Latest News

Monday, April 30, 2012

Proses Pembentukan Masyarakat dan Perubahan Masyarakat menurut Lenski Marx Weber dan Durkheim


Proses pembentukan masyarakat dan perubahan masyarakat menurut Gerhard Lenski, Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim mewakili empat sudut pandang. Gerhard Lenski menjelaskan bagaimana teknologi mengubah masyarakat sejak 10 ribu tahun yang lalu dan terus berlangsung hingga kini. Karl Marx menjelaskan bagaimana masyarakat mengalami perubahan akibat konflik cara produksi ekonomi. Max Weber menjelaskan bagaimana masyarakat terbentuk dan berubah akibat munculnya gagasan antara masyarakat tradisional (yang dicirikan kuatnya unsur kekeluargaan) dikontraskan dengan gagasan masyarakat kompleks (yang dicirikan unsur pemikiran rasional). Emile Durkheim menjelaskan bagaimana solidaritas sosial yang terbangun baik dalam masyarakat tradisional maupun modern agar mampu menciptakan hubungan antarstruktur yang harmonis. [1]

Gerhard Lenski dan Peran Teknologi dalam Perubahan Masyarakat 

Gerhard Lenski menggunakan terawangan evolusi sosial budaya guna melihat perkembangan masyarakat.[2] Lenski menjelaskan bagaimana perubahan dalam masyarakat terjadi segere setelah mereka memproduksi (atau mengadaptasi) teknologi baru. Bagi Lenski, masyarakat wilayah pedalaman tidak selalu berarti lebih terbelakang ketimbang urban. Masyarakat pedalaman menggunakan teknologi yang sekadar menjangkau jumlah anggota mereka yang memang kecil, sementara teknologi masyarakat urban (misalnya alat transportasi) mampu menjangkau jumlah yang lebih besar. Jangkauan ini berpengaruh terhadap pola perubahan masyarakat sehubungan intensitas interaksi sosial yang dihasilkannya. 

Lewat teknologi, interaksi sosial meningkat kepadatan moralnya (moral density) dan membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar gagasan. Pertukaran lalu mendorong perubahan sosial (social change). Teknologi pesawat terbang misalnya, memungkinkan manusia mengatasi sulitnya medan darat, sehingga mereka dapat melakukan penerbangan perintis untuk membuka wilayah yang sebelumnya terisolasi, baik oleh pegunungan maupun lautan. Datangnya manusia baru dari luar – baik untuk menetap atau sekadar singgah –menciptakan interaksi sosial jenis baru. Interaksi tersebut mendorong masyarakat yang awalnya terisolasi tadi menemukan sejumlah gagasan baru untuk mereka terapkan dalam hubungan sosial. Bagi Lenski, faktor material yaitu teknologi (pesawat terbang) meningkatkan interaksi, interaksi memunculkan gagasan, gagasan mendorong perubahan sosial. 

Lewat kajiannya atas pengaruh teknologi atas evolusi sosial budaya, Lenski membagi masyarakat ke dalam lima kategori, yang terdiri atas: masyarakat pemburu dan peramu, masyarakat hortikultural dan pastoral, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat pos-industri. Klasifikasi kelima jenis masyarakat tersebut tampak pada tabel.[3]

Pemburu dan Peramu. Masyarakat pemburu dan peramu adalah bentuk masyarakat paling sederhana.[4] Kegiatan mereka umumnya sekadar berburu hewan (memburu) serta mengumpulkan hasil tanaman nonbudidaya dengan teknologi berupa peralatan sederhana (meramu). Kendati kini perkembangan teknologi sudah menciptakan masyarakat posindustri, masyarakat pemburu dan peramu masih ada di sejumlah wilayah Indonesia. Akibat teknologi diterapkan hanya mampu mengelola alam secara pasif, sebagian besar kegiatan sosial mereka habiskan untuk mencari makanan berupa hewan buruan ataupun tanam-tanaman demi pemenuhan kebutuhan subsisten. 

Dalam aktivitasnya, masyarakat pemburu dan peramu bergantung pada keluarga. Ketergantungan berkisar pada distribusi makanan, perlindungan anggota, dan sosialisasi budaya. Perempuan biasanya berkegiatan meramu, sementara laki-laki memburu hewan. Umumnya, di masyarakat pemburu dan peramu terdapat seorang shaman (pemimpin spiritual, dukun) yang istimewa posisinya. Namun, bahkan shaman pun tetap harus mencari makan untuk keluarganya, sama seperti anggota masyarakat lain. 

Sercombe and Sellato menyebut masih terdapat suku yang masuk kategori masyarakat pemburu-peramu di Kalimantan, yaitu: Punan Tubu dan Punan Malinau (sebelah utara Kalimantan Timur); Kayan-Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan Kalimantan Timur); Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur); Buket (ujung barat Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan Kalimantan Barat); Buket (ujung timur Kalimantan Barat, dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak).[5] Masyarakat pemburu dan peramu lainnya adalah Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.[6]

Hortikultural dan Pastoral. Masyarakat hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan untuk mengkoleksi hasil pertanian.[7] Masyarakat pastoral menerapkan teknologi domestikasi hewan. Masyarakat hortikultural dan pastoral masih dapat ditemukan di wilayah Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Material surplus – jumlah kebutuhan subsisten lebih besar dari persyaratan hidup – masyarakat hortikultural dan pastoral berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Tingkat produksi makanan mereka lebih besar karena teknologi yang mereka terapkan memungkinkan campur tangan manusia atas produksi tanaman dan hewan. Akibatnya, populasi masyarakat hortikultural dan pastoral mengalami peningkatan. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan menggembala ternak, sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman permanen. Mereka baru pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tanaman tidak lagi subur atau ditemukan tanah garapan baru yang lebih subur dan mampu menampung jumlah populasi mereka. 

Saat masyarakat mengalami material surplus memungkinkan adanya waktu luang (leissure time) bagi sebagian anggotanya. Waktu luang mendorong munculnya kreativitas teknologi dan mewujud dalam spesialisasi pekerjaan baru seperti membuat peralatan rumah tangga, berdagang hewan dan tanaman, membuat rumah, membuat jalan, dan sebagainya. Teknologi baru bisa ditemukan karena banyak individu yang tidak perlu lagi terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi subsisten (menyediakan pangan) karena teknologi sudah dapat membantu penyelesaian pekerjaan. Secara akumulatif, kemunculan sebuah teknologi baru disusul teknologi lain yang sifatnya lebih rumit karena sumber daya yang memungkinkan untuk itu tersedia lebih banyak. 

Akibat pokok perkembangan teknologi di dalam masyarakat hortikultural dan pastoral adalah munculnya kelompok yang lebih kaya dan lebih berkuasa. Ketimpangan sosial mulai muncul. Satu keluarga lebih berpengaruh ketimbang keluarga lainnya. Satu kelompok lebih mendominasi kelompok lain. Keluarga atau kelompok tersebut memanfaatkan sumber daya politik dan keamanan untuk menjamin posisinya. Perbedaannya dengan masyarakat yang lebih kemudian (masyarakat agraris, nanti dibahas) adalah jangkauan wilayah kekuasaannya yang relatif kecil karena pertumbuhan populasi masyarakat fase ini yang belum terlalu signifikan. Pertumbuhan agama juga berbeda di masyarakat hortikultural dan pastoral. Di masyarakat hortikultural, muncul gagasan satu tuhan tetapi intervensinya terhadap kehidupan tidak sebesar dalam masyarakat pastoral.[8]

Agraris. Masyarakat agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar.[9] Cocok tanam skala besar dimungkinkan akibat ditemukannya teknologi pembantu produksi manusia, semisal tenaga hewan (sapi untuk menarik bajak, kuda untuk menarik pedati). Masyarakat ini juga ditengarai telah menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis, dan penggunaan peralatan yang terbuat dari logam. Lewat bantuan bajak, teknik irigasi, dan peralatan logam, masyarakat agraris dapat menetap di suatu wilayah, tidak perlu lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka mampu melakukan refertilization tanah garapan. Populasi masyarakat agraris semakin menumpuk di suatu wilayah karena lahan tanaman dapat digunakan oleh beberapa generasi dengan tingkat kesuburan yang berkurang lambat. Produksi cocok-tanam masyarakat agraris berlipat ganda dibandingkan hortikultural. Peningkatan material-surplus membuat peningkatan serupa pada jumlah manusia yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan produksi subsisten. Waktu luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi baru. Diferensiasi dan spesialisasi kerja yang lebih rumit ketimbang masyarakat sebelumnya (hortikultural dan pastoral) jadi tidak terelakkan. Diferensiasi dan spesialisasi kerja muncul akibat semakin banyak waktu luang yang dimanfaatkan dalam dalam masyarakat ini. Di dalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan tumbuh lebih pesat, dan uang mulai digunakan sebagai alat tukar. 

Penemuan uang mendorong pada meningkatnya ketimpangan sosial. Kelompok kategori ekonomi mampu memanfaatkan sumber daya ekonomi secara lebih efektif. Mereka muncul sebagai kelas ekonomi mapan lalu mendominasi kelas lain. Mereka juga punya waktu luang lebih banyak karena pekerjaan subsisten sudah dilakukan para subordinatnya: Petani penggarap dan budak. Mereka memperalat uang dan pranata hukum demi mengamankan keuntungan ekonomi komparatifnya. Ketimpangan sosial berangsur permanen. Dalam masyarakat agraris, segregasi peran perempuan dan laki-laki mulai terjadi. Laki-laki menjalankan peran-peran publik pengaturan masyarakat, sementara perempuan didorong lebih berkonsentrasi pada masalah domestik (rumah tangga). 

Indonesia merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah masyarakat ini – daratan dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total tersebut, 24% merupakan daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%) digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%) digunakan untuk areal budidaya, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Sebanyak 53,71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar area budidaya digunakan sebagai lahan pertanian.[10] Dalam konteks ini, Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43,33% (hampir setengah) luas lahan daratan yang dapat dibudidaya digunakan untuk pertanian. Namun, masyarakat agraris ini lambat laun mulai tergusur oleh terbentuknya jenis masyarakat baru yang sudah mulai menggejala: Masyarakat industrial. 

Industrial. Masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utama produksi barang – makanan, pakaian, bahan bangunan – dengan bantuan teknologi mesin yang digerakkan sumberdaya energi non hewani (sumber daya baru).[11] Penggunaan energi hewan yang marak di tahap masyarakat agraris berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang operasinya didukung sumber daya energi baru (bahan bakar fosil), membuat proses produksi jauh lebih cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa dilakukan masyarakat sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat ini terjadi berkali-kali lipat. Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi kereta uap, kapal uap, listrik, rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang kesemuanya memungkinkan proses distribusi hasil produksi semakin cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan pencarian sumber daya mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme memungkinkan pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai keuntungan yang semakin besar. Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat industri jauh lebih besar dan rumit lagi. 

Teknologi mobil ditemukan tahun 1900. Mobil adalah teknologi transportasi dan diproduksi secara massa. Kemampuan jelajah mobil jauh lebih tinggi ketimbang hewan (unta, kuda, keledai, sapi). Daya jelajah manusia meningkat dan mendorong banyak daerah baru dibuka, sumberdaya alam baru dieksploitasi, dan manusia baru ditemukan. Secara global, kolonialisme dan imperialisme membiak, proses produksi semakin murah dan kompleksitas sosial dari sentra-sentra produksi merambat ke wilayah non perkotaan. Percepatan produksi dan interaksi sosial baru, membuat hubungan antar manusia mulai anonim. Anonimitas kerap membuat orang yang tinggal bersebelahan tidak mengenal satu sama lain. Kepadatan primordial meningkat dalam tingkat yang tidak pernah ditemukan dalam masyarakat agraris sebelumnya. Kepadatan primordial membuat ketegangan antar kelompok – menurut garis budaya, agama, sosial, kelas – meningkat. Subkultur dan counterculture bermunculan menantang budaya mainstream. Lembaga-lembaga sosial nonkeluarga mulai mengambil peran lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu. Struktur keluarga berubah, dengan indikasi maraknya perceraian, single-parents, atau keluarga-keluarga adopsi. 

Untuk sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah atau paling tidak mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah sentra pabrik dan kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia nyata menampakkan wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa dalam alur pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai beragam jenis masyarakat, tidak mono jenis. 

Posindustrial. Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi untuk menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi komputer.[12] Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada pabrik dan mesin penghasil barang material, maka masyarakat posindustri fokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya bergantung pada komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi utamanya digunakan untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi. Jika individu masyarakat industri belajar keahlian teknis, maka individu masyarakat posindustri mengembangkan kemampuan teknologi informasi menggunakan komputer dan perangkat teknologi informasi lain sebagai alat bantu kerja. Masyarakat posindustri cenderung mengembangkan softskill ketimbang hardskill. Percepatan pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat industri. 

Produksi barang lewat tenaga manusia dalam masyarakat posindustri lebih sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator telepon, operator foreign-exchange, pialang saham, termasuk bisnis on-line (e-business dan e-commerce). Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill ketimbang hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan akibat aktivitas masyarakat sebelumnya (industrial). 

Kelima masyarakat evolutif Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu sama lain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat pemburu dan peramu hingga kini masih dapat ditemui di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh masyarakat pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup, bermata pencaharian, serta mengembangkan kebudayaannya. Masyarakat hortikultural Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat seperti ini terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah Indonesia yang punya padang rumput yang luas guna mempraktekkan kehidupan menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan ini ditandai masih adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat industrial menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat Posindustrial menggejala di kota-kota industri Indonesia, yang kendati kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat seiring mewabahnya penggunaan teknologi virtual communication, data digital, telepon seluler, dan didukung pengembangan backbone-backbone kabel internet yang massif. 

Dalam konteks Indonesia aneka masyarakat ala Lenski, tidak jelas garis yuridiksinya. Masyarakat tersebut saling berkelindan, jenis yang satu ada bercampur di sisi jenis lainnya. Namun, karakteristik mereka yang cukup berlainan menghendaki penyikapan yang berbeda. Dalam konteks perbedaan ini negara hadir sebagai regulator dan antisipator masalah. 

Karl Marx dan Peran Konflik dalam Perubahan Masyarakat

Menurut perspektif ini, sejarah masyarakat ditandai pertentangan kelas. Klasifikasi Lenski atas keenam jenis masyarakat yang didasarkan pengaruh teknologi (material) atas cara produksi, membuat analisis masyarakat lewat perspektif konflik lebih mudah dipahami. Marx adalah teoretisi konflik paling terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas perubahan masyarakat versi Lenski ke dalam konsepnya: Materialisme historis. Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain tersusun berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis beroperasi dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan. Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah pertentangan antar struktur masyarakat lama. 

Cara produksi memburu hewan dan mengumpulkan tanaman menciptakan masyarakat pemburu dan peramu, yang menciptakan kelas tetua suku dan anggota suku. Cara produksi cocok tanam dan domestikasi hewan menciptakan masyarakat hortikultural dan pastoral, yang menciptakan kelas tuan dan budak. Cara produksi pertanian menetap memunculkan masyarakat agraris, yang menciptakan kelas tuan feodal dan penggarap. Cara produksi menggunakan mesin dan buruh yang mengoperasikannya memunculkan masyarakat industrial, yang menciptakan kelas borjuis (juga kapitalis) dan proletar. Cara produksi menggunakan komputer dalam mengolah informasi menciptakan masyarakat posindustrial, yang menciptakan kelas produsen dan konsumen informasi.[13] Menurut Marx, periode masyarakat yang berbeda tersebut ditandai satu kesamaan: Struktur kelas yang terbentuk adalah cermin cara produksi yang berlaku, dalam mana masing-masingnya bertentangan satu sama lain secara diametral dalam konflik abadi. Bagi Marx, kelestarian konflik hanya akan ada selama masyarakat komunis yang egaliter belum tercipta. 

Akibat perbedaan penikmatan keuntungan hasil produksi dan waktu luang yang dimiliki, satu kelas selalu lebih beruntung ketimbang kelas lain. Hal ini membuat struktur sosial senantiasa timpang. Ketimpangan sosial ini bersifat permanen di setiap masyarakat sekaligus merupakan inti pendekatan konflik yang digagas oleh Marx. Ketimpangan sosial senantiasa membuat hubungan antar kelas ekonomi berada dalam ketegangan. Dua kelas selalu berhadapan secara diametral. 

Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah yang menciptakan gagasan. Justru cara-cara produksi-lah yang menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat. Inilah penjelasan singkat mengenai materialisme historis. Karena Marx menggunakan cara produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi. 

Marx lalu membelah struktur masyarakat menjadi dua: Infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur merupakan basis (dasar) suatu masyarakat yaitu cara produksi di bidang ekonomi. Suprastruktur terdiri atas: (1) Lembaga sosial dan (2) Gagasan dan nilai. Infrastruktur adalah fundamen yang membentuk suprastruktur. 

Cara produksi ekonomi memunculkan aneka institusi sosial seperti politik, agama, pendidikan, atau keluarga. Institusi-institusi tersebut lalu mengembangkan gagasan dan nilai-nilai aktual yang berlaku di tengah masyarakat. Menurut Marx, gagasan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat hanya dibuat oleh kelas dominan dalam cara produksi. Hanya mereka yang sempat merancang hukum dan aneka peraturan karena waktu luang yang mereka miliki lebih banyak. Akibatnya, gagasan serta nilai apapun yang muncul melulu merupakan instrumen guna memelihara status quo. Di dalam masyarakat industrial, kelas tersebut adalah kapitalis. Kelas ini sengaja menciptakan aneka institusi sosial, gagasan, agama, dan nilai-nilai masyarakat guna mempertahankan ketimpangan struktur sosial yang ada agar dominasi kelas tetap terpelihara. Bahkan, menurut Marx, negara pun tidak lain merupakan instrumen kelas borjuis dan kapitalis untuk memastikan kepatuhan kelas proletar agar terus bekerja sesuai kepentingan mereka. 

Telah dipaparkan bahwa suprastruktur yang terdiri atas intitusi sosial, gagasan, serta nilai hanya beroperasi (atau tercipta) guna mendukung cara produksi ekonomi yang ada. Dengan demikian, suprastruktur tidak lain merupakan cerminan dari infrastruktur. Jika infrastruktur mengandung hubungan sosial antarkelas yang konfliktual, maka suprastruktur sekadar merupakan instrumen demi melestarikan posisi keberuntungan kelas dominan dan mempertahankan hubungan konfliktual tersebut. Perubahan masyarakat atau perombakan suprastruktur hanya mungkin jika infrastruktur direvolusi. 

Marx hidup di dalam masyarakat industrial yang tengah berkembang. Dalam masyarakat ini, menurut Marx, terdapat dua kelas utama yaitu kelas yang berkuasa (kapitalis, pemilik alat produksi) dan kelas yang teropresi (proletar, tidak punya alat produksi, pekerja/buruh). Kelas terakhir sekadar menjual tenaga kepada kelas pertama. Marx mempersamakan hubungan kapitalis-protelar era industrial serupa dengan tuan-budak di zaman kuno ataupun tuan tanah feodal-penggarap di era agraris. Kapitalis memperlakukan proletar tidak lebih sebagai alat produksi. Hubungan konfliktual antara kapitalis-proletar bersumber pada penguasaan alokasi kekuasaan dan kesejahteraan hanya di satu kelas. Hubungan yang mungkin hanyalah satu kelas mempertahankan, kelas lain berupaya merebutnya. 

Situasi konfliktual ditandai pula peran uang yang telah muncul sebelumnya. Secara pesimis, Marx melihat uang sebagai tanda keterasingan manusia dari lingkungannya. Saat uang belum ditemukan, kepemilikan ditandai benda-benda riil misalnya ternak, gandum, gerobak, yang menunjukkan hubungan langsung manusia dengan alam. Saat uang ditemukan, ternak dikonversi menjadi uang, gandum dikonversi menjadi uang, dan gerobak dikonversi menjadi uang. Manusia tidak lagi berhubungan dengan benda-benda riil (alamiah) melainkan lewat simbol-nya: Uang. Manusia dijauhkan dan menjadi terasing dari alam. Konversi benda riil menjadi uang menambah peluang akumulasi kekayaan secara lebih timpang. Apa yang diwakili uang tidak lagi tepat melukiskan kondisi riil benda alamiah. Dalam kasus upah pekerja misalnya, kapitalis memberikannya dalam nilai uang yang ketika dikonversi pekerja menjadi benda alamiah (sembako misalnya) ternyata tidak cukup guna menghidupi diri dan keluarganya. Selain uang, sebagai penyebab keterasingan manusia, Marx juga merinci keterasingan (alienasi) lain dalam masyarakat industrial, yaitu:[14]

  1. Alienasi dari tindakan bekerja. Ideal Marx adalah, dalam bekerja orang bisa memenuhi kebutuhan sekaligus mengembangkan potensi individualitas. Namun, dalam pola kerja pabrik pekerja tidak menghasilkan barang dan skill yang dibutuhkan untuk bekerja sehingga menyebabkan kemampuan kreatifnya stagnan. 
  2. Alienasi dari hasil pekerjaan. Produk yang dihasilkan pekerja bukan milik si pekerja melainkan milik si kapitalis. Produk tersebut dijual oleh kapitalis demi profit. Bagi Marx, semakin banyak si pekerja menginvestasikan tenaganya dalam proses produksi, sesungguhnya ia semakin banyak kehilangan hasilnya. Marx merinci kondisi ini dengan teorinya tentang nilai lebih (surplus value). 
  3. Alienasi dari pekerja lain. Lewat tindakan bekerja, bagi Marx, orang seharusnya mampu membangun ikatan sosial dalam komunitas. Dalam masyarakat industrial, pekerja satu dengan pekerja lain justru malah terpisah dan diperparah oleh pola hubungan sosial yang kompetitif sehingga kesempatan membangun ikatan komunitas menjadi kecil atau cenderung tidak ada. 
  4. Alienasi dari potensi kemanusiaan. Masyarakat industrial ibarat mesin. Pekerja baru merasakan kedirian manusianya kala jam istirahat saja. 

Max Weber dan Peran Gagasan dalam Perubahan Masyarakat

Max Weber mengakui peran teknologi bagi perkembangan masyarakat.[15] Weber juga mengakui konflik bersifat inheren di tiap masyarakat. Namun, Weber tidak sepakat dengan determinisme ekonomi Marx. Jika Marx menganut materialisme historis, maka Weber dapat dikatakan menganut idealisme historis. Bagi Weber, masyarakat terbentuk lewat gagasan atau cara berpikir manusia. Dalam hal ini, Weber bertolak belakang dengan Marx yang justru mengasumsikan gagasan tidak lebih proyeksi cara-cara produksi ekonomi. 

Konsep yang diperkenalkan Weber adalah tipe ideal (ideal typhus). Makna ideal typhus adalah pernyataan abstrak mengenai ciri-ciri esensial tiap fenomena sosial. Masyarakat pemburu dan peramu, hortikultural dan pastoral, agraris, industrial, dan posindustrial adalah contoh dari tipe ideal. Ideal, dalam maksud Weber, bukan berarti baik atau buruk. Tipe ideal lebih merupakan cara mendefinisikan sesuatu. Dengan mengajukan tipe ideal atas setiap fenomena sosial, seseorang dapat melakukan perbandingan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, atau bahkan mendorong perubahan suatu masyarakat kepada tipe ideal yang dikehendaki. Tipe ideal atas suatu fenomena sosial mendorong terciptanya gagasan baru: Tipe ideal adalah gagasan. 

Organisasi rasional Weber merupakan contoh dari gagasan. Saat menggagasnya, organisasi ini belum muncul di kenyataan tatkala Weber mengamati pola kerja pegawai publik dalam Dinasti Hohenzollern yang saat itu menjalankan pemerintahan Prussia.[16] Sistem kerja dinasti tersebut bercorak patrimonial di mana ketaatan seorang pejabat publik bukan pada pekerjaan melainkan pada personalitas tokoh-tokoh politik (patron). Gagasan Weber adalah cara kerja ini harus digantikan dengan yang lebih rasional, di mana ketaatan kepada personal harus digantikan dengan ketaatan atas peraturan impersonal. Organisasi yang diajukan Weber adalah organisasi legal-rasional. Kata birokrasi bukan berasal dari Weber karena ia tidak pernah menyebut kata birokrasi dalam karyanya. Namun, kata birokrasi kini kerap dihubung-hubungkan dengan gagasan Weber. 

Dalam menganalisis masyarakat, Weber menekankan bagaimana orang berpikir tentang dunia kontekstualnya. Individu dalam masyarakat pra industri terikat oleh tradisi, sementara pada masyarakat industrial diikat rasionalitas. Tipe ideal Weber mengenai tradisi adalah nilai serta kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat tradisional terbentuk tatkala para anggotanya diarahkan oleh masa lalu atau merasakan ikatan kuat pada cara hidup yang sudah bertahan lama (tradisi). Gagasan seperti tindakan baik atau buruk ditentukan apa yang telah diterima dari masa sebelumnya. Sebaliknya, orang-orang yang hidup di masa lebih kemudian (modern), lebih mengedepankan rasionalitas, yang maknanya adalah – menurut Weber – cara berpikir yang menekankan kesengajaan, berupa perhitungan pasti seputar cara-cara yang lebih efektif dalam merampungkan pekerjaan. 

Ketergantungan pada hal-hal sentimentil pada masyarakat tradisional tidak beroleh tempat di masyarakat modern. Orang modern berpikir dan bertindak berdasarkan efeknya bagi masa kini dan masa mendatang, bukan masa lalu. Dengan demikian, Weber mengajukan pendapatnya mengenai rasionalisasi masyarakat yang didefinisikannya sebagai perubahan historis gagasan manusia (idealisme historis) dari tradisi menuju rasionalitas. Weber menggambarkan masyarakat modern sebagai sama sekali baru karena mengembangkan cara pikir ilmiah yang menyapu jauh-jauh segala ikatan sentimental atas masa lalu. 

Apakah digunakannya suatu teknologi mengindikasikan modern-nya suatu masyarakat? Bagi Weber jawabannya belum tentu karena teknologi hanya maksimal dimanfaatkan jika masyarakat penggunanya paham akan peran teknologi tersebut bagi dunianya. Apa gunanya komputer bagi masyarakat yang masih menggantungkan dirinya pada hubungan langsung dengan alam seperti masyarakat pemburu-peramu? 

Dalam menyikapi masyarakat industrial Weber berbeda pendapat dengan Marx. Weber memandang masyarakat industrial sepenuhnya rasional karena kapitalis punya kemampuan mengkalkulasi aspek untung-rugi suatu kegiatan produksi. Kalkulasi mereka lakukan sebelum uang diinvestasikan ke dalam kegiatan produksi. Sebaliknya, Marx justru menganggap masyarakat industrial sebagai irasional karena masyarakat ini gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mayoritas anggotanya. 

Konsep Weber selanjutnya adalah organisasi sosial rasional. Tekanannya atas rasionalitas sebagai ciri masyarakat modern, mendorong Weber mengidentifikasi tujuh ciri organisasi sosial yang dibentuk masyarakat modern, yaitu:[17]

  1. Munculnya lembaga sosial spesifik. Dalam masyarakat tradisional, keluarga adalah satu-satunya pusat kegiatan dalam masyarakat. Secara berangsur, sistem agama, politik, dan ekonomi mulai memisahkan diri dari sistem keluarga. Aneka sistem yang memisahkan diri ini lalu menjadi otonom bahkan menciptakan regulasi otentiknya masing-masing. Sistem-sistem baru menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota masyarakat secara lebih efektif dan efisien. 
  2. Organisasi skala besar. Masyarakat modern ditandai menyebarnya aneka organisasi sosial berskala besar. Contohnya birokrasi negara yang mampu menjangkau wilayah luas dan berpopulasi (anggota organisasi) besar, organisasi industri yang mempekerjakan ribuan orang, ataupun lembaga pendidikan yang mendidik anggota masyarakat lintas keturunan keluarga. 
  3. Spesialisasi pekerjaan. Masyarakat modern dicirikan diferensiasi dan speasialisasi tugas yang semakin rumit. Dalam masyarakat modern tidak aneh ada profesi penyapu jalan, penjaga WC umum, tukang sampah hingga presiden. 
  4. Disiplin pribadi. Disiplin pribadi merupakan hal yang dihargai dalam masyarakat modern. Namun, kedisiplinan juga ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang dianut, semisal prestasi atau kesuksesan yang dipandang tinggi suatu masyarakat. 
  5. Penghargaan atas waktu. Masyarakat tradisional dicirikan ketundukan pada peredaran matahari atau musim. Masyarakat modern melangkah lebih jauh dengan membagi waktu berdasarkan jam bahkan menit (kadang detik, dalam dunia teknologi informasi). Siklus kerja masyarakat modern tidak lagi ditentukan peredaran matahari dan musim. Dalam pabrik misalnya, dikenal tiga shift: Pagi, siang, dan malam. 
  6. Kompetensi teknis. Masyarakat tradisional ditengarai oleh latar belakang keluarga (keturunan siapa). Masyarakat modern ditengarai oleh latar belakang kompetensi teknis, kemampuan melakukan suatu pekerjaan. Profesionalitas menjadi alat ukur utama dalam memandang seseorang, bukan asal-usul keturunannya (bibit). 
  7. Impersonalitas. Masyarakat modern menentukan pola hubungan berdasarkan profesionalitas (kemampuan teknis) dalam pasar kerja. Dengan demikian, manusia menjadi impersonal akibat hanya dikenali berdasarkan kemampuan teknis bukan kediriannya yang utuh. Perasaan semakin dijauhkan dalam hubungan masyarakat rasional. 

Bagi Weber, kapitalisme, birokrasi, dan ilmu pengetahuan adalah ekspresi (perwujudan) dari gagasan utama masyarakat modern: Rasionalitas. Namun, layaknya Marx, Weber juga menemukan potensi alienasi (keterasingan) individu di dalam masyarakat yang rasional ini. Jika Marx menjelaskan alienasi tercipta akibat ketimpangan ekonomi, maka bagi Weber alienasi tercipta sebagai hasil operasi organisasi rasional. Organisasi rasional memperlakukan manusia melulu sebagai angka, tugas, jabatan, atau kompetensi ketimbang keunikan individualitas manusiawi mereka. Kepastian, impersonalitas, keterukuran, dan predictability masyarakat modern yang rasional membuat Weber khawatir manusia kehilangan aspek kemanusiaannya. 

Emile Durkheim dan Peran Peralihan Solidaritas Sosial dalam Perubahan Masyarakat

Bagi Emile Durkheim, masyarakat berbeda dengan individu.[18] Masyarakat berada di luar (beyond) individu. Masyarakat ada sebelum, di tengah, dan setelah kehadiran individu di dunia. Masyarakat akan tetap ada kendati individu-individu sudah tidak lagi menjadi anggotanya. Masyarakatlah yang punya kekuasaan mengarahkan pemikiran dan tindakan manusia. Sebab itu, kajian psikologi atau biologi dianggap tidak pernah bisa menangkap inti pengalaman sosial seseorang. Segera setelah dibentuk oleh sekumpulan orang, masyarakat seterusnya bergerak secara mandiri. Bahkan, masyarakat menuntut kepatuhan dari orang-orang yang telah membentuknya. 

Bagi Durkheim, struktur sosial adalah pola perilaku manusia yang meliputi norma, nilai, dan kepercayaan. Pola perilaku tersebut dikodifikasi di dalam budaya. Struktur sosial juga disebut Durkheim sebagai fakta sosial. Fakta sosial adalah struktur sosial yang benar-benar ada di luar individu, sifatnya permanen, bukan trend. Selain struktur, masyarakat juga punya fungsi. Fungsi ini memastikan masyarakat mampu beroperasi. Salah satu fakta sosial adalah kriminalitas. Bagi Durkheim, secara sosial fungsi kriminalitas tidaklah abnormal. Eksisnya kriminalitas menunjukkan kemampuan masyarakat dalam mendefinisikan moralitas. Sanksi yang diberikan sanksi masyarakat atas para pelaku kriminal menunjukkan eksistensi norma sosial yang harus dipatuhi setiap anggotanya. 

Durkheim juga menyatakan, masyarakat tidak hanya berada di luar individu melainkan juga di dalam-nya. Personalitas pribadi merupakan representasi masyarakat di dalam diri individu. Konsekuensi logisnya, apapun yang individu lakukan, bayangkan, pikirkan, putuskan, sesungguhnya dipengaruhi apa yang masyarakat introjeksikan kepadanya. Masyarakat-lah yang mengatur apa yang boleh diinginkan individu, bagaimana cara mencapainya, serta apa saja batasannya. 

Durkheim juga menyorot integrasi sosial. Pandangan menarik Durkheim mengenai ini adalah kasus bunuh diri. Menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang lemah integrasi sosialnya. Dalam sebuah penelitian – dimuat dalam karya tulisnya, Suicide – tingkat bunuh diri rendah di kalangan masyarakat Katolik ketimbang Protestan. Bagi Durkheim penyebabnya adalah, penekanan kolektivitas pada masyarakat Katolik lebih besar, sementara Protestan lebih kepada individualitas. 

Durkheim berbeda dengan Weber dalam memandang konsep masyarakat tradisional dan modern. Bagi Durkheim, masyarakat modern punya pembatasan yang lebih sedikit atas individu ketimbang yang dilakukan masyarakat tradisional. Akibat sedikitnya keterlibatan masyarakat atas individu modern, masyarakat modern cenderung menciptakan anomie. Anomie adalah kondisi di mana individu hanya sedikit mendapat bimbingan moral dari masyarakat. Akibat anomie, tingkat perceraian, kehamilan di luar nikah, bunuh diri, stress dan depresi individual lebih banyak terdapat di masyarakat modern ketimbang tradisional. 

Durkheim juga mengkomparasikan kohesi sosial antara masyarakat tradisional dengan modern. Komparasi Durkheim lakukan atas aspek solidaritas sosial. Pada masyarakat pra-industrial, tradisi bertindak sebagai perekat sosial (kohesi) masyarakat. Masyarakatnya mengembangkan solidaritas-mekanik. Solidaritas-mekanik adalah ikatan sosial berdasarkan nilai-nilai moral dan sentimen bersama dan masih kuat dianut serta dipatuhi oleh para anggota masyarakat. Solidaritas-mekanik sekaligus merupakan produk kesamaan struktur, okupasi, dan proses sosial masyarakat. 

Dalam masyarakat industri, kepadatan moral (moral density) meningkat. Peningkatan berakibat pada melemahnya solidaritas-mekanik yang membuat individu merasa tidak lagi terikat tradisi. Sebagai penggantinya – di masyarakat modern – muncul solidaritas-organik yaitu ikatan sosial berdasarkan spesialisasi dan kesalingtergantungan okupasi antaranggota masyarakat. Perbedaan spesialisasi kerja (okupasi) pada masyarakat modern membuat para anggotanya saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan bukan karena punya nilai, norma, atau budaya serupa melainkan kepentingan okupasi. Transaksi antar kepentingan okupasi direkat oleh uang. Dalam membangun rumah misalnya, terdapat sejumlah profesi yang saling bergantung seperti arsitek, mandor, teknik sipil, tukang listrik, tukang pipa, buruh bangunan kasar, ataupun pejabat yang mengurus IMB. Mereka tidak bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan, dan mereka hanya mau bekerja jika kompetensi masing-masing diimbali dengan uang. 

----------------------

[1] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p. 80-94. 
[2] Ibid
[3] Ibid., p. 83. 
[4] Ibid
[5] Peter Sercombe and Bernard Sellato, eds., Beyond the Green Myth: Borneo’s Hunter-Gatherer in the Twenty-First Century (Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, 2007) p. 10 
[6] Johan Weintré, Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden), Makalah Studi Lapangan, (Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2003). 
[7] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber ini. 
[8] Agama Yahudi dan Nasrani tumbuh dari masyarakat pastoral Bani Israil. 
[9] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82-4. Bahasan agraris didasarkan sumber ini. 
[10] Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, ed., Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) h. 65. 
[11] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p..84. Bahasan industrial didasarkan sumber ini. 
[12] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.84-5. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber ini. 
[13] Kelas produsen dan konsumen adalah inisiatif penulis. Analisis Marx hanya sampai masyarakat industrial. 
[14] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.87-8. 
[15] Ibid. Pembahasan mengenai Weber menggunakan sumber ini, dengan eleborasi seperlunya. 
[16] Dinasti ini berkuasa 1871–1918 di Prussia (Jerman), di masa Weber produktif menulis karya-karyanya. 
[17] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p. 91. 
[18] Ibid.p. 92-4.

tags: 
proses pembentukan masyarakat proses perubahan masyarakat menurut gerhard lenski karl marx max weber emile durkheim peran teknologi peran konflik peran gagasan peran solidaritas sosial

No comments:

Post a Comment