Latest News

Saturday, April 14, 2012

Pengertian Demokrasi Lokal

Demokrasi lokal adalah demokrasi yang terjadi di level lebih bawah dari hirarki pemerintahan suatu negara. Sementara itu, kajian Birokrasi dan Demokrasi utamanya ditujukan mengefektifkan tujuan-tujuan pemerintahan demokrasi dalam memenuhi janji terhadap para konstituen. Salah satunya adalah, lewat penitikberatan pada kinerja birokrasi. Publik diarahkan lebih mendekati “kerja-kerja nyata” pemerintahan, tidak seperti kondisi saat ini yang seperti “teralienasi” dari implementasi perilaku pemerintah.

Dengan lain perkataan, diupayakan suatu pengalihan titik perhatian dari aspek input sistem politik kepada output. Salah satu upaya kea rah pemberdayaan partisipasi politik public ini adalah dengan demokrasi tingkat local. Jarak antara konstituen dengan pejabat public terpilih relative lebih dekat dengan “daerah” ketimbang “pusat.” Terlebih kini daerah telah punya kewenangan yang semakin besar dalam memproduksi dan mengimplentasikan kebijakan yang punya efek atas masyarakat. Potret Indonesia

Signifikansi demokrasi di tingkat local semakin terlihat tatkala banyak keputusan-keputusan yang khas ditujukan hanya pada satu wilayah. Keputusan spesifik ini membutuhkan persetujuan dari public, baik tatkala disusun maupun dijalankan. Misalnya di Indonesia, implementasi kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dipegang oleh Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, bukan pusat. Tanpa partisipasi yang efektif dan efisien dari warganegara, mustahil kebijakan yang baik tersebut terlaksana. Sifat dari dari demokrasi di tingkat local pun tidak ‘seabstrak’ demokrasi di tingkat Negara.

Bahan kuliah Demokrasi di Tingkat Lokal ini sebagian besar diambil dari Buku Panduan International IDEA mengenai keterlibatan, keterwakilan, pengelolaan konflik dan kepemerintahan. Alasannya adalah, penjelasan yang ada di buku tersebut cukup sederhana, efektif, dan mudah dipahami oleh sebab sifatnya sebagai buku panduan praktis.

Konsep-konsep Kunci Demokrasi Lokal

Demokrasi tingkat lokal adalah suatu konsep yang berupaya mendekatkan alam bernegara kepada individu. Jarak, sebagai suatu hal yang kerap membuat warganegara punya political efficacy yang rendah, dipangkas oleh konsep ini. Sebab itu, demokrasi local kerap dipahami sebagai cara berdemokrasi (memerintah) di:
  • Dalam lembaga-lembaga pemerintahan local seperti walikota, dewan kota atau DPRD, komite-komite, dan pelayanan administrative;
  • Dalam pengorganisasian dan aktivitas masyarakat (civil society).

Secara ideal, kedua elemen di atas (pemerintah dan civil society) bekerja sama dalam melakukan penyusunan dan implementasi kebijakan. Keduanya merupakan partner kerja, kendati di alam kenyataan keduanya lebih merupakan “sparring enemy.” Sebab itu, demokrasi lokal memperkenal beberapa konsep yang bisa diacu guna mendekatinya sebagai berikut.

Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.

Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung bersama-sama.

Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi “yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat” semakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan anggota masyarakat.

Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

Demokrasi Langsung vs. Demokrasi Perwakilan

Ada dua mazhab filsafat yang menerangkan dua konsep demokrasi lokal yang agak saling bertolak belakang. Mazhab pertama, yang sejarahnya dapat dikaitkan dengan filosof Perancis Jean Jacques Rousseau, memandang demokrasi sebagai keterlibatan langsung warga masyarakat dalam hampir semua urusan yang menyangkut kehidupan umum.

Rousseau berkeyakinan bahwa peran serta seluruh warga masyarakat akan bisa mengungkapkan aspirasi umum mereka semua, dan bahwa cara terbaik untuk menentukan kehendak umum warga adalah melalui kekuasaan di tangan mayoritas.

Namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa sistem dan bentuk pemerintahan lokal di masa sekarang sudah terlalu “besar” untuk mengakomodasi keterlibatan langsung warga masyarakat. Wujud demokrasi terbaik dan paling praktis yang bisa kita harapkan adalah demokrasi perwakilan, yang di dalamnya warga memilih calon wakil mereka atau partai politik yang membuat keputusan otoritatif bagi seluruh masyarakat. Banyak pihak yang berpendapat bahwa demokrasi perwakilan paling cocok diterapkan untuk demokrasi lokal.

Ada saja orang yang bertanya-tanya apakah mungkin di zaman moderen ini gagasan demokrasi langsung bisa diwujudkan, padahal tema ini tidak habis-habisnya muncul di dalam polemik filsafat kontemporer, bahkan dalam praktik sehari-hari. Sebagai contoh, mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere pernah mempopulerkan semacam gerakan sosialisme desa (villagization) dan ujamaa (komunitas) di negaranya. Pada 1967, dalam Deklarasi Arusha, Nyerere mencanangkan gagasan sosialisme desa yang berdasar atas hubungan kekerabatan, komunitas, kemandirian, gotong-royong, dan pembangunan lokal secara swasembada.

Falsafah Nyerere membayangkan sebuah komunitas sosial dan ekonomi yang di dalamnya orang-orang hidup berdampingan dan bekerja bahu-membahu demi kesejahteraan semuanya. Namun, Tanzania versi Nyerere itu 90 persen rakyatnya hidup di pedesaan. Ukuran desa atau kota memang acap kali dituding sebagai faktor penghambat terwujudnya demokrasi langsung. Semakin besar sebuah kota, kian kecil kemungkinan di sana bisa diterapkan demokrasi langsung.

Demokrasi Adversarial vs. Demokrasi Kolaboratif

Demokrasi perwakilan menyiratkan adanya pendekatan yang sifatnya “bermusuhan” atau bersaing dalam menentukan apa yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Calon wakil rakyat yang potensial harus tampil di muka umum dan memperebutkan dukungan mereka.

Dalam upaya ke arah itu perbedaan sosial dan rasa permusuhan akan menjadi kian tajam pada saat pimpinan-pimpinan politik melancarkan pesan kampanye mereka. Para pendukung demokrasi perwakilan berpendapat bahwa kompetisi antar calon pemimpin politik itu justru memberi vitalitas dan akuntabilitas di dalam kancah politik. Namun, tidak sedikit yang bersikap skeptis terhadap pendekatan kompetitif itu, terutama yang hanya bersandar pada pembuatan keputusan mayoritas. Mereka lebih memilih proses dan struktur pengambilan keputusan yang mengutamakan tercapainya consensus ketimbang kompetisi untuk merebutkan jabatan.

Banyak yang percaya bahwa kini ada kecenderungan perhatian terarah ke demokrasi perwakilan daripada demokrasi langsung dan pengambilan keputusan yang bersifat persaingan ketimbang kolaboratif. Fokus pada pemilu dan perbedaan yang tajam antara platform politik yang diusung partai-partai kontestan pemilu telah menciptakan jarak antara warga masyarakat dan para pejabat public sehingga meningkatkan perpecahan antarkelompok-kelompok sosial. Akibatnya, warga umumnya menjadi apatis dan alergi terhadap kehidupan politik.

Akademisi yang meneliti penyelenggaraan pemerintahan lokal di masa kini mengemukakan kian merosotnya legitimasi lembaga-lembaga pemerintahan lokal, dan meluasnya ketidakpercayaan masyarakat pada kemampuan partai-partai politik lokal dalam mewakili dan mengkoordinasikan kepentingan masyarakat yang beraneka-ragam.

Salah satu indikator menjauhnya publik dari panggung politik adalah rendahnya jumlah pemilih yang memberikan suara. Menurut laporan International IDEA perihal jumlah pemilih, “Total keikutsertaan dalam pemilu-pemilu kompetitif di seluruh dunia meningkat tajam antara tahun 1945 dan 1990… Namun pada dasawarsa 1990-an, seiring dengan meningkatnya pemilu kompetitif di negara-negara demokratis yang baru, rata-rata keikutsertaan pemilih di dalam pemilu-pemilu yang dilaksanakan sejak 1990 merosot drastis hingga 64 persen.

Meskipun tingkat keikutsertaan dari seluruh pemilih yang berhak memberi suara hanya sedikit berkurang, tingkat keikutsertaan mereka yang benar-benar mendaftar sebagai pemilih anjlok secara dramatis.” Meski belum ada data yang pasti tentang hal ini, kebanyakan pakar sepakat bahwa jumlah total pemilih yang memberikan suara dalam pemilu lokal jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pemilu nasional. Akhir-akhir ini timbul keprihatinan tentang besarnya peran jajak pendapat publik, kontribusi finansial, serta penggunaan jasa konsultan dalam membentuk agenda publik yang menafikan suara murni masyarakat lokal dan mengakibatkan menjamurnya sikap sinis dan apatis dari warga.

Struktur partai-partai politik lokal juga dipertanyakan dalam kapasitasnya sebagai lembaga sosial yang efektif, terutama di Amerika Utara dan Eropa Barat. Isu-isu yang semula menjadi amunisi perjuangan partai-partai di Eropa, misalnya isu kelas sosial, sekarang tampak kehilangan relevansinya di dunia dengan mobilitas sosial yang tinggi dewasa ini. Kenyataan ini menimbulkan krisis penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal di beberapa tempat, disusul oleh munculnya struktur pemerintahan terfragmentasi, yang beberapa di antaranya dipaksakan oleh pemerintah pusat sebagai jawaban atas ketidakmampuan pemerintah lokal untuk mengambil langkah tegas.

Keprihatinan akan legitimasi pemerintahan ini membuat banyak pihak mengusulkan untuk mengkaji ulang isu aksesibilitas, kesamarataan (equality), serta penyegaran kembali peran serta masyarakat. Seiring dengan gencarnya tuntutan desentralisasi kekuasaan, kian mengental pula pertanyaan-pertanyaan yang mempersoalkan legitimasi pemerintah. Pengikutsertaan dan keterlibatan masyarakat merupakan faktor penting dalam upaya menumbuhkan kepercayaan dan akuntabilitas sebagai syarat utama untuk meyakinkan masyarakat akan kualitas demokrasi lokal.

Tantangan Pemerintahan Lokal

Beberapa tantangan kemudian dihadapi tatkala suatu demokrasi local hendak diterapkan. Tantangan-tantangan ini menarik akibat sifatnya yang “real” dan memunculkan peluang political efficacy kalangan warganegara.

Melayani Publik. Melayani masyarakat merupakan fungsi utama pemerintah lokal, terutama pelayanan yang memerlukan koordinasi lokal, jaringan kerja, infrastruktur, atau perencanaan. Di antara tantangan-tantangan terpenting yang dihadapi pemerintah lokal adalah:
  • Kejahatan, kekerasan umum atau politik, menjaga ketertiban, dan tata laksana peradilan lokal;
  • Pendidikan, yang kerap melibatkan keputusan sensitif berkaitan dengan bahasa atau latar belakang budaya di dalam masyarakat multi-etnis yang kian majemuk;
  • Manajemen lingkungan dan kelangkaan sumber daya, terutama masalah air dan sanitasi (pengumpulan sampah, penanganan saluran pembuangan);
  • Perumahan, terutama pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah, serta mengelola pola-pola pemukiman yang kondusif untuk menciptakan keharmonisan antar etnis di wilayah kota yang multi-etnis;
  • Pengangguran dan dislokasi ekonomi, serta perlunya memposisikan kota secara kompetitif untuk menjaring investasi baru di dalam perekonomian global;
  • Pelayanan kesehatan dan manajemen rumah sakit, terutama dengan munculnya bentuk-bentuk baru penyakit infeksi yang berdampak terhadap kesejahteraan sosial, sementara masalah-masalah penyakit lama masih belum teratasi;
  • Migrasi, yang sering berupa membanjirnya komunitas imigran miskin dan pengungsi, atau pengungsi dari daerah pedesaan yang miskin;
  • Isu-isu regional, misalnya masalah pemakaian sumber daya air dan udara dengan daerah lain; dan
  • Transportasi, kemacetan lalu lintas, dan metode untuk mengangkut masyarakat dari tempat tinggal ke tempat kerja mereka setiap hari.

Urbanisasi. Dewasa ini, lebih dari 3,2 milyar orang – lebih dari separuh penduduk dunia – tinggal di perkotaan. Angka ini berasal dari kenaikan urbanisasi hingga 20 kali lipat sepanjang abad ke-20; dan trennya memperlihatkan sedikit tanda-tanda akan berkurang.

Pertumbuhan penduduk dewasa ini paling cepat terjadi di perkotaan di negara- negara berkembang. Sebuah publikasi dari Worldwatch Institute melaporkan bahwa lonjakan penduduk di perkotaan di negara-negara berkembang akan menjadi tren demografi yang menonjol di abad mendatang, akan ada tambahan penduduk hingga 90 persen dari 2,7 miliar penduduk dunia saat ini antara 1995 dan 2030. Ledakan penduduk terdahsyat diperkirakan terjadi di Afrika dan Asia.

Meski urbanisasi mempunyai dimensi positif – banyak lompatan besar pembangunan terjadi di wilayah perkotaan – bertambahnya jumlah penghuni kota juga menghadirkan tantangan yang tidak kecil. Kota-kota dewasa ini, misalnya, hanya mengambil dua persen dari permukaan bumi tapi penduduknya mengkonsumsi 75 persen dari sumber daya yang ada.

Di antara masalah-masalah lingkungan perkotaan yang paling serius pada abad ke-20 adalah masalah perbaikan pasokan dan mutu air, pengerukan sampah perkotaan, transportasi, dan pemakaian lahan untuk membangun pemukiman yang lebih baik. Negara-negara berkembang dihadapkan pada masalah pemukiman liar, atau masyarakat penghuni liar, yang ditandai oleh absennya pelayanan dasar dan infrastruktur. Salah satu tantangan paling berat bagi pemerintah lokal adalah penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.

Pada gambar di bawah ini dapat dilihat masalah-masalah umum yang dihadapi hampir seluruh walikota di dunia:

 
 
Globalisasi. Globalisasi merujuk pada perubahan sistem internasional setelah berakhirnya Perang Dingin pada akhir dasawarsa 1980-an. Istilah globalisasi mencakup beberapa dimensi perubahan dunia secara sistematis, yang antara lain langsung berdampak pada tata cara pelaksanaan pemerintahan lokal.

Perubahan ekonomi. Walaupun perekonomian internasional sekarang belum bisa dikatakan sudah sepenuhnya terintegrasi dan pemerintah nasional tetap berperan dalam proses pengambilan keputusan di bidang ekonomi, konteks ekonomi untuk pemerintahan lokal sudah sangat berubah. Kini telah muncul konsensus baru yang menyangkut model-model ekonomi berbasis pasar, kenaikan luar biasa arus modal internasional, perluasan perdagangan internasional yang pesat, kian besarnya pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional, dan integrasi ke dalam perekonomian dunia oleh negara-negara yang semula tidak terlibat dalam sistem perekonomian global.

Perubahan politik. Kecenderungan ke arah demokrasi pada abad ke-20 berlangsung menakjubkan, dan hal itu telah menghasilkan sebuah consensus internasional yang luas mengenai nilai-nilai dasar bagi sistem politik, proses-proses demokrasi seperti pemilu dan pentingnya pranata masyarakat madani, dan prinsip-prinsip demokrasi seperti peran serta dan penyertaan (inclusion).

Demokratisasi di banyak negara telah menghasilkan masyarakat madani – jika diukur dari menjamurnya ornop atau LSM – yang pada gilirannya menunjukkan banyaknya aktor non-pemerintah yang terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan.

Perubahan teknologi. Revolusi informasi dan komunikasi di penghujung abad ke-20 telah menyentuh hampir seluruh negara dan kota di muka bumi ini. Meningkatnya akses informasi dan komunikasi telah mengakibatkan perubahan ekonomi, sosial, dan politik yang mendasar. Yang paling penting, revolusi itu telah membuka jalan yang lebih mudah untuk berbagi perspektif dan informasi, serta mempertimbangkan demokrasi dan masukan dari masyakarat secara langsung dengan cara yang pada beberapa tahun silam nyaris mustahil.

Kemajemukan Masyarakat. Kota-kota di seluruh dunia ini nyaris semuanya majemuk dari segi etnis. Di beberapa kota tertentu, misalnya Jerusalem, kemajemukan etnis merupakan pola sejarah yang tua. Di kota-kota lain kemajemukan mungkin dipandang sebagai fenomena baru yang timbul akibat membludaknya berbagai kelompok imigran lewat tapal batas negara belakangan ini – contohnya Oslo, Norwegia.

Di Amerika Serikat masalah imigran diakibatkan oleh terpuruknya perekonomian negara- negara Amerika Latin di satu sisi dan daya tarik kesempatan bekerja di Amerika Serikat yang luar biasa di sisi lain. Akibat yang ditimbulkan oleh puluhan tahun migrasi kaum Hispanik ke Amerika Serikat adalah perubahan pesat wajah kota- kota di wilayah tengah Amerika. Dari tahun 1990 hingga 2000 jumlah penduduk Hispanik di Amerika Serikat melonjak dari 22,6 juta menjadi 31,3 juta. Kaum Hispanik sekarang merupakan 10 persen dari total penduduk negara itu. Pada kebanyakan kota di Amerika Serikat kini konflik ras tidak hanya sebatas antara orang kulit putih dan hitam; orang Hispanik telah menjadi kaum minoritas yang signifikan maupun mayoritas.

Trend dalam Demokrasi Lokal

Untuk mengantisipasi tantangan-tantangan yang dibahas pada bagian terdahulu, struktur-struktur pemerintahan lokal di masa kini perlu berunjuk kerja secara berbeda. Cara berpikir dan fungsi tradisional – mendefinisikan nilai-nilai masyarakat dan menentukan opsi-opsi untuk publik – tetap ada, namun perlu disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan terkini yang ada.

Perkembangan-perkembangan itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Siapa? Kini banyak sekali fungsi pemerintahan lokal yang dijalankan dalam bentuk kemitraan strategis, atau hubungan kerjasama di antara para pejabat terpilih, sektor swasta, masyarakat madani dan organisasi massa, dan para warga masyarakat. Semakin banyak pejabat lokal membuat kontrak dengan perusahaan-perusahaan dan organisasi nirlaba yang berkemampuan lebih untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintah. Praktik melimpahkan fungsi pemerintahan kepada organisasi-organisasi swasta itu memang terbukti lebih efisien, namun menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai demokrasi. 

  • Bagaimana? Semakin banyak negara yang mendesentralisasikan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan terendah yang paling mungkin. Desentralisasi didorong oleh keinginan pemerintah pusat untuk membagi kekuasaan dan tanggung jawab, serta didorong oleh kebijakan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia. 

  • Mengapa? Sekarang ini ada kecenderungan masyarakat internasional untuk mendefinisikan hak suatu daerah untuk mengurus diri sendiri (self-governance) sebagai hak asasi universal. Pada tataran regional maupun nasional, lembaga- lembaga internasional dan kelompok-kelompok multilateral kini telah mengadopsi standar-standar agar pemerintah nasional melimpahkan fungsi pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan khalayak sebagai cara untuk memaknai prinsip-prinsip demokrasi. Norma-norma inilah yang menyebarluaskan kewajiban internasional di semua Negara dunia untuk mendukung tumbuhnya demokrasi lokal.
Kemitraan Strategis

Kadang-kadang para pejabat dan pegawai pemerintahan tidak mampu, atau memang tidak cocok, untuk memberikan pelayanan tertentu secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Banyak contoh di seluruh dunia, pemerintah local mulai menjalin kemitraan strategis dengan sektor swasta dan ornop, organisasi masyarakat madani, dan organisasi massa untuk menyediakan pelayanan local terpenting.

Dalam pelaksanaan nyata pelayanan itu, kentara sekali adanya kecenderungan melakukan swastanisasi, kemitraan antara pemerintah dan swasta, outsourcing (menyewa atau merekrut pihak lain untuk menjalankan suatu fungsi atau pelayanan jasa), dan korporatisasi sarana-sarana seperti air bersih, tenaga listrik, penanganan limbah, penyediaan pemukiman, pelayanan kesehatan, dan bahkan pelayanan fasilitas penjara. Ada dua bentuk hubungan kemitraan dengan tujuan yang agak berbeda.

Bekerja dengan masyarakat madani seperti ornop, organisasi massa, dan lain-lain adalah salah satu bentuk kerjasama itu. Kemitraan itu dijalin atas dasar pemikiran bahwa kelompok-kelompok masyarakat madani memiliki keunggulan komparatif dalam mengimplementasikan kebijakan atau mengatasi berbagai masalah. Mereka lebih dekat dengan masyarakat yang memerlukan pelayanan. Dalam skema kemitraan seperti ini pejabat lokal sering hanya berperan sebagai penyandang dana, pengawas, mitra kerja, atau spesialis. 

Bekerja dengan sektor swasta sering didasari alasan bahwa sektor ini memiliki keunggulan dalam menyediakan pelayanan bagi masyarakat lokal – misalnya air bersih, manajemen transportasi, tenaga listrik, atau pengumpulan sampah. Namun fondasi yang mendasari kemitraan itu lebih bermotif ekonomi; perusahaan-perusahaan swasta dapat menyediakan pelayanan itu dengan lebih efisien dan murah ketimbang pemerintah lokal. 

Meski masyarakat dan pemerintah kota kerap menikmati efisiensi berkat kemitraan seperti itu – lebih lancarnya penyediaan jasa – bisa saja akibatnya adalah tidak adanya transparansi. Artinya, para pejabat lokal kurang mengawasi apa yang sesungguhnya dikerjakan di dalam masyarakat, tapi setidak-tidaknya jasa dan pelayanan yang dibutuhkan memang tersedia.

Di Afrika bagian selatan, misalnya, pemerintah daerah mengandalkan perusahaan multinasional regional yang kuat — Eskom yang berbasis di Johannesburg — sebagai penyedia tenaga listrik. Dalam proses negosiasi dengan perusahan-perusahaan seperti itu pemerintah lokal dan para pihak terkait (stakeholder) sering merasa tidak berdaya atau dalam posisi tawar-menawar yang lemah. Kemitraan strategis pun kerap menimbulkan bencana bagi mitra swasta.

Bagi ornop dan organisasi massa independen, mereka kerap kehilangan kemandirian dan fleksibilitas apabila sumber keuangan mereka dipasok oleh pemerintah lokal. Mereka menjadi enggan menempuh risiko dan mencari solusi inovatif bagi masyarakat setempat, apabila mereka rasa solusi itu akan bertentangan dengan kebijakan lokal.

Organisasi-organisasi massa dan kehidupan sosial yang berserikat merupakan lem perekat masyarakat yang kukuh. Kehidupan masyarakat madani yang kuat memungkinkan terwujudnya demokrasi lokal dengan cara sebagai berikut:
  • Menyediakan layanan, yang kadang-kadang didanai oleh pihak-pihak swasta, yang pemerintah tidak punya atau kekurangan wewenang untuk menyediakannya, terutama pelayanan yang bersifat kemanusiaan untuk membantu rakyat miskin atau penyandang cacat;
  • Mengartikulasikan kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dan mewadahi berbagai kebutuhan dan reformasi sosial, melalui perserikatan- perserikatan dan lembaga swadaya; dan
  • Menyediakan layanan teknis, seperti pengumpulan data mengenai masalah sosial, serta memberikan solusi praktis dengan konsep-konsep yang bervariasi.

Sebagai contoh, di Nikaragua telah didirikan jaringan khusus untuk ornop yang aktif di pemerintahan lokal, yang disebut Nicaraguan Network for Local Development (Jaringan Pembangunan Lokal Nikaragua). Jaringan itu menjalankan program-program pendidikan masyarakat, proyek-proyek pemilu dan mendorong partisipasi perempuan. Jaringan itu juga berperan serta dalam mengembangkan proses-proses pengambilan konsensus lokal di mana di dalamnya semua ornop, organisasi massa, dan pejabat lokal bahu-membahu mencari solusi bagi suatu masalah perkotaan yang spesifik.

Kecenderungan ke arah kemitraan strategis dengan kelompok-kelompok berbasis massa tampak menggejala baik di negara maju maupun negara yang tengah membangun demokrasi. Para pejabat yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ini perlu mengingat pentingnya kepekaan terhadap faktor usia dan gender dalam menjalin kemitraan strategis. Banyak pakar di bidang demokrasi lokal berpendapat bahwa kaum perempuan, kaum muda, dan para manula kerap diabaikan atau secara sistematis sengaja tidak diberi ruang untuk berperan serta di dalam pemerintahan lokal.

Desentralisasi dan Pemerintahan Kooperatif

Istilah desentralisasi berarti prinsip bahwa keputusan yang menyangkut masyarakat sebisa mungkin dibuat oleh pejabat yang tingkatnya paling dekat dengan rakyat.

Di masa kini, sekitar 70 negara di dunia sedang menerapkan reformasi politik yang arahnya menuju ke desentralisasi dan memperkuat pemerintah lokal, antara lain Republik Dominika, Mongolia, Nepal, Pakistan, Tanzania, Thailand, Uganda, dan Yemen. Pada umumnya, negara-negara yang baru mengalami pergeseran kekuasaan ke arah rezim yang populer melakukan reformasi ini.

Banyak yang mendukung desentralisasi sebagai cara paling ampuh untuk mengkonsolidasikan kehidupan berdemokrasi, dengan menekankan manfaat-manfaat politis, ekonomis, serta administratif yang bisa diraih pemerintah dan masyarakat dari gerakan desentralisasi. Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari desentralisasi di negara-negara yang sedang membangung demokrasi adalah:
  • Politis. Meningkatnya kekuasaan rakyat dan wakil-wakil terpilih mereka.
  • Geografis. Timbulnya pemerataan populasi dan kegiatan ekonomi.
  • Administratif. Melimpahkan tanggung jawab perencanaan, manajemen, pengumpulan dana dari pemerintah pusat kepada petugas lapangan atau kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau kepada lembaga-lembaga semi-otonom; dan
  • Ekonomis. Meningkatkan efisiensi manajemen ekonomi oleh pemerintah melalui stimulasi dan regulasi yang baik.

Desentralisasi juga memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat madanidengan memperkuat:
  • Akuntabilitas dan transparansi pemerintah,
  • Pemecahan masalah,
  • Peluang-peluang untuk berbagi keahlian teknis dan sosial dalam proses pembuatan kebijakan,
  • Pengaruh masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah, dan
  • Kontrol terhadap pengembangan program-program kebijakan yang mungkin harus diimplementasikan oleh organisasi non-pemerintah.

Sebagai contoh, banyak spesialis menunjukkan keberhasilan desentralisasi di negara-negara Amerika Latin sebagai contoh bagaimana cara mendekatkan pemerintah kepada masyarakat di dalam kondisi demokrasi baru. Namun desentralisasi kekuasaan bukanlah tanpa rintangan manakala upaya-upaya untuk menata kembali struktur politik berhadapan dengan struktur kekuasaan yang sekian lama bercokol, yang didukung oleh kultur politik yang mapan dan tidak kondusif bagi langkah-langkah untuk memasyarakatkan peran serta warga di dalam pemerintahan.

Namun, pemilu lokal yang demokratis telah membuktikan hasilnya – terutama dengan pemilihan walikota melalui pengambilan suara langsung yang menggantikan sistem lama, yakni pemilu tidak langsung yang selama sekian dasawarsa hanya menyuburkan budaya klik politik orang dalam.

Perkembangan lain yang terkait dengan hal ini adalah tumbuh suburnya jaringan pemerintah lokal di bawah naungan sistem desentralisasi, yang lazim disebut asosiasi pemerintah daerah. Baik di kota raksasa maupun di dusun-dusun terpencil, kini menjamur berbagai asosiasi dan jaringan para politisi daerah, manajer dan pemimpin politik di kancah regional, nasional, maupun internasional. Asosiasi asosiasi pemerintah daerah ini semakin penting saja kedudukannya, bahkan, pada beberapa konteks, asosiasi-asosiasi ini sangat penting peranannya sebagai pendukung demokrasi lokal dan desentralisasi kekuasaan.

Di Bolivia, misalnya, reformasi politik di tingkat lokal secara dramatis banyak meningkatkan akuntabilitas para walikota yang dipilih melalui pemilu langsung dan melalui perpanjangan masa jabatan. Inovasi-inovasi lainnya adalah dipopulerkannya pertemuan publik secara reguler, yang disebut Cabildos Abiertos, yang telah dilakukan di El Salvador dan Honduras. Di Brasil, perkembangan asosiasi masyarakat desa telah meningkatkan kualitas penyusunan anggaran keuangan untuk masyarakat, sedangkan di Chile, referendum merupakan cara yang ditempuh untuk mengambil keputusan mengenai pembelanjaan uang public yang memiliki kekuatan hukum.

Kecenderungan terbaru ke arah desentralisasi di berbagai konteks menunjukkan betapa tajamnya perbedaan antara negara-negara demokrasi yang telah mapan dan negara yang masih berada di fase transisi menuju demokrasi. Di Negara demokratis yang sudah maju, perubahan dan reformasi amat jarang terjadi, dan kalaupun ada pasti sangat pelan prosesnya; pola-pola hubungan dan interaksi antartingkat pemerintahan sudah lebih mapan dan menjadi rutinitas. Sebaliknya, pada negara-negara yang sedang menjalani transisi menuju demokrasi, bentuk hubungan antar tingkat pemerintahan sifatnya sering berubah-ubah dan sangat bervariasi. Dalam konteks ini, mendesain ulang sistem demokrasi merupakan kemungkinan yang amat nyata.

Norma-norma Internasional Terkini

Perkembangan norma-norma global dan mandat regional dari organisasi-organisasi internasional tentang pentingnya pengembangan demokrasi lokal adalah kecenderungan lain yang ikut menentukan bentuk pemerintahan lokal. Norma- norma internasional itu dimaksudkan untuk memastikan agar setiap penduduk di negara mana pun memiliki cara yang bermakna untuk melaksanakan haknya atas kemerdekaan dan kebebasan memilih seperti tertuang dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Organisasi-organisasi regional sejauh ini sangat progresif dalam memantapkan norma-norma baru itu dalam menetapkan posisi pemerintahan lokal di dalam politik suatu negara. Dewan Eropa dan Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American States atau OAS) juga sangat aktif dan gigih dalam menetapkan standar pemerintahan lokal regional. Di Eropa telah banyak dilakukan upaya untuk meningkatkan peran pemerintah lokal dalam menyikapi kian meningkatnya integrasi ekonomi dan prinsip desentralisasi dalam pemerintahan: semua keputusan yang mempengaruhi masyarakat dan dapat diputuskan di tingkat lokal harus dibuat di sana.

Di Amerika Latin, Unit Promosi Demokrasi OAS menyatakan bahwa desentralisasi, pemerintah lokal, dan peran serta masyarakat “merupakan isu-isu yang kian penting dalam agenda demokrasi di belahan bumi utara” sehingga organisasi itu berusaha keras memajukan pendekatan ini melalui berbagai pelatihan, lokakarya, kegiatan riset, publikasi, dan pemberian bantuan teknis.

Pekerjaan besar ini dilaksanakan dalam konteks norma standar regional yang diadopsi oleh organisasi itu pada awal era 1990-an sebagai dukungan bagi gerakan demokrasi yang berhasil menumbangkan pemerintahan otoriter. Sebagai contoh, di Santiago (Chile) pada 1991, organisasi itu mengadopsi Resolusi 1080 mengenai “Demokrasi Perwakilan” yang mengharuskannya mengambil langkah atau respons yang cepat dan tegas manakala terjadi “masalah sosial dan ekonomi yang serius dan dapat mengancam stabilitas pemerintah yang demokratis”.

-------------------------------------------
Referensi

Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Lokal, (International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2002).

tags
pengertian demokrasi lokal tingkat demokrasi lokal jenis-jenis demokrasi lokal masalah pemerintah lokal desentralisasi kota pemerintah pusat hubungan

No comments:

Post a Comment