Latest News

Saturday, April 14, 2012

Faktor-faktor Politik dalam Kinerja Birokrasi

Masalah politik dalam birokrasi negara (juga administrasi negara) terjadi pada tugas utama birokrasi-birokrasi negara. Tugas pengadministrasian tersebut sebelumnya telah digariskan lewat Undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintah yang telah disusun baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat ataupun secara bersama antara dewan tersebut dengan eksekutif.

Dalam proses menjalankan suatu kebijakan, birokrasi-birokrasi negara tidaklah steril dari lingkungan politik suatu negara. Berjalan atau stagnannya implementasi kebijakan negara oleh birokrasi-birokrasi negara sangat dipengaruhi lingkungan perpolitikan suatu negara. Pengaruh-pengaruh tersebut dalam berlangsung dari lingkup internal, eksternal, resmi, ataupun non resmi.

B. Guy Peters, sehubungan dengan dimensi pengaruh politik suatu negara terhadap jalannya administrasi publik yang dijalankan birokrasi-birokrasi negara, membaginya ke dalam duadimensi.[1] Peters mendasarkan dimensi-dimensi tersebut pada sejumlah aktivitas politik yang dilakukan seorang administrator publik. Dimensi pertama adalah internal-eksternal, sementara dimensi kedua adalah formal-informal. Demi mudahnya penjelasan, berikut adalah skema Peters mengenai kedua dimensi politik tersebut:


Dimensi pertama, internal-eksternal, khususnya internal, menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan politik di dalam suatu birokrasi yang berupaya mencari sejumlah masukan dari kelompok kepentingan, partisan, eksekutif politik, dan sejumlah besar sumber-sumber lain guna membuat suatu kebijakan. Pada sisi eksternal, adalah kegiatan-kegiatan politik birokrasi yang berupaya mencapai pemeliharan dan perkembangan organisasi.

Dimensi kedua, formal-informal, bicara mengenai sifat resmi dari suatu politik administrasi. Pada administrator publik berinteraksi baik dengan pejabat-pejabat resmi pemerintahan (DPR, eksekutif, perwakilan-perwakilan daerah). Selain itu, para administrator publik juga bersentuhan dengan para aktor politik yang tidak resmi seperti tokoh-tokoh masyarakat, para pengacara, kelompok penekan, dan sejenisnya. Sifat formal ataupun informal pun sulit dibedakan sebab terkadang terdapat lobi-lobi tidak resmi antara birokrat publik dengan para anggota DPR, misalnya, dalam menjalankan suatu proyek pembangunan.

Kedua dimensi politik tersebut sulit untuk dilepaskan dari aktivitas keseharian birokrasi-birokrasi negara termasuk para birokratnya. Kondisi steril atas pengaruh kedua dimensi politik tersebut sulit untuk diciptakan. Pengaruh kedua dimensi tersebut pula kemungkinan besar yang membuat roda birokrasi negara tersendat atapun maju dalam mencapai target-target pekerjaannya.

Dimensi Internal-Formal

Dimensi Internal-Formal kegiatan politik dalam birokrasi negara misalnya hubungan antar individu di dalam birokrasi ataupun antara birokrasi tersebut dengan kolega birokrasinya. Misalnya, kepolisian nasional suatu negara menghendaki lintas komunikasi yang positif antara pimpinan tertinggi dengan jajaran di bawahnya. Fenomena kontemporer semisal konflik di tubuh Kepolisian Republik Indonesia membuktikan tidak terbangunnya koordinasi komprehensif antara pimpinan-bawahan. Buruknya hubungan tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja birokrasi kepolisian, khususnya dalam hal pemrosesan informasi dan lalu-lintas wewenang di dalam organisasi.

Selain itu, negara memiliki birokrasi yang bervariasi. Tercapainya tujuan negara, salah satunya ditentukan baik dan koordinatifnya hubungan antar birokrasi. Misalnya, kasus Buruh Migran Indonesia di luar negeri menampakkan koordinasi kerja yang kurang koordinatif antara Departemen Tenaga Kerja, Departemen Luar Negeri, dan Kedutaan Besar Indonesia di negara luar. Departemen Tenaga Kerja bertugas melakukan pemastian legalitas pekerjaan seorang Indonesia yang hendak berangkat ke negara asing. Departemen Luar Negeri menjamin legalitas lalu-lintas seorang pegawai ke luar negeri dan menjalin kerja sama dengan negara luar guna melindungi tenaga kerja Indonesia. Sementara itu, kedutaan besar melakukan pemantauan sehari-hari atas nasib orang-orang Indonesia di wilayah kewenangannya. Ketidakpaduan kerja ketiga Departemen tersebut membuat lambat, tidak efektif, dan terabaikannya nasib orang-orang Indonesia di luar negeri.

Dimensi Internal-Informal

Kendati sifatnya informal, lobi memainkan peranan khusus dalam advokasi suatu kebijakan oleh birokrasi negara. Misalnya, dalam kasus penggusuran atau pengalihan lahan rumah dan pasar-pasar tradisional. Dalam kasus tersebut, birokrasi negara (misalnya walikota atau gubernur) tidak dalam sekadar melakukan koordinasi dengan jajaran resmi pemerintah semisal Polisi Pamong Praja. Kasus tersebut menghendaki pendekatan atau lobbi khusus terhadap subyek penggusuran atau pengalihan lahan.

Maraknya kasus konflik diametral antara warga tergusur dengan aparat pemerintah merupakan dampak dari lemahnya lobi yang dilakukan jajaran birokrasi negara terhadap mereka. Kendati bukan merupakan struktur politik formal, para warga dan tokoh-tokohnya merupakan warganegara yang harus dihormati hak-haknya untuk hidup dan memiliki tempat tinggal. Mereka bukan sekadar obyek mati yang dapat dipindahkan tanpa semangat negosiasi. Dalam kasus ini, pihak pemerintah daerah memiliki masalah resmi yaitu menciptakan tata ruang kota yang nyaman dan indah untuk ditinggali. Sebab itu, mereka harus mendekati (melobi) subyek warganegara yang menjadi sasaran dari proyek tersebut, kendati mereka adalah aktor informal suatu kebijakan.

Contoh lain dari internal-lobbi adalah kepentingan Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengelolaan yang efektif dan efisien atas partai-partai politik di Indonesia. Salah satu kesulitan dari Indonesia adalah banyaknya partai-partai politik dengan perolehan suara yang kurang signifikan sehingga memperberat beban keuangan negara dan meningginya distrust publik atas partai politik. Ketiga birokrasi negara tersebut patut melakukan langkah-langkah komprehensif dan koordinatif dengan tokoh-tokoh partai politik guna membendung arus pendaftaran partai-partai peserta Pemilu baru yang cenderung membengkak di masa-masa menjelang Pemilu.

Eksternal-Formal

Salah satu hal yang sulit disediakan sendiri oleh birokrasi negara adalah budget (anggaran). Anggaran suatu departemen diperoleh dari kas negara dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Misalnya, kebijakan alokasi 20% APBN untuk pendidikan nasional merupakan berkah bagi Departemen Pendidikan Nasional sekaligus musibah bagi departemen-departemen lainnya yang juga amat membutuhkan anggaran dari kas negara demi operasionalisasi tujuan-tujuannya.

Kesepakatan budgeting bagi satu birokrasi negara murni merupakan kesepakatan formal antar birokrasi negara dengan Presiden selakukan regulatornya. Ini akibat penambahan budget bagi satu birokrasi dapat saja berarti pengurangan bagi birokrasi lainnya. Sebab itu kesepakatan formal antar pimpinan birokrasi (menteri atau eselon 1) merupakan syarat formal alokasi anggaran suatu negara. Tanpa kesepatakan tersebut, dapat dimungkinkan suatu kondisi hubungan tidak harmonis antarbirokrasi negara.

Eksternal-Informal

Selain mengandalkan pada kas negara, birokrasi-birokrasi negara juga kerap mengandalkan sumber daya yang bersifat informal. Sumber daya ini berasal dari klien kebijakan mereka (clientele support). Dapat dicontohkah, pasca Krisis Ekonomi 1997 dan tatkala melakukan pemulihan ekonomi nasional, karena keterbatasan dana yang dimiliki, pemerintah c.q. Departemen Keuangan mengeluarkan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kendati masih memiliki andil pembiayaan awal lembaga tersebut, sebagian besar dana LPS berasal dari iuran Bank-bank yang menjadi anggota LPS. Bank-bank rela mengeluarkan dana bagi LPS karena diyakini akan membuat nasabah dan calon nasabah percaya untuk menyimpan uang di bank-bank milik mereka.

Lewat iuran LPS, pemerintah c.q. Departemen Keuangan saling berbagi beban dengan bank-bank swasta nasional dalam mengatasi kemungkinan kredit macet dan krisis moneter. Langkah serupa juga umum dilakukan Departemen Pendidikan Nasional dalam proyek-proyek bantuan yang mereka kerjakan. Dalam suatu proyek bantuan bernilai Rp.200.000.000 misalnya, pemerintah memberi kewajiban subyek yang dibantu menyediakan dana sharing untuk menambah kebutuhan sehubungan proyek tersebut. Misalnya, dalam proyek peralatan otomotif, pemerintah menghendaki total biaya yang mereka keluarkan Rp.200.000.000 digunakan sepenuhnya untuk membeli mesin bubut dan mobil bekas. Sementara lembaga pendidikan yang dibantu harus menyediakan dana sendiri baik untuk listrik, tenaga penjaga, montir, atau sarana untuk menyimpan peralatan. Ini guna menjamin barang yang dibeli dari dana bantuan digunakan secara efektif di samping meringankan beban pemerintah jikalau harus menyertakan dana lagi untuk memasang arus listrik dan sarana lain yang dibutuhkan sehubungan dengan bantuan termaksud.

Konflik Birokrasi

Michael Klaussner and Mary Ann Groves menyatakan, konflik baik di dalam maupun antar organisasi merupakan suatu hal yang lumrah dalam perjalanan roda administrasi publik.[2] Konflik-konflik yang mungkin muncul dapat bersifat : (1) interpersonal (terjadi antar individu dalam organisasi), antarkelompok antardivisi (antara dua atau lebih kelompok dalam organisasi), ataupun antarorganisasi (melibatkan dua atau lebih organisasi).

Birokrasi negara adalah pula merupakan sebuah organisasi yang dianggotai sejumlah individu. Secara teoretis, birokrasi ---dalam pemahaman Max Weber--- mengandaikan keterpaduan antar unsur di dalam organisasi. Jika keterpaduan tercipta, maka fungsi dan tujuan organisasi lebih mungkin terselenggara. Namun, birokrasi negara dapat saja menjadi medan tempur di mana dua atau beberapa individu memperebutkan pengaruh politik ataupun dukungan politik. Misalnya, birokrasi pemerintahan daerah Indonesia yang terkonfigurasi dari paduan dua atau lebih partai politik memiliki kepentingan berbeda-beda. Gubernur atau wakil gubernur yang kebetulan berasal dari dua partai berbeda dapat saja berkonflik satu sama lain dalam memanajemen birokrasi.

Selain itu, di dalam tubuh organisasi umumnya terdapat bagian-bagaian atau divisi-divisi. Tidak jarang, masing-masing dari mereka memiliki kepentingan yang berbeda. Misalnya, departemen penelitian dan pengembangan memiliki hubungan yang konfliktual dengan departemen hubungan masyarakat. Departemen pertama mengandalkan pekerjaan berjangka dan hati-hati, sementara departemen terakhir mengandalkan penampilan, kecepatan memberikan jawaban, dan respon cepat atau suatu kejadian.

Konflik ketiga, yaitu antar organisasi kini tengah menjadi fenomena. Contohnya, di Amerika Serikat terdapat 2 organisasi yang saling bertolak belakang kepentingannya. Pertama National Security Agency yang menghendaki penutupan informasi dari publik, membatasi arus penyebaran suatu informasi, dan penekanan pada kehati-hatian. Kedua, National Aero Space Association (NASA) yang menekankan pada publikasi penemuan yang sekecil-kecilnya, penyebarluasan informasi detail penelitian ruang angkasa dan sejenisnya. Jika NSA menilai suatu penemuan adalah penting untuk disimpan oleh pemerintah, mana NASA justru menilai penemuan tersebut adalah prestasi yang harus segera dipublikasikan kepada masyarakat luas bahkan dunia. Konflik antar organisasi ini muncul akibat karakter organisasi yang berbeda secara alamiah, sesuai fungsi masing-masing.

Konflik muncul akibat kelangkaan sumber daya. Dalam konteks birokrasi negara, sumber daya yang diperebutkan biasanya berkisar pada budget, dukungan politik, pengaruh, dan promosi. Dalam masalah budget

-------------------------------------------
Referensi

[1] B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy, Fifth Edition (London : Routledge, 2001) pp.183-4.
[2] Michael Klausner and Mary Ann Groves “Organizational Conflict” dalam Ali Farazmand, ed., Handbook of Bureaucracy (New York: Marcell Dekker, Inc., 1994) pp.355-70.

tags:
masalah politik birokrasi pengertian politik birokrasi dimensi politik birokrasi manajemen publik administrasi publik negara dimensi politik birokrasi

No comments:

Post a Comment