Latest News

Friday, April 20, 2012

Pengertian Budaya Massa dan Contoh-contoh Gejala Budaya Massa di Indonesia

Pengertian budaya massa dan contoh-contoh gejala budaya massa di Indonesia ini terlebih dahulu akan didekati secara teoritik. Apa itu budaya massa? Secara sederhana budaya massa (mass culture) serupa dengan budaya popular dalam basis penggunanya: Masyarakat kebanyakan. Namun, berbeda dengan budaya popular yang tumbuh dari masyarakat sendiri dan digunakan tanpa niatan profit, budaya massa diproduksi lewat teknik-teknik produksi massal industri. Budaya tersebut dipasarkan kepada massa (konsumen) secara komersial. Budaya ini kemudian dikenal pula sebagai budaya komersial yang menyingkirkan budaya-budaya lain yang tidak mampu mencetak uang seperti budaya elit (high culture), budaya rakyat (folk culture) dan budaya popular (popular culture) yang dianggap ketinggalan zaman. Jika budaya elit (high culture), folk culture, dan budaya popular tidak mampu mencetak uang, untuk apa ia dikembangkan dan dipelihara? Demikian retorika kasar para produsen mass culture.

Produsen budaya massa melihat para penerima budaya sebagai pasif, lembek, mudah dimanipulasi, mudah dieksploitasi, dan sentimentil. Bertindak selaku agen dari budaya massa ini media massa. Televisi, radio, majalah, surat kabar, dan internet menempati posisi penting selaku agen budaya. Sementara produsen dari budaya massa adalah para pemilik pabrik barang (pakaian, kosmetika, kendaraan) dan jasa (konsultan marketing, event organizer, manajer artis). 

Partner utama mass culture adalah mass media. Kemampuan mass media menjangkau khalayak (audiens potensial) secara luas, membuat mass culture sangat mudah dipasarkan. Mass media di masa kini emoh menayangkan high culture, folk culture atau popular culture karena dianggap sudah kurang diminati dan memiliki daya jual yang rendah. Lihatlah konten acara televisi Indonesia lalu hitung berapa banyak yang menampilkan budaya-budaya lokal atau daerah secara periodik. 

Hal yang menarik untuk terus ditelusuri adalah bagaimana manifestasi budaya massa dalam keseharian masyarakat Indonesia kini. Diyakini bahwa budaya massa ini telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa yang mengalami persentuhan dengan teknologi informasi dan pusat perputaran barang dan jasa. 

Shopping Mall 

Shopping mall disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai manifestasi budaya massa yang bersifat fantasi.[1] Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli mengalami perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi waktu senggang (leisure time) atau tempat membolos bagi siswa sekolah yang nakal. Ini dapat kita lihat pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa berbelanja apapun. Terkadang mereka cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-barang produk baru. 

Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan hal baru. Shopping mall terus meremajakan diri lewat sajiannya atas wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, serta lingkungan yang semakin nyaman (taman, tempat duduk, AC, dan kebersihan). Jumlah shopping mall ini terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Di Jakarta terdapat kurang lebih 60 shopping mall yang tersebar di kota-kota madyanya seperti Mall of Indonesia, Tamini Square, Town Square, Mal Kelapa Gading, Kota Casablanca atau Grand Indonesia. Di Sulawesi Selatan sekurangnya 6 mall telah beroperasi seperti Mall Ratu Indah, Makassar Trade Center, Mall Panakukang, Pusat Grosir Butung, Pusat Souvenir Somba Opu, dan Global Trade Center. Bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur, sekurangnya satu mall telah berdiri yaitu Mall Flobamora. 

Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mall terdiri atas beragam diversifikasi usaha seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos, angkutan umum, warung makan, dan sebagainya. Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen massalisasi. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen. Bioskop, sebagai misal, adalah Twenty One yang menjadi milik dari satu perusahaan. Lalu, hampir di setiap mall, department-department store relatif homogen seperti Naga, Matahari, Ramayana, Borobudur, dan sejenisnya. Department-department store tersebut menawarkan produk-produk barang pabrikan yang jenis produknya relatif sama dari satu tempat ke tempat lain. Jadi, pabrik menggunakan agen mereka (department store) untuk memasarkan produk mereka. Maka jadilah produk-produk mereka digunakan secara massal oleh masyarakat. Dari penghujung mall yang ada di Aceh hingga Papua, tawaran produk relatif sama. 

Kapitalisasi produk – bahkan manusia – pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di hampir setiap department store, manusia (umumnya kaum perempuan) dipajang menjajakan produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Layaknya manequin mereka berdiri statis dan bedanya sekadar bisa tersenyum dan menyapa. Selain shopping mall, kini berkembang pula fenomena hypermall, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen. Hypermall ditandai satu agen tunggal. Homogennya produk dijual lebih tinggi dalam hypermall. Ia pun seolah memindahkan satu pasar tradisional ke dalam sebuah toko tunggal. Carrefour, Giant, Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual, kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang elektronik canggih semisal televisi flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat, terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall. 

Fenomena hypermall ini mendukung teori penciptaan kebutuhan konsumen oleh produsen barang. Hypermall adalah sekadar agen, barang-barang yang mereka jual berasal dari beragam produsen. Namun, produsen tersebut biasanya tetap. Misalnya untuk odol, merk-merk seperti Pepsodent, Formula, Oral-B, dan sejenisnya adalah pasti ditemukan di setiap hypermall. 

Fenomena homogenisasi produk dapat dilihat dalam Carrefour. Carrefour tersebar di Jakarta (25 lokasi), Tangerang (5 lokasi), Bekasi (4 lokasi), Bandung (4 lokasi), Jawa – Bali (18 lokasi), Sumatera (2 lokasi), dan Sulawesi (3 lokasi). Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup signifikan mengingat Carrefour termasuk debutan baru di kalangan mall di Indonesia. Group yang didirikan oleh keluarga Fournier and Defforey dari Perancis pada tahun 1959 ini kini berkembang pesat di seluruh penjuru dunia, dan CEO-nya kini dipegang oleh Lars Olofsson. 

Berbeda dengan pasar tradisional, interaksi sosial antara penjual dan pembeli di hypermall sepenuhnya ditentukan pengelola. Misalnya, barcode yang ditempelkan di setiap barang adalah harga pasti tanpa bisa ditawar. Negosiasi harga tidak ada antara penjual dan pembeli dan demikian satu aspek interaksi sosial berkurang. Kemasan setiap produk lebih menentukan ketimbang isi, dan ini berbeda dengan pasar tradisional di mana hampir seluruh produk dagangan tidak dikemas (kecuali produk-produk pabrikan). Pembeli sulit memaknai barang akibat pemaknaan disekat kemasan. Pembeli jadi amat bergantung pada informasi yang terkandung di dalam kemasan, dan kalaupun bertanya, paling banter ia akan dilayani oleh tenaga marketing produk bersangkutan yang intinya memperkuat informasi tertoreh di kemasan. 

McDonald-ization 

Fenomena restoran fast-food juga merupakan bentuk umum budaya massa. Perlu diingat, makanan adalah salah satu komponen material budaya. Restoran yang di Negara asalnya disebut menyediakan junk-food (makanan sampah), di Indonesia justru dimaknai secara baru: high-class. Hampir seluruh kalangan masyarakat (kaya, miskin, tua, muda) menemui pemenuhan kebutuhan sosial mereka di restoran fast-food McDonald, termasuk ke dalamnya Kentucy Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, dan sejenisnya. Jika ditelusuri mendalam maka penyebaran restoran-restoran fast-food ini di-stir oleh oleh satu perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi publik dengan menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. McDonald adalah milik Ray Croc yang ia bangun pada tahun 1955. McDonald mengklaim memiliki 30.000 anjungan di seluruh dunia dan seharinya dikunjungi 50.000.000 orang. Bidikan utamanya adalah penjualan produk makanan dan mereka memiliki sentra-sentra anjungan dalam negara-negara dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan ada dalam peralihan masyarakat agraris ke industrial. 

Homogenisasi budaya merupakan konsekuensi tidak terelakkan dari fenomena McDonald-ization ini. Hamburger, Coca Cola, Fanta, Walls Ice Cream, merupakan beberapa jenis makanan yang dijajakan di McDonald. Di 30.000 anjungan McDonald seluruh dunia, jenis-jenis makanan tersebut dijajakan dalam format dan rasa serupa. Publik tidak dapat menentukan sendiri selera mereka di restoran cepat saji, tetapi dengan dukungan strategi marketing dan maraknya iklan, akhirnya ilusi penentu pun dapat dikondisikan di dalam benak audiens. Ini berbeda tatkala kita memasuki rumah makan Padang yang menyediakan ayam bakar, ayam goreng, ikan panggang, rendang, kikil, dan ragam lainnya yang masing-masing memiliki bumbu spesifik. Selain itu, menu rumah makan Padang sesungguhnya memiliki bahan dasar bumbu dan varietas makanan yang biasa dikonsumsi orang Indonesia sehari-hari. Makanan Padang merupakan folk culture yang beralih menjadi popular culture. Hal yang mirip juga terdapat dalam fenomena tahu gejrot, gado-gado, karedok, ataupun rujak petis. 

Televisi 

Jika dibandingkan media lain seperti radio dan surat kabar/majalah, maka di Indonesia, televisi satu-satunya media di mana pemirsanya terus meningkat, dan dapat dilihat pada tabel.[2] Pemirsa radio dan surat kabar atau majalah di Indonesia cenderung menurun sejak 2003 hingga 2009. Hanya televisi satu-satunya yang mampu meningkatkan jumlah pemirsa mereka dalam kurung tersebut. Televisi mampu menyajikan hot issue dalam format audio visual. Dalam format ini pemirsa dalam dirambah ranah kognisi dan afeksinya. Dalam konteks televisi ini, budaya massa merambah layar elektronik. 

Persentase Penduduk Usia > 10 Tahun Pemirsa Media

Media
2003
2006
2009
Radio
50,29%
40,26%
23,50%
Televisi
84,94%
85,86%
90,27%
Surat Kabar/Majalah
23,70%
23,46%
18,94%

Acara televisi seperti opera sabun dalam wadah sinema elektronik (sinetron), program-program penggalian bakat (new idol), talk-show, dan sejenisnya. Bayangkan, sejumlah program seperti Who wants to be a Millionaire? yang pada tahun 2004 saja telah dijual ke 106 negara, rekaman kompilasi hits The Beatles terjual 12 juta kopi dalam 2 bulan di akhir tahun 2000, atau Elvis Presley yang telah menjual kurang lebih 1 milyar record baik dalam bentuk kaset ataupun CD di seluruh penjuru dunia pada tahun 2005 kendati bintang tersebut telah meninggal dunia sejak 1977.[3]

Hal yang perlu diingat, dalam komoditas budaya yang dijadikan mass culture, audiens (pemirsa) dianggap lembek, tidak kritis, dan mudah dibujuk. Sebab itu, produk-produk mass culture dapat langsung dikonsumsi tanpa melalui filter yang mencukupi. Misalnya, produk-produk sinetron Indonesia yang banyak mengumbar bentakan-bentakan kasar (bullying), penyederhanaan karakter yang cenderung hitam-putih (tidak mendalam), alur cerita yang cenderung berputar-putar dan seolah tidak pernah selesai (episode diperpanjang jika kontrak diperpanjang oleh saluran televisi), termasuk gaya laki-laki yang mewadam hampir setiap hari disajikan. Semua produk tersebut dikonsumsi oleh mayoritas audiens hampir tanpa reserve. Audiens cuma memilih antara tidak menonton lalu berpindah ke saluran televisi lain. Namun, akhirnya mereka pun menemui tayangan-tayangan sejenis dan suka atau tidak suka, harus menikmatinya.

-------------------------
[1] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya melampaui Batas-batas Kebudayaan (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) h.209. 
[2] www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=27&notab=36 Akses 04/02/2012 13:34. 
[3] Ken Browne, Introducing Sociology for AS Level, Second Edition (Cambridge: Polity Press, 2006) p. 216. 

tags:
budaya massa di indonesia pengertian budaya massa budaya populer budaya tinggi budaya massa masyarakat indonesia

No comments:

Post a Comment