Latest News

Saturday, April 14, 2012

Birokrasi Representatif sebagai Birokrasi Publik yang Menjamin Keterwakilan Masyarakat dalam Birokrasi

Birokrasi representatif sebagai birokrasi publik yang menjamin keterwakilan masyarakat dalam birokrasi negara ini menghubungkan antara konsep birokrasi dan demokrasi. Dalam studi administrasi negara, representasi “politik” mengemuka tidak hanya dalam konteks pemilihan pejabat publik melalui serangkaian pemilu. Masalah representasi ini pun kerap mengemuka dalam konteks administrasi negara, khususnya dalam aras ketika mengimplementasikan kebijakan negara oleh birokrasi. Birokrasi, dalam konteks representasi politik, menduduki peran implementator kebijakan negara yang sebelumnya telah diformulasikan pihak eksekutif maupun legislatif dalam bentuk perundang-undangan.

Studi administrasi publik memiliki signifikansi, terutama setelah terjadi semacam “kejenuhan” masyarakat akan proses demokrasi konvensional semisal Pemilu. “Pemimpin telah kami pilih, lalu bagaimana selanjutnya?” Demikian retorika para pemilih yang sedikit banyak jenuh mendengar janji-janji politik para kandidat. B. Guy Peters menandaskan, kini perhatian publik berpindah dari “input politik” kepada “output politik.” Suatu undang-undang, sebagai misal, adalah hasil dari input politik yang diproduksi legislator yang dipilih dalam Pemilu. Undang-undang menjadi “mati” jika tidak diimplementasi. Hal yang signifikan adalah, bagaimana undang-undang diimplementasi oleh jajaran birokrasi negara? Potret Indonesia

Dalam membuat prioritas atau bahkan mempromosikan suatu undang-undang, birokrat banyak dipengaruhi latar belakang sosialnya. Terlebih, dalam kondisi suatu masyarakat yang plural, sentimen kelompok terkadang menjadi hal yang sensitif. Dukungan publik dalam menerima dan meneruskan suatu implementasi undang-undang di tingkat akar rumput cukup banyak dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang para implementatornya. Birokrat harus menguasai “bahasa” dari publik penerima jasa dan layanannya. Sebab itu, birokrasi haruslah representatif.

Masalah birokrasi representatif ini, seperti telah disebutkan di bagian atas, menjadi krusial utamanya di masyarakat dengan tingkat pluralitas tinggi. Suku, ras, etnis, agama, gender, tingkat pendidikan, dan sejenisnya menjadi sejumlah alat ukur penentu keterwakilan masyarakat di tengah birokrasi publik. Jika hal ini diabaikan, maka kerap birokrasi menjadi “makhluk asing” di tengah masyarakatnya.

“Keterasingan birokrasi” misalnya terjadi di kasus Konflik Poso. Dalam studinya tentang akar konflik Poso, George Junus Aditjondro mengemukakan bahwa salah satu hal yang membuat konflik tersebut berlarut-larut adalah akibat semacam insensitivitas birokrasi Kabupaten Poso dalam melakukan rotasi elit birokrasi. Komposisi berimbang antara Kristen dan Islam di Kabupaten Poso membuat telah terjadi kesepakatan “tak tertulis” masyarakat Poso bahwa posisi-posisi birokrasi public memperhatikan pola perimbangan unsur primordial tersebut. Tatkala rotasi stagnan atau berhenti di salah birokrat yang berasal dari salah satu agama, muncul ketidakpuasan di tengah publik beragama berbeda. Kendati bukan satu-satunya, Aditjondro menyatakan kemacetan rotasi elit birokrasi tersebut sebagai salah satu penyebab berlarutnya konflik Poso.

Birokrasi Representatif

Konsep birokrasi representatif ini dibicarakan dalam konteks pola rekrutmen seseorang ke dalam posisi administrasi publik, utamanya pada masalah samanya kesempatan dan keterwakilan suatu populasi penduduk di dalam birokrasi. Jadi, bagaimana birokrasi mewakili karakteristik populasi dalam kaitannya sebagai administrator kebijakan, merupakan pertanyaan dasarnya. Sejumlah skolar menekankan pentingnya merit dalam pola rekrutmen administrator publik, lainnya menekankan pada pentingnya mengangkat birokrat publik yang unsur sosial dan ekonominya melukiskan karakter masyarakat di suatu wilayah.

Penulis lain semisal Sally Coleman Selden menyinggung masalah pentingnya Birokrasi Representatif ini dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik. Selden berargumentasi bahwa pejabat yang terpilih lewat Pemilu akan menduduki jabatan administrator tingkat puncak semisal Presiden, Menteri, Kepala Daerah, yang pada gilirannya mereka mengatur aneka organisasi yang pekerjanya adalah pelayan publik (birokrat). Dalam konteks pelayan publik ini terdapat suatu sistem personil yang aturannya “melindungi” mereka dari tekanan politik. Mereka terhindar dari tekanan politik akibat posisinya diperoleh lewat merit-system (Tes CPNS, misalnya) bukan dipilih lewat Pemilu.

Masalahnya kemudian, bagaimana memastikan para birokrat yang diangkat lewat merit-system ini mampu menjalankan kepentingan publik di bawah kewenangannya ? Di sinilah Selden mengemukakan signifikansi peran dari Birokrasi Representatif-nya. Dalam konteks pertanggungjawaban publik ini, ilmuwan administrasi publik mencari jalan bagaimana kekuasaan birokrat dalam mengimplementasikan kebijakan publik dapat lebih responsif kepada kepentingan publik. Secara lebih jauh, sifat responsif ini mengandung unsur-unsur demokrasi secara substansial. Dalam teori Birokrasi Representatif ini, sifat responsif tersebut datang dari refleksi komposisi pejabat publik berdasarkan ras, etnis, gender, dan sejenisnya.

Teori Birokrasi Representatif menyediakan alternative menarik akibat jawabannya atas persoalan bagaimana birokrasi bekerja tatkala tidak ada paksaan politik dari pemerintah. Representasi adalah proses yang muncul baik di aras politik maupun birokrasi. Dalam lembaga-lembaga politik (parlemen, partai politik) representasi kerap merupakan trade-mark-nya. Legislatif ada guna merepresentasikan pilihan publik. Namun, birokrasi kerap tidak dipandang sebagai sebuah lembaga representasi masyarakat. Birokrasi kerap hanya dikaitkan aspek merit system belaka.

Padahal, sejumlah birokrasi publik semisal Departemen Pertanian, Departemen Sosial, atau Kementerian Negara Pembangunan Daerah tertinggal berurusan dengan kalangan masyarakat spesifik. Departemen Pertanian berurusan dengan para petani yang rural, Departemen Sosial berhubungan dengan kalangan ‘tidak mampu’ ataupun rendah secara pendidikan, serta Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal berurusan dengan daerah-daerah terpencil dan relatif belum terjangkau oleh “sentuhan” pemerintah pusat.

Kajian mengenai Birokrasi Representatif ini telah diawali oleh tulisan J. Donald Kingsley tahun 1944 bertajuk Representative Democracy. Kingsley meneliti operasionalisai public service di Inggris dan ia mencatat bahwa layanan publik seharusnya merefleksikan karakteristik-karakteristik dari kelas sosial yang berkuasa. Intinya adalah, keterwakilan birokrasi harus diukur dalam konteks kelas sosial.

Studi lain mengenai Birokrasi Representatif dihadirkan oleh Kenneth J. Meier tahun 1975. Ia memfokuskan perhatian pada layanan sipil di Amerika Serikat. Temuannya adalah keterwakilan publik dalam birokrasi harus mengacu pada unsur-unsur seperti usia, pendidikan, pendapatan, tempat kelahiran, kelas sosial, bahkan pekerjaan ayah. Ini kemudian disusul perhatian yang sama pada unsur keterwakilan ras, etnis, dan gender di birokrasi Amerika Serikat akibat relatif tidak terwakilinya kalangan minoritas dan perempuan pada jabatan tingkat menengah dan tinggi birokrasi di negara tersebut.

Fakta lain mengenai signifikansi Birokrasi Representatif dihadirkan oleh Seymour Martin Lipset tahun 1952. Lipset mengkaji tentang hubungan antara birokrasi dan kecenderungan sikap publik di Saskatchewan, Kanada, yang menunjukkan bahwa para pelayan publik secara terbuka menolak agenda reformasi yang ditujukan terhadap kelompok dari mana mereka berasal.

Fakta lain juga ditemukan oleh Kenneth J. Meier dan Llyoid G. Nigro tahun 1976 di mana mereka berupaya menjawab pertanyaan apakah latar belakang sosial seorang biokrat punya relevansi atas tindakan mereka. Variabel yang mereka teliti adalah asal-usul sosial, pengalaman sosialisasi politik, sikap, dan perilaku. Mereka menyimpulkan bahwa asal-usul birokrat berpengaruh terhadap pengalaman sosialisasi politik, pengalaman sosialisasi politik berpengaruh terhadap sikap, dan sikap ini mempengaruhi pembuatan keputusan administratifnya. Namun, pengaruh latar belakang sosial ini masih dikalahkan oleh afiliasi birokrat terhadap kantor mereka.

Hale and Branch tahun 1992 juga meneliti birokrat federal. Mereka menemukan kenyataan bahwa eksekutif pria dan wanita berbeda satu sama lain dalam hal sikap seputar masalah lapangan pekerjaan yang merugikan perempuan. Mereka berargumentasi bahwa wanita dan pria mengalami masalah pekerjaan secara berbeda dan pengalaman tersebut mewarnai kebijakan-kebijakan yang dibuat.

Konteks pembicaraan mengenai Birokrasi Representatif ini kemudian menyinggung permasalahan Representasi Pasif dan Representasi Aktif. Jika birokrat sekadar mencerminkan latar belakang sosial publik yang dilayaninya, maka hal tersebut merupakan Representasi Pasif. Reprentasi ini merupakan komposisi birokrat yang mencerminkan populasi berdasarkan ras, etnis, partai politik, status sosial, dan sejenisnya. Representasi Aktif muncul tatkala seorang birokrat bertindak serupa dengan kepentingan mereka yang diwakili. Teori Birokrasi Representatif fokus pada penerjemahan dari representasi pasif menjadi representasi aktif dengan pekananpada papa dan bilamana seorang birokrat membuat keputusan yang menguntungkan orang-orang yang diwakili.

Pandangan lain atas birokrasi representative diutarakan Norton Long. Ia menggambarkan keterkaitan antara keragaman dengan demokrasi representatif. Menurut Long, penting bagi pelayanan public untuk selalu terbuka atas keragaman “ras, agama, dan kebangsaan.” Keterbukaan ini dapat dicapai lewat proses rekrutmen yang didesain untuk membentuk formasi birokrat yang mencerminkan keragaman yang ada di tengah masyarakat.

Frederick Mosher menandaskan yang dimaksud birokrasi representatif adalah keterwakilan yang berkenaan dengan asal-usul seseorang dan derajat pada mana, secara kolektif, mereka mencerminkan keseluruhan masyarakat … Layanan publik, dan terlebih penting lagi personil-personil pemimpinannya di layanan itu, merupakan perwakilan luas dari seluruh kalangan masyarakat. Birokrat yang berasal dari kelompok beragam akan membuat keputusan dan melakukan aktivitas dari aneka pengetahuan, nilai, dan kemampuan. Hasilnya, keputusan dan tindakan yang dihasilkan akan mencerminkan kemajemukan yang ada tinimbang birokrat sekadar berasal dari satu genre yang sama.

Faktor Pendorong Birokrasi Representatif

Birokrasi Representatif menjadi signifikan akibat munculnya sejumlah faktor pendorong. Faktor-faktor pendorong ini meliputi:
  • Peningkatan keragaman etnik, rasial, dan gerontology di suatu masyarakat;
  • Peningkatan keragaman lahan kerja berdasarkan gender;
  • Perkembangan kesaling bergantungan komunitas global, yang mendorong keragaman pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi atas perbedaan manusia, dan;
  • Peningkatan keragaman teknologi dibalik distribusi barang dan jasa public.

Untuk yang pertama, misalnya keragaman etnik harus diantisipasi dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan birokrasi. Birokrat harus memahami pola-pola budaya yang berlangsung di tengah masyarakat. Misalnya, dalam sosialisasi kebijakan pendidikan di wilayah suku Asmat di Papua, birokrat harus memahami struktur budaya dan bahasa yang berkembang di suku tersebut. Orang-orang masih banyak yang cuma mengerti bahasa suku mereka ketimbang bahasa Indonesia. Sebab itu, seorang birokrat harus memahami unsur-unsur budaya tersebut, yang biasanya ada di tangan birokrat yang merupakan bagian dari suku yang bersangkutan. Ini guna menipiskan gap antara birokrat dengan warga.

Masalah gender di lahan kerja umum merupakan masalah yang cukup krusial. Pekerja pria dan wanita punya karakteristik tersendiri dalam siklus kehidupan mereka. Wanita memiliki kodrat seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Karakteristik semacam ini tidak ada di kalangan pekerja laki-laki. Namun, pekerja perempuan memiliki derajat lebih tinggi pada skill ketelitian dan keuletan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sebab itu, birokrat publik yang berurusan dengan masalah perburuhan misalnya, harus sensitif akan masalah gender ini dan terkadang, lebih banyak dimiliki oleh birokrat perempuan.

Perkembangan teknologi informasi mendorong terjadinya sejumlah perkembangan baru di tingkat masyarakat berupa semakin intensnya interaksi antarperadaban maupun antarkomunal. Semakin bervariasinya aspek sosial masyarakat membuat seorang birokrat harus mengikuti perkembangan tersebut. Mereka harus punya kemampuan untuk membaca keragaman pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi atas manusia yang berubah tersebut. Segmen-segmen baru masyarakat, budaya subkultur, budaya komunal, dan perspektif merupakan point-point yang harus diadaptasi oleh birokrasi publik.

Selain itu, birokrat pun harus paham teknologi. Mengapa? Kini teknologi distribusi barang dan jasa sudah semakin canggih. Orang sudah bisa melihat kerja-kerja birokrasi melalui website pemerintahan. Distribusi jasa (pengumuman CPNS, lelang pemerintah) sudah bisa diakses secara luas. Ini memunculkan keragaman dalam tafsiran warganegara atas produk kerja pemerintah.

Sementara itu, terdapat sejumlah keuntungan tatkalan Birokrasi Representatif ditarik selaku pertimbangan dalam melakukan rekrutmen birokrat. Selden mencatat sekurangnya terdapat 5 keuntungan Birokrasi Representatif ini yaitu:
  • Birokrasi yang merefleksikan keragaman dari populasi akan menghadirkan komitmen simbolis untuk mengakses kekuasaan secara sama. Tatkala seorang anggota dari kelompok masyarakat menjadi pejabat publik, mereka menjadi aktor yang legitimate dalam proses politik dengan kemampuan membentuk kebijakan publik;
  • Semakin majemuknya entitas pembuat keputusan publik (birokrat) semakin luas pula perspektif yang diambil dalam sebuah proses pembuatan keputusan;
  • Birokrasi representatif juga berpengaruh pada hal-hal apa yang diprioritaskan dalam sebuah agenda pemerintah. Jika kaum perempuan dan minoritas posisinya meningkat, subyek-subyek dari kepentingan mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk diprioritaskan sebagai agenda kerja;
  • Kelompok yang sebelumnya sedikit terwakili atau belum terwakili akan lebih dekat ikatannya dengan birokrasi pemerintah tatkala keterwakilannya bertambah, dan sebagai hasilnya, mereka akan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan kantor-kantor pemerintah; dan
  • Semakin suatu birokrasi menjadi representatif akan membimbing pada lebih efisiennya penggunaan sumber daya manusia. 

Kesimpulan

Pertama, Birokrasi Representatif adalah keterwakilan yang berkenaan dengan asal-usul seorang birokrat yang secara kolektif mencerminkan keseluruhan masyarakat. Kedua, Birokrasi Representatif merupakan “mirror” dari Political Representative. Hanya saja, keterwakilan birokrasi ini ada di aras impelementasi kebijakan publik sebagai operasionalisasi dari undang-undang.

Ketiga, Birokrasi Representatif mengacu pada keterwakilan latar belakang populasi penikmat layanan publik (masyarakat) yang tercermin pada latar belakang yang sama di tingkat birokrat publik di suatu region tempat beroperasinya birokrat publik, dalam mana latar belakang ini meliputi etnis, ras, gender, agama, tingkat pendidikan, dan sejenisnya. Keempat, Studi Birokrasi Representatif berkisar pada konsep Representasi Pasif dan Representasi Aktif. Representasi Pasif adalah representasi di mana para birokrasi mencerminkan latar belakang populasi tempat ia berbakti, Representasi Aktif adalah tatkala latar belakang yang sama tersebut membuat para birokrat membuat dan melaksanakan peraturan yang sensitif terhadap publik yang latar belakannya ia cerminkan itu.

-------------------------------------------
Referensi

  • B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy, 5th Edition, (Routledge: 2001).
  • George Junus Aditjondro, “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya,” Makalah untuk diskusi bertema: “Penerapan Keadaan Darurat di Aceh, Papua dan Poso Dalam Pemilu 2004?” yang diselenggarakan oleh ProPatria pada hari Rabu, 7 Januari 2004 di Ruang Betawi-3, Hotel Santika, Jakarta
  • Julie H. Doolan and David H. Rosenbloom, ed., Representative Bureaucracy: Classic Readings and Continuing Controversies, (New York : M.E. Sharpe, 2003)
  • Kenneth J. Meier and Laurence J. O’Toole, Bureaucracy in a Democratic State: A Governance Perspective, (Maryland : The John Hopskins University Press, 2006)
  • Mitchell F. Rice, Diversity and Public Administration: Theory, Issues, and Perspectives, (M.E. Sharpe, 2004)
  • Sally Coleman Selden, The Promise of Representative Bureaucracy: Diversity and Responsiveness in a Government Agency, (New York : M.E. Sharpe, 1997) 
 tags
pengertian birokrasi representatif definisi birokrasi representatif administrasi publik keterwakilan dalam birokrasi pendorong birokrasi representatif 

No comments:

Post a Comment