Latest News

Monday, January 20, 2020

Demokrasi dan Sisi Gelapnya


Michael Mann adalah profesor sosiologi di Universitas California, Los Angeles. Dalam bukunya, The Darkside of Democracy: Explain Ethnic Cleansing, [1] Mann menjelaskan bahaya tirani mayoritas atas minoritas lewat Demorasi yang tidak liberal (illiberal Democracy).[2] Demokrasi, terutama proses Demokratisasi kerap bersifat chauvinistik, sebab hanya diberlakukan untuk keunggulan etnis, satu bangsa/negara, dan tidak berlaku bagi etnis atau entitas politik lain di luar suatu kelompok.

Cukup banyak negara penganut Demokrasi yang mempraktekkan kolonialisme dan pembersihan etnis. Mann, kendati tidak menolak Demokrasi tetapi mempertanyakan superioritas Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Dalam bukunya, Mann menunjukkan sejumlah peristiwa nyata di mana sisi gelap Demokrasi terjadi. Buku Mann ini dipenuhi oleh aneka peristiwa sejarah di seputar pemusnahan etnis, kolonialisasi oleh negara Demokrasi, dan sisi penting karya Mann ini adalah, memberi kita pertimbangan mengenai potensi sisi gelap Demokrasi yang penuh kekerasan dan mematikan. Intinya, Mann melakukan kritisasi bahwa ternyata Demokrasi pun tidak bisa menjadi satu-satunya gantungan dalam menjamin hak paling dasar manusia: Hak untuk hidup. 

Buku Mann ini menyediakan kerangka teoretis alternatif dalam menjelaskan tidak hanya penyebab terjadinya pemusnahan etnis, tetapi juga alasan bagi meningkatnya pemusnahan etnis atau pembantaian massal. Buku Mann ini merupakan upaya yang baik dalam menteorisasi asal-usul dan eskalasi pemusnahan etnis dengan memberi fokus pada relasi kekuasan politik di dalam masyarakat.

Menurut Mann, pemusnahan etnis dipahami sebagai “hasil dari 4 perangkat jaringan kekuasaan yang saling berinterelasi. Keempat perangkat tersebut adalah perangkat ideologi, ekonomi, militer, dan politik. Mann berupaya meyakinkan pembacanya bahwa bahwa “pemusnahan yang disertai pembunuhan adalah hasil dari situasi di mana kelompok yang lebih berkuasa dari dua [atau lebih] etnik bertujuan melegitimasi dan mendirikan negara, sementara kelompok yang lebih lemah dibantu oleh negara lain.” 

Mann bersikeras dan secara hati-hati menekankan bahwa pemusnahan dengan metode pembunuhan sifatnya sungguh moderen. Jadi, pembantaian massal suatu etnis tidak hanya terjadi di era kuno, melainkan pula di era teknologi canggih dan dunia yang semakin terbuka ini. Mann menganggap Demokrasi selalu mengandung potensi terjadinya tirani oleh mayoritas yang kuat terhadap kaum minoritasnya. Kemungkinan ini potensinya cukup besar di negara yang sifatnya multietnis atau multinasional. Pada bab 3, Mann mengajukan argumentasi bahwa dua versi dari sebutan “We the People” telah muncul di era modernitas. Menurut Mann, satu versi adalah penekanan yang didasarkan atas liberalisme dan secara tepat diekspresikan di dalam Konstitusi Amerika Serikat. Namun, versi lain dari sebutan tersebut sifatnya organis yang dimaknai sebagai ”one nation, one state” dan sifatnya penentuan nasib sendiri bagi suatu etnis. Mann menekankan bahwa terdapat jurang antara teori dan praktek antara versi liberal dan organik dari Demokrasi. Jurang inilah yang merupakan asal-usul dari pemusnahan etnis di era modern. 

Mann menyebutkan bahwa pemusnahan etnis bukan monopoli masa lalu. Di era modern, pemusnahan etnis bahkan meningkat eskalasinya. Abad ke-20 ditandai peristiwa pemusnahan etnis yang memakan 70 hingga 100 juta korban. Peralatan perang modern, beda dengan peralatan perang masa kuno, menargetkan populasi sebagai musuh, bukan hanya kelompok militer musuh saja. Total masyarakat sipil yang yang tewas dalam Perang Dunia I adalah 10% dan jumlah ini meningkat tajam di Perang Dunia II yaitu mencapai 15%. Dan jumlah ini meningkat menjadi 80% di aneka perang yang terjadi pada era 1990an. Mann lalu mengkritik Demokrasi. Jika kita [menurut Mann] mendefinisikan Demokrasi bukan semata masalah elektoral, tetapi juga dalam terminologi rule of law, kemerdekaan berekspresi, dan sejenisnya, maka suatu rezim yang melakukan pemusnahan ataupun pembantaian tidak akan bisa disebut sebagai Demokratis. Sejumlah rezim Demokratis masih melakukan pemusnahan etnis: Semakin baik kualitas para politisi yang mewakili kelompok etnis dominan, makin jarang terjadi pemusnahan etnis. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk kualitas politisi yang mewakili kalangan mayoritas di suatu negara, semakin ada kecenderungan terjadinya pemusnahan etnis. 

Bagi Mann, intensifikasi dari pembunuhan dalam skala massal atas dasar keanggotaan kelompok etnis berkaitan dengan sesuatu yang salah dalam konsep modernitas, dan tentu saja proses Demokratisasi. Dalam hal modernisasi dan Demokratisasi ini gerakan sosial yang kuat di dalam kolektivitas etnis tertentu mengejar kelompok lain yang hendak melakukan proses serupa tapi di teritori yang sama. Fakta bahwa mereka mampu membuat klaim yang melegitimasi demi proyek pembangunan negara yang saling bersaing dan bahwa mereka mampu memobilisasi kelompok individu dalam jumlah besar di seputar proyek tersebut adalah indikator bagaimana masalah ideologi telah merembes ke dalam prinpip kaum modernis dengan pemerintahan rakyat tersebut. Pemerintahan oleh ‘rakyat’, produk langsung dari era Pencerahan, telah memiliki makna yang kabur. Demos kerap dimaknai sebagai etnos dan di mana proyek Demokratisasi cenderung diimplementasikan sebagai homogenisasi etnis. Hubungan intrinsik antara keduanya (demos yang keliru dimaknai sebagai etnos) menciptakan kondisi historis dimana kekerasan oleh kelompok etnis beskala besar. Inilah fakta dari sisi gelap Demokrasi. 

Seluruh konsep normatif seperti Demorasi Liberal, negara kesejahteraan, kesinambungan ekonomi, dan bahkan budaya politik toleran seluruhnya, menurut Mann, dibangun di atas pemusnahan etnis, baik itu pembunuhan massal atau koersi yang terlembaga. Sebab itu genosid bukan hanya prerogatif milik otoritarianisme, ia (genosid) kiranya pun muncul di bawah kondisi Demokratisasi dan liberalisasi yang kurang sempurna. Genosid tahun 1915 atas orang Armenia bukan dieksekusi oleh kuasa otoritarian tetapi oleh kekaisaran Otoman yang multietnis, tepatnya oleh Young Turk, kelompok Turki yang sekuler, mempraktekkan liberalisasi, dan berorientasi Barat. Genosid yang dilakukan oleh Young Turk bukan dilakukan atas nama Tuhan ataupun kebesaran Otoman: Ia dilakukan atas nama nasionalisme etnik moderen. 

Bagaimanapun, transformasi rivalitas intra kelompok dari kerusuhan etnis yang sederhana hingga genosid selap dikondisikan oleh transposisi mereka ke level negara-bangsa. Ia terjadi saat suatu negara-bangsa dengan mengalami Demokratisasi. Kerap secara internal terpecah dan teradikalisasi oleh tekanan geopolitik seperti perang, yang mewujud ke dalam peristiwa pembunuhan massal di era moderen. Inilah yang membuat seluruh pihak menjadi prihatin dan menganggap Demokrasi sebagai penyebab. Konteks yang sifatnya struktural ini menciptatakan kondisi dimana tiga tingkat penguatan pemusnahan etnis muncul: elit politik yang teradikalisasi berupaya memaksakan suatu cetak biru negara baru; geng-geng kalangan muda yang militan diorganisir ke dalam formasi paramiliter; dan apa yang Mann sebut sebagai konstituen inti dari etno-nasionalisme yang menyediakan dukungan massal bagi tindakan kekerasan. 

Kondisi di Indonesia 

Indonesia pasca 1945 banyak dilanda pembunuhan massal, kendati tidak seluruhnya diarahkan pada etnis tertentu. Di Sumatera Timur terjadi Revolusi Sosial, di mana para tuan tanah, priyayi, dan orang-orang pribumi yang bekerja untuk dan bersikap kebarat-baratan dibunuhi. Aktivitas yang sebagian besar dimotori oleh aktivis PKI Ilegal (PKI yang berdiri pasca 1926) dan kemudian diikuti oleh massa melakukan kegiatan ‘balas dendam.’ Peristiwa pembunuhan massal pun kemudian terjadi tahun 1948, di mana Westerling melakukan pembunuhan membabi-buta atas ribuan rakyat di Sulawesi Selatan. Westerling adalah warganegara Belanda dan Belanda saat itu adalah negara Demokrasi. Lalu, saat terjadi peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto terjadi pembunuhan massal atas orang-orang yang diindikasikan merupakan anggota PKI atau yang berhubungan dengannya. Jumlah yang terbunuh di Jawa dan Bali melebihi 500 ribu orang. Namun, apa yang terjadi di Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa-Bali bukan merupakan pemusnahan etnis secara khusus, kendati dapat dibedah melalui mata rantai interelasi antara aspek ideologis, ekonomi, militer, dan politik dalam kerangka analitis Mann. 

Peristiwa-peristiwa yang disebut di atas terjadi di masa-masa peralihan, di mana terjadi perubahan sistem politik, tidak ada otoritas sentral yang dominan, sehingga aneka kelompok yang relatif kuat dapat mengorganisir diri dan membunuhi lawan ideologisnya secara bebas tanpa penghakiman, seperti membunuhi lalat, nyamuk, tikus, atau hama wereng coklat saja. Di era Orde Baru, pun terjadi peristiwa pembunuhan (yang kerap terlampau dibesar-besarkan) yaitu tragedi Balibo. Namun, tindakan ini memiliki pembenaran ideologisnya sendiri yaitu upaya pemerintah sah Indonesia mempertahankan wilayah atas kemungkinan upaya separatisme. Kendati demikian, peristiwa tersebut, karena terjadi di suatu rezim yang kuat, tidak mengalami eskalasi. Demikian halnya saat pemberlakuan DOM di Aceh dan kasus separatis di Papua.

Peristiwa pembunuhan massal yang penuh histeria kembali terjadi saat Indonesia mengalami masa peralihan rezim politik. Setelah Suharto mundur dari kekuasaan, terjadi tragedi Mei 1998 di mana yang menjadi sasaran adalah etnis Cina, orang-orang yang dianggap dekat dengan Suharto (tidak banyak). Di era Indonesia merdeka, baru tahun 1998lah terjadi pembunuhan atas suatu etnis secara khusus. Eskalasi yang lebih besar terjadi manakala Presiden Abdurrahman Wahid memerintah, yaitu terjadi kerusuhan Ambon, Poso, dan Sampit. Di Ambon, pembunuhan atas etnis diselubungi oleh nuansa agama, padahal pada hakikatnya adalah konflik antar elit politik, yang melibatkan peran militer, di mana penduduk asli tertekan oleh etnis pendatang. Hal ini pula terjadi di Poso, di mana terdapat pula nuansa agama di sana, tetapi pula pada hakikatnya adalah masalah marjinalisasi ekonomi penduduk asli yang terdesak oleh pendatang. Demikian pula yang terjadi di Sampit, di mana dua kelompok etnis yang berbeda (dan beda agama pula) bersatu melawan etnis lain. Jumlah yang tewas dari kerusuhan etnis tersebut membuat jumlah penduduk Indonesia jauh berkurang. Ini dapat menggambarkan betapa dahsyatnya konflik etnis yang bermuara pada pembantaian massal antar etnis.

Buku Mann, dengan demikian, dapat dijadikan sebagai referensi yang baik dalam mengantisipasi aneka potensi pembunuhan massal akibat proses Demokrasi. Dalam Demokratisasi, setiap pihak seberapa kuat atau seberapa lemah pun, berupaya menegaskan keberadaan diri mereka. Saat penegasan keberadaan diri mereka itulah terjadi persinggungan dengan eksistensi kelompok lainnya. Manakala pelembagaan politik masih lemah, maka negosiasi yang dilakukan adalah lewat cara-cara primitif khas evolusi manusia: Pembantaian antar kelompok. [sb

-------------------------- 

Catatan Kaki: 

[1] Michael Mann, The Darkside of Democracy: Explain Ethnic Cleansing (Cambridge: Cambridge University Press, 2005) Bab 3 – 5 . 
[2] Itamar Magid, Review – The Darkside of Democracy: Explaining Ethnic Cleansing, Amsterdam Law Forum, Vol. 2:3, July 2010. 

Kritik atas Demokrasi Liberal

Demokrasi Liberal sarat dengan aneka kelemahan, kendati ia kini tengah menjadi trend praktek bernegara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ciri utama Demokrasi Liberal adalah kompetisi partai politik, pemberian hak pilih untuk warganegara yang dijamin konstitusi, dan pemerintahan oleh mayoritas dan dilakukan oleh wakil rakyat (bukan rakyat secara langsung).

Proposisi utama artikel ini adalah Demokrasi Liberal yang dipraktekkan bukannya tanpa ketidaksempurnaan. Demokrasi Liberal kerap dinyatakan sebagai memunculkan tirani oleh mayoritas, dominasi dan monopoliti pembuatan kebijakan oleh para pemodal kuat (kapitalis), dengan mana mereka ini bisa mempengaruhi hasil pemilihan umum. Selain itu, Demokrasi Liberal pun memungkinkan terjadinya tirani oleh minoritas apabila minoritas ini memiliki pressure group yang kuat di tingkat konversi sistem politik.  

Persoalan Demokrasi Liberal, dalam hal praktis, sesungguhnya berkisar pada masalah inheren di dalam Demokrasi itu sendiri, yaitu sistem perwakilan. Di negara dengan luas wilayah dan penduduk besar, setiap warganegara tidak bisa mewakilili dan menjalankan kekuasaan diri mereka secara langsung. Mereka harus mewakilkan ‘kedaulatan’ diri mereka kepada pihak lain. Di sinilah sesungguhnya terletak akar kritik terhadap Demokrasi Liberal itu sendiri. Sebagai suatu mekanisme pemerintahan yang tidak dijalankan sendiri oleh pemilik kedaulatan, maka distorsi kepentingan sangat mungkin terjadi. 

Permasalahan

Persoalan dari Demokrasi Liberal kemudian dikritik sekurangnya dari 3 pespektif. Pertama, dari perspektif keadilan sebagai kelayakan. Kedua, dari perspektif dominasi dan monopoli. Ketiga, dari perspektif politik perbedaan. 

Dipandang dari sudut keadilan sebagai kelayakan (justice as fairness), Demokrasi Liberal dikritik oleh John Rawls lewat dua prinsip keadilannya. Dipandang dari sisi dominasi dan monopoli, Demokrasi Liberal dikritik oleh Michael Walzer dari sisi distribusi keadilan di tengah masyarakat. Dipandang dari sisi politik perbedaan, Demokrasi Liberal dinyatakan oleh Irish Marion Young sebagai interelasi antara patriarki kontemporer dengan Kapitalisme kontemporer. 

Berdasarkan sejumlah kritik yang dialamatkan pada Demokrasi Liberal seperti dilancarkan oleh ketiga kritikus tersebut di atas, maka masalah di dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan John Rawls terhadap Demokrasi Liberal dalam konteks keadilan sebagai kelayakan ?

2. Bagaimana pandangan Michael Walzer terhadap Demokrasi Liberal dalam konteks keadilan distribusi kepentingan di tengah masyarakat?

3. Bagaimana pandangan Irish Marion Young terhadap Demokrasi Liberal dalam konteks politik perbedaan, khususnya pandangannya mengenai interelasi antara patriarki dan Kapitalisme kontemporer?

John Rawls dan Justice as Fairness 

John Rawls memuat kritiknya atas Demokrasi Liberal lewat dua bukunya yaitu Theory of Justice (1971) dan Political Liberalism (1993). Teori utamanya ada di buku pertama, sementara di buku kedua lebih kepada realisme Rawls atas idealismenya di buku pertama. 

Sasaran Rawls terletak pada pertahanannya atas gagasan Demokrasi Konstitusional Liberal.[1] Kendati demikian, Rawl memperhatikan bahwa praktek Demokrasi Liberal bukannya tanpa kelemahan. Kelemahan ini ia rangkum ke dalam dua proposisinya mengenai keadilan. Proposisi pertama menyatakan bahwa “setiap orang punya hak setara dan semaksimal mungkin untuk dipenuhi dalam hal kebebasan asasi yang setara dan cocok dengan sistem kebebasan serupa untuk semua.” Proposisi kedua menyatakan “ketimpangan sosial dan ekonomi harus disikapi sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) dapat mencapai keuntungan terbesar bagi yang paling kurang diuntungkan … dan … (b) kesempatan untuk menduduki jabatan publik harus terbuka bagi semua orang di bawah kondisi kelayakan kesetaraan kesempatan.” [2] Prinsip dalam proposisi pertama berkenaan dengan prinsip kebebasan, sementara prinsip kedua berkenaan dengan prinsip perbedaan. Prinsip dalam proposisi pertama lebih pokok ketimbang prinsip dalam proposisi kedua. 

Bagi Rawls, Demokrasi Liberal mengandung dua gagasan yang terpisah. Pertama, prosedur voting mayoritas. Kedua, perlindungan atas hak-hak individu tertentu. Jika hanya menitikberatkan pada gagasan pertama, maka mayoritas dapat saja mendorong munculnya kondisi yang opresif, di mana kepentingan mayoritas mendominasi kepentingan minoritas. Ancamannya adalah adanya tirani oleh mayoritas. Selain itu, ancaman kedua adalah kebodohan Demokrasi. Siapapun orang, dengan kualifikasi apapun, dapat duduk sebagai pemimpin. Hitler pun terpilih secara Demokratis. Di sinilah letak pandangan Rawls atas Demokrasi Liberal, ia ingin melindungi hak-hak individu dan inilah inti dari pikirannya dalam Theory of Justice[3]. 

Dalam rangka perlindungan atas hak-hak individu, Rawls menyatakan perlunya prinsip partisipasi politik yang setara. Untuk ini, hak-hak individu pertama sekali harus dijamin di dalam konstitusi. Lalu, seluruh orang dewasa harus punya hak suara dalam Pemilu reguler, yang adil dan bebas. Rakyat harus bebas mendirikan partai politik dan menerapkan oposisi loyal atas siapapun yang berkuasa. Hal-hal ini disebut Rawls sebagai politik yang masuk akal. Selanjutnya Rawls melangkah pada adanya kemungkinan kelompok atau individu yang punya uang banyak untuk mempengaruhi jalannya Pemilu dan hasilnya. Apabila ini terjadi, bagi Rawls, maka hanya kepentingan mereka sajalah yang akan berkembang biak di dalam aneka keputusan politik dan sebab itu harus diminimalisasi kemungkinannya. Cara yang paling radikal adalah menghapuskan ketimpangan ekonomi. Namun, ini merupakan target jangka panjang sehingga bagi Rawls, target jangka pendek-menengahnya adalah membiayai partai politik menggunakan pajak rakyat. Dengan pembiayaan seperti ini maka partai politik tidak akan bertanggung jawab lagi pada pemodal besarnya melainkan pada seluruh rakyat di suatu negara selaku sponsor utama mereka. [4]

Pandangan Rawls lainnya adalah seputar pemerintahan mayoritas. Pemerintahan mayoritas di sini tidak dilarang oleh Rawls, melainkan bagaimana para wakil rakyat yang mampu menyusun dan melaksanakan legislasi berasal dari spektrum kepentingan yang begitu luas di dalam masyarakat. Rawls menyadari bahwa masyarakat itu beragam segmentasinya dan setiap segmentasi memiliki kepentingan yang berbeda. Bagi Rawls, dan ini cukup pragmatis, persoalan utama pemerintahan mayoritas adalah memungkinkan para wakil rakyat yang berasal dari aneka segmen masyarakat yang punya kepentingan berbeda dapat masuk selaku perumus dan eksekutor undang-undang. 

Michael Walzer dan Distribusi Keadilan

Kritik Walzer atas Demokrasi Liberal berdiri di atas pandangan politiknya yang Marxis. Kendati begitu, apa yang disampaikan Walzer adalah wajar untuk ditujukan atas praktek-praktek Demokrasi Liberal di dunia post moderen saat ini. Inspirasi Walzer tidak hanya pada studi-studi moderen melainkan pembacaannya yang luas atas Talmud dan mitologi Aztec. [5] Pikiran-pikiran Walzer tentang kritiknya atas Demokrasi Liberal ada dalam bukunya Spheres of Justice (1983). Walzer menitikberatkan kritiknya atas Demokrasi Liberal pada aspek ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh masalah dominasi, yaitu saat komoditas berada dalam penguasaan satu kelompok sosial maka akan berimbas pada pola distribusi komoditas tersebut.[6] Sebab itu, kunci bagi distribusi yang adil adalah pada dialog sosial yang rumit dan interpretive dengan mana komoditas dari lingkup sosial yang otonom secara relatif didistribusikan dengan suatu cara sehingga tidak satupun lingkup sosial mampu mendominasinya. [7]

Masalah distribusi keadilan ini menjadi semakin nyata bagi Walzer terutama sejak mulai munculnya new social movements, yaitu gerakan sosial baru yang membawakan tema-tema identitas seperti ras, kelompok jenis kelamin, dan etnis. Gejala ini berlawanan dengan tradisi politik neokonservatif dan liberalisme klasik yang memandang masyarakat relatif secara homogen. Dengan demikian Walzer dapat dipandang sebagai seorang yang berpandangan partikularisme[8] dan ini tidak lepas dari posisinya sebagai penganjur Sosialisme Demokratis. 

Konsep distribusi keadilan Walzer ada dalam tulisannya mengenai Complex Equality di mana ia melakukan pembedaan antara rezim yang adil dan tidak adil. Partikularisme Walzer yaitu perhatiannya antar kelompok sosial berbeda kemudian mendorongnya pada Pluralisme, dengan menyatakan “prinsip keadilan hakikatnya pluralistik wujudnya; bahwa komoditas sosial berbeda wajib didistribusikan atas alasan berbeda, sesuai dengan prosedur yang juga berbeda, oleh agen yang juga berbeda; dan bahwa semua perbedaan tersebut diturunkan dari pemahaman atas berbeda atas komoditas sosial tersebut --- dan ini merupakan hasil tidak terelakkan dari partikularisme historis dan budaya.” [9] 

Berangkat dari pemahaman atas dimensi partikularisme yang kemudian mendorong pluralisme kepentingan dalam distribusi keadilan, Walzer memperkenalkan konsep dominasi dan monopoli. Dalam konteks dominasi dan monopoli ini Walzer menjelaskannya: “(1) Klaim bahwa komoditas dominan, apapun itu, seharusnya diredistribusikan sehingga dapat dimiliki secara setara dan meluas; dan apabila ini terjadi maka monopoli dapat kita katakan sebagai tidak adil; (2) Klaim bahwa cara yang seharusnya dibuka bagi distribusi otonom atas semua komoditas sosial, dan mengenai ini dapat dikatan bahwa dominasi tidak adil; (3) Klim bahwa sejumlah komoditas baru, yang dimonopoli oleh sejumlah kelompok baru seharusnya menggantikan komoditas yang saat ini dominan: jika ini terjadi maka dapt dikatakan bahwa pola dominasi dan monopoli adalah tidak adil.” [10]

Melihat pada potensi monopoli dan dominasi yang cenderung mengarah pada ketidakadilan, maka Walzer menekankan bahwa kekuasaan politik adalah ssuatu yang mesti didistribusikan secara bebas dari dominasi uang, posisi sosial, dan bentuk lain dari komoditas otonom lainnya. Satu orang satu suara, menurut Walzer, adalah ekuivalen secara fungsional di dalam lingkup politik, yang akan mencegah pemerintahan yang mengeksklusi dan mendegradasi lingkup kesejahteraaan. Bagi Walzer pula, setiap warganegara adalah partisipan potensial, politisi yang potensial. Walzer mengimajinasikan rezim yang sifatnya setara secara sederhana. [11] 

Rezim kesetaraan sederhana ini adalah menyikapi monopoli, dan bukan dominasi, sebagai isu sentral dalam keadilan distributifnya. Ini sejalan dengan pandangan Walzer yang berposisi pada Sosialisme Demokratis, di mana negara yang impersonal bertanggung jawab untuk memegang monopoli atas seluruh komoditas yang kemudian didistribusikan secara merata kepada seluruh kelompok yang berkepentingan atas komoditas tersebut, yang tentu saja berbeda-beda. Monopoli negara ini bebas dari kepentingan satu kelompok karena setiap warganegara berpotensi untuk melakukan hak pilih dan dipilih, dari manapun kelompok mereka berasal, demi menjamin distribusi komoditas yang dimonopoli negara tersebut terdistribusikan secara adil. 

Irish Marion Young dan Politik Perbedaan 

Young adalah eksponen dari gerakan New Left dan gerakan perempuan (feminis). [12] Bagi Young, patriarki kontemporer dan kapitalisme kontemporer saling berinterelasi. [13] Young memandang perempuan sekadar tenaga kerja sekunder dalam kapitalisme akibat masih berkembangkan budaya patriarki di alam kontemporer. Keadilan dalam pemikiran Young dapat diletakkan pada dua konsep yaitu dominasi dan opresi. Dua konsep ini yang digunakan Young dalam memetakan ketidakadilan struktural. [14] Young menganggap bahwa Kapitalisme kesejahteraan mungkin saja lebih humanis ketimbang pendahulunya (laissez-faire) tetapi ketidakadilan terus berlanjut secara stsruktural dan pembuatan keputusan yang partisipatoris terus melemah.

Young mendefinisikan dominasi sebagai hambatan institusional atas penentuan nasib sendiri dan sebab itu berlawanan langsung terhadap Demokrasi,yang dipahami sebagai partisipasi. Young juga mendefinisikan opresi sebagai hambatan institusional atas perkembangan diri. Opresi punya aneka ‘wajah’ yang seluruhnya berhubungan dengan keyakinan Young yang menganggap Demokrasi sebagai partisipasi. Sebab itu, untuk memerangi ketidakadilan, bagi Young, bukan hanya dibutuhkan Demokrasi, tetapi juga Demokrasi dalam jenisnya yang khusus. [15] Dengan demikian, Young dikenal sebagai penggagas Demokrasi Partisipatoris yang tujuannya meningkatkan kendali individu atas lembaga ekonomi dan sosial. Jadi, Demokrasi tidak semata-mata berkaitan dengan kendali atas politik, melainkan pula distribusi sosial dan ekonomi.

Young melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa masalah kesetaraan dasar dalam situasi kehidupan semua orang adalah suatu nilai moral dan sebagai itu ketidakadilan struktural harus dirombak dengan cara perubahan institusional oleh kelompok yang disebut Young sebagai yang mengalami opresi. Demokrasi, sebab itu, ada dalam kerangka apa yang yang orang lakukan, bukan apa yang orang miliki, dan ini berujung pada hubungan orang dengan cara produksi bukan sekadara distribusi belaka. Ini merupakan pandangan New Left yang cukup khas. 

Young kemudian memperkenalkan konsep good life. Konsep ini berkenaan dengan dua nilai, yaitu: “(1) pengembangan dan penerapan kapasitas seseorang berikut pengekspresian pengalaman seseorang; dan (2) partispasi dalam menentukan tindakan seseorang dan kondisi yang diperlukan bagi tindakan tersebut.” [16] Dalam konteks ini Young menekankan hal yang cukup senada dengan Rousseau yaitu direct representation[17]. Young menekankan solusi atas masalah ketidakdilan harus meliputi pengubahan ke aras suatu sistem Demokrasi yang memasukkan perwakilan langsung bagi dan partisipasi oleh kelompok sosial yang kurang beruntung. Partisipasi dalam pembuatan keputusan ini memiliki baik nilai instrumental dan instrinsik dalam menantang dominasi dan opresi. [18] Bagi Young, perbedaan antar kelompok sosial harus ditangani oleh aspek-aspek positif dari perbedaan tersebut dan dimuat ke dalam kebijakan negara. [19]

Hal menarik dari Young adalah konsepnya mengenai Demokrasi Partisipatoris. Paling tidak, terdapat 3 hal yang patut diberikan perhatian atas konsep Demokrasi versi Young ini. Pertama, standar dari tawaran new left bahwa Demokrasi sebaiknya diperluas hingga ke tempat kerja dan bahwa orang patut menyampaikan suaranya di dalam proses pembuatan keputusan yang ada hubungannya dengan pekerjaan mereka. Kedua, partisipasi seharusnya menjadi hak aneka kelompok sosial bahkan individual, yang bagi Young perbedaan antara kelompok sosial harus dipelihara dan aspek-aspeok positif dari perbedaan tersebut seharusnya ditetapkan dalam kebijakan. Ketiga, adanya implisit pendapat Young tentang Demokrasi Komunikatif, yaitu penekanan Young (yang ia kembangkan dari konsep Demokrasi Deliberatif Juergen Habermas) pada kenyataan bahwa argumentasi memegang peranan penting, ketimbang sekadar masalah jumlah, dalam proses pengambilan keputusan, dan sebab itu Young menganggap Demokrasi Deliberatif perlu memasukkan metode komunikasi yang lebih luuas dan beragam, mengingat kelompok yang kurang beruntung kadang mengalami intimidasi oleh aturan formal dari institusi-institusi deliberatif (lembaga yang menangani kepentingan khusus mereka). [20]

Pembahasan

Apa yang disampaikan Rawls tentang keadilan sebagai kesetaraan/kelayakan memiliki fakta sesuatu yang sulit untuk diterapkan di dalam suatu masyarakat yang masih menganut masalah primordial. Bagi Rawls, keadilan hanya dapat terselenggara di dalam Demokrasi Liberal manakala setiap orang, dengan latar belakang apapun, berkesempatan untuk mendukuki jabatan publik. Di Inggris ini sudah terjadi di mana seorang warga yang berasal dari imigran Arab dapat menjadi walikota London. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia sendiri?

Dalam kasus Indonesia, hal ini masih menjadi tanda tanya besar. Secara konstitusi, syarat sebagai calon presiden tidak menekankan adanya masalah agama. Namun, secara primordial hal ini menjadi masalah: Umat dari agama lain akan sulit untuk mencalonkan diri sebagai presiden di Indonesia karena adanya konvensi tidak tertulis bahwa seorang presiden juga harus berasal dari agama mayoritas. Contoh kasus nyata untuk hal ini adalah saat pertarungan Ahok-Djarot versus Anis-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2018 lalu. Bagaimana Ahok-Djarot yang keduanya memiliki track record sebagai pimpinan daerah (Ahok di Belitung Timur, mantan wagub DKI Jakarta) dan Djarot (mantan Bupati Blitar) harus kandas di tangan pasangan yang sama sekali tidak memiliki track record sebagai pimpinan daerah (Anis-Sandi, keduanya belum pernah menjadi pimpinan daerah). Hal yang menjatuhkan Ahok-Djarot adalah isu primordial seperti agama, bahwa gubernur harus berasal dari agama mayoritas. Padahal posisi gubernur adalah pelayan publik dan seorang gubernur tidak dapat semaunya berkuasa mengingat ia akan diawasi kinerjanya oleh DPRD yang mayoritas anggotanya berasal dari kalangan umat mayoritas. 

Apa yang disampaikan oleh Walzer mengenai distribusi keadilan berkenaan dengan, terutama, fenomena partai politik di Indonesia. Dominasi dan monopoli kebijakan negara bukan berada di tangan negara melainkan di tangan para donatur partai politik yang memiliki sumber keuangan besar. Keputusan apapun yang diambil oleh partai politik, baik itu pengajuan calon legislatif maupun eksekutif akan mengikuti logika siapa yang mendominasi distribusi keadilan di dalam negara. 

Dari sudut pandang Walzer ini pula, maka negara belum menjadi pemegang monopoli bagi kepentingan yang saling berbeda, terutama dari daerah. Wakil-wakil daerah tidak memiliki ‘orang-orang’ yang secara khusus mewakili kepentingan daerah. DPD tidak memiliki hak mengajukan undang-undang terkait otonomi daerah secara otonom melainkan harus menyodorkannya terlebih dahulu kepada DPR. Di DPR ini pula maka terjadi distorsi kepentingan, dalam mana DPR memegang monopoli sekaligus dominasi dalam penyusunan undang-undang yang berkenaan dengan kepentingan daerah. Sementara di sisi lain, DPR terdiri atas orang-orang partai politik yang mereka lebih tunduk atas kepentingan elit partai politik ketimbang tunduk kepada negara.

Apa yang disampaikan oleh Irish Marion Young cukup aktual. Bagi Young, ada dominasi dan opresi atas sejumlah warga yang kurang beruntung. Dan sebab itu, untuk membela kepentingan mereka, Young menawarkan suatu bentuk Demokrasi yaitu Demokrasi Partisipatoris. Dalam Demokrasi ini, kelompok warganegara yang memiliki kepentingan langsung atas suatu pilihan kebijakan secara langsung mewakili diri mereka sendiri. Namun, Demokrasi Partisipatoris ini kemudian menemukan diri mereka atas suatu ‘tembok’ yang dinamakan ‘lembaga negara.’ Di tangan lembaga negara ini maka kelompok warganegara tersebut kehabisan ‘amunisi’ yaitu dalam hal berargumentasi signifikannya kepentingan mereka diakui atau tidak oleh suatu lembaga. Sehingga, misalnya, kepentingan kaum pekerja migran, secara praktis belum bisa diwakili oleh diri mereka sendiri tanpa melibatkan perantara, yaitu LSM-LSM yang memberi perhatian atas masalah pekerja migran ini. 

Kesimpulan

1. John Rawls menandaskan masalah yang cukup krusial yaitu partai politik harus didanai oleh dana publik, dana yang berasal dari pajak rakyat. Harapannya adalah partai politik tidak tunduk kepada sponsor keuangan besar mereka melainkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. 

2. Michael Walzer menandaskan masalah dominasi dan monopoli atas komoditas yang penting bagi publik, publik di sini berasal dari aneka segmen yang membutuhkan alokasi khusus. Walzer berpandangan bahwa monopoli oleh negara dalam hal distribusi keadilan menjadi suatu keharusan ketimbang menyerahkannya kepada kelompok sosial yang dominan yang justru akan mendominasi penyebaran atau distribusi komoditas tersebut di kalangan masyarakat. 

3. Irish Marion Young menandaskan masalah krusial yaitu perlu adanya Demokrasi Partisipatoris, yaitu Demokrasi yang sifatnya lebih langsung yang tidak hanya berkenaan dengan masalah politik melainkan juga masalah ekonomi dan sosial. 

Temuan Masalah

1. Dari John Rawls diperoleh temuan bahwa pendanaan partai politik perlu mendapat perhatian serius karena partai politik adalah pilar dari Demokrasi Liberal: Partai politik harus dibersihkan dari kepentingan kaum pemodal. 

2. Dari Michael Walzer diperoleh temuan bahwa negara harus memegang monopoli dalam hal distribusi keadilan atas segmen-segmen masyarakat yang berbeda sehingga negara bisa mengatasi dominasi oleh kelompok sosial tertentu atas distribusi komoditas tersebut. 

3. Dari Irish Marion Young diperoleh temuan bahwa Demokrasi Liberal yang sekadar menekankan Demokrasi Politik tidak lagi mencukupi dalam membangun peradaban Demokrasi yang sesungguhnya karena cenderung mengabaikan Demokrasi lain yang juga penting yaitu Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Sosial. [sb]

-----------------------

Catatan Kaki :

[1] Jonathan Wolff, “John Rawls: Liberal Democracy Restated” dalam April Carter and Geoffrey Stokes, Liberal Democracy and Its Critics: Perspectives in Contemporary Political Thought (Cambridge Oxford Malden: Polity Press, 1998) p. 118.
[2] Ibid., p. 120.
[3] Jonathan Wolff, “John …” op.cit., p. 123. 
[4] Ibid., p. 125. 
[5] Mark Kingwell, ”Michael Walzer: Pluralism, Justice and Democracy“ dalam April Carter and Geoffrey Stokes, Liberal Democracy and Its Critics: Perspectives in Contemporary Political Thought (Cambridge Oxford Malden: Polity Press, 1998) p. 135.
[6] Ibid., p. 135. 
[7] Ibid., p. 135-6
[8] Ibid., p. 139. 
[9] Mark Kingwell, ”Michael …” op.cit.,., p. 141. 
[10] Ibid., p. 142. 
[11] Ibid., p. 143. 
[12] Don Fletcher, “Irish Marion Young: The Politics of Difference, Justice and Democracy” dalam April Carter and Geoffrey Stokes, Liberal Democracy and Its Critics: Perspectives in Contemporary Political Thought (Cambridge Oxford Malden: Polity Press, 1998) p. 197. 
[13] Ibid., p. 197. 
[14] Ibid., p. 199. 
[15] Ibid. 
[16] Ibid. 200. 
[17] Ibid., p. 203. 
[18] Ibid. 
[19] Ibid., p. 205. 
[20] Ibid, p. 204-5.

Sunday, January 19, 2020

Model-model Demokrasi Lijphart dan Aplikasi Ringkas di Indonesia


Artikel ini akan menyoroti dua pokok pembicaraan Lijphart dalam bukunya Democracies: Patterns of Majoritarian dan Concescus Government in Twenty-One Countries, buku yang pertama kali terbit tahun 1984 dan edisi revisinya terbit tahun 1999.[1] Kedua pokok pembicaraan itu adalah komparasinya atas: 1) Dua Model Demokrasi (Westminster dan Konsensus) dan 2) Pola hubungan legislatif-eksekutif dalam sistem pemerintahan Presidensial dan Parlementer.

Pertama, akan dimuat secara ringkas komparasi Lijphart mengenai Model Demokrasi Westminster dan Konsensus. Model Westminster ideal typhusnya mengaju pada Inggris, yang juga berlaku di Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Model Konsensus ideal typhusnya mengacu pada Swiss dan Belgia. Kedua model ini mengacu pada mekanisme perwakilan warganegara di dalam sistem politik. 

Model Westminster, menurut Lijphart memiliki 9 karakteristik yaitu: 1) Konsentrasi kekuasaan eksekutif di satu partai dan kabinet yang berasal dari partai mayoritas; 2) Fusi kekuasaan dan dominannya posisi kabinet; 3) Bikameralisme asimetris; 4) Sistem dua partai; 5) Sistem kepartaian yang satu dimensi seputar isu; 6) Sistem Pemilu pluralitas (suara terbanyak); 7) Pemerintahan sentralistik dan bentuk negara kesatuan; 8) Konsitusi tak tertulis dan kedaulatan di tangan parlemen; dan 9) Demokrasi perwakilan yang sifatnya eksklusif (hampir tidak memberi tempat pada Demokrasi Partisipatoris/Referendum). [2]

Model Konsensus, menurut Lijphart terdiri atas 8 karakteristik utama yaitu: 1) Adanya pembagian kekuasaan eksekutif berdasarkan koalisi; 2) Pemisahan kekuasaan, formal dan informal; 3) Bikameralisme setimbang dan perwakilan minoritas; 4) Sistem multi partai; 5) Sistem kepartaian yang bersifat multidimensi dalam hal isu; 6) Perwakilan proporsional; 7) Federalisme teritorial dan nonteritorial serta desentralisasi bentuk negara; dan 8) Konstitusi tertulis dan veto minoritas. [3]

Kedua, setelah menawarkan dua ideal-typhus Model Demokrasi, Lijphart kemudian bicara seputar hubungan eksekutif-legislatif di dua sistem pemerintahan: parlementer dan presidensial.[4] Bagi Lijphart, secara umum, Model Westminster mendorong adanya dominasi kekuasaan oleh cabang eksekutif, sementara parlementer mendorong kesetimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.[5] Menurut Lijphart, dengan mengutip Leon D. Epstein, sistem pemerintahan parlementer adalah “the form of constituional democracy in which executive authority emerges from, and is responsible to, legislative authority.”[6] Perdana menteri beserta kabinetnya dipilih berdasarkan konfigurasi suara di dalam parlemen, yang apabila tidak ada satu partai berkuasa 50 + 1 maka posisi eksekutif rentan untuk dimakzulkan oleh parlemen. Sementara itu, mengenai sistem presidensial, Lijphart menulis “In a presidential system, the chief executive – the president --- is elected for a constituionally prescribed period and in normal circumstances cannot be forced to resign by a legislative vote of no confidence … presidents are popularly elected …. And that prime ministers are selected by the legislatures [7] Secara ideal, presiden (dan kabinetnya) di sistem pemerintahan presidensil tidak dapat dijatuhkan begitu saja oleh parlemen, berbeda dengan sistem parlementer di mana perdana menteri (dan kabinetnya) menjadi obyek dari mosi tidak percaya parlemen. 

Aplikasi Konsep Lijphart di Indonesia Era 1953 - 1957

Dua Model Demokrasi Lijphart secara paripurna tidak pernah terjadi di Indonesia. Namun, apabila dilihat melalui sejumlah karakteristiknya dapat saja sejumlah fakta empiris ditemui. Model Westminster dan Konsensus pernah berlangsung sejak 1953 hingga 1957, di era Demokrasi Liberal I, atau yang disebut Herbert Feith sebagai Demokrasi Konstitusional.[8] Agar lebih sistematis, era ini akan dikomparasikan menurut 9 karakter Demokrasi Westminster Lijphart. 

Pertama, konsentrasi kekuasaan eksekutif di satu partai dan kabinet yang berasal dari dari partai mayoritas tidak terjadi. Indonesia era 1953-1957 ditandai polarisasi ideologi yang tajam dan tercermin ke dalam 4 besar parpol pemenang Pemilu, berturut-turut PNI, NU, Masyumi, dan PKI yang keempatnya mencerminkan bifurkasi dalam masyarakat Indonesia. Justru yang berlaku adalah karakteristik Model Konsensus, yaitu ada pembagian kekuasaan eksekutif berdasarkan koalisi. Namun, koalisi yang terjadi cukup rapuh sehingga mudah dijatuhkan oleh mosi tidak percaya parlemen. 

Kedua, Indonesia era 1953-1957 memang ditandai fusi kekuasaan dan dominannya posisi kabinet karena kabinet terbentuk atas koalisi sejumlah partai. Ini menandai Indonesia sedikit mendekati Model Westminster ketimbang Model Konsensus. Konfigurasi koalisi dalam parlemen tercermin ke dalam kabinet yang kemudian terbentuk berdasarkan konfigurasi tersebut. 

Ketiga, Indonesia era 1953-1957 lebih dekat ke Model Konsensus ketimbang Model Westminster dalam hal kamar legislatif. Pemilu 1955 memilih langsung dua jenis keanggotaan parlemen. Satu kamar untuk DPR dan kamar lain untuk Badan Konstituante. Kamar DPR membentuk eksekutif, sementara Badan Konstituante menyusun Undang-undang Dasar baru (untuk menggantikan UUD Sementara 1950). Untuk periode yang singkat (kurang lebih 4 tahun) Indonesia memiliki dua kamar legislatif yang setimbang, kendati perwakilan minoritas tidak secara spesifik disediakan tempat, melainkan melalui partai-partai politik. 

Keempat, untuk sistem kepartaian, sangat jelas bahwa era 1953-1957 ditandai oleh sistem multipartai dan ini merupakan karakter khas dari Model Konsensus. Partai yang mengikuti Pemilu 1955 lebih dari 10 partai, dan 4 partai teratas justru mencerminkan bifurkasi yang tajam dalam masalah ideologi. 

Kelima, Demokrasi Indonesia di era 1953-1957 jelas tidak bisa dikategorikan dengan Model Westminster yang bercirikan yang satu dimensi seputar isu melainkan lebih kepada Model Konsensus yang bersifat multidimensional dalam soal isu. Empat partai teratas mencerminkan isu yang berbeda: PNI yang mewakili isu kejawaan, birokrat, dan nasionalisme domestik; NU yang mewakili kalangan santri kultural dan kalangan Islam wilayah pedesaan dengan mayoritas pemilih berasal dari Pulau Jawa (kendati di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi juga terdapat, kendati tidak signifikan), Masyumi merepresentasikan isu Islam yang lebih puritan, kalangan pedagang (terutama wilayah perkotaan dan pesisir), juga kalangan Islam modernis dengan basis terutama di luar Pulau Jawa; dan PKI yang merepresentasikan isu internasionalisme, Islam abangan, kalangan buruh-tani, dengan basis utama di Jawa Tengah. Secara geografi politik pun, Indonesia terbelah menjadi Jawa dan Luar Jawa. Munculnya pemberontakan Negara Islam Indonesia dan PRRI-Permesta di era ini menguatkan mutidimensi isu politik yang ada di Indonesia. 

Keenam, sistem Pemilu yang berlaku di era 1953-1957 jelas bukan pluralitas melainkan proporsional. Dengan demikian, era Demokrasi Indonesia tersebut lebih dekat kepada Model Konsensus ketimbang Model Westminster. Pemilihan sistem proporsional tersebut jelas disengaja mengingat begitu terbelahnya masyarakat Indonesia dan tercermin ke dalam banyaknya partai politik yang mengikuti Pemilu 1955. 

Ketujuh, pemerintahan sentralistik dan bentuk negara kesatuan tengah berlaku kembali di Indonesia pasca bubarnya Republik Indonesia Serikat 1950 melalui mosi integralistik kabinet Natsir I. Melihat pada fakta ini maka akan mudah sekali untuk menyebutkan bahwa Indonesia lebih dekat kepada Model Westminster ketimbang Model Konsensus. Namun, di era ini bentuk negara belum final apakah kesatuan ataukan federasi mengingat sedang diprosesnya konstitusi baru oleh Badan Konstituante. 

Kedelapan, mengenai ciri konstitusi tidak tertulis dan kedaulatan di tangan parlemen, Demokrasi Indonesia era 1953-1957 sukar untuk dipastikan untuk masuk kategori Model Westminster. Juga sulit untuk dimasukkan ke dalam Model Westminster yaitu adanya konstitusi tertulis dan veto oleh kelompok minoritas. Hal yang dapat dipastikan di era ini adalah, terdapat kegelisahan di kalangan militer (yang direpresentasikan Jenderal Nasution) bahwa jatuh-bangunnya kabinet era 1953-1957 dan kemungkinan deadlock di Badan Konstituante, mendorong Nasution berkoalisi dengan Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan Badan Konstituante dan memberlakukan kembali konstitusi 18 Agustus 1945. Demokrasi di era 1953-1957 merupakan ‘laboratorium’ pertama Demokrasi Indonesia, yang akibat ‘ketidaksabaran’ pihak militer terpaksa harus berakhir secara prematur. Namun, kegelisahan pihak militer ini dapat dipahami mengingat usia Indonesia yang masih muda ditengarai oleh sejumlah embrio disintegrasi wilayah. Terjadi pemberontakan PRRI-Permesta yang didukung oleh Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, yang di daerah didukung oleh sejumlah perwira menengah yang tidak puas atas perlakuan pemerintah pusat, terutama dalam hal restruktrurisasi dan reorganisasi sistem kemiliteran Indonesia. 

Kesembilan, era Demokrasi Liberal I Indonesia 1953-1957, apabila dikategorikan sebagai menganut Model Westminster yaitu Demokrasi Perwakilan yang sifatnya eksklusif pun tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan tepat. Demokrasi Liberal I yang terjadi di Indonesia bercorak elitis, dengan mana elit-elit partai yang memperoleh ‘karcis’ parlemen lewat Pemilu 1955 secara oligarkis memonopoli kendali arah negara. Massa mereka libatkan sebatas untuk memperkuat argumentasi mereka, bukan sebaliknya. [sb]

---------------

Catatan Kaki:

[1] Arend Lijphard, Democracies: Patterns of Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1984) pp. 1 – 97. 
[2] Ibid., p. 6 – 9. 
[3] Ibid., p. 23-30.
[4] Ibid., p. 67. 
[5] Ibid. p. 67.
[6] Ibid., p. 68. 
[7] Ibid. p. 68. 
[8] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Singapore: Equinox, 2007) p. 556. Era Desember 1949 hingga Juni 1953 terdiri atas 4 kabinet, yaitu Hatta, Natsir I, Sukiman, dan Wilopo. Kabinet ini tidak dipilih lewat Pemilu melainkan ditunjuk oleh Sukarno sebagai presiden saat itu. Sukarno sendiri tidak memiliki kewenangan besar atas eksekutif karena eksekutif ada di bawah kendali parlemen. 


Batas dan Kemungkinan Demokrasi Menurut Robert Dahl

Batas dan kemungkinan Demokrasi menurut Robert Dahl kendati ada, tetapi dapat diukur dan dicari pemecahan masalahnya. Dengan kata lain, Dahl relatif ideologis dalam membela Demokrasi 'luhur'nya. Demikian substansi yang dapat penulis tangkap dari seluruh argumentasi Dahl dalam Democracy and Its Critics. [1] Bagi Dahl, yang salah bukan Demokrasi, tapi yang mempraktekkannya. Ini adalah pernyataan yang sungguh blunder karena justru Demokrasi itulah yang membuka seluas-luasnya insting primitif manusia: Dominasi, hirarki, submisi, nepotisme-favoritisme, ataupun chauvinisme.

Dalam buku ini, Dahl banyak mempergunakan dialog 'panas yang cerdas' berupa permainan kata-kata. Misalnya, perdebatan antara Aristros dengan Demo seputar masalah guardianship. Juga, perdebatan antara Majoritarian yang dikritik oleh Critic akibat pemerintahan oleh mayoritas dalam proses-proses Demokratis. Tokoh-tokoh seperti Advocate dan Critic, yang dalam perdebatannya, bicara seputar aneka masalah seputar keadilan substantif versus prosedural. Juga, terdapat perdebatan antara tokoh Modernist melawan Tradisionalist yang saling berargumentasi seputar masalah kebaikan bersama. Dahl juga merambah persoalan federalisme dan prinsip mayoritas (dalam Demokrasi) di mana Dahl menghadirkan tokoh Jean-Jacques (tentunya merujuk pada Rousseau) versus Jame (tentu merujuk pada James Madison). Persoalan-persoalan Demokrasi, baik yang sifatnya substantif, konstitusional, prosedural, dan proses, hampir seluruhnya diulas Dahl dalam gaya bahasa dialogis.[2] 

Dalam buku ini pula, Dahl mengamati daya dorong historis terhadap kemajuan dalam tiga transformasi utama Demokrasi. Pertama, kelahiran Demokrasi di era negara-kota Athena di bawah pimpinan Perikles, Republik Roma, dan Renesans di Italia. Progres kedua adalah transformasi yang muncul dalam wujud Demokrasi skala besar di abad ke-18 dan ke-19. Terakhir, Dahl mengajukan pertanyaan apakah kini kita (ia menulis bukunya tahun 1989, tahun saat Berlin Wall runtuh) tengah mengalami transformasi ketiga, yang meliputi penyebarluasan Demokrasi, terutama dalam bentuk meningkatnya partisipasi individu, tidak hanya di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi.[3] 

Kendati demikian, visi Dahl mengenai Demokrasi itu sendiri cukup menjadi teka-teki. Kendati kini dunia tengah mengalami transformasi Demokrasi besar-besaran, Dahl tetap skeptis seputar penyebaran Demokrasi di ranah masyarakat sipil. Bagi Dahl, masalahnya bukan suatu negara menganut dan mempraktekkan Demokrasi, tetapi apakah Demokrasi tersebut juga berlangsung di dalam lembaga-lembaga negara dan masyarakat. Isu-isu yang membuat Dahl skeptis adalah kesetaraan pendapatan yang lebih besar, masuknya kalangan minoritas dan wanita ke dalam kegiatan politik. Jadi, bagi Dahl, Demokrasi tidak hanya berlangsung dalam aras publik, tetapi juga aras privat. 

Robert Dahl, dalam Democracy and Its Critics kembali berupaya mempertahankan sikapnya selaku pembela Demokrasi. Dalam buku ini, Dahl coba menjawab aneka kritik filosofis yang dialamatkan atas Demokrasi. Dahl melakukan penjelajahan atas aneka asumsi dan sejumlah batasan dalam teori Demokrasi.[4] Pada Bab II ia mengkonfrontasi langsung aneka kritik atas Demokrasi yang dilancarkan oleh teori-teori Anarkis dan Guardian. Dalam menghadapi kritik ini, Dahl terlebih dahulu kembali menyatakan bahwa proses Demokratis “adalah cara yang paling handal dalam melindungi dan memajukan kebaikan dan kepentingan setiap orang yang menjadi subyek dari keputusan kolektif.”[5] Dengan pernyataan ini, ia balik menyerang kompetitor Demokrasi, yaitu guardianship, atau pandangan bahwa hanya elit yang punya kualifikasi khusus saja yang bisa memerintah demi kebaikan bersama.[6] 

Bagi Dahl, proses Demokratis harus menyertakan partisipasi efektif dan kesetaraan hak pilih bagi seluruh warganegara dewasa. Juga, Demokrasi harus memberi kesempatan pada para warganegara untuk memahami isu-isu publik, seperti juga memberi hak pada mereka untuk melakukan kendali atas agenda pembuatan keputusan.[7] Namun, Dahl pun mengakui bahwa kendati Demokrasi adalah cara terbaik dalam membuat keputusan kolektif, Dahl tidak pernah mengklaim bahwa implementasinya akan mudah.[8] Dahl mengakui bahwa bahwa tidak ada satupun bangsa yang mampu memuaskan pemahaman teoretis seputar Demokrasi.[9] Satu kritik fundamental atas Demokrasi adalah adanya aneka praktek yang tidak adil sehingga luaran keputusan publik pun cenderung merugikan kepentingan umum, terlebih apabila kelompok mayoritas membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan minoritas.[10] Pembelaan Dahl atas masalah ini adalah, dengan memberi tekanan bahwa proses Demokrasi itu sendiri membutuhkan perlindungan atas banyak hak dan kepentingan yang sifatnya fundamental. Pernyataan Dahl ini sifatnya cukup filosofis dan agak abstrak. Bahwa tidak hanya kelompok mayoritas yang bisa melakukan pembuatan keputusan yang tidak adil, kelompok minoritas pun sesungguhnya bisa. Contoh di Amerika Serikat, kendati mayoritas rakyatnya tidak menghendaki legalisasi senjata api, tetapi tetap saja kepemilikan senjata api adalah legal. Ini akibat berpengaruhnya kelompok kepentingan “kecil” bernama National Riffle Association (NRA) yang punya kemampuan lobi cukup tinggi di DPR AS, sehingga legalisasi senjata api tetap dikuatkan oleh Undang-undang di sana. 

Pada bagian IV Dahl mengkonfrontasi aneka pertanyaan yang secara halus mengkritik Demokrasi. Fokus Dahl adalah pada kritik yang dialamatkan pada adanya pemerintahan mayoritas sebagai komponen utama yang membuat keputusan di dalam Demokrasi. Selain pemerintahan mayoritas, Dahl juga menjawab kritik lain seputar supermajorities, dalam mana untuk membangun konsensus di dalam Demokrasi, dibutuhkan suara 50 persen plus 1.[11] Menangnya 51 persen mayoritas, berarti kekalahan 49 persen lainnya. Jumlah 49 persen ini tentu cukup besar untuk diabaikan begitu saja. Ini pula yang menjadi keterbatasan dari Demokrasi yang didasarkan atas pemerintahan oleh mayoritas. Inilah dilema yang belum terselesaikan secara utuh di dalam Demokrasi. Ada hal lain sehubungan dengan terbitnya buku Dahl ini pada tahun 1989. Pada masa itu, telah terjadi revolusi Demokratis di Eropa Timur.[12] 

Kembali kepada buku Dahl dalam critical review ini. Dahl mengemukakan bahwa gagasan ideal apapun yang tidak pernah dilakukan pengecekan ulang lewat pengalaman akan kurang bernilai. Bagi Dahl, di antara masyararakat politik yang pernah ada, atau kini ada, yang paling mendekati kriteria Demokrasilah yang terbaik.[13] Esensi dari gagasan Demokrasi berkembang di seputar konsep kesetaraan secara intrinsik dan asumsi mengenai otonomi personal.[14] Kedua konsep inilah yang ‘habis-habisan’ dibela oleh Robert A. Dahl. Tentu saja, karena sifat fundamental dari keduanya, maka Demokrasi kerap dilanda kritik akibat sejumlah keberhasilannya dalam menjamin terselenggaranya kedua konsep tersebut di negara-negara yang telah menganut Demokrasi. 

Dahl bahkan mengakui bahwa proses Demokratis dapat dan pernah digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menolak aneka hak dan kepentingan substantif ‘pihak lain.’ Ini meliputi hak da kepentingan fundamental yang merupakan bagian integral da n penting dalam Demokrasi seperti kesetaraan ekonomi. Dahl juga mengakui bahwa di dunia nyata, proses Demokratis kerap mengabaikan hak-hak dan kepentingan fundamental dari sejumlah warganegara.[15] Atas ini, Dahl menulis penilaiannya atas pelaksanaan Demokrasi di seluruh dunia “is far from complete judged by the criteria of the democratic process.”[16] 

Kondisi di Indonesia 

Demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari apa yang diungkap oleh Dahl dalam buku yang tengah diulas ini. Pertama mengenai guardianship, kendati Dahl menolaknya tetapi realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa Demokrasi Indonesia adalah Demokrasi yang elitis. Elit yang sesungguhnya berperan besar dalam menentukan keputusan yang berdampak publik, bukan warganegara. Warganegara Indonesia persis seperti kritik Jean-Jacques Rousseau tentang warganegara Inggris, “hai kalian warganegara Inggris, kalian sebut kalian adalah orang-orang bebas, tetapi sesungguhnya kalian terbelenggu.” Mengapa Rousseau menyatakan demikian? Karena warganegara Inggris (di masa hidup Rousseau) telah melaksanakan Demokrasi perwakilan, dan warganegara hanya dilibatkan dalam pemilihan umum. Setelah pemilihan umum selesai, elit politiklah yang menjalankan pemerintahan di Inggris. 

Di Indonesia sendiri guardianship ini berlangsung, yaitu pemerintahan Indonesia yang dikendalikan oleh para petinggi partai politik yang berkolaborasi dengan pengusaha, untuk kemudian memutuskan kepentingan publik. Persis seperti yang dinyatakan Rousseau, bahwa segera setelah pemilihan umum selesai, maka selesai pula keterlibatan politik warganegara dalam pengambilan keputusan. 

Hal lain yang juga mengentara di Indonesia adalah masalah Demokrasi, yang menurut Dahl, tidak hanya berlangsung di level negara, melainkan pula di level masyarakat sipil. Masyarakat sipil Indonesia masih jauh dari apa yang disebut Dahl sebaagi Poliarki: Demokrasi dalam lingkup kecil, lembaga-lembaga milik publik ataupun swasta. Apakah Demokrasi sudah berlangsung di organisasi seperti partai politik, desa, kantor-kantor pemerintah, sekolah, dan aneka institusi lain? Jawaban atas hal ini tentu tidak mudah. Namun, paling tidak perilaku elit di level nasional dapat kita gunakan sebagai cermin berlangsungnya Demokrasi di tingkat masyarakat sipil. Bahwa disetiap institusi masyarakat sipil, guardianship terjadi. Selalu ada elit yang menentukan proses pembuatan keputusan, dan sebagian besar tentu tidak secara Demokratis. Dapat kita ambil contoh di level partai politik semisal Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ataupun Partai Amanat Nasional. Justru di partai-partai tersebut elit (SBY, Megawati, dan Amien Rais) yang paling banyak menentukan proses pengambilan keputusan. Kembali kepada kata-kata Dahl yang sudah disebut di atas, bahwa Demokrasi “is far from complete judged by the criteria of the democratic process.” [17] 

Melihat banyaknya masalah dalam Demokrasi, dapat saja orang berasumsi bahwa memang benar yang dinyatakan Rousseau, bahwa Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang hanya cocok bagi para 'dewa', tetapi tidak kompatibel bagi manusia. Juga dapat pula diasumsikan bahwa Demokrasi sinequanon dengan utopia (dan dystopia) Karl Mordecai Marx tentang masyarakat tanpa kelasnya. 

Dalam politik internasional, 'pembelaan atas Demokrasi' kerap digunakan Amerika Serikat (dan sekutunya) dalam menginvasi Iraq, Libya, Afganistan, dan mencampuri politik dalam negeri negara-negara yang tidak menganut Demokrasi. Sukarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin dan Suharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila untuk mempertahankan kekuasaannya. Terlebih, Demokratisasi membuka ruang yang begitu besar bagi etnis mayoritas untuk menguasai minoritas, atau sebaliknya, minoritas yang punya sumberdaya finansial besar dapat ---atas nama Demokrasi--- menjadi tirani atas mayoritasnya.

Kendati Dahl gigih membela Demokrasi, tetap saja Demokrasi yang mungkin dilaksanakan di negara dengan ukuran penduduk sangat besar adalah Demokrasi Perwakilan. Rakyat mewakilkan kedaulatannya pada 'wakil' dan mayoritas wakil ini secara alamiah sulit untuk memenuhi kepentingan konstituennya yang begitu banyak sebab cenderung untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (tetap dipercaya partai, menangguk rente proyek, mengejar setoran pada partai, mempertahankan statusnya, dan menggunakan konstituen hanya untuk dimanipulasi agar mereka dapat terpilih kembali. Kegagalan teori Karl Mordecai Marx adalah gagasannya yang terlampau jauh tinggi di langit. Demokrasi, kendati belum sepenuhnya gagal, sudah terseok-seok akibat 'terlalu' luhurnya paradigma yang mereka anut bahwa wakil rakyat akan membela sepenuh hati rakyat yang mereka wakili. Ini bertentangan dengan insting alamiah kekuasaan yang sifatnya natural: Pemenuhan kepentingan diri sendiri. [sb

----------------------------------------------

Catatan Kaki: 

[1] Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, (New Haven: Yale University Press, 1989) pp. 3 – 165. 
[2] Lucian W. Pye, "Review," dalam American Political Science Review Vol. 84, p. 628. 
[3] Ibid. 
[4] G. Bingham Powell, “Review” dalam Academy of Political Science, Political Science Quarterly, Vol. 105, No. 4 (Winter, 1990-1991) pp. 647-649 
[5] Robert A. Dahl, Democracy … op.cit., p. 322. 
[6] Ibid., p. 52. 
[7] Cary Coglianese, “Democracy and Its Critics” (Pennsylvania: University of Pennsylvania Law School, 1990) p. 1662. 
[8] Ibid., p. 1663-4. 
[9] Robert A. Dahl, Democracy … op.cit., p. 117. 
[10] Cary Cogliese, “Democracy and …” op.cit., p. 1663. 
[11] G. Bingham Powell, “Review …,” op.cit. p. 648. 
[12] Philip Green, “A Review Essay of Robert A. Dahl” dalam Social Theory and Practice, Vol. 16, No. 2 (Summer 1990), pp. 217-243. 
[13] Robert A. Dahl, Democracy …, op.cit., p. 84. 
[14] J. Roland Pennock dalam Political Theory, Vol. 18, No. 3 (Aug., 1990) pp. 512-518. 
[15] Cary Cogliese, “Democracy and …” op.cit., p. 1664. 
[16] Robert A. Dahl, Democracy … op.cit., p. 177. 
[17] ibid. 






Ketimpangan dalam Demokrasi

Ketimpangan dalam Demokrasi adalah unsur utama yang dibahas oleh Michael Parenti, Samuel Bowles & Herbert Gintis, dan Anne Phillip, suatu bunga rampai yang dieditori oleh Philip Green.[1] Parenti menyumbang 2 tulisan, yaitu masalah ketimpangan informasi akibat kolusi pemerintah-pemilik media-pengiklan besar dalam pemberitaan di media massa mainstream dan akumulasi kemakmuran dan kemiskinan di Amerika Serikat. Bowles & Gintis mempermasalahkan ketiadaan Demokrasi di tempat kerja akibat Kapitalisme. Anne Philips mempermasalahkan bias gender dan formalitas Demokrasi. Ketiga pandangan ini khas kaum kiri atau paling tidak new left. 

Michael Parenti: Inventing Reality [2]

Pertanyaan utama Parenti adalah apakah media mengatur pikiran kita? Jawaban Parenti bisa ya dan tidak. Ada 4 fakta yang ditemukan Parenti di Amerika Serikat (AS): 1) Pers (media) relatif bebas dari intervensi pemerintah, tetapi pemberitaan mereka kerap selaras dengan pandangan pemerintah; 2) Awak media relatif bebas dari intervensi negara tetapi tidak dari media ownernya; 3) Ada kecenderungan propaganda pemilik media tetapi umumnya sejalan dengan cara pandang ideologi kapitalis yang dianut mayoritas penduduk AS; dan 4) Kendati ada kecenderungan propaganda dari media, publik AS tidak akan langsung menelan mentah-mentah sebab mereka punya filter. Inilah yang dibahas Parenti lebih lanjut. 

Ternyata kendati dinyatakan sebagai negara terbuka (Demokratis) pemilik media berkolusi dengan pemerintah secara simbiosis mutualistik. Parenti mencontohkan karena Pemerintah dan kalangan bisnis AS (pengiklan besar media) punya bisnis di Iran era Pahlevi, media AS hanya memberitakan yang baik-baik saja tentang Shah: Orangnya baik, saya keluarga, bekerja untuk rakyat. Publik AS yakin akan hal itu karena media menyiarkan. Namun, setelah Revolusi Iran 1979, mahasiswa Iran yang menyandera orang AS di Kedutaan Teheran meminta media AS menyiarkan siapa sesungguhnya Shah Iran. Lalu disiarkan bahwa Shah orang kejam, penyiksa dan pembunuh rakyatnya. Publik AS bahkan anggota Kongresnya sendiri terkejut. Namun, karena revolusi Iran dimotori Syiah, dan phobia Islam begitu kuat di AS, keterkejutan ini tidak mendorong rakyat AS simpatik pada Imam Khomeini.

Lalu Parenti juga mengetengahkan media AS mempropagandakan keinginan pemerintah menginvasi Sandinista Nikaragua yang komunis. Ternyata, rakyat AS tidak antusias karena perang dengan Nikaragua akan memicu perang lebih luas (ada Kuba dan Uni Soviet), pajak akan naik untuk membiayai perang, dan putra-putri warga AS yang dinas militer akan meninggal untuk suatu yang tidak jelas. Sikap ini diambil kendati rakyat AS umumnya antikomunis. Rakyat AS punya filter sendiri dalam menangani propaganda media, dan media dimanfaatkan rakyat AS untuk memperkuat keyakinan politik mereka, bukan mengubahnya. 

Di Indonesia, hal ini terjadi di masa Jokowi periode pertama. Pendukung Prabowo-Hatta lebih suka menonton TV-One karena memandang Jokowi secara negatif. Pendukung Jokowi-JK lebih prefer menyaksikan Metro-TV. Pilihan media yang ditonton hanya untuk menguatkan keyakinan atau pilihan politik. Di era Orde Baru, kondisi berbeda sebab satu-satunya media adalah TVRI dan hanya menyiarkan keberhasilan pemerintah saja. Publik mengalami kejenuhan sehingga lebih menunggu acara seperti Aneka Ria Safari, Selekta Pop, ataupun Album Minggu. 

Samuel Bowles and Herbert Gintis: Democracy & Capitalism [3]

Bowles and Gintis mengkritisi kapitalisme AS yang mendorong warganegara tidak banyak punya pilihan. Demokrasi di level nasional tidak terjadi di level aktivitas keseharian warganya dan akibatnya budaya Demokratis dianggap tidak berjalan. Keduanya mengambil kasus para pekerja di perusahaan kapitalis AS, yang sudah diprogram oleh perusahaan baik mengenai pendidikan yang harus ditempuh, jam kerja yang wajib diikuti, pengawasan oleh para supervisor. Para pekerja cuma punya dua pilihan: Ikuti atau Keluar. Bowles and Gintis mengkritisi tidak kompatibelnya konsep market dan demokrasi. Market menghendaki pekerja patuh pada perusahaan sementara demokrasi menghendaki pekerja punya aneka pilihan. 

Secara sinis Bowles and Gintis berujar bahwa ekonomi kapitalis memproduksi manusia, dengan mana manusia yang mereka produksi jauh dari ideal demokrasi itu sendiri: Mereka dibuat tidak punya banyak pilihan dalam aktivitas politiknya. Pemikiran liberal yang menjadi dasar demokrasi tidak bisa dikembangkan dalam budaya ekonomi kapitalis yang mengukur profit secara prediktif dan manusia adalah sekadar instrumen untuk memanifestasikan prediksi tersebut. Ekonomi kapitalis di AS juga mengakibatkan budaya demokrasi menjadi mandeg, terlebih saat para pemodal dan administratornya, demi profit, telah mengikis keluarga, lingkungan bertetangga, gilda-gilda kerajinan, gereja, dan aneka komunitas demokratis ekonomi asli AS lainnya. Di Indonesia hal seperti ini pun terjadi, terutama di wilayah Jabodetabek, dengan mana struktur masyarakat tradisional relatif sudah ‘habis’ dan yang tersisa hanyalah lingkungan ‘gurun’ budaya, karena setiap orang hanya punya urusan dengan pekerjaannya, bukan dengan keluarga, tetangga, bahkan rekan sekerjanya sekalipun. Kerajinan-kerajinan masyarakat asli terkikis oleh pabrikan besar. Namun, ada harapan dengan dibentuknya Kementerian Produk Kreatif yang dibangun tersendiri di Kabinet Jokowi II. 

Michael Parenti: Power and the Powerless [4]

Parenti menyatakan bahwa di AS ada dua kecenderungan. Orang yang menguasai sumber kekuasaan akan menggunakan sumber tersebut untuk memperbesar kemakmurannya. Sebaliknya, mereka yang tidak punya sumber kekuasaan hidupnya akan terpuruk secara akumulatif pula. Parenti menyatakan bahwa ini terjadi di bawah sistem kapitalisme. Power lebih penting dari kebutuhan. Power hanya dimiliki oleh pihak ‘kaya’ yang memiliki sumbernya, sementara pihak yang lebih banyak kebutuhannya (kaum ‘miskin’) tidak memilikinya. Ketimpangan terjadi baik bagi kaum ‘punya’ maupun ‘tak punya’ kendati dalam bentuk berbeda. Kaum ‘punya’ umumnya punya power dan ini digunakan untuk menciptakan aneka kesempatan dalam memperoleh akses kepada sumber daya lainnya. Misalnya, selebriti dan kaum beruang punya kans besar menjadi pimpinan politik. Kaum ‘kaya’ ini menggunakan kekayaannya untuk memperoleh akses ke jabatan publik, dan para politisi menggunakan jabatan publik tersebut untuk mengakses kekayaan (jenderal dan kolega presiden menjadi eksekutif korporasi, eksekutif korporasi menjadi pimpinan administratif baik di pemerintahan pusat ataupun daerah, bintang film menjadi senator atau gubernur, gubernur dan senator tahu bagaimana cara menjadi jutawan).

Bagi Parenti, sumber daya kekuasaan sifatnya akumulatif dari waktu ke waktu. Di AS alokasi kesejahteraan tidaklah merata karena alokasi sumber daya cenderung timpang ke arah kelas, kelompok sosial, individu, ataupun lembaga tertentu. Di AS pula, mereka yang punya uang juga memiliki leissure time untuk mengasah kemampuan pengetahuan, keterampilan, teknologi, energi, dan waktu untuk membangun organisasi yang durable dan efektif.

Lalu, bagaimana dengan kelompok yang tidak memiliki power? Parenti menulis, dalam sejarah mereka kerap disebut kaum yang tidak beruntung, karena ada di tangga terbawah ekonomi. Mereka punya banyak sekali kebutuhan, tetapi power yang dimiliki sangat sedikit. Mereka hanya menguasai kekayaan material yang sedikit, mereka sekadar menjadi pekerja sekaligus konsumen, kerap terkena penyakit dan paling cepat meninggal, sedikit sekali menikmati baik waktu luang, pendidikan, otonomi, mengurus diri sendiri, dan kerap menjadi bulan-bulanan aparatus hukum.

Bagaimana situasi di Indonesia? Sepertinya cukup serupa. Perumahan subsidi penuh sesak, dengan luas tanah rata-rata 60m2 dan luas bangunan 36 m2 ke bawah. Perumahan subsidi ini selalu penuh, minim fasum dan fasos, serta fundasi bangunannya pun sekadar fundasi tapak. Namun, di perumahan subsidi, fasum dan fasosnya begitu luas, banyak rumah dibangun tetapi kosong karena hanya dibeli untuk investasi (terutama tanahnya) sementara bangunan yang sudah jadi semakin lama banyak yang ambruk karena tidak dihuni oleh pembelinya. Sebagian dari rumah-rumah tersebut dikontrakkan si pemilik dan uangnya dipergunakan untuk membayar cicilan bulanan atau membeli rumah baru yang juga tidak akan mereka tempati. 

Anne Phillips : Engendering Democracy [5]

Dalam tulisan ini, Anne Phillips mengajukan premis demokrasi dalam everyday life. Demokrasi yang sekadar prosedural dikritik Phillips karena mengabaikan diskriminasi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Kendati Phillips tidak menganjurkan demokrasi langsung ala Rousseau, ia menekankan bahwa masih terdapat diskriminasi peran publik dan privat, bahkan di dalam negara demokrasi maju seperti AS sendiri. 

Phillips menyoroti pembagian kerja di rumah tangga, dengan mana jam kerja ibu rumah tangga jauh lebih panjang dari suaminya. Jam kerja yang lebih panjang ini membuat perempuan lebih sedikit waktunya dalam mengurus atau mengambil peranan dalam urusan publik. Pembagian kerja berdasarkan gender ini pun kerap terjadi di dalam organisasi yang netral gender seperti rapat-rapat umum kota. Perempuan selalu berada di posisi membereskan segala pernak-pernik logistik yang berlangsung sejak rapat dimulai hingga selesai. Hanya sedikit perempuan yang berkesempatan beradu argumentasi seputar rencana-rencana yang hendak mereka buat. 

Tidak mengherankan apabila ini membuat peran politik perempuan selalu marjinal. Kendati perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam hal suara, dalam demokrasi partisipatoris perempuan kekurangan waktu akibat harus mengurus rumah tangga. Dengan demikian tidak mengherankan apabila di AS mayoritas anggota DPR dan Senat tetap berasal dari kaum laki-laki. 

Phillips mengkritik demokrasi liberal yang selalu menganggap bahwa hak yang setara dalam hal pemberian suara di Pemilu sebagai puncak dari masyarakat demokratis. Phillips lebih lanjut menyatakan bahwa ideal demokrasi liberal tersebut terlampau minimalistik. Bagi Phillips momen-momen pemberian persetujuan dalam proses pembuatan keputusan sangat jarang, sehingga secara agak sinis Phillips menyebut demokrasi liberal sekadar gestur badan saja (jari-jari mencoblos atau mencontreng) kandidat yang hendak mereka pilih. Namun, perempuan sangat kekurangan waktu untuk berdiskusi dengan para kandidat, baik di masa kampanye maupun rapat-rapat pengumpulan dana yang diselenggarakan. 

Bagaimana kondisi di Indonesia? Kondisinya pun relatif sama karena misalnya, dapat kita saksikan di pasar-pasar yang buka sejak malam hari, mayoritas kaum perempuan yang berdagang dan full-time dalam menjaga dagangannya. Mereka yang berbelanja sekaligus melayani pembeli, sementara kaum laki-laki atau suami mereka umumnya mengantar dan menjemput sehingga banyak memiliki waktu luang untuk melibatkan diri dalam masalah-masalah politik. Dengan demikian, tantangan demokrasi partisipatoris yang digagas Anne Phillips rupanya tidak hanya berlaku di AS saja melainkan pula di belahan dunia lainnya. [sb]

----------------------------

Catatan Kaki:

[1] Philip Green, ed. Key Concepts in Critical Theory of Democracy (New Jersey: Humanities Press International, Inc, 1993). pp. 158-204. 
[2] Michael Parenti, ”From Inventing Reality” dalam ibid. pp. 158-63. 
[3] Samuel Bowles and Herbert Gintis, “Democracy & Capitalism” dalam ibid., pp. 168-74.
[4] Michael Parenti, “From Power and the Powerless” dalam ibid., pp. 185-91. 
[5] Anne Phillips, “Engendering Democracy” dalam ibid.,pp. 192-202.


Saturday, January 18, 2020

Pluralisme dan Elitisme di Indonesia


Indonesia secara formal mendeklarasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Sejak tanggal tersebut, Indonesia menunjukkan gejala disintegrasi dan elitisme di dalam kehidupan politiknya. Gejala disintegrasi (berupa secession) sekurangnya terjadi dalam aneka pemberontakan Negara Islam Indonesia, PRRI-Permesta, PKI Madiun, berdirinya gerakan politik semacam Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka. 

Berbagai fenomena ini menunjukkan kecenderungan umum belum selesainya proses integrasi politik Indonesia. Gejala lain yang juga mendorong munculnya pertanyaan bagaimana sesungguhnya pola integrasi yang terjadi tanggal 17 Agustus 1945? Integrasi semacam apa yang terjadi pada tanggal tersebut, mengingat segera setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, Indonesia terus dirundung oleh aneka peristiwa yang dekat dengan disintegrasi.

Dalam 3 era Demokrasi yang berlangsung di Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal I (1953 – 1957), Demokrasi Pancasila (selama Orde Baru), dan Demokrasi Liberal II (pasca reformasi 1998), proses integrasi seolah belum selesai. Pola tetap hubungan pusat-daerah seperti belum terbangun sempurna, sementara keterlibatan warganegara di dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat (juga daerah) seolah tersekat oleh elitisme politik yang terbentuk oleh oligarki partai politik. Keresahan politik yang dialami pada level warganegara seperti mengalami distorsi manakala telah dimobilisasi oleh partai politik, sehingga perundang-undangan yang kemudian muncul kerap bukan merupakan jawaban paralel atas tuntutan yang masuk dari level warganegara. Perundang-undangan yang terbentuk justru merupakan penyesuaian kepentingan elit politik yang mereka terjemahkan ke dalam bentuk undang-undang. 

Sebagai contoh, di dalam menyikapi fenomena hubungan pusat-daerah, amandemen UUD 1945 memang telah menempatkan senator sebagai wakil daerah dengan nama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD sebagai wujud respresentasi daerah di pemerintahan pusat malah menjadi semacam manequin politik: Ia ada, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah total anggota DPR dari partai politik, tidak memiliki kewenangan dan veto dalam membentuk legislasi berkenaan dengan kepentingan daerah, dan hanya boleh bicara atau berkomentar seputar undang-undang yang berkenaan dengan otonomi daerah. 

Permasalahan

Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasi sekurangnya dua masalah dalam jalannya perpolitikan Indonesia. Pertama, masalah yang berkenaan dengan hubungan pusat-daerah yang mendorong terbitnya aneka gejala disintegrasi sejak Indonesia berdiri hingga saat ini. Kedua, masalah yang berkenaan dengan penyampaian aspirasi warganegara, terutama di daerah (wilayah selain domisili pemerintah pusat) yang seharusnya ditampung dan dikonversi ke dalam perundangan (konstitusi) yang aturannya bersifat simetris.

Berdasarkan identifikasi atas permasalahan yang dilakukan, maka pertanyaan penelitian ini kami rumuskan ke dalam dua proposisi berikut:

  1. Disintegrasi politik Indonesia diakibatkan oleh aspek pluralisme politik yang belum tertangani secara paripurna melalui pola hubungan pusat-daerah yang simetris, sehingga proses sentrifugal lebih mengentara ketimbang proses sentripetal. 
  2. Elitisme politik merupakan penyebab dari tidak simetrisnya mobilisisasi kepentingan warganegara yang dibawakan partai politik dengan tuntutan aktual warganegara, terutama yang secara geografi politik berada di luar Jawa. 
Untuk menganalisis proposisi pertama akan digunakan teori pluralisme politik yang critical reviewnya disampaikan oleh Anthony H. Birch dan Nazaruddin Sjamsuddin, sementara untuk masalah elitisme penulis akan menguraikan pendapat Birch dalam mengkritisi "teori elit" dari Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels, dan C. Wright Mills.  

Teori

Pluralisme Politik 

Pluralisme politik yang dijadikan teori untuk membuktikan proposisi permasalahan memang belajar dari kasus Amerika Serikat. Namun, penulis melihat adanya relevansi antara kasus secession di Amerika Serikat dengan Indonesia. Birch mencatat, pemikir Pluralis pertama di Amerika Serikat adalah James Madison dan Alexander Hamilton. Obyek dari Pluralisme mereka adalah kasus negara bagian Amerika Serikat. Madison dan Hamilton mengajukan proposal yang hendak mengubah konfederasi longgar negara bagian menjadi Federal. 

Secara metodologis, Birch mengungkap 4 hipotesis, 1 pernyataan normatif, dan konklusi terhadap proposal Madison dan Hamilton. Empat hipotesisnya sebagai berikut:[1]

  1. Para politisi tidak termotivasi oleh altruisme ataupun kepentingan publik, sebaliknya, mereka menikmati penggunaan kekuasaan dan cenderung akan memaksimalisasinya manakala memperoleh kesempatan.
  2. Konflik kepentingan dalam masyarakat tidak terelakkan, lalu konflik akan mendorong pertikaian antar faksi. Kepentingan tersebut misalnya tanah, pabrik, perdagangan, atau masalah keuangan.
  3. Aneka faksi dalam masyarakat, apabila tidak dikoreksi pihak lain, cenderung memaksimalisasi kepentingan sendiri dan merugikan pihak lain. 
  4. Aneka faksi dipimpin atau diwakili para politisi yang diharapkan menggunakan kekuasaannya untuk mempromosikan kepentingan faksionalnya.
Pernyaataan normatif dari Madison dan Hamilton adalah, Amerika harus mengorganisir sistem pemerintahannya sehinga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain. Dominasi disebut Madison sebagai perampasan hak (deprivation of rights). Konklusinya adalah, penggabungan 13 negara bagian ke dalam Federasi sangat dikehendaki, atas dasar peningkatan jumlah dan perbedaan faksi mereduksi kemungkinan satu faksi mendominasi faksi lain.

Jika Madison dan Hamilton adalah ‘suara dari Utara’ maka John C. Calhoun adalah ‘suara dari Selatan.’ Calhoun khawatir apabila pihak Utara mendominasi Kongres, maka mereka akan memanfaatkan kemayoritasannya untuk menghapus perbudakan (cara produksi penting bagi pihak Selatan). Calhoun menyatakan apabila konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) diterapkan pada pemerintahan perwakilan, maka kepentingan minoritas geografis di Amerika akan terlindungi 

Calhoun menganggap konsep mayoritas bersaing ini termaktub dalam konstitusi Amerika. Setiap negara bagian punya perwakilan yang sama di Senat. Pengakuan lainnya adalah, harus ada 2/3 suara dari seluruh negara bagian sebelum amandemen konstitusi diloloskan. Esensi argumentasi Calhoun adalah prinsip kesetaraan suara harus diperluas lewat konvensi, sehingga mayoritas numerik di Kongres tidak akan pernah menggunakan kekuasaannya untuk memotong kepentingan negara bagian tertentu. Calhoun memperingatkan, jika pihak Utara menolak konvensi ini semata karena hendak menghapus perbudakan, maka Selatan akan keluar dari Federasi. Setelah perdebatan di atas, meletuslah Perang Saudara di Amerika, perang antara Utara versus Selatan. 

Birch menarik suatu garis, bahwa fenomena perdebatan Utara-Selatan sebagai bentuk Pluralisme politik yang didasarkan atas seksional (geografis). Pasca Perang Saudara, Amerika mengalami reintegrasi dan Pluralisme yang obyeknya isu kepentingan negara bagian meredup. Keredupan ini, catat Birch, akibat meningkatnya teknologi komunikasi dan industri, yang membuat Amerika semakin homogen. [2] Homogenisasi ini membuat egosektoral Utara dan Selatan berkurang secara signifikan.

Penulis menganalogikan hubungan Utara – Selatan di Amerika Serikat dengan hubungan Jawa – Luar Jawa di Indonesia. Daerah Luar Jawa menguasahi hampir 80% sumber daya alam Indonesia, tetapi mereka tidak mampu memaksimalisasi pemanfaatannya untuk kemakmuran daerahnya sendiri karena terganjal oleh aturan konstitusi yang membatasi kewenangan daerah dalam proses pembuatan legislasi di tingkat pusat. 

Untuk mendukung Teori Birch, penulis akan menambahkan teori integrasi politik dari Nazaruddin Sjamsuddin. Sjamsuddin juga menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan ‘integrasi politik’ adalah :
… suatu proses integrasi yang mengandung bobot politik dan, karenanya, proses ini bersifat politik. Integrasi politik bisa mencakup bidang vertikal, yaitu integrasi antara elit dan massa, atau dapat pula meliputi bidang horizontal, yaitu yang bertujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan teritorial … [dan ini menurut Sjamsuddin] melibatkan dua masalah. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat.[3] 
Sehubungan dengan adanya dua masalah di dalam integrasi politik, Sjamsuddin kemudian mengklasifikasi adanya dua dimensi, melalui pernyataannya bahwa “dimensi yang pertama adalah bagaimana membangun suatu ‘masyarakat teritorial yang homogen’, secara bersamaan dengan dimensi kedua, yakni ‘masyarakat politik yang berpartisipasi.”[4] Bagi Sjamsuddin, tanpa hadirnya ancaman terhadap kepentingan mereka, perasaan kedaerahan tidak akan memiliki motivasi kuat untuk bertindak. [5] Mereka di dalam pemahaman ini adalah warganegara yang hidup di daerah selain pusat kekuasaan. 

Elitisme

Elitisme memandang Elit sebagai aktor politik inti di setiap masyarakat yang terstruktur secara hirarkis, dengan demikian Elitisme berarti cara yang berguna untuk mengidentifikasi dan mempromosikan aneka kondisi yang menguatkan efektivitas Elit. [6] Dengan demikian Elit politik didefinisikan sebagai kelompok individual, yang berukuran kecil, yang relatif kohesif, serta stabil, yang memiliki kekuasaan disproporsional untuk mempengaruhi outcome politik nasional dan supranasional dalam basis yang berkelanjutan.[7]

Studi Birch lebih terletak pada studi klasik Elit, bukan pada Neo-Elitisme maupun Demo-Elitisme. Sebelum mengkritisi pemikiran Pareto, Mosca, Michels, dan Mills [8], Birch terlebih dahulu mengajukan tiga proposisinya sendiri mengenai Elitisme politik, yang kemudian ia gunakan untuk menilai pandangan Elitisme keempat orang tokoh yang ia kritisi. Proposisi A: Bahwa akses ke jabatan politik hanya terbatas pada anggota kelompok sosial kohesif dan relatif kecil, mereka punya kepentingan dan nilai identik yang berdampak politik, dan tidak merefleksikan kepentingan dan nilai mayoritas warganegara.[9] Proposisi B: Pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik secara umum. [10] Proposisi C: Pemegang jabatan, kendatipun tidak mencari kepentingan pribadi, secara teratur mengambil keputusan demi kepentingan kelas atau kelompok warganegara yang relatif kecil. [11] 

Pembahasan

Proposisi 1 

Disintegrasi politik Indonesia diakibatkan oleh aspek pluralisme politik yang belum tertangani secara paripurna melalui pola hubungan pusat-daerah yang simetris, sehingga proses sentrifugal lebih mengentara ketimbang proses sentripetal. Menurut James Madison, Amerika Serikat harus mengorganisir sistem pemerintahan sehingga mampu meminimalisir kemungkinan pimpinan faksi mendominasi faksi lain, dan solusi atas hal tersebut adalah penggabungan 13 negara bagian (Selatan) ke dalam federasi Amerika Serikat. Hal ini juga disuarakan oleh Calhoun bahwa pihak Utara tidak boleh mendominasi kongres dan sebab itu harus diterapkan konsep concurrent majority, sehingga kepentingan minoritas geografis akan terlindungi. 

Minoritas dalam konteks Indonesia bukan dalam masalah jumlah, melainkan akses terhadap penyusunan legislasi. Calhoun mengkhawatirkan jika konsep mayoritas bersaing (concurrent majority) tidak diterapkan, maka akan selalu ada dominasi Selatan oleh Utara. Demikian pula di Indonesia, manakala DPD sebagai representasi daerah hanya punya kekuatan 1/3 suara dari total keanggotaan DPR, maka tidak akan pernah DPD mampu mengimbangi kehendak pemerintah pusat dalam menegosiasikan kepentingan daerah mereka. 

Dalam konteks Amerika Serikat, Calhoun menyebutkan angka 2/3 untuk membuat kesepakatan penerbitan legislasi yang melibatkan kepentingan negara bagian dan dalam konteks Indonesia, apabila jumlah anggota DPD tidak bisa memperoleh jumlah yang setara dengan jumlah anggota DPR, maka paling tidak DPD harus memiliki hak pengusulan undang-undang yang bernuansa kepentingan daerah atau memiliki veto untuk membatalkan undang-undang yang merugikan kepentingan daerah. Dalam kondisi status quo DPD tidak memiliki kewenangan yang signifikan untuk memajukan kepentingan daerah. Untuk mengubah peran DPR ini perlu sebuah amandemen konstitusi yang menentapkan komposisi jumlah anggota DPR dan DPD serta kewenangan yang dimilikinya dan ini tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. 

Alternatif lain upaya preventif fenomena disintegrasi politik wilayah diajukan oleh Nazaruddin Sjamsuddin. Sjamsuddin dalam teori integrasi politiknya menyatakan bahwa dalam hal integrasi horizontal, harus ada upaya untuk menjembatani perbedaan-perbedaan teritorial. Daerah harus diberikan kesempatan yang sama besarnya dengan pemerintah pusat dalam mengelola keunikan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka masing-masing. Persoalan pemerintah pusat bagi Sjamsuddin adalah bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara dan bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota masyarakat. Kedua hal ini hanya dapat terselenggara apabila daerah diberikan kesempatan yang setara dengan pusat dalam menentukan karakter politik wilayah masing-masing. Hal ini hendaknya dilakukan mengingat sebelum Indonesia terbentuk, sesungguhnya Indonesia terdiri atas komunitas politik yang sifatnya multinasional: Ada Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Deli, Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Kupang, Kerajaan Hitu, Kesultanan Tidore dan masih banyak lagi. Ini belum ditambah dengan potensi daerah dan karakter masyarakat yang satu daerah dan daerah lain cukup berbeda, paling tidak bahasa (kendati Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan). 

Tujuan dari integrasi politik Indonesia adalah masyarakat teritorial yang homogen dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Makna dari homogen ini bukan semua harus sama melainkan setiap daerah dimungkinkan memiliki keunikan masing-masing, memelihara, dan mengembangkannya sehingga pada diri masing-masing daerah akan muncul kebanggaan yang homogen tentang apa itu Indonesia. Kondisi homogen ini, lanjut Sjamsuddin dapat terjamin apabila daerah, melalui wakil-wakil mereka, berpartisipasi dalam setiap pembuatan peraturan yang melibatkan diri mereka. Sebab, tanpa adanya partisipasi mereka dalam proses pembuatan kebijakan, mereka akan terasing dari padanya dan akan menganggap bahwa kebijakan yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat sebagai wujud agresi atas komunitas politik mereka. 

Persoalan-persoalan seperti ini yang mengemuka selama terjadinya kasus disintegrasi politik di Indonesia. Akar masalahnya adalah pada distribusi kesejahteraan dan perhatian pusat atas daerah. Distribusi dan perhatian ini tidak akan pernah selesai manakala pemerintah pusat tidak responsif atas kepentingan daerah yang sangat beragam dan belingkup wilayah geografis begitu luas. 

Berpartisipasi [12] artinya daerah bukan obyek eksploitasi pusat melainkan mitra (partner), di mana mereka (daerah-daerah ini) saling sepakat satu sama lain, bahwa mereka mengikat diri ‘dengan sejumlah kontrak’ dengan pemerintah pusat (negara) dan ikut menentukan nasib mereka lewat penerbitan perangkat undang-undang yang menguntungkan daerah mereka. Setiap terjadi masalah antara pusat dan daerah, maka Sjamsuddin menyatakan pencarian solusinya berdasarkan “at the problems from the perspective of the region concerned, and not from the national level.” [13]

Fenomena disintegrasi di Indonesia sulit untuk diselesaikan mengingat luasnya dan sifat masyarakat Indonesia yang multinasional. Apabila negara (pemerintah pusat) tidak sensitif dalam menanganinya, maka situasi akan lebih diperparah dengan adanya asumsi dikalangan rakyat bahwa pemerintah pusat identik dengan unsur primordial tertentu (etnis, bangsa).[14] Nazaruddin Sjamsuddin secara terbuka menyatakan bahwa di Indonesia kecurigaan tersebut adalah faktual dengan menyatakan “.. memang kebanyakan elit politik dan pakar di Pulau Jawa cenderung untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan: untuk itu mereka sering mendiskreditkan Federalisme.” [15] Wujudnya adalah sikap politik negara bagian atau provinsi itu bahwa jalan sudah buntu, dan satu-satunya jalan menghapus ketimpangan ekonomi dan politik adalah dengan memisahkan diri dengan pemerintah pusat. Inilah yang menjadi kekhawatiran dari Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya Mengapa Indonesia Harus Menjadi Negara Federasi. [16] “Arus sentrifugal akan terakomodasi dengan baik dalam sistem federal. Kebebasan dan kekuasaan yang besar dan yang dimiliki masyarakat daerah-daerah akan memungkinkan sistem itu [yaitu federasi] mengubah arus sentrifugal … menjadi sentripetal. Di dalam sistem federal, tingkat kepuasan masyarakat daerah terhadap negara [pusat] secara keseluruhan akan meninggi. [17]

Proposisi 2

Elitisme politik merupakan penyebab dari tidak simetrisnya mobilisisasi kepentingan warganegara yang dibawakan partai politik dengan tuntutan aktual warganegara, terutama yang secara geografi politik berada di luar Jawa. Birch menyatakan dalam Proposisi B yang menyatakan bahwa pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik secara umum. Ini adalah elitisme dari partai politik berskala nasional. 

Seperti diketahui bersama bahwa amandemen UUD 1945 yang kemudian menghasilkan kebijakan berdirinya DPD memang cukup melegakan. Namun, karena yang menyusun adalah partai-partai politik skala nasional, mereka ingin tetap memegang kendali. Maka disusunlah di dalam amandemen UUD 1945 itu bahwa DPD boleh ada tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi 1/3 jumlah anggota DPR dari partai politik. Secara logika pengambilan keputusan, tidak akan mungkin 1/3 akan mengalahkan 2/3, padahal menurut Calhoun sendiri dalam konsepnya mengenai concurrent majority jumlah 2/3 dari para pengambil keputusan harus menjamin keterwakilan dari kelompok minoritas, yang dalam hal ini ditempati oleh ‘daerah.’ 

Partai politik di Indonesia rata-rata masih berpola patron-klien, dalam arti pengangkatan para pimpinan partai di tingkat daerah dan cabang harus memperoleh restu dari pusat. Pimpinan partai di tingkat pusat ini telah mengalami aneka keuntungan manakala hanya DPR yang berperan di legislatif dan sebab itu berupaya menahan arus bertumbuhnya peran DPD. Ini merupakan suatu gejala politik elit yang tidak sehat sehingga membuat elit-elit potensial yang benar-benar mewakili daerah tertentu (senator) tidak akan dapat berbuat banyak bagi perkembangan daerahnya sendiri lewat serangkaian legislasi yang dibuat oleh pemerintah pusat. 

Kesimpulan

1. Disintegrasi politik Indonesia diakibatkan oleh aspek pluralisme politik yang belum tertangani secara paripurna melalui pola hubungan pusat-daerah yang simetris, sehingga proses sentrifugal lebih mengentara ketimbang proses sentripetal. Hal ini akibat daerah tidak memiliki representasi politik yang memadai di dalam pembuatan legislasi tingkat pusat, yang terwujud dari ‘kerdilnya’ peran legislatif dari Dewan Perwakilan Daerah. 

2. Elitisme politik merupakan penyebab dari tidak simetrisnya mobilisisasi kepentingan warganegara yang dibawakan partai politik dengan tuntutan aktual warganegara, terutama yang secara geografi politik berada di luar Jawa. Hal ini diakibatkan masih kuatnya budaya patron-klien yang membuat pimpinan partai di tingkat daerah dan cabang harus tunduk pada kepentingan pimpinan partai di tingkat pusat. 

Temuan Masalah

1. Hubungan pusat-daerah di Indonesia tidak akan pernah selesai. Daerah memiliki sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh pemerintah pusat. Namun, daerah merasa bahwa pusat melakukan eksploitasi atas sumber daya alam milik daerah yang seharusnya dikelola secara maksimal oleh daerah, bukan pusat. Baru kemudian daerah membayar fee hasil pengolahan kepada pemerintah pusat yang dananya akan digunakan pusat untuk membiayai aparatus dan pembangunan yang sifatnya lintas daerah. 

2. Elitisme partai politik merupakan penyebab utama tersumbatnya aspirasi komunitas politik di tingkat daerah. Partai-partai berskala nasional ditengarai masih tunduk pada pimpinan partai di tingkat pusat, dan pimpinan partai di tingkat pusat memiliki vested interestnya sendiri terhadap fenomena negara kesatuan yang menguntungkan mereka. Sebab itu perlu didorong munculnya partai-partai politik yang sifatnya memperjuangkan kepentingan daerah. Namun, hal ini cukup sulit mengingat legislasi untuk dikeluarkannya peraturan mengenai hal tersebut harus disetujui oleh DPR, di mana pimpinan partai tingkat pusat mengatur anggotanya melalui aneka fraksi yang ada di dalam parlemen. [sb]
    ---------------------------------------

    Catatan Kaki:
    1. Anthony H. Birch, The Concept and Theories of Modern Democracy, Second Edition (London and New York: Routledge, 2001) pp. 177 – 212. pp. 177 – 8. 
    2. ibid., p. 179.
    3. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989).., h. 5.
    4. ibid., h. 7.
    5. ibid., h. 17.
    6. John Higley, “Continuities and Discontinuities in Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave Handbook of Political Elites (London: Palgrave MacMillan, 2018) p. 30.
    7. ibid., p. 3. Jan Pakulski menyatakan, pelacakan teori Elit dapat dirujuk hingga tulisan Niccolo Machiavell dan Thomas Hobbes, yang kemudian dilanjutkan oleh kalangan Liberal Eropa seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Robert Michels, Max Weber, Joseph Schumpeter, dan Ortega y Gasset yang berkembang dari 1890an hingga 1940an. Lihat Jan Pakulski, “The Development of Elite Theory” dalam Heinrich Best and John Higley, The Palgrave …, op.cit., p. 9.
    8. Vilfredo Pareto adalah sosiolog Italia dalam masa pembentukan ilmu tersebut. Gaetano Mosca adalah pengacara konstitusi dan anggota parlemen garis liberal Italia yang kerap dipandang sebagai Bapak ilmu politik Italia yang menerbitkan The Ruling Class tahun 1896. Robert Michels adalah sosiolog Jerman yang karya utamanya terbit tahun 1911, dan Michels sekaligus anggota partai Sosial Demokrat Jerman. C. Wright Mills adalah sosiolog Amerika yang menulis The Power Elite tahun 1956. Dari 4 penulis ini, 3 orang teridentifikasi sebagai sosiolog sekaligus pemain politik (Pareto, Mosca, dan Michels). Sebagai sosiolog, tentu saja mereka akan berbeda dalam memandang fenomena politik seperti Birch (yang berasal dari disiplin Ilmu Politik). Dengan demikian, penilaian Birch atas teori Elit mereka layak untuk dikritisi, karena Birch kendati ilmuwan politik bukan pemain politik. 
    9. Anthony Harold Birch, Concepts …, op.cit.., p. 187.
    10. ibid.
    11. ibid.
    12. Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi … , op.cit., h. 7.
    13. Nazaruddin Sjamsuddin, The Republical Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985) p. viii. 
    14. Ibid., p. 96. 
    15. Nazaruddin Sjamsuddin, Mengapa Indonesia Harus Menjadi Negara Federasi (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2002) h. 23. 
    16. Ibid.
    17. Ibid.