Latest News

Saturday, April 14, 2012

Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah faktor yang menentukan karakteristik suatu organisasi. Kajian budaya organisasi memiliki nilai signifikan dalam meneliti kinerja sebuah organisasi. Kajian budaya organisasi menunjukkan bagaimana suatu budaya berkembang di dalam organisasi, terinternalisasi di dalam perilaku para anggota organisasi, dan memiliki hubungan dengan kinerja keseluruhan organisasi termaksud. Budaya organisasi satu dengan organisasi lain relatif berbeda, bergantung pada karakteristik organisasi perusahaan. Dalam hal ini, organisasi profit memiliki perbedaan budaya dengan organisasi non profit atau, organisasi pemerintah berbeda budayanya dengan organisasi swasta.[1]

Definisi Budaya Organisasi

Sejumlah peneliti telah melakukan kajian seputar konsep budaya organisasi. Walter R. Freytag mendefinikan budaya organisasi sebagai 
... a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds organizational members together and prescribes appropriate patters of behavior.”[2]
Freytag menitikberatkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai 
... the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations that organize and integrate a group of people who work together.”[3]
Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.
Definisi lain, dan ini merupakan definisi dari seorang perintis teori budaya organisasi, diajukan oleh Edgar H. Schein. Schein menyatakan budaya organisasi sebagai 
“.... a pattern of shared basic assumption that was learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new member as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problem.”[4]
Schein menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi dasar yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi. Serangkaian asumsi dasar dapat dipelajari oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi mampu bertindak sebagai pemberi solusi atas masalah organisasi, berperan selaku adaptor terhadap faktor-faktor yang berkembang di luar organisasi, serta dalam melakukan integrasi internalnya dari para anggotanya. 
Definisi yang lebih rinci mengenai budaya organisasi diberikan oleh Matt Alvesson, bahwa saat bicara mengenai budaya organisasi, maka
“ ... seems to mean talking about the importance for people of symbolism –  of rituals, myths, stories and legends and about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are influenced and shaped by the groups within they live. I will also, however, take organizational culture to include values and assumptions about social reality ...”[5]
Bagi Alvesson, pembicaraan mengenai budaya organisasi sulit dilepaskan dari pembicaraan mengenai pentingnya simbolisme bagi manusia, serta peristiwa, gagasan, dan pengalaman yang dialami serta dibentuk oleh kelompok di mana seseorang beraktivitas. Dalam analogi dengan kajian sosiologi, anggota organisasi berposisi sebagai individu sementara organisasi berposisi sebagai masyarakat. Organisasi membentuk anggota organisasi agar menyesuaikan diri terhadap budaya yang berkembang di dalam organisasi sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut. 
Contoh dari budaya organisasi ini adalah organisasi ketentaraan, dalam mana setiap jam 07.00 WIB para anggotanya biasa melakukan apel pagi. Ini merupakan “ritual” di dalam organisasi dan jika ada anggota yang tidak ikut apel atau terlambat, sanksi-sanksi tertentu akan tertimpa kepadanya, dan tidak satupun anggota organisasi yang akan memprotesnya. Demikian pula artifak seperti seragam, topi upacara, ataupun susunan acara melekat pada “ritual” tersebut. Ritual seperti organisasi ketentaraan tentunya berbeda dengan organisasi lain, misalnya organisasi para seniman. 
Majken Schultz menyatakan bahwa konsep budaya organisasi merupakan antitesis dari pendekatan-pendekatan organisasi yang bersifat rasionalistik dan mekanistik.[6] Menurut Schultz,
 “organizational culture focuses on the beliefs, values and meanings used by member of an organization to grasp how the organization’s uniqueness originates, evolves, and operates.”
Ukuran-ukuran seperti keyakinan, nilai, dan makna bukanlah suatu ukuran yang bersifat manifest melainkan laten. Ukuran-ukuran tersebut bersifat kualitatif dan relatif sehingga penelitian budaya suatu organisasi bukanlah hal yang mudah. Masih menurut Schultz, konsep-konsep sebelumnya yang bersifat rasionalitik dan mekanistik cenderung memperlakukan anggota organisasi sebagai alat yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi ataupun sekadar mengkalkulasi perilaku organisasi berdasarkan struktur formal organisasi.  Sebaliknya, budaya organisasi lebih menekankan pada kerangka mendasar dalam mana orang diperlakukan sebagaimana adanya dalam konteks kegiatan pekerjaan dan sosial mereka.
Definisi lain mengenai budaya organisasi diajukan oleh Jan A. Pfister dengan mengkombinasikan defisini budaya organisasi dari Edgar H. Schein, O’Reilly, and Chapman. Pfister mendefinisikan budaya organisasi sebagai:
“... a pattern of basic assumptions that a group has invented, discovered or developed in learning to cope with its problems of external adaptation and internal integration, which is represented in a system of shared values defining what is important, and norms, defining appropriate attitudes and behaviors, that guide each individual’s attitude and behaviors.”[7]
Bagi Pfister, budaya organisasi memiliki empat karakteristik yaitu : (1) pemahaman bersama di antara anggota kelompok; (2) interaksi para anggota suatu kelompok; (3) bersifat implisit ataupun eksplisit; dan (4) didasarkan sejarah serta tradisi.[8]  Nilai serta norma yang mengatur perilaku anggota kelompok adalah kata kunci untuk mengamati budaya organisasi. Nilai mengimplikasikan apa yang penting atau dijunjung tinggi oleh suatu organisasi sementara norma merupakan upaya organisasi untuk mengatur perilaku yang diharapkan atas para anggotanya. Dengan pandangan seperti ini, budaya organisasi adalah relatif dari satu organisasi ke organisasi lainnya, bergantung pada nilai dan norma yang dikembangkannya. 
Dalam kajiannya, Joann Keyton turut menyumbangkan definisi budaya organisasi, yang menurutnya adalah “ ... is the set(s) of artifacts, values, and assumptions that emerge from the interactions of organizational member.”[9] Bagi Keyton, artifak, nilai dan asumsi dalam suatu organisasasi merupakan unsur yang tumbuh dari interaksi para anggota organisasi. Faktor manusia menjadi sedemikian penting dalam kajian-kajian mengenai budaya organisasi ini. 
Budaya organisasi bukan merupakan konsep yang mudah diukur. Kim S. Cameron dan Robert E. Quinn bahkan berargumentasi bahwa kurangnya daya tarik budaya organisasi sebagai bahan penelitian adalah akibat sifatnya yang terlampau menekankan pada asumsi, harapan, ingatan kolektif, termasuk apa yang “orang bawa di dalam benak mereka.”[10] Sifat subyektif dari budaya organisasi ini merupakan aspek yang membuatnya kerap sulit diukur. 
Definisi lain dari budaya organisasi diajukan oleh Geert H. Hofstede dalam kajiannya mengenai budaya organisasi di sejumlah negara. Hofstede mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ ... the collective programming of the mind that distiguishes the members of one organization from another.”[11] Budaya organisasi merupakan pemrograman pikiran yang bersifat kolektif, dalam mana budaya organisasi ini membedakan anggota (manusia) di satu organisasi dengan organisasi lainnya. Berdasarkan pernyataan Hofstede ini, setiap organisasi pasti mengembang budaya yang berbeda-beda.  
Hingga titik ini, definisi dari budaya organisasi telah cukup jelas, dalam mana keseluruhannya rata-rata menekankan pada konsep “nilai, norma, asumsi, yang berlaku di dalam suatu organisasi yang mengatur perilaku individu dalam berpikir ataupun merasa di dalam organisasi dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan eksternal maupun membangun integrasi internal, dalam mana nilai, norma, dan asumsi tersebut akan disosialisasi dan diinternalisasi kepada anggota-anggota baru organisasi.” 
Dari definisi rangkuman ini, tampak jelas bahwa konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu yang secara mudah dapat diukur akibat ia banyak melibatkan serangkaian variabel laten seperti nilai, norma, dan asumsi. Untuk itu, perlu dilakukan suatu kajian literatur guna mengkaji sistem pelapisan konsep yang inheren di dalam budaya organisasi. 
Lapisan-lapisan Budaya Organisasi
Dalam mengukur budaya suatu organisasi, seorang peneliti harus mengamati sejumlah lapisan. Lapisan-lapisan tersebut beranjak dari yang paling dasar hingga yang paling mudah dilihat. Lapisan-lapisan tersebut juga turut menentukan indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian guna meneliti masalah budaya organisasi. 
Salah satu kajian Edgar H. Schein mengenai kaitan antara kepemimpinan dan budaya organisasi secara awal berupaya mengungkap lapisan-lapisan yang ada di dalam konsep budaya organisasi. Schein membagi lapisan budaya organisasi menjadi 3 tingkat yaitu : (1) Artifak; (2) Keyakinan dan Nilai; dan (3) Asumsi-asumsi.[12] Secara berurutan, artifak lebih mudah diamati ketimbang keyakinan dan nilai, sementara keyakinan dan nilai lebih mudah diamati ketimbang asumsi-asumsi. Jika diskemakan maka lapisan menurut Schein adalah sebagai berikut :[13]
Gambar 6 Lapisan Budaya Organisasi versi Schein

Artifak adalah seluruh fenomena yang bisa dilihat, didengar, dan dicerap tatkala seseorang memasuki suatu organisasi baru yang budayanya masih belum familiar baginya. Artifak dapat dilihat dan bersifat nyata “ ... anything that one can see, hear, or feel in the organizational experience, and often the first thing we notice about an organization when we enter it.”[14] Norma-norma, standar-standar, dan kebiasaan-kebiasaan merupakan artifak layaknya atribut-atribut yang lebih bersifat fisik seperti pakaian, arsitektur fisik, bahasa, ritual dan upacara. Keyton memasukkan norma ke dalam lapisan artifak ini.[15]
Norma yang dimaksud Keyton adalah cara dengan mana suatu kolektivitas, atau kelompok orang, terlibat dalam perilaku rutin. Lebih spesifik lagi, suatu norma adalah (a) pola komunikasi atau perilaku (b) yang mengindikasikan apa yang orang seharusnya lakukan di setting tertentu. Ia juga termasuk (c) harapan kolektif tentang perilaku apa yang seharusnya terjadi atau reaksi apa yang seharusnya diberlakukan terhadap satu perilaku tertentu. Sebab itu, norma bersifat formal berupa atura formal (peraturan organisasi, etika organisasi, tata tertib organisasi) maupun informal di mana norma tidak dibakukan secara tertulis tetapi tetap mengatur bagaimana orang seharusnya berbuat ataupun berkomunikasi.[16]
Nilai adalah kecenderungan orang-orang di dalam organisasi untuk berhubungan satu sama lain dan menentukan pandangan para anggota atas realitas. Termasuk ke dalam nilai adalah strategi, tujuan, prinsip, atau kualitas yang bersifat ideal, menyeluruh, serta diinginkan oleh organisasi. 
Hasil dari nilai adalah terciptanya pedoman perilaku organisasi. Nilai kerap diasosiasikan dengan masalah pekerjaan di dalam organisasi yang meliputi prestise, kesejahteraan, kontrol, otoritas, ambisi, kesenangan, independensi, kreativitas, kesetaraan, toleransi, respek, komitmen, ataupun kesopanan.[17]
Asumsi adalah kepercayaan yang diterima secara “taken-for-granted”, merasuk secara dalam dan para anggota organisasi tidak lagi mempertanyakannya. Kendati tertanam dalam di suatu organisasi, asumsi bersifat abstrak, implisit, dan tidak kentara. Misalnya, para anggota organisasi memegang asumsi mengenai: 
  • diri mereka misalnya selaku kaum profesional atau pekerja.
  • dalam hubungan dengan anggota organisasi lain, klien, pelanggan, vendor, atau stakeholder di luar organisasi;
  • mengenai organisasi mereka sendiri
  • pekerjaan yang mereka lakukan.

Joan Keyton memberi contoh asumsi yang berkembang di kalangan pekerja perusahaan percetakan. Asumsi “isi di luar tanggung jawab percetakan” membuat para pegawai (dari supervisor hingga operator mesin cetak) mengabaikan kesalahan atau masalah dalam percetakan karena master cetaknya diperoleh dari bagian editorial. Tugas percetakan hanyalah mencetak dan bukan mengedit. Dengan asumsi ini, maka pekerja percetakan cenderung mengabaikan kesalahan editing dari naskah yang mereka cetak kendatipun mereka melihatnya di antara lembar-lembar hasil cetakan mereka. 
Kembali kepada pendapat Schein, bahwa artifak, nilai, dan asumsi berhubungan satu sama lain di mana “ ... artifacts are linked in that artifacts are manifestations of values, while values are manifestations of assumptions.”[18] Artifak adalah manifestasi dari nilai-nilai organisasi, sementara nilai-nilai adalah manifestasi dari asumsi-asumsi organisasi. Jadi dapat diikhtisarkan bahwa hubungan antara ketiga lapisan budaya organisasi saling berhubungan. Budaya organisasi sebab itu tidaklah statis melainkan dinamis, dalam mana misalnya perubahan atas asumsi akan mengakibatkan perubahan pada nilai, perubahan nilai akan berwujud pada perubahan artifak organisasi. Kajian perubahan ini dilakukan dalam bidang perubahan budaya organisasi
Lapisan budaya organisasi seperti diperkenalkan Schein dielaborasi secara lebih mendetail oleh dua peneliti Michael I. Harrison and Arie Shirom. Harrison and Shirom merinci lapisan-lapisan seperti telah dikembangkan sebelumnya oleh Schein menjadi sebagai berikut:[19]
Gambar 7 Lapisan Budaya Organisasi versi Harrison and Shirom

Harrison and Shirom lebih  merinci lapisan budaya organisasi yang telah dibuat Schein sebelumnya sehingga terdiri atas artifak, pola-pola perilaku, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan koginisi, serta asumsi-asumsi dasar. Lapisan teratas budaya organisasi mudah terlihat baik oleh peneliti ataupun para anggota organisasi. 
Lapisan teratas adalah artifak dengan contoh pola berpakaian, tata lingkungan fisik, ataupun logo organisasi. Pola-pola perilaku termasuk jargon, pola-pola pidato, hikayat, rutinitas kerja, serta ritual dan upacara organisasi. Baik artifak ataupun pola-pola perilaku merupakan lapisan budaya organisasi yang paling mudah dilihat atau diamati. Artifak dan pola-pola perilaku merupakan ekspresi dari norma, nilai, kepercayaan, persepsi atau asumsi yang berkembang dalam budaya suatu organisasi. 
Norma adalah perilaku yang diharapkan dalam situasi tertentu dalam organisasi. Norma diekstraksi dari nilai, yaitu gagasan seputar bagaimana organisasi harus bertindak. Nilai termasuk pula cara seperti apa yang seharusnya digunakan dalam menggapai tujuan organisasi serta bagaimana kriteria pengalokasian kuasa dan status di dalam organisasi. 
Kepercayaan atau kognisi adalah representasi mental pemahaman para anggota organisasi. Ini diperoleh lewat proses kognisi aktif, misalnya melalui interaksi sosial antaranggota organisasi. Lewat kepercayaan atau kognisi, individu di dalam organisasi jadi memahami “dunia”nya yang tidak lain organisasi tempat mereka bekerja. Kepercayaan dan kognisi ini mewujud melalui sikap, sementara kepercayaan dan kognisi sendiri merupakan manifestasi dari asumsi.
Asumsi merupakan aspek paling abstrak dari suatu budaya organisasi. Pemahaman atas asumsi membutuhkan tingkat analisis yang cukup mendalam dan menuntut pengetahuan peneliti mengenai bagaimana para anggota organisasi memandang hubungan manusia, kebenaran dan realitas, sifat manusia, dan sejenisnya. Bagi Schein, asumsi terkadang bersifat tidak disadari dan meliputi persepsi, pemikiran, dan perasaan yang bersifat “taken-for-granted.”[20]
Perspektif Budaya Organisasi 

Dalam meneliti budaya organisasi, para periset memiliki cara pandang sendiri-sendiri dalam melakukan proses pengamatan. Perbedaan cara pandang berefek pada perbedaan ontologi atas hal-hal yang diamati, ukuran-ukuran yang dibuat, prioritas penelitian, dan tentunya kesimpulan-kesimpulan yang mereka susun. Majken Schultz berupaya melakukan ikhtisar mengenai cara pandang atau perspektif para peneliti dalam mengamati budaya organisasi yang meliputi kelompok-kelompok : (1) Variabel atau Metafora; (2) Integrasi, Diferensiasi, dan Ambiguitas; dan (3) Rasionalitas, Fungsionalisme, dan Simbolisme.[21]

Variabel atau Metafora. Dua perspektif ini mempertentangkan antara pandangan bahwa organisasi memiliki budaya (variabel) dengan yang memandang bahwa organisasi adalah budaya itu sendiri (metafora). Organisasi dikatakan punya budaya dan budaya tersebut dianggap sebagai variabel, sama posisinya dengan variabel-variabel lain seperti struktur, tugas, aktor, dan teknologi. Budaya dianggap sebagai atribut suatu organisasi, yang secara khusus didefinisikan sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap. Dalam konteks variabel ini, budaya organisasi dapat dianggap sebagai variabel bebas yang menentukan jalannya organisasi, ataupun sebagai variabel terikat di mana budaya organisasi adalah variabel yang tumbuh akibat variabel-variabel lain di dalam organisasi. Sebagai variabel terikat, budaya organisasi dapat dimanipulasi oleh para anggota organisasi.
Selaku variabel, budaya organisasi dapat diukur dengan menggunakan skala. Skala yang terbentuk biasanya terdiri atas 2 jenis, yaitu:[22]
  1. Budaya yang Kuat atau Lemah, yang mengevaluasi konsistensi dan dampak internal budaya terhadap para anggota organisasi;
  2. Budaya yang Efisien atau Inefisien, yang mengevaluasi budaya dalam hubungannya dalam pemenuhan tujuan, kemampuan berinovasi, dan kapasitas strategisnya.
Berlawanan dengan perspektif variabel, perspektif metafora menganggap bahwa organisasi adalah budaya itu sendiri. Perspektif ini memandang organisasi sebagai bentuk ekspresif, yaitu manifestasi dari kesadaran manusia, manifestasi dari budaya. Organisasi dipahami dan dianalisa utamanya bukan dalam terma-terma ekonomi atau material melainkan dalam terma-terma gagasan dan aspek-aspek simbolik. 
Dalam perspektif metafora, budaya tidak dapat dibatasi pada variabel tertentu melainkan mem-bypass proses-proses bagaimana para anggota organisasi menginterpretasikan pengalaman, bagaimana interpretasi ini diekspresikan, serta bagaimana interpretasi tersebut berhubungan dengan tindakan-tindakakan keorganisasian. 
Integrasi, Diferensiasi, dan Ambiguitas. Perspektif integrasi menekankan pada konsensus yang konsisten dan luas di dalam organisasi. Bagi perspektif ini, budaya organisasi terdiri atas nilai serta persepsi, dengan mana identitas keorganisasian menjelaskan fitur sentral, terus-menerus, dan unik dari budaya organisasi tertentu. Perspektif ini juga menganggap bahwa manifestasi kultural dapat diinterpretasi secara konsisten dan diperkuat secara lebih lanjut. 
Bagi perspektif integrasi, budaya organisasi diasumsikan dimiliki oleh seluruh anggota organisasi secara bersama-sama. Elemen-elemen budaya bersifat tunggal dan terdapat budaya yang dominan. Schultz mengungkapkan, analisis mengenai Los Angeles Olympic Organizing Committee menunjukkan bahwa organisasi tersebut menggunakan cerita, humor, ritual, perayaan yang diperuntukkan bagi para anggotanya. Dalam perspektif ini, posisi leader atau pemimpin organisasi cukup kuat dalam mana ia berposisi sebagai aktor yang mempengaruhi anggota agar menggunakan budaya yang sama. Dari perspektif integrasi, budaya organisasi adalah monolitik dan dan dapat dilihat secara sama oleh sebagian besar anggota organisasi dari sudut manapun mereka melihatnya.[23]
Perspektif Diferensiasi memandang budaya organisasi sebagai tengah mengalami kekurangan konsensus di dalam sejumlah isu lintas sektor organisasi atau kelompok dalam organisasi (gejala subkultur). Tatkala diferensiasi berpengaruh pada fitur inti budaya organisasi, maka identitas organisasi menjadi multirupa dan saling bersaing. Kajian diferensiasi ini tampak dalam persaingan budaya antara departemen riset versus departemen produksi, misalnya. Departemen Riset cenderung bekerja dalam jangka panjang, sementara Departemen Produksi cenderung bekerja dalam jangka pendek.[24]
Perspektif ini juga fokus pada manifestasi budaya yang inkonsisten interpretasinya semisal tatkala eksekutif puncak mengumumkan suatu kebijakan, tetapi diterapkan secara berbeda oleh para anggota. Konsensus tetap ada, tetapi ada di level subkultur (sub budaya).[25] Aneka sub budaya organisasi dapat hadir secara harmonis, independen, atau berkonflik satu sama lain. Di dalam sub budaya, segalanya jelas, ambiguitas dienyahkan. Secara metaforis dapat dikatakan sub budaya ibarat pulau yang jelas di tengah laut ambiguitas.
Perspektif diferensiasi menghendaki kajian atas budaya dilakukan terutama pada sub budaya suatu organisasi. Kemunculan diferensiasi budaya dapat dijelaskan lewat siklus rekrutmen pekerja. Tatkala organisasi berskala kecil, proses rekrutmen cenderung mudah dalam mencari calon pekerja yang sama budayanya dengan anggota yang sudah ada. Namun, tatkala organisasi membesar, proses rekrutmen yang mampu merekrut calon pekerja dengan budaya kompatibel (selaras dengan budaya organisasi yang sedang berkembang) cenderung sulit. Manajemen puncak tidak terlibat langsung dalam proses, sehingga peluang masuknya anggota baru yang tidak kompatibel dengan budaya organisasi dominan semakin meningkat. 
Perspektif Ambiguitas menyatakan bahwa ambiguitas intrinsik adalah nyata di dalam setiap budaya organisasi. Kurangnya kejelasan, variasi makna dan kepercayaan, dan lemahnya kepemimpinan dapat membawa pada situasi chaos. Dalam kondisi chaos ini, manifestasi budaya jadi multi tafsir dan identitas keorganisasian cenderung didefinisikan secara oportunistik. Apa yang konsisten bagi seorang anggota mungkin saja tidak bagi anggota lainnya. Jika perspektif integrasi menganggap konsensus adalah ada, perspektif diferensiasi menganggap konsensus adalah fluktuatif, maka perspektif ambiguitas menganggap bahwa budaya organisasi adalah ambigu.
Joanne Martin menjelaskan, perspektif ambiguitas fokus pada penafsiran beragam yang tidak dapat disatukan pada konsensus budaya organisasi menurut perspektif integrasi dan konsensus sub budaya yang menjadi tekanan perspektif diferensiasi.[26] Dalam perspektif ambiguitas, pola budaya yang diidentifikasi tidak pernah muncul dua kali dalam serangkaian pengamatan.
Rasionalisme, Fungsionalisme, Simbolisme. Perspektif Rasionalisme memandang bahwa budaya organisasi sekadar instrumen untuk pencapaian tujuan organisasi. Perspektif Fungsionalisme memandang bahwa budaya organisasi adalah pola nilai dan asumsi dasar bersama yang menjalankan fungsi organisasi dalam beradaptasi dengan lingkungan eksternal ataupun melakukan integrasi internal. Perspektif Simbolis menyatakan bahwa budaya organisasi adalah pola simbol dan makna yang dikonstruksi secara sosial di dalam suatu organisasi.[27]
Tipologi Budaya Organisasi
Beranjak dari aneka definisi, lapisan, dan perspektif dalam memandang budaya organisasi, maka muncul aneka ragam tipologi budaya organisasi. Tujuan tipologi ini menunjukkan aneka budaya organisasi yang mungkin ada di realitas. Kajian mengenai tipologi budaya organisasi ini sangat bervariasi. 
Tipologi budaya organisasi dapat diturunkan dari tipologi organisasi. Amitai Etzioni membagi tipe organisasi dengan membuat tabulasi silang antara jenis kekuasaan dengan jenis keterlibatan individu di dalam organisasi. Jenis kekuasaan ia bagi menjadi Koersif, Remuneratif, dan Normatif sementara jenis keterlibatan ia bagi menjadi Alienatif, Kalkulatif, dan Moral.[28] Tabel dari tabulasi silang tersebut sebagai berikut:
Tabel 5 Jenis Kekuasaan dan Keterlibatan Individu versi Etzioni
JENIS KEKUASAAN
JENIS KETERLIBATAN
Alienatif
Kalkulatif
Moral
Koersif
1
2
3
Remuneratif
4
5
6
Normatif
7
8
9

Jenis Kekuasaan. Koersif adalah kuasa dalam organisasi yang muncul dari penghukuman fisik atau ancaman penghukuman fisik. Remuneratif muncul dari kendali atas sumber daya dan reward material. Normatif muncul dari distribusi dan manajemen reward serta penalti simbolik.
Keterlibatan. Adalah kecenderungan evaluatif dan emosional dari para aktor terhadap suatu tindakan. Alienatif adalah keterlibatan yang sangat tidak disetujui. Kalkulatif adalah keterlibatan yang lemah baik itu setuju atau tidak setuju. Moral adalah keterlibatan yang sangat disetujui.
Etzioni yakin bahwa cenderung akan ada perimbangan antara keterlibatan dan power dalam suatu organisasi sehingga pola budaya suatu organisasi adalah persilangan antara kedua konsep tersebut. Menurut Etzioni, tipe kombinasi yang paling sering muncul dalam realitas organisasi adalah Koersif-Alienatif, Remuneratif-Kalkulatif, dan Normatif-Moral yang pada tabel di atas ada dalam domain 1, 5, dan 9. Etzioni melanjutkan bahwa ketiga domain tersebut merupakan tipe organisasi yang paling efektif. Dari hasil tabulasi silangnya, Etzioni kemudian mengajukan tipologi organisasinya yaitu : (1) Organisasi Koersif; (2) Organisasi Utilitarian; dan (3) Organisasi Normatif.[29] 

Organisasi Koersif adalah organisasi di mana para anggotanya terperangkap dalam alasan fisik dan ekonomi sehingga harus mematuhi apapun peraturan yang ditimpakan oleh otoritas. Organisasi Utilitiarian adalah organisasi di mana para anggota dimungkinkan untuk bekerja yang adil untuk hasil yang adil pula serta adanya kecenderungan untuk mematuhi beberapa aturan yang esensial di samping para pekerja menyusun norma dan aturan yang melindungi diri mereka sendiri. Organisasi Normatif adalah organisasi di mana para individunya memberi kontribusi pada komitmen karena menganggap organisasi adalah sama dengan tujuan diri mereka sendiri. 
Tipologi Etzioni memungkinkan peneliti membedakan antara organisasi bisnis yang cenderung Utilitarian, organisasi Koersif seperti penjara dan rumah sakit jiwa, ataupun organisasi Normatif seperti sekolah, rumah sakit dan lembaga-lembaga nirlaba. 
Tipologi lainnya diajukan oleh Rob Goffee and Gareth Jones yang membagi tipologi budaya organisasi ke dalam 4 kuadran yaitu : (1) Networked, (2) Fragmented, (3) Mercenary, dan (4) Komunal.[30] Rincian kuadran tipologi Budaya Organisasi Goffee and Jones sebagai berikut:
Gambar 8 Kuadran Tipologi Budaya Organisasi versi Goffee and Jones

Tipologi Goffee and Jones didasarkan pada 2 konsep yaitu : Solidaritas dan Sosiabilitas. Solidaritas adalah kecenderungan untuk saling dukung sementara Sosiabilitas adalah kecenderungan untuk berhubungan satu dengan lainnya. Dalam kajiannya, tipologi Goffee and Jones diukur lewat kuesioner yang terdiri atas 23 pertanyaan. 
Fragmented adalah tipe budaya organisasi yang rendah baik dimensi Sosiabilitas maupun Solidaritasnya. Mercenary adalah tipe budaya organisasi dengan Solidaritas tinggi, sementara Sosiabilitas rendah. Komunal adalah tipe budaya organisasi dengan Sosiabilitas tinggi, sementara Solidaritas rendah. Akhirnya, Networked adalah tipe budaya organisasi dengan Sosiabilitas dan Solidaritas tinggi. 
Tipologi Goffee and Jones cukup bermanfaat dalam mendiagnosis sejumlah elemen dalam suatu budaya organisasi kendati kekurangan dua dimensi pokok dalam budaya organisasi: (1) hubungan antara organisasi dengan lingkungan eksternal dan (2) batasan fungsi manajemen. 
Tipologi budaya organisasi lainnya dibuat oleh dua peneliti Kim S. Cameron and Robert E. Quinn. Keduanya membagi tipologi organisasi ke dalam 4 kuadran yaitu : (1) Klan; (2) Hirarki; (3) Adokrasi; dan (4) Market-Oriented.[31] Kuadran dari tipologi Cameron and Quinn sebagai berikut:


Gambar 9 Kuadran Tipologi Budaya Organisasi versi Cameron and Quinn

Cameron and Quinn berbeda dengan Goffee and Jones karena menyertakan kalkulasi masalah eksternal organisasi. Tipologi ini dibangun lewat kerangka nilai-nilai yang berkembang di dalam budaya suatu organisasi dan sebab itu disebut pula sebagai “Competing Value Model.” Cameron and Jones telah mengembangkan alat ukur khusus untuk mengukur tipologi di atas dan terkenal dengan sebutan OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument). 
Alat ukur OCAI tersebut terdiri dari 24 item pertanyaan dengan 6 indikator. Keenam indikator tersebut adalah: [32]
  1. Karakteristik-karakteristik dominan organisasi;
  2. Kepemimpinan organisasi;
  3. Manajemen pegawai;
  4. Perekat organisasi;
  5. Titik tekan strategis; dan
  6. Kriteria keberhasilan organisasi.
Berdasarkan kombinasi atas keenam indikator organisasi tersebut, Cameron and Quinn membuat empat tipologi budaya organisasinya.
Klan adalah budaya organisasi yang merupakan tempat paling ramah dan bersahabat untuk bekerja. Para anggota organisasi saling berbagi kehidupan antar sesamanya. Ia mirip dengan keluarga di luar rumah. Pemimpin, atau kepala organisasi, dipandang selaku mentor dan mungkin juga figur orang tua. Organisasi terbangun atas loyalitas dan tradisi. Komitmen para anggota terhadap organisasi cukup tinggi. Di samping itu, organisasi menekankan pada keuntungan jangka panjang dari pembangunan sumber daya manusia dan sangat memperhatikan kohesi organisasi dan moral. Kesuksesan didefinisikan dalam pengertian sensitivitas pada penikmat jasa dan perhatian pada orang lain.  Organisasi Klan menempatkan kerja tim, keterlibatan anggota, dan konsensus pada prioritas tertinggi.
Adokrasi merupakan tempat bekerja yang dinamis, kewirausahawanan, dan kreatif. Para anggota bersikap waspada dan bersedia mengambil resiko. Pemimpin dianggap selaku inovator dan pengambil resiko. Organisasi direkatkan oleh komitmen atas inovasi dan eksperimentasi. Penekanan Adokrasi adalah membawa organisasi menjadi perintis atau pionir. Penekanan jangka panjang organisasi adalah pada perkembangan dan pencarian sumber-sumber daya baru. Kesuksesan diartikan sebagai pencapaian keunikan jasa dan produk-produk baru. Sebab itu, selalu menjadi pemimpin dalam produksi atau pelayanan adalah nilai terpenting bagi organisasi yang memiliki budaya Adokrasi.  Organisasi juga menghendaki inisiatif dan kebebasan individual. 
Market juga disebut organisasi yang berorientasi hasil, di mana concern utamanya adalah bagaimana pekerjaan dituntaskan. Para anggota cenderung kompetitif dan berorientasi tujuan. Pemimpin adalah pengarah yang ketat, produser, sekaligus kompetitor. Mereka zakelijk dan penuntut. Reputasi dan kesuksesan adalah concern-nya. Fokusnya pada  jangka panjang adalah pemenuhan tujuan serta tindakan kompetitif yang terukur. 
Hirarki adalah organisasi yang bersifat formal dan terstruktur. Prosedur-prosedur adalah pengatur yang utama seputar apa yang orang harus lakukan. Pemimpin bangga jika diri mereka mampu menjadi organisator dan koordinator yang baik, dengan kecenderungan pada efisiensi. Bagaimana organisasi berjalan lancar adalah sesuatu yang kritis bagi Hirarki. Aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan formal yang membuat ikatan dalam organisasi. Fokus jangka panjang adalah pada stabilitas dan kinerja yang efisien dan kelancaran operasi. Kesuksesan didefinisikan dalam istilah penjadualan yang lancar, biaya rendah, dan pengantaran yang teratur. Manajemen pekerja concern pada keamanan pekerjaan dan prediktabilitas. 
Masih mengenai tipologi budaya organisasi Cameron and Quinn. Klan adalah organisasi yang berfokus pada dimensi internal serta bersifat fleksibel. Hirarki adalah organisasi yang berfokus pada dimensi internal tetapi stabil. Adokrasi lebih berfokus pada dimensi eksternal dan bercorak fleksibel. Sementara Market berfokus pada dimensi eksternal dan bercorak stabil. 
Dimensi Pengukuran Budaya Organisasi
Budaya Organisasi merupakan sebuah “latent-variable” dan sebab itu perlu pengukuran agar ia dapat dianalisis dengan menjadikannya “manifest-variable.” Sebagai sebuah konsep atau variabel, budaya organisasi memiliki sejumlah dimensi yang memungkinkan suatu pengukuran. Dimensi-dimensi ini nantinya akan diperasionalisasikan ke dalam bentuk item-item pertanyaan.
Donald R. Brown and Don Harvey membagi dimensi budaya organisasi ke dalam enam karakteristik yaitu:[33]
  1. Otonomi Individual. Derajat kesempatan, kebebasan, dan rasa tanggung jawab bagi para anggota organisasi untuk melakukan insiatif.
  2. Sensitivitas atas kebutuhan pelanggan dan pekerja. Derajat responsivitas pada perubahan kebutuhan.
  3. Dukungan. Derajat asistensi dan kehangatan yang ditunjukkan oleh manager atau pimpinan.
  4. Minat memiliki pekerja yang menginisiatifkan gagasan baru. Derajat di mana pekerja diberdayakan agar memiliki kualitas dan produktivitas yang lebih baik.
  5. Keterbukaan atas saluran komunikasi yang ada. Derajat kebebasan untuk saling berkomunikasi antara pekerja, tim, dan pimpinan.
  6. Perilaku resiko. Derajat pada mana para anggota dipancing untuk menjadi agresif, inovatif, dan penantang resiko.
Ada pula sejumlah peneliti yang menjabarkan pengukuran budaya organisasi ke dalam 13 kategori budaya organisasi yang terdiri atas : (1) Misi dan tujuan organisasi; (2) Kepemimpinan manajemen perusahaan; (3) kepemimpinan manajemen departemen; (4) Efektivitas supervisor; (5) Kondisi kerja;  (6) Produktivitas; (7) Akuntabilitas; (8) Komunikasi; (9) Hubungan interpersonal dan antardepartemen; (10) Kepuasan kerja; (11) Kompensasi bagi pekerja; (12) Pembangunan karir pekerja; dan (13) Pelatihan dan pilihan pelatihan.[34]
Selain itu, ada pula yang memfokuskan pada lapisan norma dan nilai yang berkembang di dalam organisasi. Seperti yang dilakukan oleh Milan Kubr dalam mengajukan 14 indikator dalam mengukur budaya organisasi.[35] Keempatbelas indikator tersebut adalah : (1) Misi dan Image Organisasi; (2) Senioritas dan Otoritas; (3) Pentingnya Posisi Manajemen Departemen Lain; (4) Perlakukan pada Anggota Organisasi; (5) Peran Wanita dalam Manajemen dan Pekerjaan Lain; (6) Kriteria Seleksi Posisi Manajer dan Supervisor; (7) Organisasi dan Disiplin Kerja; (8) Gaya Manajemen dan Kepemimpinan; (9) Proses Pembuatan Keputusan; (10) Sirkulasi dan Pembagian Informasi; (11) Pola-pola Komunikasi; (12) Pola Sosialisasi; (13) Penanganan Konflik; (14) Identifikasi terhadap Organisasi.
Stephen Robbins mengajukan 7 karakteristik utama yang dianggap mampu menangkap budaya organisasi. Ketujuh karakteristik tersebut adalah:[36]
  1. Inovasi dan Pengambilan Resiko. Derajat mana pekerja diyakinkan untuk menjadi inovatif dan mau mengambil resiko.
  2. Perhatian pada Rincian. Derajat mana pekerja diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
  3. Orientasi Hasil. Derajat mana manajemen memfokuskan diri pada hasil atau keluaran ketimbang masalah teknis dan proses yang digunakan untuk hasil tersebut.
  4. Orientasi pada Manusia. Derajat mana keputusan manajemen diambil dengan mempertimbangkan efek dari keputusan tersebut pada manusia di dalam organisasi.
  5. Orientasi Tim. Derajat mana aktivitas pekerjaan diorganisasi di sekitar tim ketimbang individual.
  6. Agresivitas. Derajat mana orang-orang adalah lebih agresif dan kompetitif ketimbang tenang-tenang saja.
  7. Stabilitas. Derajat mana aktivitas organisasi menekankan pada pemeliharaan status quo (kondisi yang kini berlaku) ketimbang
Salah satu kajian yang cukup menarik dilakukan oleh Cameron and Quinn seperti telah dieksplorasi di bagian sebelumnya. Keduanya berupaya meneliti budaya organisasi yang berkembang di suatu organisasi sekaligus melakukan tipologi budaya yang berlaku di sebuah organisasi. Ada 6 indikator yang diukur yaitu : karakteristik dominan organisasi, kepemimpinan organisasi, manajemen pegawai, perekat organisasi, titik tekan strategis, dan kriteria keberhasilan. Namun, peneliti melakukan modifikasi dengan menggunakan Skala Likert di dalam kuesioner, bukan interval sebagaimana dimaksud oleh Cameron and Quinn. Alasannya adalah demi kemudahan analisis data sebab penelitian tidak semata-mata mengkaji masalah budaya organisasi saja.

[1]I.G.P. Ratih Andaningsih, Prihandono, Seta Basri, Kepuasan Kerja di Koperasi Kredit Usaha Bersama Sint Carolus Jakarta : Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Kepuasan Kerja (Kota Bekasi : STIA Sandikta, 2010).
[2] Walter R. Freytag, “Organizational Culture” dalam Kevin R. Murphy and Frank E. Saal, eds., Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice (New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 1990) p.181.
[3] Larissa A. Grunig, James E. Grunig, David M. Dozier, Excellent Public Relations and Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries (New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers, 2002) p.282.
[4] Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership, 3rd Edition (San Fransisco : John Wiley & Sons, Inc., 2004) p.17.
[5] Mats Alvesson, Understanding Organizational Culture (London : SAGE Publications Ltd., 2002) p.3.
[6] Majken Schultz, On Studying Organizational Cultures : Diagnosis and Understanding (Berlin : Walter de Gruyter & Co., 1994)
[7] Jan A. Pfister, Managing Organizational Culture for Effective Internal Control : From Practice to Theory (Heidelberg : Springer, 2009)
[8]Ibid.
[9] Joann Keyton, Communication and Organizational Culture : A Key to Understanding Work Experiences (Thousand Oaks : Sage Publications, Inc. , 2005) p.28
[10] Kim S. Cameron and Robert E. Quinn, Diagnosing and Changin Organizational Culture : Based on the Competing Values Framework, Revised Edition (San Fransisco : Joh Wiley & Sons, Inc., 2006) p.16.
[11] Geert H. Hofstede, Culture’s Consequences : Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizatons Across Nations, 2nd Edition (Thousand Oaks : Sage Publications, Inc., 2004)
[12] Edgar H. Schein, Organizational ... op.cit., p.25.
[13]Ibid. Bagan dibuat berdasar skema Schein dengan sejumlah modifikasi tata letak dari peneliti.
[14] Joan Keyton, Communication ..., op.cit., p. 23.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18] Mary Jo Hatch, “Dynamics in Organizational Culture” dalam Marshall Scott Poole and Andrew H. Van de Ven, eds., Handbook of Organizational Change and Innovation, (New York : Oxford University Press, 2004) p.203.
[19] Michael I. Harrison and Arie Shirom, Organizational Diagnosis and Assessment: Bridging Theory and Practices (Thousand Oaks : Sage Publications, 1999) p.260.
[20] Edgar H. Schein, op.cit. p.26.
[21] Majken Schultz, On Studying Organizational Culture ...., op.cit. p.10-6. Sebelum diseling dengan catatan kaki lain, penjelasan ketiga kelompok ini mengikut pada Schultz.
[22] Majken Schultz, On Studying ..., op.cit.
[23] Joanne Martin, Organizational Culture : Mapping the Terrain (London : Sage Publications, Inc., 2002) p.95.
[24] Howard E. Aldrich and Martin Ruef, Organizations Evolving, Second Edition (London : Sage Publications, 2006) p.124-6.
[25] Joanne Martin, Organizational ..., op.cit., p.95.
[26]Ibid.
[27] Russell Mannion, et.al., Measuring and Assessing Organisational Culture in the NHS (OC1) (NCCSDO, June, 2008) p.23.
[28] Amitai Etzioni seperti dikutip dalam Stewart Clegg, Modern Organizations : Studies in the Postmodern World ( London : SAGE Publications Ltd., 1999) p.43.
[29] Edgar H. Schein, Organizational Culture ...”, op.cit., p.191.
[30] Adrian Haberberg and Alison Rieple, Strategic Management : Theory and Application (New York : Oxford University Press, 2008) p.345.
[31] Kim S. Cameron and Robert E. Quinn, Diagnosing and Changing Organizational Culture : Based on the Competing Values Framework, Revised Edition (San Fransisco : Joh Wiley & Sons, Inc., 2006) p.46.
[32]Ibid., p.26-8. Instrumen OCAI berupa kuesioner dengan hak cipta pada Cameron dan Quinn, terdapat dalam buku mereka berdua.
[33] Donald R. Brown and Donald F. Harvey, An Experiential Approach to Organization Development, Seventh Edition (Delhi : Pearson Education Inc., 2006) p.463.
[34] Richard A. Swanson, Analysis for Improving Performance (San Fransisco : Berrett-Koehler Publishers, Inc., 2007) p.114.
[35] Milan Kubr, ed., Management Consulting : A Guide to the Profession, Fourth Edition, (Geneva: International Labour Organization, 2002) p.120.
[36] Stephen P. Robbins, Organizational Behavior : Concept, Controversies, Applications, Seventh Edition (Prentice-Hall International, 1996). p.681-2.
tags:
definisi budaya organisasi edgar schein budaya market hirarki adokrasi lapisan budaya budaya networked comunal asumsi artifak budaya organisasi

No comments:

Post a Comment