Latest News

Saturday, April 14, 2012

Pendekatan Sistem Sosial Indonesia

Tiga paradigma yang bertahan dalam penyelidikan fenomena sosial adalah paradigma fungsional-struktural, paradigma konflik, dan paradigma interaksi-simbolik.[1] Kajian sistem sosial dan budaya Indonesia di dalam ... ini tidak terlepas dari berkembangnya tiga paradigma. Paradigma adalah cara berpikir mengenai suatu masalah. Paradigma terdiri atas teori-teori sejenis, yang secara umum memiliki kesamaan dalam memandang dan memposisikan subyek, obyek, dan gejala yang diteliti.

Fungsional-Struktural

Pendekatan fungsional-struktural menganalisis sistem sosial secara makro. Kalangan penganut paradigma ini kerap juga disebut fungsionalis. Pendekatan ini memandang masyarakat adalah sebuah sistem yang teratur dan bersifat stabil. Pendekatan ini juga memandang masyarakat sebagai sistem kompleks yang bagian-bagian di dalamnya bekerja secara bersama guna menghasilkan solidaritas dan stabilitas. Sistem yang stabil ini dicirikan konsensus masyarakat di mana mayoritas anggota (para individu) memiliki perangkat nilai, kepercayaan, dan perilaku yang digunakan secara bersama. Potret Indonesia

Pendekatan ini juga memandang masyarakat terdiri atas bagian-bagian (struktur) yang menjalankan fungsi yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan padu dan harmonis antar struktur dan fungsi tersebut menyumbang pada stabilitas masyarakat. 

Dalam upaya mencapai stabilitas, masyarakat – menurut para fungsionalis – mengembangkan struktur-struktur sosial (atau lembaga). Struktur sosial adalah pola perilaku sosial yang relatif stabil. Struktur sosial dibutuhkan agar masyarakat tetap ada yang diantaranya direpresentasikan lembaga keluarga, pendidikan, agama, pemerintah ataupun lembaga-lembaga ekonomi (pasar, peternakan, perkebunan, misalnya). Jika satu struktur tidak menjalankan fungsinya, maka fungsi yang dijalankan struktur lain akan terganggu dan akibatnya sistem sosial mengalami instabilitas.

Pendekatan fungsional-struktural¬ sulit dilepaskan dari tulisan Talcott Parsons lewat publikasi tulisannya Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951). Bagi Parsons, setiap sistem sosial membutuhkan terpenuhinya empat prinsip agar bisa berjalan stabil yaitu fungsi-fungsi eksternal seperti adaptasi dan pencapaian tujuan serta fungsi-fungsi internal seperti integrasi dan pemeliharaan pola seperti tampak dalam skema berikut:[2]

Gambar 1 Empat Prinsip Stabilitas Sistem Sosial

Dalam penjelasan seputar fungsi eksternal, adaptasi berkenaan dengan produksi komoditas ekonomi dan kesejahteraan dengan cara memanipulasi lingkungan. Sumber daya yang digunakan untuk menggerakkan sektor ini adalah uang. Sementara itu, sektor politik mengurus pencapaian tujuan dengan cara mengkoordinir segala kegiatan adaptasi lewat penggunaan kekuasaan secara legitimate.

Dalam penjelasan mengenai fungsi internal, integrasi merupakan kebutuhan sistem sosial agar tetap padu serta tidak tercerai-berai akibat konflik dan perbedaan penafsiran. Fungsi integrasi ini dijamin lewat pengaruh yang diberikan komunitas-komunitas sosial yang ada. Pengaruh ini memastikan dijalankannya kontrol sosial, baik secara legal-formal maupun informal, yang membuat setiap anggota masyarakat tetap terkoneksi dengan kelompok basis mereka. Mekanisme integrasi ini juga diperkuat oleh komitmen (bentuk kendali yang sifatnya lebih psikologis). Sementara itu, sosialisasi memastikan keberlangsungan nilai dan norma dalam masyarakat agar tetap berada, serta diwariskan, dari generasi ke generasi.

Selain Parsons, penulis lain yang memperkaya pendekatan fungsional-struktural adalah Robert K. Merton.[3] Merton menerbitkan karyanya Social Theory and Social Structure (1949) di mana konsep dua fungsi sosial-nya menjadi masyhur. Menurut Merton, fungsi sosial adalah segala proses sosial yang punya kontribusi terhadap kegiatan ataupun pemeliharaan suatu masyarakat. Merton membagi fungsi sosial menjadi dua yaitu manifest function dan latent function.

Manifest function adalah fungsi yang disengaja atau dikenali akibat-akibatnya dalam setiap proses sosial. Sebaliknya, latent function adalah fungsi yang tidak disengaja atau tidak dikenali sebelumnya sebagai akibat-akibat dalam suatu proses sosial. Contoh dari manifest function pendidikan di sekolah adalah tempat anggota masyarakat memperoleh pengetahuan, belajar kejujuran, dan belajar untuk menjadi beradab. Contoh dari latent function pendidikan di sekolah adalah sebagai pasar bagi produksi buku aneka penerbit, diseminator geng-geng radikal, media pembenihan perilaku koruptif (contek massal), ataupun tempat kumpul remaja.

Selain konsep fungsi sosial, Merton juga memperkenalkan konsep disfungsi sosial, yaitu fungsi masyarakat yang dapat mengancam stabilitas serta keteraturan sosial. Baik konsep fungsi sosial maupun disfungsi sosial jangan dipahami sebagai baik atau buruk. Misalnya, kriminalitas dapat dilihat sebagai disfungsi sosial karena menimbulkan keresahan dan mengancam keteraturan sosial. Namun, pendekatan fungsional-struktural justru melihat kriminalitas secara positif karena perilaku kriminal memperoleh hukuman, dan ini memperlihatkan eksistensi dari norma yang mengatur masyarakat. Selain itu, kriminalitas membuat terbukanya peran lembaga-lembaga hukum, menciptakan lapangan pekerjaan di bidang penegakan hukum, dan banyak penulis yang menulis buku seputar kriminalitas (tentunya juga dengan kerjasama baik dengan penerbit maupun para distributor buku).

Asumsi-asumsi utama yang mendasari pendekatan fungsional-struktural adalah: (1) Stabilitas, di mana kriteria penilaian utama bagi aneka pola sosial adalah kontribusi pola-pola tersebut terhadap terpeliharanya (stabilitas) masyarakat; (2) Harmoni, dalam mana layaknya bagian-bagian tubuh suatu organ tubuh, bagian-bagian masyarakat dipandang saling bekerja sama secara harmonis demi kebaikan seluruh masyarakat; dan (3) Evolusi, dalam mana perubahan yang terjadi dalam masyarakat selalu bersifat evolutif, bukan revolutif.[4] Evolusi berlangsung lewat adaptasi struktur-struktur sosial atas tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru mereka seraya mengeliminasi struktur-struktur sosial yang tidak perlu ataupun tidak mampu bekerja secara baik, dalam mana tindakan eliminasi ini berlangsung secara perlahan.[5]

Konflik

Pendekatan konflik menganalisis sistem sosial secara makro. Berbeda dengan pendekatan fungsional-struktural yang menekankan pada solidaritas dan stabilitas, pendekatan konflik menekankan pada ketimpangan dan perubahan sosial. Selain itu, menurut pendekatan ini, kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat terlibat dalam pertarungan terus-menerus (endless conflict) demi memperebutkan sumber daya yang langka.

Pendekatan konflik dapat ditelusuri pada tulisan-tulisan determinisme ekonomi Karl Marx di abad ke-19 yang mengetengahkan konflik antara kelas ekonomi proletar versus borjuis dalam masyarakat industri. Namun, dalam periode selanjutnya, determinisme ekonomi Marx sulit untuk terus dipertahankan sebagai satu-satunya sumber konflik sosial. Satu hal yang masih diterima oleh pendekatan konflik Marx adalah, hubungan-hubungan di dalam masyarakat penuh dengan ketegangan sebagai respon atas ketimpangan sosial. Ketimpangan ini memicu munculnya konflik. Konflik diselesaikan melalui konsensus yang menghadirkan norma-norma, nilai-nilai, serta lembaga-lembaga baru dan dengan demikian konflik ini melahirkan perubahan sosial. Konsensus pasca konflik ini disumsikan bersifat sementara karena masih menyisakan sumber konflik dan ketimpangan lalu menyebabkan konflik baru. Demikian siklus pemikiran konflik yang berlangsung secara dialektis: tesis-antitesis-sintesis-tesis.

Selain Marx, pendekatan konflik juga diperkaya oleh pemikiran Max Weber, Georg Simmel, C. Wright Mills, Lewis Coser, Randall Collins, Ralf Dahrendorf ataupun Eric Olin Wright. Mereka adalah pemikir-pemikir konflik pasca Marx yang melihat bahwa konflik tidak hanya muncul akibat masalah ekonomi melainkan pula konflik antarkelompok yang disebabkan perbedaan agama, perbedaan ras, perbedaan etnis, konsumen versus produsen, gagasan, pemerintah pusat versus pemerintah lokal, penduduk lokal versus pendatang, ataupun penduduk kota versus penduduk desa.

Max Weber, sebagai contoh, juga mengakui produktivitas kondisi ekonomi guna menghasilkan ketimpangan dan konflik dalam masyarakat. Namun, Weber menambahkan bahwa power (kekuasaan) dan prestise juga harus dianggap sebagai sumber ketimpangan lain selain ekonomi. Bagi Weber, power adalah kemampuan seseorang untuk menerjemahkan kehendaknya kendati mendapat tentangan dari orang lain dalam suatu hubungan sosial. Sementara itu, prestise adalah anggapan sosial seputar apa yang dihormati ataupun dihargai, yang tidak melulu diartikan secara ekonomi.

C. Wright Mills adalah salah satu pembangun teori konflik kontemporer. Ulasannya yang masyhur mengenai power elit. Mills membuktikan bahwa dalam keseharian pengambilan keputusan penting yang melibatkan negara Amerika Serikat, keputusan tersebut diambil oleh segelintir power elite. Power elite adalah klik kecil yang terdiri atas pengusaha papan teratas Amerika Serikat, politisi, dan penjabat-pejabat militer. Dalam pengambilan keputusan, terjadi conflict of interest di antara klik-klik tersebut.

Secara umum, pendekatan konflik memiliki tiga asumsi utama dalam memandang sistem sosial, yang terdiri atas:[6]
  1. Kompetisi. Kompetisi memperebutkan sumberdaya langka (uang, waktu luang, kekuasaan, pengaruh) merupakan jantung dari semua hubungan sosial. Kompetisi adalah ciri utama dari hubungan sosial, bukan konsensus.
  2. Ketimpangan Struktural. Ketimpangan kekuasaan dan pendapatan (reward) adalah inheren (melekat) di dalam setiap struktur sosial. Individu atau kelompok yang memperoleh posisi diuntungkan karena mendominasi sumberdaya langka selalu cenderung mempertahankannya, sementara pihak selain mereka berupaya merebutnya.
  3. Perubahan Sosial. Perubahan sosial muncul sebagai konsekuensi logis dari konflik antara kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam mana hal ini berbeda dengan pendekatan struktural-fungsional yang memandang proses adaptasi-lah yang mengakibatkan perubahan sosial.
Seperti telah disebutkan, dalam perkembangannya, pendekatan konflik tidak lagi memandang cara produksi ekonomi sebagai mono sumber konflik. Pendekatan konflik yang lebih baru ini dicontohkan oleh pendekatan konflik-gender dan pendekatan konflik-rasial.[7]

Sesuai namanya, pendekatan konflik-gender fokus pada situasi konflik dan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan ini terutama dianut oleh gerakan-gerakan sosial berideologikan feminisme yang terdiri atas para feminis yang memperjuangkan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik perempuan dengan laki-laki. Gerakan feminis memandang ketimpangan dalam konteks gender melekat pada struktur masyarakat dan dipelihara oleh budaya patriarkis. Laki-laki umumnya diberikan peran publik, sementara perempuan peran privat. Pembagian peran ini yang terutama dikritik oleh kalangan feminis karena membuat laki-laki cenderung mendominasi dan mengurangi hak-hak kaum perempuan. Perempuan sulit mengembangkan individualitas mereka karena diciptakannya pembatasan-pembatasan sosial yang dikukuhkan oleh budaya patriarkis.

Pendekatan konflik-rasial fokus pada konflik dan ketimpangan yang muncul akibat perbedaan kategori etnis dan ras. Jika pendekatan konflik-gender menjelaskan konflik diakibatkan oleh dominasi peran laki-laki atas perempuan, maka pendekatan konflik-rasial menganggap bahwa konflik diakibatkan oleh dominasi kelompok ras atau etnis tertentu atas kelompok ras atau etnis lainnya, baik itu dari sudut pandang warna kulit, anutan agama, penghasilan, keturunan, tingkat pendidikan, harapan hidup, bahkan kesehatan.

Interaksi-Simbolik

Jika pendekatan fungsional-struktural dan konflik cenderung fokus pada level makro-sosial, maka pendekatan interaksi-simbolik cenderung fokus pada level mikro-sosial. Pendekatan bercorak mikro-sosial lebih tertarik mengamati hubungan sosial lewat interaksi sosial antar manusia dalam situasi tertentu. Situasi-situasi tertentu mendorong pada perilaku sosial yang spesifik.

Pendekatan interaksi-simbolik didefinisikan sebagai kerangka teori yang menganggap masyarakat tidak lain merupakan produk interaksi antar individu dalam kegiatan sosial sehari-hari.[8] Menurut interaksi-simbolik yang disebut sebagai masyarakat tidak lain adalah totalitas interaksi antarindividu dan antarkelompok yang berlangsung di dalamnya. Pandangan ini juga menganggap masyarakat tidak lebih sekadar realitas yang dikonstruksi oleh aneka individu dan kelompok saat mereka berinteraksi satu sama lain. Interaksi menciptakan realitas dan realitas tersebutlah yang mempengaruhi bagaimana individu-individu memandang orang lain. Melalui cara pandang ini munculah konsep identitas. Pendapat-pendapat Max Weber adalah akar dari pendekatan interaksi-simbolik. Weber pernah berujar bahwa gagasan-lah yang sesungguhnya membentuk suatu masyarakat dan gagasan pula yang mengubah masyarakat. Gagasan lahir melalui interaksi antarindividu.

Selain Weber, interaksi-simbolik juga berhutang pada George Herbert Mead, yang menyatakan bahwa kepribadian seseorang merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman sosial yang pernah diterimanya. Selain Mead, pendekatan ini juga berhutang pada Erving Goffman yang memperkenalkan model dramaturgis. Dalam model ini, Goffman mempersamakan aktor-aktor sosial seperti aktor-aktor dalam seni peran (drama). Aktor-aktor sosial melatih peran sosial mereka di backstage dan menunjukkan aksi peran mereka terhadap aktor-aktor sosial lain di frontstage. Jika audiens (aktor-aktor sosial lain) di frontstage menerima peran sosial yang mereka mainkan, maka aktor-aktor tersebut akan mempertahankan perannya. Namun, jika audiens menolak atau tidak menyukai, maka aktor-aktor akan kembali ke backstage untuk melatih kembali peran secara lebih baik atau bahkan mengubahnya untuk kemudian diterapkan kembagi dalam suatu interaksi sosial.

Asumsi-asumsi utama yang menjadi pijakan pendekatan interaksi-simbolis adalah: (1) Pentingnya makna, dalam mana perilaku, gerak-gerik atau kata-kata bisa memiliki makna yang beragam. Makna akan suatu hal bagi partisipannya (penggunanya) harus dipahami jika seseorang hendak memahami perilaku manusia, dan metodenya dikenal dengan nama verstehen; (2) Makna muncul dari hubungan, dalam mana disaat terjadi perubahan hubungan, maka makna-makna pun turut berubah, dan ; (3) Setiap orang selalu menegosiasikan makna, di mana setiap orang selalu bersikap kritis atas pemaknaan orang lain atas tindakannya. Setiap orang memainkan peran aktif dalam negosiasi setiap hal yang dimaknai baik oleh kita sendiri maupun orang lain.[9](sb)

REFERENSI:

[1] Diana Kendall, Sociology in Our Times, 8th (Belmont: Wadsworth, 2010) pp.17-24.
[2] Derek Layder, Understanding Social Theory, 2nd (London: Sage Publications, 2006) pp.21-2.
[3] Henry L. Tischler, Introduction to Sociology, 10th (Belmont: Wadsworth, 2011) p.19.
[4] David Brinkerhoff, et.al., Essentials of Sociology, 8th (Belmont: Wadsworth, 2011) p.11.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] John J. Macionis, Sociology (Boston: Pearson, 2011) pp.14-5.
[8] Ibid., p.16.

[9] David Brinkhoff, et.al., op.cit., p.14.
------------------------------

tags:
pengertian sistem sosial pendekatan sistem sosial indonesia konflik fungsional interasi simbolik pendekatan konflik weber marx mead goffman

No comments:

Post a Comment