Latest News

Saturday, April 14, 2012

Pengaruh Lingkungan Internal atau Domestik terhadap Sistem Politik Indonesia

Pengaruh lingkungan internal, domestik, atau dalam bahasa David Easton lingkungan intrasocietal tidak dapat dilepaskan dalam kajian sistem politik. Melalui teori sistem politik David Easton, dapat dipahami bahwa sistem politik suatu negara tidak steril dari pengaruh dari lingkungan. Lingkungan tersebut dapat dikategori menjadi lingkungan intrasocietal dan extrasocietal. Lingkungan intrasocietal merupakan bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Sementara itu, lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik serta di luar masyarakat tempat sistem politik berada.

Lingkungan intrasocietal tidak harus murni bersifat politik akan tetapi memiliki pengaruh sedemikian rupa sehingga memaksa sistem politik menyesuaikan bahkan mengubah dirinya. David Easton membagi lingkungan intrasocietal menjadi sistem ekologi, sistem biologis, sistem psikologi, dan sistem sosial.

Sistem Ekologi Indonesia

Sistem ekologi adalah sistem yang bersifat fisik dan nonmanusia, yang mempengaruhi alur kerja sistem politik. Misal dari sistem ekologi adalah kondisi geografis, sebaran wilayah daerah, juga iklim. Carlton Clymer Rodee, et.al. memaparkan serangkaian data yang dikelompokkan ke dalam variabel-variabel luas wilayah, jumlah penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara. 


Apa yang dipaparkan tabel di atas adalah, rata-rata negara dengan luas wilayah di atas 1 juta kilometer persegi mengambil bentuk negara federasi sementara yang di bawah luas tersebut mengambil bentuk negara kesatuan. Telah diketahui bahwa problem utama dari memerintah negara adalah aspek penetrasi kebijakan. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dapat efektif dilaksanakan di level wilayah dan warganegara.

Terlalu luasnya wilayah negara berakibat pada sulit dan mahalnya biaya penyelenggaraan negara pada sisi pemerintah misalnya untuk membayar birokrat, sementara warganegara kerap menuntut pelayanan dan hasil yang maksimal. Atas dasar asumsi demikian, banyak negara dengan luas wilayah besar memecah konsentrasi ke tingkat wilayah-wilayah. Ini dimaksudkan agar tercapai penyelesaian segera atas setiap problem yang muncul guna ditangani langsung oleh elemen pemerintah yang didelegasikan untuk itu (pemerintah negara bagian). Juga telah diketahui bersama bahwa bentuk negara federasi memberi kewenangan yang cukup besar bagi negara bagian di luar bidang hubungan luar negeri, kemiliteran, dan mata uang.

Hal menarik adalah Swiss. Dengan luas 41.400 kilometer persegi serta jumlah penduduk sekitar 6.977.000 ternyata ia mengambil bentuk negara federal. Menurut Rodee et.al hal ini diakibatkan oleh kondisi geografis Swiss yang terletak di pegunungan Alpen. Jadi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dipisahkan oleh kondisi khas pegunungan yang bergelombang dan sulit dijangkau dengan transportasi konvensional. Ini mungkin yang menyebabkan keputusan rakyat Swiss untuk memilih bentuk negara federal.

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sistem ekologi Indonesia ditandai dengan lebih luasnya lautan ketimbang daratan. Dengan jumlah pulau 17.504, luas daratan 1.910.931,32 km2, serta luas laut (untuk tiga kategori) sebesar 3.544.743,9 km2 Indonesia mengambil bentuk negara kesatuan. Ini tentu tidak konsisten dengan data seperti ditunjukkan pada tabel bahwa semakin luas wilayah maka pilihan bentuk negara federasi yang diambil.

Pilihan bentuk negara federasi dan kesatuan sudah ada sejak awal berdirinya negara ini dan sifatnya lebih politis ketimbang obyektif. Perbedaan ini direpresentasikan oleh pendirian founding fathers seperti Sukarno dan Hatta. Hatta berpendirian bahwa dengan luas wilayah yang sangat besar, Indonesia lebih cocok mengambil bentuk Federasi. Alasannya, bentuk negara federal akan menciptakan kondisi yang efektif dan responsif akan dinamika yang muncul dari tiap daerah. Sukarno punya berpendapat lain, yaitu bahwa Indonesia yang baru merdeka masih rentan akan infiltrasi asing yang hendak kembali menjajah Indonesia. Jika pilihan bentuk negara federasi yang diambil, maka akan memudahkan infiltrasi asing masuk oleh sebab daerah diberi kewenangan yang sangat besar untuk menentukan arah kebijakannya. Sebab itu, Sukarno menganggap bentuk kesatuan adalah yang paling tepat karena pemerintah pusat memiliki kewenangan yang besar untuk mempenetrasikan kebijakan-kebijakannya.

Indonesia awalnya terdiri atas komunitas-komunitas politik. Sebelum era eksploitasi bangsa Barat atas wilayahnya, di sekujur kepulauan nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan (atau kesultanan-kesultanan setelah masuk dan mapannya Islam). Masing-masing komunitas politik dihubungkan lewat aktivitas perdagangan dengan jalur-jalur besar Malaka – Pasai – Palembang – Banten – Sunda Kelapa – Banjar – Makassar – Ternate – Tidore. Adanya aktivitas inilah yang membuat Gajah Mada dapat mengucapkan sumpah palapa-nya untuk mempersatukan nusantara. Tatkala Gajah Mada mampu menciptakan negara atas sejumlah wilayah jalur dagang tersebut diatas, kekuasaan Majapahit pun sesungguhnya tidaklah absolut melainkan lebih kepada bentuk federasi Majapahit. Majapahit tidak mampu untuk langsung memerintah warga di masing-masing kerajaan yang masuk ke federasi tersebut sehingga mereka menyikapi wilayah-wilayah taklukan sebagai sepenuhnya berotonomi luas dengan kewajiban membayar fee kepada Majapahit.

Demikian pula ketika Belanda secara berangsur menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya pernah dirambah Majapahit (terakhir Aceh tahun 1905). Kekuasaan Belanda tidaklah absolut (kesatuan) melainkan berbeda-beda di tiap wilayah: Paling kuat di Jawa serta lemah di pulau-pulau luar Jawa, bahkan relatif totaliter di negara-negara yang kini masuk ke dalam wilayah Indonesia bagian timur.

Saat ini Indonesia memiliki luas daratan 1.910.931,32 km2 yang tersebar di pulau-pulau besar Sumatera seluas 480.793,28 km2, Sulawesi seluas 188.522,36 km2, Maluku-Papua seluas 494.956,85 km2, Kalimantan seluas 544.150,07 km2, Jawa seluas 129,438,28 km2, dan Bali-NTB-NTT dengan total seluas 73.070.48 km2. Sementara itu, luas laut Indonesia bahkan jauh lebih besar lagi di mana luas Laut Teritorial 284.210,90 km2, Zona Ekonomi Eksklusif 2.981.211,00 km2, dan Laut 12 mil-nya 279.322 km2. Dengan demikian luas laut Indonesia meliputi 1,86 kali lipat luas daratannya.

Di pulau Kalimantan, provinsi-provinsi Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia dengan garis sepanjang 2.004 kilometer. Di pulau Papua, Indonesia berbatasan langsung dengan Papua Nugini dengan garis sepanjang 820 kilometer. Di Nusa Tenggara Timur, Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan Timor Leste dengan garis sepanjang 269 kilometer. Total garis batas darat Indonesia dengan negara lain adalah 3093 kilometer. Dengan garis batas sepanjang ini, perlu pemikiran yang lebih matang bagi Indonesia dalam mewaspadai infiltrasi intelijen asing serta pelanggaran patok wilayah atau lebih tepatnya: Pertahanan negara.

Di masa Orde Baru, Indonesia memiliki 27 provinsi (termasuk Timor Timur). Pasca transisi politik, Timor Timur keluar sehingga provinsi Indonesia tinggal 26. Demokratisasi politik membuat daerah tidak lagi ragu untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk jumlah provinsi Indonesia segera bertambah dari 26 pada 1999 menjadi 30 buah pada Juni 2002. Dari periode Juni 2002 hingga Juni 2011, jumlah provinsi Indonesia bertambah dari 30 menjadi 33 buah. Jumlah kabupaten Indonesia adalah 288 buah pada Juni 2002 sementara pada Juni 2011 telah berjumlah 399 buah. Kota di Indonesia tercatat 89 buah pada Juni 2002 meningkat jadi sejumlah 98 buah pada Juni 2011. Indonesia per Juni 2011 terdiri atas 6.747 kecamatan dan 78.198 desa.

Satu hal yang dapat dikatakan dari kecenderungan mekarnya jumlah provinsi, kabupaten kota, kecamatan, dan desa di Indonesia adalah lokasi geografis. Semakin luas suatu provinsi semakin sulit pula penetrasi kebijakan dari pemerintah provinsi. Dapat diambil contoh kasus berdirinya provinsi Papua Barat. Provinsi ini awalnya bernama Irian Jaya Barat yang pemekarannya termaktub dalam UU Nomor 45 tahun 1999. Namun, karena alasan politis terjadi penundaan bahkan Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 45 tahun 1999 kendati tetap mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat. Pada 24 Juli 2006 dilantik gubernur dan wakil gubernur Irian Jaya Barat dan pada tanggal 18 April 2007 berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat lewat PP No. 24 tahun 2007.

Dalam konteks sistem ekologi, menjadi wajar Papua Barat berkehendak untuk berdiri sendiri karena dinamika ekologinya yang cukup rumit. Awalnya, provinsi Irian Jaya (sebelum pemekaran) memiliki luas 416.060,32 km2 dengan total pengelolaan pulau sejumlah 2.543 pulau. Konsentrasi pengelolaan wilayah menjadi terpecah antara daratan (yang lebih luas) dengan banyaknya pulau di sebelah barat provinsi (berbatasan dengan propinsi Maluku). Selain itu, pusat pemerintahan provinsi Irian Jaya ada di Jayapura yang lokasinya jauh di sebelah timur. Dalam teori politik istana efek pemerintahan seperti pendar lampu minyak: Makin jauh dari lampu, makin suram cahaya yang diterima. Dalam konteks ekologi ini pula maka tuntutan warganegara di Irian Jaya Barat untuk mekar menjadi signifikan. Setelah mandiri sebagai pemerintahan daerah tingkat I, Papua Barat mengurus hanya 97.024,27 km2 wilayah daratan, tetapi sarat dengan pulau-pulau yang totalnya berjumlah 1945 pulau menengah dan kecil di barat pulau kepala burung itu.

Hal yang serupa pun terjadi pada provinsi Kepulauan Riau. Provinsi ini awalnya adalah bagian dari Provinsi Riau. Provinsi Riau mengemban tugas berat yaitu mengelola 95.225,38 km2 ditambah mengurus sebaran pulau-pulau menengah dan kecil yang totalnya 2547. Sama seperti kasus Papua Barat, konsentrasi pemerintah daerah menjadi pecah antara mengurus wilayah daratan yang luas dengan sebaran pulau yang ekstensif. Masyarakat Indonesia yang berdomisili di pulau-pulau Riau tentu saja kekurangan pendar cahaya lampu dari pusat pemerintah Riau di daratan Sumatera. Melalui Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 berdirilah provinsi Kepulauan Riau yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Provinsi ke-32 Republik Indonesia ini memiliki luas daratan hanya 8.201,74 km2 sementara jumlah pulaunya cukup fantastik: 2408 dengan 40% di antaranya bahkan belum memiliki nama. Kepulauan Riau ini posisinya sangat strategis dalam jalur dagang yaitu menjadi gerbang masuk ke Singapura lewat Kota Batam serta hasil gas alam yang sangat produktif di Kabupaten Natuna.

Sistem ekologi di Irian Jaya dan Riau memberi pengaruh pada tingginya tuntutan untuk swakelola daerah. Melalui negosiasi, perdebatan, dan demonstrasi, akhirnya pemerintah pusat mengabulkan swakelola wilayah tersebut melalui penerbitan regulasi-regulasi yang diperuntukkan untuk hal tersebut. Apa yang diputuskan pemerintah pusat dengan mengabulkan tuntutan adalah bentuk kemampuan responsif sistem politik. Selain itu, pemerintah pusat menanam saham atas kemampuan ekstraktif sumber daya di kedua wilayah di masa mendatang.

Perdebatan bentuk negara ini terus berlanjut hingga kini, kendati sudah bukan lagi perubahan konsep dari kesatuan menjadi federal. Meskipun bentuk negara yang dipilih Indonesia tetap kesatuan, tetapi memandang luasnya wilayah yang wajib dikelola pemerintah pusat, kini mulai ditegaskan bidang-bidang mana yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan – khususnya pasal 10 ayat 3 – tercapai kesepakatan bahwa pemerintah pusat hanya mengurusi bidang-bidang: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Bidang-bidang selain keenam yang ditentukan undang-undang diserahkan kepada daerah untuk mengurusnya, termasuk penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, pengembangan koperasi dan UKM, dan lain-lain.

Hal yang menarik adalah bahwa kini pemerintah daerah memiliki hak dalam konteks pemerintahan sebagai berikut, seperti termaktub di Pasal 21 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004: (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; (2) memilih pimpinan daerah; (3) mengelola aparatur daerah; (4) mengelola kekayaan daerah; (5) memungut pajak dan retribusi daerah; (6) mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; (7) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan (8) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Konsep federal atau kesatuan kini lebih bersifat politis ketimbang teknis-administratif dan bukan merupakan hal yang substansial. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, termasuk responsifnya pemerintah pusat di Jakarta dalam menangani tuntutan pemekaran wilayah akibat masalah ekologis, merupakan middle way yang lebih tepat sasaran. Konsepsi Hatta tentang federalisme mungkin terkesan agak revolusioner dan sensitif bagi pemerintah pusat kini kendati pendapatnya banyak menemui signifikansinya di lapangan.

Sistem Psikologi Indonesia

Sistem psikologi berkisar pada aspek internal dari individu-individu yang ada di suatu negara seperti kepercayaan, emosi, pengetahuan dan sejenisnya. Sistem psikologi merupakan unsur yang signifikansinya terlihat semakin kuat setelah dikenalnya pendekatan behavioralisme dalam ilmu politik. Pendekatan ini mengkaji pengaruh motif-motif individual psikologis atas perilaku politik. Sistem psikologi ini meliputi bagaimana nilai, perilaku, identitas sosial, emosi, dan pengetahuan akan politik mempengaruhi pandangan individu terhadap sistem politiknya.

Sistem psikologi ini kemudian dapat dijelaskan melalui teori psikologi politik. Psikologi ini banyak berguna dalam menganalisis kondisi politik di suatu negara seperti ekstrimisme, konflik suku, nasionalisme, dan sejenisnya. Misalnya, dalam menjelaskan konflik antara IRA (Irish Revolutionary Army – Tentara Revolusioner Irlandia) melawan Inggris di Irlandia Utara. Melalui kacamata psikologi politik konflik di Irlandia Utara (Belfast) antara orang Irlandia versus pemerintah Inggris dijelaskan sebagai konflik turunan sejak 1616 dan berpuncak pada 1920, antara kelompok masyarakat Inggris yang Protestan melawan masyarakat Irlandia yang Katolik. Martha Cottam, et.al menyebut akar konfliknya adalah identitas sosial. Masyarakat Irlandia Utara menganggap Inggris adalah bangsa imperialis Protestan yang menguasai tanah air mereka Irlandia yang Katolik.

Indonesia merupakan tumpukan komunitas-komunitas politik. Komunitas-komunitas politik ini dahulu pernah hidup secara mandiri sebelum Belanda melakukan penaklukan atas mereka satu demi satu. Di provinsi Maluku Utara saja, terdapat sekurangnya empat komunitas politik tradisional (kesultanan) yaitu Ternate, Jailolo, Bacan, dan Tidore. Di Sumatera, terdapat kesultanan-kesultanan Aceh (Samudera Pasai), Deli, Palembang, Serdang, Pelalawan, ataupun Siak Sri Indrapura. Di Jawa terdapat kesultanan-kesultanan Banten, Cirebon, Sumedang Larang, Surakarta Hadiningrat, Mangkunegaran (bukan keraton), Ngayogyakarta Hadiningrat, Pakualaman (bukan keraton), dan Sumenep (di pulau Madura). Di Kalimantan sekurangnya terdapat kesultanan-kesultanan seperti Pontianak, Sambas, Panembahan Mempawah, Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Gunung Tabur, Sambaliung, dan Bulungan. Di kepulauan Nusa Tenggara terdapat kesultanan Bima dan kerajaan Kupang. Di Sulawesi terdapat kesultanan Gowa, Bone, Luwu, dan Buton. Di Bali sekurangnya terdapat sembilan kerajaan eks Gelgel yaitu Buleleng, Gianyar, Bangli, Jembrana, Mengwi, Karangasem, Klungkung, Tabanan, dan Badung.

Indonesia mengarah ke depan sambil dibayangi oleh masa lalu. Identitas masing-masing komunitas politik (baik kesultanan maupun kerajaan) masih tetap ada hingga saat ini. Indonesia pasca transisi politik kini ditengarai munculnya fenomena revivalisme nativistik yaitu kebangkitan identitas-identitas budaya lokal (atau asli) yang bervariasi sesuai sejarah politik masing-masing wilayah. Kendati tidak melulu menuntut kemerdekaan politik dari Indonesia, sejumlah komunitas politik lokal menguat identitasnya tatkala terjadi momentum pemekaran wilayah dalam spirit otonomi daerah dan demokratisasi.

Sejumlah komunitas politik lokal seperti kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung, dalam konflik horisontal di Maluku Utara. Kuatnya komunitas politik lokal membuat pemerintah memberi kelonggaran kepada Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyusun qanun sendiri. Kuatnya identitas politik lokal ini pula yang membuat sebagian elemen masyarakat di Cirebon menuntut pembentukan provinsi Cirebon, yang cakupan wilayahnya adalah kabupaten-kabupaten Kuningan, Indramayu, Cirebon, dan Kota Cirebon kendati prosesnya belum selesai hingga buku ini disusun.

Sistem Sosial Indonesia

Sistem sosial meliputi sistem-sistem budaya, struktur sosial, ekonomi, dan demografis yang berkembang di suatu sistem politik. Sistem-sistem ini berasal dari lingkungan intrasocietal dan berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap suatu sistem politik.

Sistem budaya adalah contoh sistem yang secara terang-benderang berpengaruh terhadap sistem politik. Budaya, khususnya budaya politik, adalah bagaimana penduduk di suatu wilayah bersikap terhadap sistem politiknya, pemimpinnya, serta proses pemerintahan yang berjalan sehari-hari. Di Iran sebagai contoh, mengapa sistem pemerintahan wilayatul faqih terus bertahan sejak tahun 1979 menggantikan sistem pemerintahan Shah Reza Pahlevi (kerajaan)? Salah satu penjelasan yang dapat diberikan adalah karena Iran berpenduduk mayoritas Islam Syi’ah, yang berkeyakinan sebelum imam terakhir datang (al-Mahdi al-Muntazar), terdapat para faqih (ulama Syi’ah) yang memegang kekuasaan politik sementara. Otoritas faqih sedikit berada di bawah imam mereka. Hal ini masih ditambah tradisi politik tradisional Iran yang sejak dahulu bersistemkan dinasti (Safawi, atau sebelumnya negara adikuasa Persia), sehingga mampu mempertahankan otoritas politik yang top to bottom.

Masalah sistem ekonomi juga ditengarai merupakan lingkungan intrasocietal yang mempengaruhi sistem politik. Dapat kita ambilkan contoh, bagaimana pergeseran Inggris dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional dapat dijelaskan melalui pertumbuhan kaum pengusaha yang membutuhkan perlindungan hak atas milik mereka dari kaum bangsawan. Kaum pengusaha ini tumbuh melalui apa yang dikenal sebagai Merchant Capitalisme (kapitalisme pedagang). Melalui Glorious Revolution tahun 1688, raja Inggris dibatasi kekuasaannya dan kaum pengusaha masuk ke dalam parlemen yang dimanifestasikan dalam House of Common.

Dalam masalah struktur sosial, sebuah kajian klasik dari Charles Wright Mills mengenai power elite di Amerika Serikat cukup menarik Bagi Mills proses pengambilan keputusan level pusat Amerika Serikat sesungguhnya ditentukan oleh power elite yang digambarkannya sebagai berikut (kutipannya agak panjang):

The power elite is composed of men whose positions enable them to transcend the ordinary environments of ordinary men and women; they are in positions to make decisions having major consequences. Whether they do or do not make such decisions is less important than the fact that they do occupy such pivotal positions. Their failure to act, their failure to make decisions, is itself an act that is often of greater consequence that the decisions they to make. For they are in command of the major hierarchies and organizations of modern society. They rule the big corporations. They run the machinery of the state and claims its prerogatives. They direct the military establishment. They occupy the strategic command posts of the social structure, in which are anow centered the effective means of the power and the wealth and the celebrity which they enjoy.

Masyarakat (juga sistem politik) Amerika Serikat menurut Mills dikendalikan oleh power elite yaitu orang-orang yang berposisi sebagai: (1) pimpinan puncak korporasi-korporasi besar; (2) elit militer yang sekaligus merupakan pejabat-pejabat senior negara yang mampu mengendalikan tentara nasional; dan (3) sejumlah kecil elit politik termasuk presiden serta pejabat-pejabat puncak eksekutif dan parlemen yang menjalankan mesin birokrasi negara. Sistem politik Amerika Serikat sesungguhnya sangat dipengaruhi aktivitas dari tiga macam elit kekuasaan ini. Jalannya sistem politik Indonesia moderen juga dapat dianalisis melalui struktur piramidal Mills ini.

Sistem sosial Indonesia juga cukup rumit jika dilihat dalam konteks pluralitasnya. Dalam masalah etnisitas, Indonesia tidak dihuni oleh satu etnis tunggal melainkan lebih dari 101 etnis. Menurut sensus penduduk yang dilakukan tahun 2000, tujuh komposit etnis terbesar di Indonesia diduduki oleh Jawa yang meliputi 41% penduduk Indonesia, disusul berturut-turut oleh Sunda (15,41%), Melayu (3,45%), Madura (3,37%), Batak (3,02%), Minangkabau (2,72%), dan Betawi (2,51%). Besarnya komposit etnis Jawa mempengaruhi pola rekrutmen politik di Indonesia, di mana banyak pejabat di kalangan birokrasi negara (termasuk militer) maupun partai-partai politik terkomposisi atas etnis ini. Tentu saja realitas ini bukan suatu kesengajaan dari sikap etnosentris melainkan sekadar kebetulan alamiah.

Dari sisi agama, Islam adalah agama mayoritas di hampir seluruh provinsi Indonesia kecuali Maluku, Sulawesi Utara, Papua Barat, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Besarnya penganut Islam membuat sistem politik harus melakukan perimbangan atas aspirasi kalangan Muslim. Pembentukan Pengadilan Agama merupakan akomodasi negara atas ajaran Islam, di mana pemutusan perceraian, waris, pengurusan anak yang melibatkan penganut Islam diselesaikan melalui lembaga yudikatif ini.

Masalah agama ini juga berkelindan dengan sistem ekonomi yang mempengaruhi keputusan-keputusan politik pemerintah. Misalnya, syariat agama Islam salah satunya mengatur masalah ekonomi dan diterjemahkan ke dalam konsep ekonomi syariah. Sementara pemerintah terlebih dahulu telah menggencarkan ekonomi konvensional. Terjadi tension di mana ekonomi konvensional masih berlaku secara internasional sementara ekonomi syariah tengah berkembang. Setelah melalui serangkaian proses, perbankan syariah sebagai salah satu manifestasi ekonomi syariah segera memiliki undang-undang yang mengatur. Bahkan bank-bank pemerintah pun semakin banyak yang mengadaptasi jenis perbankan Islam ini sehingga regulasi-regulasi baru perlu untuk diproduksi oleh sistem politik. Tidak pula dapat diperdebatkan pengaruh masalah ekonomi bagi sebuah sistem politik. Krisis moneter tahun 1997 di Indonesia membuat harga barang melambung, kesulitan hidup merebak, dan kepercayaan rakyat kepada pemerintah menipis. Muncul demonstrasi besar-besaran menuntut perubahan kekuasaan dan pengakhiran pemerintahan Suharto. Banyak dipercaya orang, krisis ekonomi inilah yang membuat reformasi 1998 di Indonesia terjadi.

Secara demografis, khususnya kuantitasnya, pengaruh sistem sosial nyata terhadap sistem politik terutama dalam rekrutmen pejabat publik. Anggota parlemen di DPR-RI tentu paling banyak yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur karena secara proporsi penduduk, Jawa Barat berpenduduk 43.053.700 jiwa, Jawa Tengah berpenduduk 32.382.600 jiwa dan Jawa Timur berpenduduk 37.476.800 jiwa. Potensi tingkat persaingan antar partai politik pun relatif lebih tinggi di provinsi-provinsi ini ketimbang provinsi lainnya. Kepadatan moral (moral density) di ketiga provinsi ini salah satunya diakibatkan proses industrialisasi dan perdagangan yang semakin pesat sehingga variasi profesi pun semakin beragam. Masalah-masalah wilayah urban seperti ketimpangan sosial, kriminalitas, hubungan perburuhan, kerusakan lingkungan, sampah, merupakan beberapa di antara raw material yang siap dimasukkan sebagai tuntutan dari sisi input sistem politik Indonesia. Beberapa konflik yang pernah terjadi di Indonesia pasca transisi seperti di Poso, Sampit, Maluku dan Maluku Utara di antaranya akibat masalah demografis. Di masing-masing wilayah pola perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain, dengan keuntungan ekonomi relatifnya menciptakan tension dengan kalangan penduduk asli. Pola ini terlihat konsisten di Sampit di mana konflik terjadi antara etnis Madura, Dayak, dan Melayu.

Di Poso, konflik yang dipicu masalah keuntungan ekonomi relatif kaum pendatang berkelindan dengan masalah anutan agama sehingga membuat konflik bertambah parah. Pola yang sama terjadi di Maluku (khususnya di Ambon). Sementara pola sedikit berbeda terjadi di Maluku Utara, di mana konflik akibat perpindahan penduduk dari luar Halmahera berkelindan tidak hanya dengan masalah agama melainkan pula persaikan antar komunitas politik lokal (pewaris kesultanan Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan) yang dapat dipelajari dalam konflik akibat pembentukan Kecamatan Malifut yang melingkupi wilayah penambangan emas oleh sebuah perusahaan Australia, New Crest Mining.

Variasi perbedaan struktur sosial ini paling mudah dilihat pada komposisi partai politik pasca pemilu 2009. Partai politik mencerminkan bifurkasi (pembelahan) masyarakat. Misalnya, kalangan Islam yang berorientasi modernis-nasionalis umumnya mewujud ke dalam partai seperti PAN, tradisionalis-nasionalis ke dalam PKB, yang modernis-transnasionalis masuk ke dalam PKS, sementara yang modernis-konservatif mewujud ke dalam PPP. Kalangan nasionalis-populis terkonsentrasi ke dalam PDIP dan Gerindra, sementara kalangan nasionalis-borjuis umumnya diwakili melalui partai-partai seperti Golkar, Demokrat, dan Hanura. Hal-hal ini mengindikasikan bahwa pembelahan masyarakat menurut garis struktur sosial menciptakan efek simetris terhadap pola perilaku aktor-aktor di dalam sistem politik.

Sistem Biologi Indonesia

David Easton menyatakan bahwa sistem biologis memiliki derajat pengaruh yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam proses politik. Ia merujuk pada pendapat psikoanalis Sigmund Freud bahwa di dalam diri manusia terkandung unsur id, suatu unsur yang agresif. Unsur-unsur ini harus diperhatikan di dalam mengkaji pengaruh sistem biologi terhadap sistem politik.

Dalam perkembangannya, bidang yang mempelajari pengaruh biologi atas politik ini diakui secara resmi oleh International Political Science Association yang membentuk suatu komite bernama Research Committee #12 yang tugasnya memberi nama bidang ini pada tahun 1973. Ditemukanlah nama disiplin ilmu politik baru: Biopolitik, dan setelah melalui perdebatan panjang, tahun 1980 didirikan Association for Politics and the Life Sciences dan jurnal pertama mereka – Politics and Life Sciences – terbit tahun 1982.

Biopolitik menentang tiga asumsi yang menjadi standar dalam ilmu sosial (termasuk politik) yaitu: (1) Bahwa manusia tidak punya kecenderungan perilaku bawaan; (2) Bahwa sifat manusia murni dihasilkan oleh proses sosialisasi dan pembelajaran atau nurture; dan (3) Bahwa sifat manusia pada dasarnya dapat dibentuk. Guna menentang ketiga asumsi ini, biopolitik menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan primata sebagai konsekuensi logis proses evolusi mereka menjadi homo sapiens. Sifat manusia adalah given dan serupa dengan sifat-sifat primata kelas tinggi lainnya. Oleh sebab itu aturan-aturan sosial justru dibuat untuk membatasi atau bahkan menghilangkan sifat-sifat bawaan ini. Biopolitik juga menyatakan sifat dasar manusia adalah sulit – kalau bukan tidak mungkin – dibentuk, serupa dengan upaya mengubah tutul di kulit seekor macan tutul tutur Albert Somit.

Somit menulis bahwa terdapat kecenderungan serupa antara perilaku politik manusia dengan kelompok primata terdekat manusia (simpanse, gorilla, orang utan), yaitu pola-pola adanya struktur sosial hirarkis yang ditandai adanya dominasi atas dan penyerahan oleh bawah (submission), pencarian status, agresi, egoisme, penolakan selibat, komitmen monogami yang tidak tegas, xenophobia, etnosentrisme, dan favoritisme-nepotistik. Salah satu studi ringkas tetapi kaya akan fakta yang mengkorelasikan pola hidup primata dengan perilaku politik manusia dilakukan Johan M.G. van der Dennen di dalam tulisannya The Biopolitics of Primates.

Dennen melihat pola-pola kehidupan kelompok kera besar tidak jauh berbeda dengan perilaku politik real di mana terjadi stratifikasi sosial, mekanisme dominasi-submisi, perjuangan abadi merebut kekuasaan, upaya pemeliharaan status quo, upaya penghancuran status quo, inherennya konflik kepentingan antarindividu bahkan di dalam unit-unit organis yang sepatutnya bekerja sama. Kajian khusus Dennen di tulisan tersebut dilakukan dalam mengamati hubungan antar kelompok-kelompok kera besar yang sifatnya kompetitif.

Biopolitik mengasumsikan bahwa perilaku-perilaku primata ini pun terdapat dalam pola perilaku politik manusia sehingga perilaku politik manusia – dari sisi evolutif - serupa dengan kelompok-kelompok primata kelas tinggi harus dianggap warisan genetik yang berasal dari tahap evolusi pra homo sapiens dan ternyata masih berlaku di tahap homo sapies. Konsekuensi logis dari adanya warisan genetis ini mendorong para pendukung biopolitik menyatakan nature lebih menentukan perilaku politik ketimbang nurture. Kendati demikian, kalangan biopolitik tetap positif memandang nurture sebagai upaya pembatasan atas unsur-unsur nature kelompok manusia sebagai beban yang tidak bisa ditanggalkan selama proses evolusi.

Pengaruh biologi atas perilaku politik ini juga terlihat dalam kajian yang dilakukan John R. Alford dari Rice University, Carolyn L. Funk dari Virginia Commonwealth University dan John R. Hibbing dari University of Nebraska-Lincoln. Dalam tulisan mereka di jurnal Perspectives in Politics berjudul Beyond Liberals and Conservatives to Political Genotypes and Phenotypes mereka menyimpulkan bahwa ” ... what we claim is that genes are important to political thought and behavior.” Hasil studi mereka memperlihatkan pandangan politik individu (liberal ataupun konservatif) ternyata merupakan warisan genetik dari orang tua mereka: Individu liberal berasal dari orang tua yang berkecederungan liberal, individu konservatif berasal dari orang tua yang cenderung konservatif.

Salah satu bukti kuatnya human nature dalam perilaku politik adalah gagalnya undang-undang pelarangan minuman keras di Amerika Serikat, gagalnya undang-undang yang coba menghilangkan prostitusi, serta gagalnya lembaga-lembaga yang coba menjamin perilaku politik yang bermartabat. Di Amerika Serikat terjadi segregasi kulit putih dengan kulit hitam sejak negara tersebut berdiri hingga 1964. Segregasi tersebut bahkan dipayungi oleh undang-undang mereka.

Biopolitik juga memandang proses politik lebih sebagai mekanisme tradeoff bukan solutif. Artinya, dalam setiap proses politik, aktor politik membuat kesepakatan-kesepakatan ataupun melaksanakan undang-undang lebih didorong oleh motif apa yang akan kami peroleh dan apa yang akan hilang dari kekuasaan kami ketimbang benar-benar jujur mencari solusi atas masalah. Egoisme, naluri untuk berkuasa, naluri mendominasi, pengambilan keuntungan di saat-saat sulit, mekanisme koalisi-aliansi, merupakan pola-pola yang juga ditemukan dalam kehidupan kelompok primata yang ditemui persis pada kelompok-kelompok manusia. Stabilitas, menurut kalangan biopolitik, hanya akan terjadi jika sebagian kelompok bersedia menjalani submission atau penyerahan kepada dominasi pihak lain. Selama submission tidak ada, maka tidak akan ada pula stabilitas politik karena naluri dasar manusia dan kelompok manusia adalah agresif, bersaing, dan selalu ingin mendominasi.

Di Indonesia, contoh yang paling sederhana adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam perspektif biopolitik, KPK adalah representasi dari kehidupan sosial yang mencoba membentuk perilaku manusia. Tentu saja, raison d’etre KPK adalah mulia dan eksistensinya sangat ideal di republik yang sudah cenderung kleptokrasi ini. Namun, KPK sebagai wakil nurture berhadapan dengan lawan berat yaitu nature. Mirip dengan komisi pemberantas korupsi yang pernah dibentuk tahun 1971 dengan Moh. Hatta (proklamator) sebagai ketuanya, KPK mengalami serangan-serangan agresif yang secara umum populer disebut skenario pelemahan KPK. Bibit S. Rianto dan Nurlis E. Meuko menulis:
Dijadikannya tersangka kedua pemimpin KPK (Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah) merupakan titik kulminasi pelemahan KPK, di mana komunitas politik, komunitas ekonomi, dan komunitas hukum (yang hitam) sudah gerah menghadapi gerakan KPK pasca penonaktifan Antasari Azhar. Dengan berbagai dalih, mulai dari penyadapan, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, pemerasan, Polri dan Kejaksaan secara terang-terangan mencoba menjerat pemimpin KPK untuk dijadikan tersangka dan terdakwa.
Biopolitik tentu saja memandang wajar – tapi bukan berarti mereka setuju – adanya upaya pelemahan atas KPK. Organisasi ini membuat mekanisme pembuatan kekuasaan lumrah yang tradeoff menjadi terganggu. Pengambilan keuntungan-keuntungan berdasarkan wilayah kekuasaan menjadi tidak otonom, dan hasilnya KPK harus dijinakkan. Penjinakkan merupakan upaya kalangan politisi, birokrasi, bahkan yudikasi untuk mengamankan wilayah eksistensialnya mirip dengan gorila-gorila jantan berpunggung perak menyerang gorila-gorila jantan dewasa-muda yang coba memasuki wilayah kelompoknya. Dalam perspektif biopolitik, serangan atas KPK adalah wajar dan merupakan nature perilaku sosial hasil warisan proses evolusi.

Kasus yang secara jelas memperlihatkan dimensi biopolitik adalah lolosnya peraturan Electoral Threshold (ET) 2,5% pada pemilu 2009. Partai-partai besar begitu saja meloloskan nominal ET ini karena mereka memastikan apa yang diperoleh dari peraturan tersebut, dan tidak ada kehilangan apapun sebagai akibatnya. Perjuangan anti ET tentu akan dilakukan partai-partai yang berpotensi kecil jumlah suaranya. Di sisi lain, ET juga dimaksudkan sebagai human nurture yaitu mengurangi chaos konsensus di tingkatan parlemen. Pemberlakuan ET yang sifatnya formal tidak lantas menjamin partai-partai politik gurem melakukan aktivitas anti status quo melalui gerakan-gerakan sosial: Pengancuran status quo adalah inheren dalam komunitas-komunitas politik manusia layaknya dalam komunitas-komunitas primata kelas tinggi yang diamati dan dianalogikan para penganut pendekatan biopolitik.

Perilaku yang juga khas dimensi biopolitiknya adalah pemekaran wilayah. Tuntutan pemekaran wilayah adalah reaksi atas agresi otoritas politik asing atas suatu wilayah. Keputusan pemerintah memindahkan etnis Makian dari pulau Makian akibat aktivitas gunung berapi ke wilayah suku Obi dipandang suku terakhir sebagai bentuk agresi. Terlebih, keputusan pemerintah membentuk kecamatan Malifut adalah legalisasi agresi atas mereka yang dilakukan oleh dua kekuatan yaitu pemerintah pusat dan sisa-sisa kesultanan Tidore yang beraliansi dengan kaum pendatang. Terdapatnya tambang emas dan nuansa agama dalam konflik adalah faktor yang mempercepat eskalasi konflik ketimbang penyebab utamanya: Agresi atas wilayah serta indikasi munculnya xenophobia.

Sebagai penguasa wilayah politik Indonesia, pucuk pimpinan Orde Baru merasa ditantang oleh sejumlah Jenderal Angkatan Darat dari kelompok merah putih di masa senja kekuasaan Soeharto akhir 1980 dan 1990-an. Tantangan dari sejumlah jenderal salah satunya akibat keserakahan unsur nepotis dari Soeharto yang secara sengaja menguasai perusahaan dan lahan bisnis yang merupakan jalur kekaryaan para jenderal pasca pensiun. Atas agresi tersebut, para jenderal merah putih menyerang dengan menarik dukungan secara perlahan dan pasti atas Soeharto. Soeharto lalu balik menyerang dengan membersihkan posisi klasik yang biasanya ditempati para kelompok merah putih dan menggantinya dengan aliansi barunya: Islam modernis dan para jenderal hijau. Perilaku kompetisi kekuasaan antarkelompok ini mempengaruhi pola rekrutmen pejabat daerah di Poso dan Ambon di mana kekuasaan konservatif dipaksa hengkang dari kekuasaan dan digantikan dengan aliansi-aliansi baru Soeharto. Konflik di Maluku dan Poso tidak akan lengkap tanpa analisis koalisi-aliansi politik tingkat pusat a la perspektif biopolitik ini.

Singkatnya, dimensi biologis dan pengaruhnya atas sistem politik signifikan untuk ditelusuri pengaruhnya atas kinerja sistem politik Indonesia. Somit and Peterson juga menyatakan, ... for much of humankind, there is often a regretable gap between the morality their culture preaches and what individuals actually practice ... whether culturally ignored, encouraged, deplored, or even banned, theses biologically based proclivity play a significant role in shaping how we behave, individually and collectively. Quo vadis?

-------------------------------------------------------------
Referensi
  1. Data diolah dari tabel-tabel yang ada di Carlton Clymer Rodee, et.al., Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
  2. Tentu saja terdapat pengecualian. Indonesia, Bolivia dan Mesir meskipun memiliki luas negara di atas 1 juta kilometer persegi ternyata memilih bentuk negara kesatuan. Selain itu Swiss yang walaupun luas negaranya kecil tetapi memilih bentuk federasi. Ini merupakan hal menarik yang akan dianalisis kemudian.
  3. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia (Jakarta: BPS, Agustus 2011) h. 3.
  4. Ibid., h. 5.
  5. Ibid., h. 6.
  6. UU No. 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
  7. papuabaratprov.go.id
  8. Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
  9. kepriprov.go.id
  10. Cukup banyak kalangan di Indonesia melancarkan statement Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati.
  11. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
  12. artha Cottam, et.al., Introduction to Political Psychology, (New York : Lawrence Erlbaum Associates, 2004) p.1-11.
  13. Ibid., p.198-200.
  14. fkn.kutaikartanegara.com
  15. Pengaruh sistem sosial dalam konteks Indonesia umumnya menggunakan konsepsi plural society atau masyarakat majemuk. Kemajemukan suatu masyarakat dapat dilihat melalui dua kategori. Pertama, kemajemukan sosial yang indikator-indikatornya adalah ras, etnis, suku, kultur, nilai, kebiasaan, bahasa, agama, kasta, dan wilayah. Kedua, kemajemukan sosial yang indikator-indikatornya adalah kelas, status, lembaga, dan power. Lihat Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1981) p. 8.
  16. C. Wright Mills, The Power Elite dalam Susan J. Fergusson and Sandra J. Fergusson, eds., Mapping the Social Landscape: Readings in Sociology, Second Edition (California: Mayfield Publishing Company, 1999) p.416.
  17. Leo Suryadinata, et.al., Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003) p.7
  18. Colin Brown menyebut, penyebab krisis Indonesia 1997-1998 adalah : (1) Nilai tukar mata uang Indonesia terhadap dollar rendah, suku bunga tinggi; (2) Daya saing ekspor Indonesia di tingkat dunia rendah; (3) Investasi asing di Indonesia dekade 1990-an berada di bidang spekulatif seperti bursa saham, dan bukan produktif yang bersifat nyata; (4) Terlalu banyak bank yang berdiri tapi punya kemampuan membayar yang rendah; (5) Pengalokasian bantuan IMF yang tidak tepat; (6) Ketergantungan pada Jepang dan Korea Selatan sebagai negara pasar, yang ternyata juga terkena krisis sehingga memotong impor dari Indonesia; (7) Maraknya bencana alam seperti kebakaran, kemarau panjang, dan sejenisnya; (8) Isu perubahan kepemimpinan nasional. Lihat Colin Brown, A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales: Allen & Unwin, 2003) p.226-8.
  19. Data adalah jumlah penduduk per tahun 2010. Lihat Badan Pusat Statistik, Perkembangan ..., op.cit., h. 12.
  20. David Easton, Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 108.
  21. Albert Somit and Steven A. Peterson, From Human Nature to Public Policy: Evolutionary Theory Challenges the ‘Standard Model’ dalam Albert Somit and Steven A. Peterson, Human Nature and Public Policy: An Evolutionary Approach (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2003) p. 4.
  22. Albert Somit, Biology and Political Science dalam George Thomas Kurian, eds. et.al., The Encyclopedia of Political Science (Washington: CQ Press, 2011) p.138-9.
  23. Albert Somit and Steven A. Peterson, From ..., op.cit. p. 6.
  24. Johan M.G. van der Dennen, The Biopolitics of Primates dalam Steven A. Peterson and Albert Somit eds., Biology and Politics: The Cutting Edge (Bingley: Emerald Group Publishing Limited, 2011). pp. 53-96.
  25. Ibid.
  26. John R. Alford, Carolyn L. Funk, and John R. Hibbing, Beyond Liberals and Conservatives to Political Genotypes and Phenotypes dalam Perspectives in Politics, Vol. 6/No.2 June 2008, p. 325-326. Lihat juga John R. Alford and John R. Hibbing, Getting From Genes to Politics: The Connecting Role of Emotion-Reading Capability, Annual Meeting of the International Society for Political Psychology, Portland, OR, July 2007.
  27. ibit Samad Rianto dan Nurlis E. Meuko, Koruptor Go to Hell! Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia (Jakarta: Hikmah, 2009) h. 24. 
tags:
pengertian sistem politik indonesia lingkungan dalam sistem politik indonesia sistem psikologi rezim indonesia pengaruh lingkungan atas politik

No comments:

Post a Comment