Latest News

Saturday, April 14, 2012

Hubungan Birokrasi dengan Demokrasi

Hubungan birokrasi dan demokrasi sesungguhnya rapat. Istilah birokrasi dan demokrasi kerap dipertentangkan satu sama lain. Pertentangan ini berlaku baik pada tataran akademis maupun awam. Di satu sisi, birokrasi publik menempati posisi penting dalam administrasi publik yang efektif. Namun, birokrasi dianggap bersifat legalistik dan mengabaikan tuntutan serta keinginan warga negara secara individual. Birokrasi cenderung diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat hirarkis bahkan bentuk pemerintahan yang otoritarian. Ini tetap terjadi meski birokrasi tercipta justru untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat, dan seringkali secara demokratis.

Di sisi lain, lembaga pemerintahan yang demokratis diasumsikan amat responsif pada keinginan publik. Pemerintahan demokratis berupaya memetakan pilihan publik ke dalam kebijakan positif bagi warga negaranya. Richard Rose dan lainnya telah mengkaji hubungan antara voting dan pilihan kebijakan dalam negara demokrasi perwakilan yang ternyata tidak begitu jelas seperti yang digembar-gemborkan. Bahkan, publik dapat saja memilih tujuan-tujuan yang inkonsisten. Atau, publik punya harapan yang kurang realistik yang memaksa pemimpin (baik di kalangan legislatif ataupun birokrasi) membuat keputusan hanya untuk diri mereka seorang. Potret Indonesia 

Hubungan antara birokrasi dan demokrasi sekaligus paradoksal juga saling melengkapi. Paradoksal akibat kenyataan bahwa negara demokrasi yang efektif justru memerlukan birokrasi yang berfungsi baik. Stereotip kaku yang ditempelkan secara negatif pada birokrasi justru diperlukan agar negara demokratis berfungsi baik.

Konsep birokrasi dan demokrasi mungkin terkesan bertentangan. Namun, sesunggunya keduanya diperlukan demi terciptanya pemerintahan yang efektif dan responsif. Keduanya menyediakan manfaat bagi masyarakat. Responsifnya pemerintahan demokratis harus diimbangi dengan dengan kepastian dan kenetralan yang ada di lembaga birokrasi. Begitu juga, proses-proses demokratis diperlukan demi mengabsahkan proses pemerintahan dan menghasilkan perundang-undangan yang benar-benar diinginkan warganegara. Sifat komplementer birokrasi dan demokrasi ini esensial bagi good governance.

Senja Demokrasi Perwakilan

Pengertian demokrasi yang umum adalah, pemilih akan mengendalikan kebijakan lewat pilihan mereka atas kandidat legislatif/eksekutif. Mereka yang terpilih akan membuat kebijakan sesuai harapan para pemilihnya. Birokrasi kemudian akan diarahkan oleh legislatif/eksekutif tersebut dalam pengimplementasian kebijakan yang sudah dibuat tadi. Jadi, elemen penting dari model demokrasi konvensional adalah, politisi yang terpilih bertanggung jawab dalam memilih suatu kebijakan dan administrator ( di birokrasi) bertanggung jawab dalam mengimplementasikannya.

Dalam pandangan di atas, aktor sentral drama demokrasi ini adalah warganegara yang diasumsikan tertarik dalam masalah politik. Atau paling tidak, rajin memberikan suara dalam pemilu. “Pahlawan” dari drama ini adalah warganegara yang tidak saja memberikan suara tetapi juga rajin mengikuti berita dan informasi lain seputar politik guna menelusuri tindakan politisi yang mereka pilih itu.

Masalah yang kini muncul adalah, semakin sedikit warganegara yang secara aktif terlibat dalam kehidupan politik. Misalnya, tingkat parsipasi masyarakat dalam memberi suara di TPS-TPS cenderung mengalami penurunan. Ini dapat terjadi akibat aneka sebab seperti : tidak percaya, bingung, bosan, atau memang disengaja (misalnya golput).

Penurunan partisipasi warganegara dalam kehidupan politik paling jelas terlihat dalam partisipasi pemberian suara. Secara kasar, dapat saja ditarik kesimpulan juga terjadi penurunan dalam bentuk-bentuk partisipasi lain semisal ikut partai, berdiskusi politik, demonstrasi, dan sejenisnya. Dalam banyak jajak pendapat, warganegara menunjukkan ketidaktertarikan ikut partai politik. Juga, kerap ditunjukkan anggapan bahwa partai politik tidak lagi dianggap relevan bagi suatu pemerintahan yang efektif.

Lebih jauh lagi, banyak partai politik yang kehilangan massa solid mereka. Partai-partai tersebut berubah menjadi partai “catch-all” atau berprogram sempit. Misalnya, di Belanda ada sebuah partai bernama Pym Fonteyn. Pym Fonteyn adalah nama seorang tokoh Belanda. Atau, di Denmark ada partai bernama Naser Khader of Ny Alliance yang sama bentuknya. Atau, di Indonesia mulai muncul Partai Pemuda Indonesia (khusus pemuda), Partai Gerindra (penokohan Prabowo), Partai Demokrat (penokohan SBY), ataupun Partai Hanura (penokohan Wiranto).

Partai politik mulai kehilangan daya tarik di mata warganegara. Selain “kehilangan ide” sehingga membangkitkan tokoh atau status sosial tertentu, kini banyak partai yang berubah menjadi apa yang dinyatakan Peter Mair sebagai “partai kartel.” Partai-partai ini cenderung menyelamatkan diri mereka dengan lebih fokus pada struktur pemerintahan ketimbang mendekatkan diri dengan pemilih mereka. Tidak heran, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik merosot tajam.

Turunnya animo masyarakat untuk jadi anggota partai juga meningkatnya sikap “mengambang” partai adalah penting guna memahami sisi input politik kontemporer. Penurunan ini berakibat pada kurangnya legitimasi dan akuntabilitas publik suatu negara demokratis. Partai dan para pimpinannya yang bertipikal “datang dan pergi” akan mempengaruhi birokrasi secara negatif. Apa yang menarik bagi pimpinan partai politik adalah area pembuatan kebijakan, bukan pada aspek implementasi dari kebijakan tersebut.

Paradoks dari demokrasi kini adalah, tatkala partisipasi politik warganegara diharapkan tinggi demi mengabsahkan suatu pemerintahan, ternyata justru partisipasi tersebut menurun. Namun, kesuraman ini bukannya tanpa harapan. Bentuk-bentuk partisipasi (politik) lain kini tengah terbangun dan mengalami perluasan sehingga kehidupan demokrasi dapat menemui pemulihannya. Bentuk itu menekankan pada lewat cara apa warganegara dapat berpartisipasi dalam suatu program pemerintah yang langsung mempengaruhi diri mereka.

Rumitnya Pelayanan Publik

Dalam model pemerintahan dan pemberian pelayanan tradisional, sangat kurang hubungan antara organisasi publik dengan pelayanan. Walsh and Stewart menunjukkan salah satu karakteristik manajemen publik tradisional adalah negara satu-satunya yang sanggup dan boleh memberikan pelayanan publik. Kecuali di Swedia, tindak pemberian pelayanan hanya mengkaitkan departemen/kementrian dengan otoritas politik daerah.

Kendati model pemberian pelayanan tradisional terkesan mampu menyelesaikan tugasnya, ia mengandung proses hirarkis dan tampak menjauhkan publik dari keterlibatan efektif mereka. Publik awalnya terlibat di tingkat pemilihan (meski tak langsung) pejabat lewat pemilu, ironisnya pemilih tersebut kini tidak dilibatkan dari mendesain kegiatan pelayanan publik. Model tradisional ini mengasumsikan publik tidak memiliki kepentingan seputar kebijakan yang diarahkan pada mereka. Publik juga dipandang tak punya kualitas teknis dan legalitas atas layanan pemerintah.

Model pelayanan publik semacam itu kini telah berubah secara drastis. Bentuk baru kegiatan pelayanan publik dikenal sebagai New Public Management (NPM). Dalam NPM, organisasi pemerintah berperan selaku pengarah bukan pemain. Maknanya adalah, pemerintah dipandang lebih baik berperan sebagai pembuat kebijakan saja ketimbang juga menjalankan kebijakan tersebut. Ini merupakan akibat dari tidak efektifnya birokrasi yang diselenggarakan pemerintah. Kini telah mulai banyak negara yang mempraktekkan NPM, di mana kerja-kerja birokrasi pemerintah diserahkan kepada organisasi masyarakat sipil, baik yang bersifat otonom maupun semi-otonom.

Perpindahan dari pemerintah selaku satu-satunya penyelenggara pelayanan publik ke tangan organisasi di level warganegara, telah melemahkan mekanisme akutabilitas tradisional. Ini memaksa diciptakannya format-format alternatif guna mempertahankan agar birokrasi-birokrasi pemerintah tersebut tetap akuntabel. Secara umum, terjadi peralihan dari bentuk-bentuk akuntabilitas hirarkis menjadi berpola kompetitif dan mutualistik. Bentuk akuntabilitas yang tidak lagi konvensional ini membutuhkan keterlibatan klien dari program. Warganegara sebab itu perlu terlibat dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi output dari suatu program publik, termasuk memobilisasi guna mengkomplain performa yang kurang beres.

Gerakan untuk membentuk format pelayanan publik baru dan kompleksitas dari pilihan itu cenderung berakibat kebingungan di antara masyarakat. Bagi banyak jenis layanan publik adalah sulit menentukan siapa yang sesunggugnya bertanggung jawab. Ujungnya, warganegara tidak lagi punya konsepsi jernih seputar apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya.

Penggunaan agen atau organisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik juga menawarkan jalan bagi terciptanya akuntabilitas. Contoh, meski suatu PT ditunjuk KPU untuk mengadakan surat suara, bukan berarti publik atau pemerintah tidak bisa mengontrol kegiatannya. Pemerintah dapat menggunakan otoritas legal mereka untuk melakukan kendali mutu dan sejenisnya, terutama budget. Publik pun dapat mengamati kegiatan PT tersebut, meneliti pembukuannya, dan kualitas surat suara yang dihasilkan. Ini lebih mudah memancing keterlibatan warganegara ketimbang surat suara dicetak oleh Peruri atau KPU sendiri.

Tentu saja, pelibatan masyarakat dalam model layanan baru pemerintahan tidak individual. Masyarakat terlibat melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk (misalnya LSM, kelompok mahasiswa atau perguruan tinggi).

Aspek penting lain dari model baru layanan publik ini adalah terbentuknya pola-pola kemitraan baru antara pementah dengan organisasi tingkat warganegara. Kemitraan tersebut dapat dilembagakan sehingga mirip dengan “birokrasi pemerintah” itu sendiri.

Menciptakan Politik yang Demokratis

Kendati peran birokrasi publik penting dalam implementasi kebijakan, posisi mereka kerap sekadar “nomor dua” dalam pemerintahan yang demokratis. Birokrasi publik berfungsi selaku mediator antara pemerintah dengan warganegara. Sebab itu, masyarakat lebih sering melakukan kontak dengan birokrat ketimbang dengan pemerintah yang mereka pilih.

Kontak yang terjadi antara warganegara dengan birokrat penting guna menentukan sebaik apa pelayanan pemerintah telah dilakukan. Juga, kontak ini memainkan situasi penting dalam memperkirakan bagaimana publik memandang pemerintah dan legitimasi mereka di sektor publik.

Banyak orang jarang (atau bahkan tiada pernah) bertemu wakil yang mereka pilih di pemilu. Orang yang kerap mereka temui adalah birokrat, entah itu di kelurahan, kecamatan atau kepolisian. Sebab itu, bagaimana “wajah” layanan birokrasi sangat penting dalam menjaga kewibawaan pemerintah secara lebih jauh. Legitimasi “downward” atas pemerintah ditentukan oleh kegiatan layanan ini.

Di sisi lain, birokrasi yang langsung bersentuhan dengan warganegara tersebut dapat bertindak selaku pengumpul informasi. Birokrat tingkat bawah sering melakukan kontak dengan klien mereka (warganegara). Birokrat ini dapat saja memberi masukan berharga tatkala pemerintah membuat suatu kebijakan. Secara lebih jauh, birokrat tersebut dapat berlaku sebagai “wakil rakyat”.

Output Demokrasi

Kajian di atas sesungguhnya hendak mengalihkan perhatian pelaksana negara dari fungsi input (pembuatan kebijakan) kepada fungsi output (pelaksanaan kebijakan). Ini merupakan semangat dari New Public Management yang concern dengan manajemen output suatu kebijakan.

Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warganegara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.

Asumsi format demokrasi konvensional adalah input diyakini mampu mengontrol output sektor publik. Juga, input diyakini mampu menghasilkan program-program yang memang dibutuhkan masyarakat. Cara pandang NPM tampak relatif baru, tetapi sesungguhnya telah berlaku sekurang-kurang selama beberapa dekade. Pola-pola korporatisme negara, khususnya pluralisme korporatis di negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Norwegia) juga memberi kesempatan bagi partisipasi politik di sisi output kebijakan (sektor publik) dan mampu melengkapi jenis partisipasi politik konvensional semacam voting dan pelibatan diri dalam partai politik.

Hasil yang diharapkan dari skema baru hubungan demokrasi dan birokrasi adalah, kontrol terhadap pejabat publik lebih terkonsentrasi di tingkat pelaksana. Bukan lagi di tingkat pemilihan calon pejabat tatkala pemilu. Namun, ini tentu tanpa mengabaikan penjagaan kualitas penyelenggaraan pemilu, termasuk caleg/capres.

Kesimpulan

  • Apa yang hendak disampaikan mengenai kajian birokrasi dan demokrasi di atas adalah :
  • Pertama. Birokrasi dan Demokrasi merupakan dua konsep yang tampak paradoks (saling bertentangan). Birokrasi menekankan efektivitas dan netralitas, sementara Demokrasi menekankan inklusivitas dan tawar-menawar kebijakan. Birokrasi menekankan pada fungsi output sistem politik, sementara Demokrasi menekankan pada fungsi input sistem politik.
  • Kedua. Menurunnya level partisipasi politik, jika dibiarkan, membuat pemerintah kehilangan legitimasinya di kalangan warganegara. Sebab itu perlu dicari bentuk baru partisipasi politik warganegara di dalam sebuah demokrasi.
  • Ketiga. Tatkala Pemilu selesai dan wakil rakyat atau eksekutif terpilih, maka menjadi tugas dari kalangan Birokrasi untuk mengimplementasikan program-program yang dibuat oleh para penyusun undang-undang. Performa implementasi program tersebut oleh aparat Birokrasi amat menentukan bagaimana nantinya warganegara memandang pemerintah yang orang-orangnya mereka pilih saat Pemilu.
  • Keempat. Hingga saat ini pola pemerintahan demokrasi pemerintahan konvensional masih menggejala. Ini tampak tatkala mengimplementasikan suatu program/kebijakan, kementrian menyusun perangkat pelaksana menurut undang-undang dan langsung didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah.
  • Kelima. Pola pendelegasian dari kementerian kepada pemerintah daerah kurang membuka ruang bagi pelibatan warganegara akan program-program pemerintah. Sebab itu kemudian muncul perspektif baru hubungan Birokrasi dan Demokrasi bernama New Public Management.
  • Keenam. New Publik Management adalah pendekatan baru yang bertujuan memangkas kekakuan birokrasi negara dengan memperbesar kesempatan terlibatnya warganegara dalam kegiatan pelayanan publik. 

-------------------------------------------
Referensi
  • B. Guy Peters, Bureaucracy and Democracy, SOG Conference November 2008, University of Pittsburgh.
  • Forrest Vern Morgenson III, Reconciling Democracy and Bureaucracy: Towards a Deliberative-Democratic Model of Bureaucratic Accountability, Doctor of Philosophy Dissertation, University of Pittsburgh, 2005.
tags
pengertian birokrasi demokrasi hubungan birokrasi dan demokrasi kelemahan demokrasi peran birokrasi dalam demokrasi masyarakat jenuh bosan politik

No comments:

Post a Comment