik, individu diorganisasikan secara kaku dan posisi setiap individu diletakkan menurut urgensi kemiliteran dalam model pemerintahan otoritarian. Status adalah predikat bagi individu yang merupakan prinsip khas masyarakat militer. Dalam masyarakat militer hanya ada sedikit kemungkinan terciptanya mobilitas sosial dalam setiap kelas maupun kelompok. 

Ebenstein melanjutkan narasinya mengenai pandangan Spencer atas Negara Militeristik, bahwa dalam negara tersebut, pimpinan militer identik dengan pimpinan politik. Juga, selalu ada korelasi erat antara militerisme dan despotisme. Bagi Spencer, paham-paham seperti chauvinisme, nasionalisme, dan imperialisme, adalah tiga ideologi yang memperoleh inspirasi dari Negara Militeristik. Tugas Negara Militeristik adalah adalah mengajarkan kepatuhan dan disiplin yang dinilai sebagai kebajikan sipil (civic virtue).[22] Di dalam Negara Militeristik, kegiatan ekonomi dari kelas industrial merupakan subordinasi dari kebutuhan negara yang selalu bersifat kemiliteran. Tujuan ekonomi sebuah Negara Kemiliteran adalah memperkuat kekuatan kolektif melalui keberhasilan dalam melakukan aneka penaklukan. Spencer tidak mengabaikan adanya kerjasama di dalam Negara Militeristik, tetapi sifatnya compulsory dan tidak sukarela. 

Secara evolutif, Spencer menyatakan bahwa akan terjadi peralihan dari Negara Militeristik menjadi Negara Industrial, karena Negara Militeristik pada suatu titik, akan mencapai situasi damai dan stabil di masa yang cukup panjang, dan dalam jeda ini, cara-cara produksi ekonomi sukarela dapat beroperasi secara maksimal. Spencer tidak memandang Negara Militeristik sebagai buruk karena entitas negara semacam ini perlu ada dalam pandangan evolusinya, ke arah Negara Industrial: Dalam Negara Militeristik, syarat-syarat Negara Industrial tengah diproses kelayakannya. 

Terdapat sejumlah fase internal di dalam Negara Militeristik yang merupakan prasyarat dasar menuju Negara Industrial. Dalam Negara Militeristik terjadi kondisisi berikut: Pertama, terjadi koherensi dari kumpulan entitas sosial yang kecil dan tidak koheren menjadi besar dan koheren; Kedua, setelah mengalami integrasi, kumpulan yang besar dan koheren tersebut beralih dari uniformitas menjadi multiformitas fungsi dan lembaga sosial; Ketiga, multiformitas fungsi dan lembaga sosial mendorong peralihan dari organisasi politik yang tidak definitif menjadi organisasi politik yang definitif.[23] Bagi Spencer, hanya setelah Negara Militer mengalami integrasi politik, evolusi masyarakat ke arah Negara Industrial dapat terjadi. 

Negara Industrial sangat berbeda dengan Negara Militeristik, karena dalam Negara Industrial, kontrak menggantikan status dalam penentuan posisi individu di dalam masyarakat, selain terdapat kemungkinan besar mobilitas vertikal individu. Cara hidup di dalam Negara Industrial adalah berbasis kerjasama sukarela dan terdapat tendensi gradual untuk mengeliminasi segala bentuk kekerasan. Dalam konteks ini, Spencer melakukan komparasi antara tujuan Negara Militeristik dan Negara Industrial.

Tujuan Negara Militeristik adalah meningkatkan kekuatan dirinya melalui regimentasi kaku di dalam negeri dan penaklukan imperialis di luar negeri. Sementara Negara Industrial bertujuan melakukan penjaminan atas kebebasan dan kebahagiaan warganegaranya secara maksimal. Anggota dari Negara Industrial, sebab itu, menunjukkan perilaku pasifis, kosmopolitan, anti-imperialis, antimiliteris, dan humaniter. Kemajuan dari masyarakat militer menuju industri, bagi Spencer, diindikasikan oleh mengecilnya peran pemerintah, dari yang begitu besar di Negara Militeristik menjadi kecil secara signifikan di Negara Industrial. Semakin setiap orang belajar melakukan kerjasama secara damai, yang didasarkan atas asas kesukarelaan dan noneksploitasi, maka semakin pula suatu negara mendekati ideal Negara Industrial. Dalam Negara Industrial, individu hanya sedikit memerlukan keterlibatan pemerintah, yang dianggap Spencer, secara berangsur pula akan menghilang.[24]

Ebenstein mengkritik Spencer, karena ia (Spencer) tidak ktitis dalam melihat Negara Industrial. Dalam Negara Industrial, kegiatan ekonominya didasarkan atas Kapitalisme yang punya kecenderungan menjadi predator yang memiliki daya rusak. Kendati Kapitalisme dapat mewujudkan Kebesaran (Glory) dan Kemakmuran (Wealth) bagi masyarakat yang menganutnya (di Negara Industrial), posisi manusia di dalam Negara Industrial yang murni Kapitalistik ada dalam posisi bahaya. Di dalam sistem ini manusia sekadar dijadikan salah struktur cara produksi (layaknya aspek lain seperti mesin dan teknologi) ketimbang tujuan dari dari negara itu sendiri. Distingsi Spencer atas Negara Militeristik dan Negara Industrial cenderung bersifat hipotetik akibat kecenderungan pemikirannya yang evolutif dan terinspirasi Liberalisme Lama. 

Ebenstein melanjutkan kritiknya, bahwa hipotesis Spencer tentang sifat alamiah negara tidak bisa begitu saja diimplementasikan ke dalam kontroversi Kapitalisme versus Sosialisme. Isu dasar dari kontroversi ini bukan berbasis asumsi siapa yang memiliki alat produksi (seperti dipikirkan Spencer) melainkan apa tujuan sosialnya.[25] Spencer beranggapan bahwa perusahaan swasta yang tidak diintervensi oleh negara adalah jaminan terbaik bagi perdamaian nasional dan internasional, dan sebab itu Spencer melihat hadirnya Sosialisme sebagai kemunduran progresif evolusi masyarakat manusia ke arah jenis masyarakat militer praindustri. 

Tahun 1884 Spencer menerbitkan The man versus the State.[26] Dalam salah satu sub tulisannya ia menorehkan judul The New Tories, yang merupakan pernyataan Spencer yang paling berpengaruh tentang pandangan laissez-fairenya. Di sini pula, Spencer menyerang kaum Liberal Inggris akibat pengabaian mereka atas sejarah individualisme mereka sendiri dengan mengupayakan kebijakan reformasi sosial dan negara kesejahteraan (welfare state).[27] Pada masanya, Spencer memandang kaum Konservatif Inggris (yang banyak terdiri dari kaum bangsawan) sekadar pewaris prinsip masyarakat militeristik karena sangat menghargai status, sementara kaum Liberal Inggris berakar dari prinsip kontrak dan industrialisme. Spencer justru merasa aneh karena individualisme ekonomi lalu diabaikan kaum Liberal Inggris, dan malah justru secara berangsur diadopsi kaum Konservatif. Pada perkembangannya, peran kedua partai mengalami pembalikan dari posisi awalnya masing-masing. Sebab itu Spencer memprediksi bahwa kaum Konservatif Inggris akan menjadi partai pendukung individualisme ekonomi dan perusahaan bebas, sementara kaum Liberal Inggris malah akan meningkatkan penerimaannya atas adanya kendali publik (melalui pemerintah) dalam bidang ekonomi.

Dalam sub keduanya (masih dalam The Man versus The State) yang ia beri judul The Coming Slavery Spencer kembali menegaskan keyakinannya bahwa aturan kemasyarakatan tidak boleh diintervensi oleh ukuran-ukuran politik yang sifatnya artifisial (misalnya reformasi sosial atau adopsi prinsip welfare state) karena akan mengganggu kebaikan proses evolusi yaitu the survival of the fittest. Juga, gangguan yang terjadi atas seleksi alamiah dalam hubungan masyarakat akan mendorong pada menurunnya standar kualitas masyarakat secara keseluruhan. Secara khusus Spencer menyatakan bahwa seluruh penderitaan manusia janganlah dicegah karena penderitaan tersebut bersifat kuratif (menyembuhkan) sehingga pencegahan terhadapnya justru merupakan penjegalan atas upaya penyembuhan. Daya rusak dari reformasi sosial ini, menurut Spencer adalah, munculnya persepsi di di benak publik bahwa negara akan mengurus mereka sehingga hilanglah semangat inisiatif dan kewirausahaan di kalangan warganegara.[28] Daya rusak ini juga diperbesar oleh meluasnya hak pilih, bahwa dalam rangka memperoleh suara, aneka partai politik akan saling mempromosikan intervensi negara berupa kebijakan kesejahteraan sosial kepada para konstituennya, yang secara kuantitatif jumlahnya membesar.

Spencer memprediksi aneka program kesejahteraan sosial (yang merupakan ciri khas Sosialisme) secara nyata diarahkan pada internalisasi nilai-nilai cara produksi pada warganegara dan bagi Spencer, “all socialism is slavery.” Spencer mendefinisikan budak sebagai manusia yang “bekerja di bawah paksaan untuk memuaskan hasrat pihak lain.” Di bawah Sosialisme, individu diperbudak oleh seluruh komunitas ketimbang hanya pada satu majikan khusus. Spencer juga menyatakan bahwa eksistensi pemerintahan Demokratis tidak akan menghalangi munculnya karakter despotik dari Sosialisme. Bagi Spencer, konsentrasi kekuasaan ekonomi yang begitu besar di tangan birokrasi negara akan mendorong munculnya despotisme politik. 

Essay ketiganya dalam The Man versus The State, berjudul The Sins of Legislators, Spencer menyesalkan terjadinya perluasan intervensi pemerintah ke dalam kegiatan sosial dan ekonomi warganegara. Kemajuan, bagi Spencer, bukan merupakan produk regulasi pemerintah, melainkan semata akibat hasrat manusia untuk meningkatkan kesejahteraan personalnya. Spencer mengeluhkah, bukan kepada negara warganegara berhutang aneka penemuan yang bermanfaat sebaga berikut: Dari sekop hingga telepon; Juga bukan negara yang memungkinkan semakin luasnya navigasi akibat kemajuan pengetahuan astronomi; Juga bukan negara yang membuat aneka diskaveri di bidang fisika, kimia, dan seterusnya, yang menjadi arahan bagi penciptaan aneka pabrik moderen; Juga bukan pula negara yang merancang mesin untuk melakukan pabrikasi atas segala macam komoditas dan mentransfer manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain.[29] Semua hal ini adalah hasil inisiatif individual, bukan inisiatif yang akibat arahan negara lewat kebijakan mereka.

Legislator, tuntut Spencer, harus paham dahulu hukum-hukum kemasyarakatan sebelum mengintervensi masyarakat lewat undang-undang yang mereka produksi. Spencer secara khusus mengkritik keras para Legislator karena mereka seolah mencampuradukkan etika keluarga dengan etika negara. Bagi Spencer, pedoman etika keluarga adalah sikap kemurahhatian dan hanya sedikit berhubungan dengan keahlian (merit). Pada sisi lain, prinsip utama etika negara adalah keadilan, yaitu dengan mana keutamaan individual punya hubungan kuat dengan keahlian. Ini mungkin seperti di dunia hewan, bahwa hanya predator yang ahli saja yang mampu menangkap mangsa, dan sebab itu ia mampu bertahan hidup. Intrusi etika keluarga ke dalam etika negara adalah intervensi berbahaya terhadap hukum alamiah dalam tata hubungan kemasyarakatan, yang secara berangsur-angsur akan mengakibatkan fatalitas dalam masyarakat.

Dalam essay terakhirnya berjudul The Great Political Superstition. Spencer menyatakan bahwa di masa lalu, tahayul politik terbesar adalah hak-hak ketuhanan para raja, sementara di masanya hidup, adalah hak-hak ketuhanan parlemen.[30] Spencer menyerang pendapat Hobbes tentang kedaulatan raja (Leviathan) dan menolak klaim mayoritas popular atas otoritas mereka yang tak terbatas. Bagi Spencer, baik para raja maupun Legislator, sama-sama inkonsisten dalam mendukung supremasi hak-hak individual. Spencer berpihak pada Locke yang menyatakan hak-hak individual telah ada sebelum negara terbentuk, dan juga, properti telah terorganisir secara baik sebelum adanya hukum. Saat negara terlalu banyak intervernsi dalam kegiatan warganegara, maka manakala negara tersebut membesar, semakin besar pula pemberian predikat status kepada individu yang tidak kompeten. Ini akan menghambat kemajuan evolutif masyarakat.

Ebenstein menulis, periode 1842 hingga 1903 (manakala Spencer wafat) ditandai cepatnya perubahan sosial dan ekonomi di Inggris. Peralihan ini membuat pemikiran Spencer dalam konteks Liberalisme yang awalnya terkesan radikal dan progresif menjadi seolah konservatif di tahun 1900. Namun, kendati melemah di Inggris, pengaruh Spencer justru menguat di Amerika Serikat. Spencer mendominasi pemikiran filsafat sosial di Amerika Serikat dengan konsep laissez-fairenya. Tahun 1900 merupakan suatu masa di mana terjadi ekspansi industrial yang begitu cepat di Amerika Serikat. Gagasan Spencer mengenai survival of the fittest by natural selection dianggap menarik oleh para industrialis dan kalangan bisnis Amerika Serikat karena mampu menjadi pedoman hidup (way of life) atas segala tindakan ekonomi, sosial, dan politik mereka.

Gagasan yang ditawarkan Spencer bukan semata konservatisme individual di bidang politik dan ekonomi, melainkan juga gagasannya yang menghubungkan ekonomi laissez-faire dengan kemajuan. Spencer menyatakan bahwa kapitalisme yang kompetitif bukan hanya berkesuaian harmonis dengan hukum universal melainkan juga pada kepentingan kesejahteraan secara umum.[31] Tata hubungan ideal dalam dunia bisnis yang ditemukan dalam sistem pemikiran ilmiah dan biologi Spencer merupakan pengganti hilangnya inspirasi agama di Amerika Serikat, dan kini Spencerisme menjadi cara pandang holistik atas kehidupan ketimbang teori sosial dan politik semata. Dengan Spencerisme, oposisi atas reformasi sosial tidak lagi tampak sebagai egoisme kelas semata (para kapitalis) melainkan prinsip sejati dari kemajuan dan evolusi sosial.

Namun, layaknya pemikiran manusia lainnya, seperti halnya di Inggris satu generasi sebelumnya, Spencerisme sebagai filsafat yang awalnya menggairahkan lalu secara berangsur kehilangan vitalitasnya di Amerika Serikat. Di Inggris, reaksi negatif atas industrialisme justru kini menjadi cara pandang utama masyarakat. Aneka protes muncul akibat penderitaan dan degradasi kehidupan manusia di bawah industrialisme (Kapitalisme).[32] Saat kepercayaan atas perusahaan privat, sebagai hukum alamiah, digantikan oleh rekayasa kegiatan ekonomi oleh pemerintah, Spencerisme kehilangan daya tarik dan hidupnya. Kendati posisi ekstrim Spencer berupa pemihakannya atas laissez-faire diabaikan, ternyata, banyak hasil pikirannya yang lain, secara tak terasa merambah dunia Kapitalisme liberal: Selama ada penghargaan atas insentif berupa uang, kompetisi, dan individualisme sebagai nilai-nilai positif, Spencerisme akan terus hidup. 

Seruan Spencer pada kaum Liberal Inggris agar mereka kembali pada individualisme orisinilnya tidak diindahkan. Justru, malah kaum Konservatif yang berbalik menjadi pembela individualisme ekonomi Spencer. Namun, ini bukan berarti kaum Liberal Inggris kemudian menjadi Sosialis: Mereka tetap liberal kendati menggeser posisinya untuk sedikit lebih banyak diintervensi oleh negara. Di sisi lain, kaum Konservatif menerima doktrin laissez-faire dan individualisme ekonomi, manakala doktrin-doktrin tersebut dianggap lebih bersifat konservatif secara sosial. Ebenstein menilai, kegagalan Spencer dalam isu besar kecilnya intervensi negara dalam konteks hubungan ekonomi akibat Spencer melihat intervensi tersebut sebagai suatu tujuan semata, bukan cara. Spencer mungkin membayangkan apabila intervensi negara ini terus membesar, maka masyarakat industri akan mundur kembali ke masyarakat militeristik. Mundurnya pamor individualisme ekonomi dan laissez-faire bukan semata akibat propaganda anti-Kapitalis, melainkan lebih sebagai akibat perubahan relasi ekonomi faktual seratus tahun terakhir dalam jangka hidup Spencer.

Liberalisme Baru: John Maynard Keynes

Salah satu asumsi laissez-faire (dalam Liberalisme Lama) adalah harmoni dan ekuilibrium (keseimbangan) secara terjadi secara natural, bukan hasil intervensi negara. Jika semua individu mengejar kebaikannya sendiri, maka dengan demikian, secara alamiah pada akhirnya juga akan memproduksi kebaikan bersama. Asumsi ini hanya dapat bertahan sejauh adanya dua kondisi sosial. Pertama, distribusi kemakmuran dan pendapatan yang akan mencegah meluasnya persepsi ketidakadilan akut. Kedua, dalam jangka panjang, terdapat jaminan bahwa ekonomi yang secara komparatif bebas dari krisis dan depresi.[33] Sayangnya, dua kondisi ini tidak bertahan manakala Kapitalisme membesar dan merambah pasar ekonomi dunia: Dunia dilanda depresi ekonomi.

Dalam laissez-faire, Kapitalisme mengubah kesetaraan pendapatan dan kemakmuran menjadi konsentrasi modal dan pengendalian bisnis oleh para Kapitalis atas individu lain yang kurang kuat modal. Monopoli, trust, dan perusahaan raksasa menciptakan rasa frustrasi dan protes dari jutaan orang yang kini hidupnya bersandar pada majikan baru: Korporasi yang impersonal, yang dalam bahasa Alexis de Tocqueville disebut new aristocracy of manufacturers.[34] Kondisi lain yang membuat laissez-faire kehilangan daya dukungnya adalah pengangguran. Saat jutaan orang kehilangan pekerjaan dalam jangka lama, saat sumber daya produktif yang melimpah ini menganggur, publik mulai meragukan sistem ekonomi yang berlaku mampu menciptakan kebaikan bersama.

Secara pragmatis, Kapitalisme dikembangkan sebagai afirmasi atas hak individual melawan kuasa negara. Namun, saat korporasi dan bisnis monopolistik menciptakan kekuasaan di dalam dirinya sendiri, mereka yang terancam eksistensi ekonominya lalu ‘melempar handuk’ dan lari kepada negara dan pemerintah untuk mencari perlindungan. Hal ini sesungguhnya tidak terlarang dalam Liberalisme sejati, sebab dari masa Locke hingga saat ini (masa dalam hidup Spencer), Liberalisme selalu menekankan bahwa peran negara tidak lain sekadar perlu bagi rakyat, bukan tujuan. Fungsi negara dalam tradisi Liberalisme adalah melindungi hak milik dan kemakmuran warganegara. Manakala kaum Kapitalis dianggap melanggar hak-hak tersebut, warganegara menuntut negara menjalankan fungsinya sebagai penjamin keadilan di tengah masyarakat.

Liberalisme aktual di era abad ke-19 berbeda dengan abad ke-20. Liberalisme abad ke-19 menganggap bahwa, sesaat setelah dominasi negara dihilangkan, masalah kekuasaan mereka selesai selamanya: Negara secara berangsur akan menghilang karena digantikan oleh aneka asosiasi yang setara tanpa adanya penguasa atau pihak yang dikuasai. Sebaliknya, Liberalisme abad ke-20 telah belajar bahwa sentralisasi kekuasaan ekonomi dari Kapitalismelah yang justru muncul, bukan kesetaraan dalam cara produksi seperti diharapkan laissez-faire. Kekuasaan Kapitalis ini dapat merampas hidup dan kebebasan manusia secara langsung sebagaimana kekuasaan politik melakukannya terhadap mereka di masa era kekuasaan Gereja dan Para Raja yang absolut. Jadi bukannya berangsur menghilang, peran negara dan pemerintah justru diundang untuk hadir untuk ‘menjinakkan’ Kapitalisme ini, bukan menghilangkan, seperti tujuan kaum Marxis.

Arogansi Kapitalis ini mendorong kaum Liberal memandang negara, musuh historis mereka, secara paradoks. Di satu sisi mereka tetap menganggapnya sebagai musuh yang harus diperlakukan secara hati-hati, tetapi di sisi lain mereka butuh bantuan musuh tersebut untuk melindungi diri mereka dari kegiatan ekonomi yang dimonopoli para Kapitalis. Argumentasi inilah yang menyebabkan Lloyd George tahun 1909 menggulirkan konsep People’s Budget di Inggris, yang memperkenalkan legislasi sosial berskala besar, yang sekaligus mencerminkan perubahan cara pandang Partai Liberal. Filosofi ini juga mempengaruhi elemen pendukung partai Liberal dan Konservatif serta menjadi standar reformasi sosial Inggris di masa kemudian. Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat, di mana terdapat garis langsung antara Square Deal Theodore Roosevelt – melalui New Freedom Woodrow Wilson -- menuju New Dealnya Franklin Delano Roosevelt.[35]

Dari apa yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat, menurut Ebenstein, terdapat tiga kesamaan cara pandang dalam arus baru Liberalisme. Pertama, bahwa setiap manusia kini hanya memiliki komoditas hidup minimal seperti pangan, sandang, dan papan. Kedua, pengakuan atas meluasnya standar hidup dimungkinkan dengan adanya sumberdaya fisik dan pengetahuan ilmiah akibat peran Kapitalisme. Ketiga, penerimaan atas prinsip, bahwa negara punya hak dan tugas bertindak, manakala inisiatif swasta mengalami kegagalan. Abad ke-20 ditandai pemahaman baru mengenai Demokrasi, dan warganegara mulai melirik pemerintah sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan individual mereka. Di sinilah posisi signifikan dari pemikiran Liberalisme Baru.

Nilai-nilai Liberalisme Baru adalah individualitas, positive freedom, liberalisme sosial, dan manajemen ekonomi.[36] Individualitas dalam pemahaman Liberalisme Baru adalah pencapaian prestasi diri sendiri, yang diperoleh melalui realisasi khas setiap individu akibat kualitasnya yang unik, yang membedakan individu satu dengan lainnya. Positive freedom adalah perhatian pada kepentingan dan kesejahteraan orang lain (altruisme) yang didasarkan pada ‘sudah tercerahkannya’ kepentingan pribadi atau munculnya keyakinan atas kemanusiaan. Liberalisme sosial adalah suatu kondisi yang menempatkan tanggung jawab pemerintah atas kesejahteraan sosial bagi warganegara, berupa penyediaan jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lainnya. Manajemen ekonomi negara diperlawankan dengan laissez-faire yang dianut Liberalisme Lama, karena dalam manajemen ekonomi ini, peran negara dalam mengatur aspek tertentu dalam kegiatan ekonomi justru dikehendaki.

Identifikasi Ebenstein atas Liberalisme Baru menggunakan pemikiran John Maynard Keynes (1883–1946).[37] Keynes (bacanya: Keins) adalah representasi kaum Liberal yang menerima --- tentu dalam kehati-hatian khas kaum Liberal --- keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Keynes ini pula yang disimbolkan Ebenstein sebagai eksponen Liberalisme Baru, bentuk baru dari Liberalisme Lama. Pemikiran Keynes diposisikan sebagai pendekatan baru atas ekonomi dan Liberalisme. Keynes, selaku individu, terlibat dalam pembentukan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank menjelang berakhirnya Perang Dunia II.[38] Dua bank transnasional ini banyak melakukan inisiatif di setiap negara dengan pemberian pinjaman guna menggerakkan kegiatan ekonomi negara debitur, tentu dengan bunga (rente) yang tidak sedikit.

Secara politik, Keynes tetap seorang Liberal kendati saat itu ia sadar bahwa partainya (Partai Liberal) tidak akan memperoleh posisi dalam pemerintahan Inggris di pertengahan 1920an. Tahun 1926, dalam pidatonya di Manchester Reform Club, ia mencetuskan kredo politiknya yang berbunyi, “the political problem of mankind is to combine three things: Economic Efficiency, Social Justice, and Individual Liberty.”[39] Problem pertama membutuhkan kritisisme, pencegahan, dan pengetahuan teknis. Problem kedua membutuhkan antusiasme non egoistik berdasarkan rasa cinta terhadap sesama manusia (altruisme). Problem ketiga, membutuhkan tolerasi, keluasan jiwa, apresiasi atas keragaman dan kemerdekaan, yang di atas semua, menghendaki diberikannya kesempatan bagi mereka yang istimewa dan bercita-cita tinggi. Resep kedua Keynes adalah ciri khas Liberalisme Baru, tetapi yang pertama dan ketiga adalah tetap Liberalisme. 

Dalam tulisannya The End of Laisses-Faire, Keynes menganggap konsep tersebut (ekonomi laissez-faire) sebagai masa lalu. Karya Keynes ini, menurut Ebenstein, menjelaskan apa yang disebut sebagai Liberalisme Baru (new liberalism). Keynes menolak laissez-faire karena tidak lagi cocok dengan praktek dunia bisnis saat Keynes mengajukan pemikirannya. Penolakannya atas laissez-faire tidak lantas mendorong Keynes memihak Sosialisme sebagai alternatif, karena baginya, Sosialisme ini juga merupakan suatu bentuk dogma lain. Bagi Keynes, dalam Sosialisme terdapat dogma bahwa negara mengendalikan dan mengoperasikan kegiatan ekonomi, layaknya laissez-faire yakin akan dogma tentang tidak bolehnya negara mencampuri kegiatan ekonomi. Negara, bagi Keynes, sebaiknya tidak mencampuri suatu kegiatan yang sebelumnya sudah diperformansi secara baik oleh individu secara sukarela, bahkan kendatipun campur tangan ini dianggap dapat lebih menyempurnakannya. 

The End of Laissez-Faire merupakan refleksi Keynes atas situasi global. Pertama, ia menganggap ekonomi rezim Victoria Inggris yang berasaskan Kapitalisme (berasas laissez-faire) adalah rapuh dan tidak stabil. Kedua, ia melihat Lenin di Russia tengah bersiap menghancurkan Kapitalisme. Ketiga, fasisme di Eropa siap mengorbankan Demokrasi demi menyelamatkan Kapitalisme. Diperhadapkan pada tiga situasi ini, Keynes memilih untuk menyelamatkan Demokrasi dengan cara memperbaiki kinerja Kapitalisme.[40] Praktek inilah kemudian dikenal dengan sebutan Keynesianism. 

Keynes mencatat tiga lokus dikehendakinya pertanggungjawaban negara: (1) Kendali atas kredit dan mata uang harus ada di tangan lembaga sentral, (2) Ada determinasi skala tabungan dan investasi bagi komunitas secara keseluruhan, dan (3) Formulasi kebijakan publik dalam pengendalian populasi.[41] Tiga tahun setelah Keynes menulis The End of Laissez-Faire, terjadi Depresi Besar yang baru pulih saat terjadi perang dunia tahun 1939. Tahun 1936 Keynes mempublikasikan The General Theory of Employment, Interest, and Money. Tulisan ini sekelas dengan The Wealth of Nations Adam Smith dan Capital Karl Marx. Secara dialektis, jika karya Smith adalah tesis, dan karya Marx adalah antitesis, maka karya Keynes adalah sintesisnya. Inti dari tulisan Keynes adalah kegiatan ekonomi merupakan inisiatif publik, inisiatif privat, dan harus ada mekanisme pertanggungjawabannya. 

Keynes menantang cara pikir kaum Liberalisme Lama yang percaya bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri.[42] Konsep yang ia lawan adalah adanya solusi pasar bagi masalah pengangguran dan ekonomi lainnya. Keynes berdalih, bahwa tingkat kegiatan ekonomi, juga pekerjaan, ditentukan oleh jumlah permintaan (yaitu permintaan agregat) dalam ekonomi. Ia menyarankan pemerintah seharusnya mengatur ekonominya dengan cara mempengaruhi tingkat permintaan agregat tadi. Pengeluaran pemerintah, dalam konteks ini, diarahkan pada pemberian injeksi tingkat permintaan ke dalam kegiatan ekonomi. Pajak, pada sisi lain, harus dieliminasi dari kegiatan ekonomi karena akan mengurangi permintaan agregat sehingga membuat lesu perekonomian. Kendati Keynes banyak menggunakan pendekatan teknis ekonomi, tetapi untuk menjamin eksekusinya harus ada intervensi negara.

Saat tingkat pengangguran tinggi, Keynes merekomendasikan pemerintah melakukan reflasi (memberikan stimulus) atas perekonomian, baik dengan menaikkan dana publik (menambah peredaran uang) ataupun pemotongan pajak. Masalah pengangguran, dengan demikian, dapat diselesaikan bukan oleh invisible hand Kapitalisme melainkan oleh intervensi pemerintah. Dampak negatifnya, intervensi ini berujung pada defisit keuangan yang berarti lebih besar pengeluaran pemerintah daripada pemasukannya. Manajemen permintaan dalam pikiran Keynes adalah pemberian kesempatan pemerintah untuk memanipulasi tingkat pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, dan sebab itu memastikan terjadinya kemakmuran secara umum. Keynes tidak menentang Kapitalisme, malah sebaliknya, justru ia menyelamatkan dengan cara menjinakkannya. Keynes juga menyatakan bahwa perusahaan privat yang tidak punya batasan dalam hal kebebasannya beraktivitas, tidak cocok dalam masyarakat Industrial yang kompleks.[43]

Dalam The General Theory secara prinsip Keynes menyatakan bahwa hanya pengalaman saja yang dapat menunjukkan sejauh mana negara seharusnya terlibat dalam memastikan pemenuhan lapangan kerja dengan cara merangsang investasi dan peningkatan daya beli efektif konsumen.[44] Keynes percaya bahwa negara harus memberikan pedoman yang dapat dijadikan tolak ukur konsumsi lewat perpajakan dan aneka cara pendistribusian pendapatan nasional. Di bidang investasi, Keynes berpendapat bahwa metode tradisional yang hanya mengandalkan inisiatif swasta telah gagal, dan bahwa "sosialisasi investasi (oleh negara) menjadi satu-satunya cara aman dalam menjamin terciptanya pemenuhan lapangan kerja."

Keynes tidak memandang bahwa Sosialisme Negara perlu untuk ada. Keynes justru membayangkan situasi ekonomi yang --- segera setelah sasaran investasi dirancang lewat kebijakan publik --- pelaksanaannya akan tetap lebih efektif apabila dilakukan perusahaan swasta. Jadi, negara bagi Keynes, sekadar ‘menentukan lokasi pemancingan ikan yang potensial, sementara pilihan bagaimana cara memancing’ tetap di tangan para pemancingnya. Dua nilai utama dari perusahaan swasta, dalam pandangan Keynes, adalah desentralisasi dan adanya peran kepentingan pribadi. Di sinilah letak nilai Liberalisme dalam pemikiran Keynes. Keynes yakin bahwa konsepsinya mengenai kebijakan Liberal Baru secara praktis akan mampu menghindari perusakan total atas individualisme ekonomi dan tetap mempertahankan kondisi yang dibutuhkan demi berhasilnya perusahaan dan inisiatif swasta dalam melakukan kegiatan ekonomi. 

Dampak pemikiran Keynes segera mewujud dalam doktrin dan kebijakan. Di Inggris, konsepnya diadopsi oleh seluruh partai politik yang memandang bahwa pengangguran kronis tidak boleh terjadi lagi, dan selama Perang Dunia II seluruh partai secara formal mengkomitmenkan diri mereka pada serangkaian kebijakan yang bertujuan pada penyediaan lapangan kerja. Di Amerika Serikat, menurut Ebenstein, New Deal dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Keynes secara nyata, dan bahkan secara personal, di samping bersimpati atas Keynesian secara umum, Presiden Roosenvelt kerap mendiskusikan masalah ekonomi dengannya.[45] 

Sebagai bukti bahwa Keynes tidak bisa dikategorikan sebagai Sosialis adalah adanya tanggapan kaum Marxis bahwa Keynes adalah personifikasi borjuasi ekonomi dalam politik. Marxis menganggap Keynes tidak cukup jauh untuk melibatkan negara ke dalam kegiatan ekonomi. Mereka juga menganggap bahwa dalam mengatasi masalah mengapa pengangguran selalu terjadi di bawah Kapitalisme, kebijakan Keynes hanya akan menyembuhkan symptom, bukan akar masalahnya. Kaum Marxis juga menganggap pandangan Keynes atas negara sekadar agen imparsial dalam mempromosikan kebaikan bersama, padahal (menurut Ebenstein) Keynes ini lebih lumayan ketimbang apa yang terjadi dalam Sosialisme di mana negara sekadar komite eksekutif dari kelas Kapitalis. Pemerintah negara Komunis kerap bekerja sama dengan individu Kapitalis dari luar negaranya untuk melakukan monopoli kegiatan ekonomi. [</>] 

DAFTAR KUTIPAN:

[1] William Ebenstein, Great Political Thinkers (New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1960) pp. 622
[2] Joseph A. Schumpeter dalam Alberto Mingardi, Herbert Spencer (London: The Continuum International Publishing Group, 2011) p. 26 – 7. 
[3] Alberto Mingardi, Herbert Spencer (London: The Continuum International Publishing Group, 2011) p. 27.
[4] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 622.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 5th Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2012) p. 44. 
[8] William Ebenstein, Great … op.cit.., p. 623.
[9] Alberto Mingardi, Herbert … op.cit.., p. 29.
[10] Ibid. Kendati dikenal sebagai seorang biolog, teori evolusi Spencer sepenuhnya didasarkan pada kosmologi. Lihat ibid., p. 30.
[11] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 624. 
[12] Spencer 1857, p. 10. Dalam Alberto Mingardi, Herbert … op.cit., p. 30.
[13] Spencer 1843, p. 185. Dalam ibid. p. 36.
[14] Ibid.
[15] Spencer 1843, p. 187. Dalam ibid. p. 37.
[16] Ibid.
[17] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 623. 
[18] Ian Adams and R. W. Dyson, Fifty Major Political Thinkers, Second Edition (Oxon: Routledge, 2007) p. 140.
[19] William Ebenstein, Great … op.cit.., p. 624. 
[20] Konsep survival of the fittest ini diperkenalkan pertama kali oleh Herbert Spencer, dan kemudian diadopsi oleh Charles Darwin. Lihat Ian Adams and R. W. Dyson, Fifty … op.cit. p. 140.
[21] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 624. 
[22] Ibid., p. 625. 
[23] Spencer 1882, p. 252. Dalam Alberto Mingardi, Herbert … op.cit., p. 59
[24] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 625. 
[25] Ibid., p. 626.
[26] Ibid. 
[27] Ibid.
[28] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 627.
[29] Ibid.
[30] Ibid., p. 628.
[31] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 267.
[32] Ibid., p. 629.
[33] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 530.
[34] William Ebenstein, Great … op.cit.
[35] William Ebenstein, Great … op.cit.,., p. 631.
[36] Andrew Heywood, Political Ideologies … op.cit. p. 51.
[37] Ibid. Saat kuliah di King’s College, Keynes diundang bergabung ke dalam Apostles, sebuah masyarakat kecil dan bersifat rahasia. Anggotanya yang lebih junior dari Keynes adalah Lytton Strachey, Leonard Woolf, E. M. Foster, dan Bertrand Russel. Anggota seniornya adalah G. E. Moore (penulis Principia Ethica, 1903) yang menyerukan sikap anti rezim Victoria Inggris. Lihat Mark Blaugh, John Maynard Keynes: Life, Ideas, Legacy (Mark Blaug and the Institute of Economic Affairs, 1990) p. 3 – 4. 
[38] Mark Blaug, John Maynard Keynes: Life, Ideas, Legacy (Mark Blaug and the Institute of Economic Affairs, 1990) p. 9. Keynes juga menghadiri Konferensi Bretton Woods taun 1944 dan Konferensi Savannah tahun 1946 sebagai wakil Inggris. Konferensi ini signifikan mengingat dari sinilah patokan kurs mata uang dunia diperbincangkan.
[39] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 632. Kredo politik ini juga termuat dalam tulisannya, Essays in Persuasion tahun 1931. Lihat juga J. G. Merquior, Liberalism Old and New (Boston: Twayne Publisher, 1991) p. 115 – 6. 
[40] J. G. Merquior, Liberalisme Old and New (Boston: Twayne Publishers, 1991) p. 116. 
[41] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 633.
[42] Andrew Heywood, Political Ideologies, op.cit., p. 57.
[43] ibid., p. 59.
[44] William Ebenstein, Great … op.cit., p. 634. 
[45] Ibid.