Latest News

Saturday, April 14, 2012

Pemeliharaan dan Adaptasi Sistem Politik melalui Sosialisasi Politik dan Penciptaan Stabilitas Politik

Pengertian sosialisasi politik dan rekrutmen politik mendasari fungsi pemeliharaan dan adaptasi sistem politik. Sistem politik, menurut Gabriel A. Almond, memiliki mekanisme maintenance (pemeliharaan) dan adaptation (adaptasi). Kedua mekanisme ini yang membuat sistem politik dapat bertahan, berjalan, dan menyempurnakan diri setelah mendapat serangkaian pengaruh dari lingkungan (environment) intrasocietal maupun extrasocietal.

Masih menurut Almond, mekanisme maintenance dan adaptation sistem politik terdiri dua fungsi input, yaitu sosialisasi politik dan rekrutmen politik. Keduanya menciptakan dukungan atas sistem politik untuk terus hidup dan beroperasi. Sosialisasi politik adalah proses penanaman nilai-nilai budaya politik dari satu generasi ke generasi lain. Sementara rekrutmen politik adalah proses pergantian individu maupun kelompok yang akan menjalankan aktivitas politik di dalam sistem politik.

Agar dapat terus hidup, sistem politik harus menjalankan dua mekanisme pemeliharaan ini. Seperti halnya mobil atau motor, yang secara berkala harus masuk bengkel untuk diservis. Tanpa pemeliharaan yang baik, sistem politik lambat-laun akan kehilangan daya hidup dan kemudian lenyap. Selain pemeliharaan, sistem politik pun butuh kemampuan beradaptasi. Pemeliharaan dan adaptasi ini berlangsung melalui fungsi sosialisasi politik dan rekrutmen politik.

Mekanisme pemeliharaan dan adaptasi sistem politik Indonesia berlangsung melalui dua jalur. Jalur pertama melalui fungsi input seperti telah disebutkan oleh Gabriel A. Almond. Jalur kedua melalui penciptaan stabilitas sistem politik seperti diutarakan Samuel P. Huntington melalui 3 pilar stabilitas sistem politiknya. Ketiga pilar tersebut adalah equilibrium antara pembangunan ekonomi, pelembagaan politik, dan partisipasi politik.


Pembahasan selanjutnya dilakukan terlebih dahulu atas sosialisasi politik, lalu berturut-turut dilanjutkan dengan rekrutmen politik dan stabilitas sistem politik.

Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik mengacu pada proses belajar, dalam mana norma dan perilaku politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik ditransfer dari satu generasi ke generasi lain. Selain norma dan perilaku, nilai-nilai politik juga merupakan komoditi yang diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Norma dan perilaku politik yang dimaksud disesuaikan dengan tipe sistem politik yang berlangsung. Norma politik adalah perilaku politik yang bisa diterima di dalam suatu sistem politik, sementara perilaku adalah cara bertindak individu tatkala menghadapi suatu persoalan. Nilai, adalah sesuatu yang dipandang tinggi oleh individu, kelompok, atau sistem politik.

Sebab itu, sosialisasi politik yang berlangsung di tiap sistem politik berbeda. Saat Indonesia berada dalam sistem politik Demokrasi Liberal, nilai-nilai individualitas, kebebasan, multikulturalitas, dan sejenisnya merupakan hal yang diteruskan dari generasi ke generasi. Ini berbeda dengan saat Indonesia berada di tipe sistem politik Otoritarian Kontemporer II, yang menekankan pada kepatuhan dan pengamalan ideologi (Pancasila), pelarangan isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), toleransi beragama, dan penekanan atas kolektivitas warga negara juga budaya nasional. 

Definisi sosialisasi politik lainnya diajukan Edward Greenberg yang menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu menyerap sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem politik di mana ia menjadi salah satu anggotanya serta sehubungan dengan perannya sendiri selaku warganegara di dalam sistem politik tersebut. Berdasarkan Greenberg pula, dapat disusun pentingnya sosialisasi politik bagi eksistensi sistem politik sebagai berikut: (1) Membantu rezim politik (sistem politik) membentuk perilaku politik yang mereka kehendaki atas para anggota mudanya; (2) Perilaku politik warganegara dewasa adalah hasil dari sosialisasi politik yang dilakukan atas mereka di masa muda; dan (3) Opini-opini individu akan berdampak pada operasional kehidupan politik dan pemerintah suatu bangsa.

Rezim politik (sistem politik) amat berkepentingan dalam membentuk perilaku politik para anggota mudanya. Warga negara mengalami masa kanak-kanak serta remaja di era Otoritarian Kontemporer II (rezim Suharto) minimal relatif hafal Pancasila dan memiliki kesadaran simbolik nasional yang lebih tinggi. Hal ini diakibatkan keinginan Suharto membentuk warganegara sesuai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ideologi negara: Pancasila. Mereka ini pun relatif punya nilai toleransi beragama dan kesukuan yang lebih besar. Tingkat kognitif mereka akan simbol-simbol nasional (Pancasila, lagu kebangsaan, lagu-lagu nasional) relatif lebih tinggi ketimbang warganegara yang mengalami masa kanak-kanak dan remaja di era Demokrasi Liberal I dan Demokrasi Liberal II. Indikator dari hal-hal tersebut, terutama pada Otoritarian Kontemporer II, adalah rendahnya konflik akibat perbedaan agama dan etnis di masa Suharto berkuasa.

Warganegara yang mengalami masa kanak-kanak dan remaja di era Demokrasi Liberal II cenderung mengalami krisis identitas. Mereka umumnya kurang memiliki kesadaran berbangsa Indonesia. Mereka lebih menonjolkan identitas primordial (suku, agama, ras, golongan) ketimbang identitas nasional. Hal ini diantaranya rendahnya kemampuan simbolik rezim-rezim politik yang memerintah pasca transisi politik 1998. Juga, hal tersebut akibat tidak padunya program sosialisasi politik di masa rezim-rezim Demokrasi Liberal II (Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY), di mana sosialisasi politik yang dilakukan satu sama lain lebih fokus pada pengenalan rezim bukan pengenalan sistem politik. Akibatnya, warganegara muda tersebut lebih banyak menerima introjeksi nilai-nilai politik dari keluarga, teman, ataupun media massa yang kerap lebih menonjolkan sentimen-sentimen primordial ketimbang kebangsaan.

Teknik Sosialisasi Politik

Ada beragam teknik yang digunakan oleh individu di dalam sosialisasi politik. Teknik-teknik tersebut adalah imitasi, instruksi, dan motivasi. Teknik imitasi berlangsung tatkala satu individu meniru apa yang dilakukan orang terdekatnya. Gus Dur, sebagai misal, merupakan peniru nilai-nilai politik kakeknya (Hasyim Asy’ari) dan ayahnya (Wahid Hasyim). Kakek dan ayahnya adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang terbuka, luas jaringan pertemanannya, dan ketat dalam mempertahankan budaya Islam bercorak pesantren. Dengan ayahnya, Gus Dur cuma kenal hingga usia 12 tahun (Wahid Hasyim meninggal mendadak akibat kecelakaan mobil). Apa yang kemudian dilakukan Gus Dur dalam meniru ayahnya adalah mengikuti apa yang diperbincangkan teman-teman ayahnya seputar tindak-tanduk Wahid Hasyim, kepada dirinya.

Teknik instruksi, merupakan teknik di mana agen sosialisasi mendiktekan apa yang harus dipahami dan dilakukan individu. Contoh paling mudah adalah sekolah. Bagaimana sekolah mengharuskan siswa menghormat bendera di saat upacara, bagaimana menjadi warganegara yang baik, bagaimana siswa memajang foto lambang negara, presiden, dan wakil presiden, merupakan contoh dari teknik instruksi ini. Juga, siswa diinstruksikan untuk menyikapi perbedaan pendapat di dalam kelas melalui kegiatan praktek atau simulasi dengan rekan-rekan mereka di bawah fasilitator (guru mata pelajaran).

Teknik motivasi, merupakan teknik di mana agen sosialisasi politik memberi kesempatan kepada klien mereka untuk menunjukkan perilaku politik tertentu. Klien diberi pemahaman seputar fungsi dari sikap atau perilaku yang mereka tunjukkan bagi kehidupan umum sistem politik. Misalnya, bagi kalangan siswa sekolah yang berusia 17 tahun, sekolah mengingatkan para siswa untuk tercatat namanya dala Daftar Pemilih Tetap. Siswa juga diingatkan bahwa ikut pemilu adalah hak warganegara untuk memilih sendiri wakil-wakil serta pemimpin negara mereka. Ketika muncul kesadaran di kalangan siswa yang cukup usia untuk ikut pemilu dan mereka mengikuti atau tidak mengikutinya, merupakan bentuk teknik motivasi. Bentuk-bentuk teknik sosialisasi politik bercorak motivasi ini juga kerap digunakan organisasi-organisasi teroris yang beroperasi di Indonesia untuk merekrut anggota baru dan melakukan pembunuhan di sana dan di sini.

Agen Sosialisasi Politik

Agen sosialisasi politik, adalah orang atau kelompok yang melakukan pentransferan nilai, norma, dan perilaku politik. Agen ini, baik langsung ataupun tidak langsung, melakukan hubungan dengan individu dan menanamkan komoditi yang terkandung dalam sosialisasi politik. Agen sosialisasi politik dapat dibedakan menjadi primary groups dan secondary groups. Masuk ke dalam kategori agen primary groups adalah keluarga dan teman. Masuk ke dalam kategori agen secondary groups adalah sekolah, partai politik, media massa, dan pemerintah.

1. Keluarga

Keluarga merupakan organisasi sosial terkecil dan paling dekat dengan individu. Intensitas hubungan antara individu dengan keluarga mereka, terutama orang tua, sangat tinggi. Seorang anak cenderung meniru apa yang disampaikan orang tua kepada dirinya. Teman sebaya (peer groups) juga menempati posisi primary groups, oleh sebab pengaruh yang diberikan oleh seorang teman biasanya punya pengaruh yang besar kepada individu, tidak hanya di masa kanak-kanan melainkan ketika mereka remaja dan dewasa peer group ini terus berperan.

Keluarga memiliki peran penting dalam mentransformasikan nilai-nilai politik yang dianut orang tua maupun sistem politik yang berlaku. Orang tua memiliki kecenderungan mengajarkan nilai, kepercayaan, ataupun keyakinan yang mereka anut kepada anak-anak mereka. Transfer nilai politik dari orang tua kepada anak hanya dapat berhasil jika keluarga tersebut memiliki kebiasaan mendiskusikan masalah politik. Jika keluarga tersebut kurang (bahkan tidak) memiliki kebiasaan mendiskusikan masalah politik, maka besar kemungkinan si anak akan mempelajarinya dari agen lain. Tidak tertutup kemungkinan seorang anak memiliki nilai-nilai politik yang berbeda dengan orang tua mereka.

Peran signifikan keluarga adalah membentuk nilai-nilai dasar politik kepada anak. Keluarga memiliki mekanisme pengambilan keputusan dalam mengatasi suatu masalah. Keluarga merupakan prototipe masyarakat politik yang sangat dekat dengan individu di masa kanak-kanak: Jika seorang anak melanggar peraturan, maka akan ada sanksi dari orang tua. Sanksi tersebut berlaku pula bagi anggota keluarga lainnya.

Berdasarkan hal ini, seorang anak cepat ataupun lambat akan membangun nilai-nilai dasar politik. Nilai yang terbentuk ini kemudian mereka gunakan ketika memperoleh sosialisasi politik dari agen-agen lain. Ketika mereka memperhadapkan nilai yang mereka miliki (dari keluarga) dengan nilai-nilai politik berbeda dari agen-agen sosialisasi politik lain maka individu akan mengalami pertentangan. Sehubungan dengan pertentangan ini, individu akan memunculkan tiga subkultur politik yaitu: (1) Kooperatif, (2) Deviant, dan (3) Rebellious.

Studi yang dilakukan Sidanius, Ekehammar, and Brewer menunjukkan bahwa ideologi konservatif yang dianut seorang mahasiswa ternyata dipengaruhi oleh pilihan partai politik orang tua yang bertipikal ekonomi-konservatif. Selain itu, mahasiswa yang cenderung mengembangkan sikap punitif (menghukum) ternyata diakibatkan oleh pola hubungan mereka dengan orang tua laki-laki yang cenderung konservatif.

Dalam studi mengenai keterlibatan aktivis mahasiswa ke dalam gerakan sosial bernuansa politik dalam Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi (Pijar) Indonesia, Seta Basri mengungkap fakta bahwa dari sembilan responden yang diwawancara secara mendalam (indepth interview) rata-rata menyatakan keluarga mereka masing-masing mempengaruhi aktivitas politik mereka. Satu responden bernama Dodi menyatakan orang tua mendidiknya untuk berbuat baik, membela yang lemah lemah serta berpihak kepada keadilan dan nilai-nilai inilah yang saya rasa selaras dengan aktivitas politik saya.

Responden lain bernama Soni, kebetulan ayahnya aktivis Partai Sosialis Indonesia yang dekat dengan Mochtar Lubis, menyatakan terbiasa melakukan diskusi politik dengan ayahnya kendati tidak didikte harus berpandangan politik seperti apa. Iwan, responden lainnya, menyatakan secara tegas bahwa aktivitas politik yang ia lakukan tidak jauh dari apa yang diajarkan keluarga yaitu masalah keadilan, peduli, dan toleransi yang meskipun orang tua laki-lakinya adalah tokoh agama di daerah tetapi tidak pernah membuat anak-anaknya beribadah di bawah paksaan.

Kondisi berbeda ditemui pada aktivis lain, yaitu perempuan bernama Nina. Nina menyatakan kecenderungan rebellious terhadap didikan keluarga di mana ia dididik dalam disiplin agama yang fanatis. Salah satunya terwujud ketika keluarganya menerima besek tahlilan dari tetangga, orang tuanya melarang memakan makanan dalam besek tersebut. Namun, Nina membantahnya dengan mengkonsumsinya. Pemberontakan Nina terwujud dalam kegiatannya dalam gerakan politik mahasiswa yang salah satunya merupakan manifestasi pemberontakannya atas disiplin keluarga.

Soni mengalami teknik sosialisasi politik bercorak motivasi, di mana orang tuanya mengeksplorasi kadar kognisi anak lalu membiarkan anak memutuskan pandangan politiknya sendiri. Corak yang serupa dialami Iwan di mana orang tua menanamkan nilai-nilai egalitarian dan toleransi sehingga mendorong Iwan mengembangkan nilai politik yang selaras dengan yang diajarkan orang tuanya. Apa yang terjadi pada Iwan juga ada pada Dodi. Selain itu, terkesan keduanya pula mengembangkan teknik imitasi atas didikan orang tua. Pada Nina, orang tua melakukan tindak instruksi dan Nina justru termotivasi untuk melakukan pembalikan nilai-nilai puritan yang dikembangkan keluarganya.

2. Peer Groups

Penting diingat bahwa sosialisasi politik tidak hanya berlangsung di masa kanak-kanak, melainkan pula remaja dan dewasa. Nilai-nilai politik seseorang terbentuk seiring berkembangnya usia dan teman-teman sebaya serta akrab (peer groups) yang banyak bersentuhan dengan mereka. Dalam konteks peer groups ini dapat diikuti perkembangan Sukarno masa remaja yang terkesan begitu memahami marxisme sebagai basis analisis dalam menentang penjajahan. Ketika Sukarno menginjak pendidikan level sekolah menengah atas, ia indekos di tempat Haji Omar Said Tjokroaminoto. Di lokasi tersebut juga berkumpul kalangan pergerakan nasional lain semisal Musso maupun Alimin. Interaksi Sukarno dengan mereka tidak lantas membuat Sukarno menjadi komunis, melainkan ia mempelajari Marxisme yang analisisnya ia kembangkan dalam penciptaan ideologi khas Indonesia: Marhaenisme.

Selain itu, sosialisasi politik yang anomik pun dapat dilihat pada para pelaku teror bom di Indonesia. Usia mereka rata-rata adalah remaja dan dewasa. Sikap alineasi atas sistem politik mereka peroleh dari para mentor teror yang melakukan indoktrinasi hitam-putih atas kehidupan politik Indonesia. Rata-rata para pelaku bom direkrut oleh kalangan yang mereka anggap teman dan membawa mereka kepada ahli brainwashing untuk digunakan sebagai pelaku teror.

3. Sekolah

Pendidikan civic utamanya dilakukan oleh sekolah. Sebab itu, sekolah merupakan agen sosialisasi sekunder yang penting. Rata-rata orang Indonesia mengenal nasionalisme dari sekolah dan membuat mereka tahu warna bendera nasional, lagu kebangsaan, bahasa persatuan, maupun sikap yang harus diambil dalam kehidupan bernegara.

Sekolah secara umum memberikan materi pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Materi pelajaran tersebut termuat di dalam Standar Isi kurikulum pendidikan nasional. Misalnya, untuk siswa tingkat sekolah dasar, disusun kurikulum pendidikan kewarganegaraan dari kelas 1 hingga kelas 6 dan diberikan setiap semester. Untuk sekolah dasar, pendidikan kewarganegaraan yang diterima oleh siswa adalah: 
  • Kelas Satu meliputi: (1) Menerapkan hidup rukun dalam perbedaan; (2) Membiasakan tertib di rumah dan di sekolah; (3) Menerapkan hak anak di rumah dan di sekolah, dan; (4) Menerapkan kewajiban anak di rumah dan disekolah.
  • Kelas Dua meliputi: (1) Membiasakan hidup bergotong royong; (2) Menampilkan sikap cinta lingkungan; (3) Menampilkan sikap demokratis, dan; (4) Menampilkan nilai-nilai Pancasila.
  • Kelas Tiga meliputi: (1) Mengamalkan makna Sumpah Pemuda; (2) Melaksanakan norma yang berlaku di masyarakat; (3) Memiliki harga diri sebagai individu, dan (4) Memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
  • Kelas Empat meliputi: (1) Memahami sistem pemerintahan desa dan pemerintah kecamatan; (2) Memahami sistem pemerintahan kabupaten, kota, dan propinsi; (3) Mengenal sistem pemerintahan tingkat pusat, dan (4) Menunjukkan sikap terhadap globalisasi di lingkungannya.
  • Kelas Lima meliputi: (1) Memahami pentingnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Memahami peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah; (3) Memahami kebebasan berorganisasi, dan; (4) Menghargai keputusan bersama.
  • Kelas Enam meliputi: (1) Menghargai nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara; (2) Memahami sistem pemerintahan Republik Indonesia; (3) Memahami peran Indonesia dalam lingkungan negara-negara di Asia Tenggara, dan; (4) Memahami peran politik luar negeri Indonesia dalam era globalisasi.

Melalui pendidikan kewarganegaraan, siswa lulusan sekolah dasar diharapkan memiliki nilai-nilai kebangsaan dan cara hidup dalam tradisi demokrasi secara mantap. Sejak dini, warganegara muda Indonesia telah dididik untuk memiliki tingkat kognitif, afektif, dan evaluatif atas sistem politik Indonesia yang tengah berlaku. Metode yang serupa juga ditunjukkan pada jenjang pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan merupakan kurikulum wajib bagi tiap sekolah dan diproduksi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

4. Partai Politik

Partai politik merupakan agen, yang upayanya menarik dukungan dari warganegara sesuai visi dan misi partai tersebut. Jika sekolah lebih bercorak nasional, maka partai lebih bercorak primordial (agama, kelas sosial, dan sejenisnya). Namun, visi dan misi partai tidak boleh bertentangan dengan aspek nasionalisme suatu sistem politik. Mengenai kemungkinan materi nilai yang disosialisasi oleh partai politik tidak akan terlepas dari ideologi politik yang diusung oleh masing-masing partai. Partai politik yang relatif concern secara intensif terhadap proses sosialisasi politik adalah Partai Keadilan Sejahtera di mana liqo (pertemuan) dan mentoring aktif dilakukan sebagai basis pengkaderan calon dan anggotanya.

5. Media Massa

Media massa kini merupakan agen sosialisasi politik yang menempati posisi penting. Bayangkan, berapa lama seorang individu ada di depan pesawat televisi setiap harinya? Selain televisi, jenis media massa lain seperti surat kabar, radio, spanduk ataupun poster, juga memberi efek sosialisasi politik yang cukup tinggi. Pembahasan mengenai materi nilai yang disosialisasikan oleh media massa dapat juga dijumpai dalam pembahasan mengenai komunikasi politik.

6. Pemerintah

Pemerintah tentunya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dan berkepentingan untuk melakukan sosialisasi politik. Ini terbukti, misalnya di Indonesia, pemerintah tetap mewajibkan kurikulum Pendidikan Kewarganegaan atau Pancasila untuk dipelajari sejak jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Upaya ini merupakan bukti pemerintah memiliki kepentingan untuk melakukan sosialisasi politik.

Stabilitas Politik

Stabilitas sistem politik merupakan kondisi yang perlu diciptakan agar sistem politik ---tipe apapun--- dapat terus bertahan. Kondisi stabil memungkinkan pemerintah mampu mengelola sistem politik ke arah yang diinginkan. Agar stabilitas sistem politik dapat tercapat, Huntington mensyaratkan tiga kondisi, yaitu perimbangan antara pembangunan ekonomi, partisipasi politik, dan pelembagaan politik.

Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses pemenuhan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa, baik bersifat primer, sekunder, maupun tersier dapat menjamin sistem politik mendapat dukungan dari warganegaranya. Jika masyarakat suatu negara dilanda kesulitan mendapat bahan kebutuhan pokok maka protes akan muncul di sana-sini. Peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, atau Suharto ke Habibie, selalu diawali dengan terbelakangnya masalah pembangunan ekonomi ini. Sistem politik yang dilangsungkan keduanya, Rezim Otoritarian Kontemporer I dan II, berakhir.

Partisipasi politik adalah keterlibatan warganegara di dalam kegiatan-kegiatan politik. Kegiatan ini berkisar antara ikut pemilu, berorganisasi yang berefek politik, lobbying, bahkan aktivitas teroris. Partisipasi politik ini sulit untuk dapat dicegah, oleh sebab berkenaan secara langsung dengan kondisi warganegara. Partisipasi politik di negara-negara Demokrasi Liberal relatif lebih tinggi ketimbang di negara dengan Rezim Otoritarian Kontemporer, Kediktatoran Militer, apalagi Komunis. Namun, partisipasi politik yang tinggi ini, jika tidak diimbangi dengan pembangunan ekonomi yang mencukupi berakibat pada berkurangnya dukungan dan tingginya tuntutan warganegara.

Pelembagaan politik adalah proses dengan mana tuntutan maupun dukungan warganegara atas sistem politik disalurkan melalui lembaga-lembaga yang otoritatif. Pelembagaan politik menghindari chaos. Dalam Demokrasi Liberal, saluran yang dimaksud tersebut adalah parlemen, pemilu, partai politik, ataupun kelompok-kelompok kepentingan. Lembaga-lembaga inilah yang kemudian mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan untuk diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan negara. Tanpa pelembagaan politik yang cukup, sistem politik akan mengalami kondisi anarkisme sosial (masing-masing membuat peraturan sendiri tanpa ada kesepakatan antarpihak).

Ketiga unsur stabilitas sistem politik (pembangunan ekonomi, pelembagaan politik, dan partisipasi politik), merupakan faktor yang harus dipelihara perimbangannya oleh sistem politik. Jika pembangunan ekonomi rendah, pelembagaan politik rendah, tetapi partisipasi politik tinggi, maka berakibat pada tumbangnya sistem politik. Ini terjadi di Indonesia menjelang 1998, dalam mana tingkat partisipasi politik (demonstrasi) sangat tinggi, pembangunan ekonomi rendah (langka dan mahalnya kebutuhan pokok), sementara pelembagaan politik di tingkat DPR dan Pemerintah tersendat. Akibatnya adalah implosi politik, suatu kondisi di mana rakyat berhadapan secara berseberangan dengan pemerintah.

---------------------------
Referensi

  1. Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Colorado: Westview Press, 1981) p.167-8.
  2. Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies, (New Haven: Yale University Press, 1968)
  3. Stanley Renshon, Political Socialization, dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encylopedia …, op.cit., p.443-66.
  4. Skema sosialisasi politik diambil dari Seta Basri, Pengantar Ilmu Politik (Yogyakarta: Indie Book Corner, 2011) h.1.
  5. Edward S. Greenberg, Consensus and Dissent: Trends in Political Socialization Research dalam Edward S. Greenberg, ed., Political Socialization (New Jersey: Transaction Publishers, 2009) p. 3.
  6. Ibid., p.6.
  7. Greg Barton, Biografi Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta : LkiS, 2001).
  8. Jim Sidanius, Bo Ekehammar, and Rose M. Brewer, The Political Socialization Determinants of Higher Order Sociopolitical Space: A Swedish Example (The Journal of Social Psychology, 126(I) pp. 7 – 22.
  9. Seta Basri, Motif Keterlibatan Mahasiswa ke dalam Pijar Indonesia Periode 1990 – 1996, Tesis Master (Jakarta: Pascasarjana Ilmu Politik, 2004) h. 169.
  10. Ibid., h. 171.
  11. Ibid., h. 172.
  12. Badan Standar Nasional Pendidikan, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: BSNP, 2006) h. 110-115.
  13. M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS (Yogyakarta: LKiS, 2008) h. 239. 
 tags:
pengertian sistem politik fungsi sosialisasi politik pengertian politik agen sosialisasi politik konsep stabilitas politik teknik sosialisasi politik

No comments:

Post a Comment