Latest News

Saturday, April 14, 2012

Proses Terbentuknya Masyarakat Indonesia

Proses terbentuknya masyarakat Indonesia ini merupakan bagian dari kajian sistem budaya Indonesia yang memiliki lokus masyarakat Indonesia. Apakah masyarakat itu? Masyarakat dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu dan lembaga yang terorganisir, yang dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang merupakan subyek dari satu otoritas politik, dan terorganisasikan sedemikian rupa melalui nilai-nilai serta cita-cita bersama.

Menurut Kimmel and Aronson, maksud dari kumpulan individu dan lembaga yang yang terorganisir adalah, masyarakat bukan merupakan kumpulan acak melainkan kumpulan yang sengaja dibentuk serta diorganisir. Masyarakat tidak hanya terdiri atas individu, melainkan juga lembaga-lembaga seperti keluarga, agama, pendidikan, atau perekonomian. Masyarakat dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang berarti masyarakat sungguh-sungguh menempati suatu tempat, memiliki eksistensi nyata, bukan sebuah gagasan imajinatif. Potret Indonesia

Masyarakat juga harus merupakan subyek otoritas politik yang sama, yang bermakna setiap orang di satu lokasi tertentu tersebut (masyarakat) agar dapat disebut satu kesatuan, setiapnya harus merupakan subyek dari peraturan (regulasi) yang sama. Sementara itu, kumpulan individu yang terorganisir tersebut memiliki cita-cita serta nilai-nilai bersama bermakna bahwa setiap anggota masyarakat mengakui dan mempraktekkan nilai-nilai konsensual serupa sekaligus memiliki cita-cita ataupun tujuan hidup yang secara umum juga serupa.

Masih menurut Kimmel and Aronson, masyarakat tidak sekonyong-konyong ada. Masyarakat sengaja diciptakan baik melalui metode bottom-up maupun up-to-bottom. Individu-individu dan lembaga-lembaga di dalam masyarakat saling berinteraksi satu sama lain yang menyebabkan masyarakat juga dikatakan sebagai sekumpulan interaksi sosial yang terstruktur.

Terstruktur mengartikan bahwa setiap tindakan individu ketika berinteraksi dengan sesamanya tidaklah terjadi bergerak di ruang vakum karena terjadi dalam konteks sosial. Misalnya, interaksi tersebut berlangsung di dalam komunitas keluarga, kelompok keagamaan, hingga negara. Masing-masing konteks membutuhkan perilaku yang spesifik, berbeda-beda. Namun, keseluruhan interaksi tersebut diikat oleh norma serta dimotivasi oleh nilai-nilai yang diakui secara bersama. Kata sosial mengacu pada fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang hidup sendiri. Individu selalu hidup di dalam keluarga, kelompok, dan jaringan. Kata interaksi mengacu pada cara berperilaku disaat berhubungan dengan orang lain. Akhirnya, dapat dikatan bahwa masyarakat diikat melalui struktur sosial.

Perilaku hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain. Konsep-konsep yang juga terkandung di dalam masyarakat – selain yang sudah disebutkan – adalah sosialisasi, peran, status, kelompok, jaringan, organisasi, dan lembaga.

Berdasarkan definisi seperti dikemukakan Kimmel and Aronson, Indonesia merupakan sebuah masyarakat. Kumpulan individu yang ada di 33 provinsi di Indonesia adalah masyarakat Indonesia. Mereka ini terorganisir melalui struktur-struktur sosial yang dikembangkan baik oleh komunitas-komunitas adat setempat, pemerintah lokal, juga pemerintah pusat. Di masing-masing wilayah, terdapat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bervariasi, yang berkisar pada lembaga keluarga, pendidikan, ekonomi, atau agama.

Batasan antara masyarakat Indonesia dengan Timor Leste (misalnya) jelas dan spesifik dan bahkan dilegalisasi oleh hukum internasional. Setiap individu di dalam wilayah Indonesia tunduk pada regulasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah lokal di masing-masing wilayah. Pengharapan-pengharapan serta nilai-nilai bersama telah dikembangkan dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945) yang sifatnya mengikat, sementara nilai-nilai bersama Indonesia dikodifikasi dalam bingkai Pancasila. 



Pandangan yang lebih sistemik atas konsep masyarakat Indonesia tentu harus dianalisis lebih lanjut. Masyarakat Indonesia adalah sebuah konsep yang sangat luas dan sangat tidak sederhana. Indonesia awalnya adalah sebuah konsep yang sengaja diciptakan. Secara kuantitatif, masyarakat Indonesia terbentuk atas sub-sub masyarakat (masyarakat di masing-masing daerah). Secara kualitatif, konsep Indonesia merupakan peleburan interaksi dari masyarakat-masyarakat daerah, yang meliputi garis ras, etnis, dan agama. Sebelum Indonesia terbentuk, di setiap wilayah yang kini masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan telah mengembangkan konsep sendiri-sendiri mengenai masyarakat politiknya. Penggabungan masyarakat-masyarakat ini ke dalam konsepsi masyarakat Indonesia jelas bukan hal mudah. Proses kuantitatif (pemekaran wilayah) dan kualitatifnya (integrasi masyarakat) masih berlangsung hingga saat tulisan ini dibuat.

Genealogi Masyarakat Indonesia

Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih dahulu dibahas garis besar mengenai genealogi konsep Indonesia. Kajian dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, ditinjau dari faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politis negara ini. Selain itu, perlu pula dicarikan definisi yang memadai seputar ras dan etnik untuk memudahkan analisis seputar kemunculan budaya dari orang-orang yang disebut Indonesia. Untuk keperluan analisis atas genealogi masyarakat Indonesia ini ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep ras, etnis, dan nasionalisme.

Ras. Definisi ras (race) adalah sistem simbol dan kepercayaan yang menekankan pada relevansi karakteristik-karakteristik sosial dan budaya berdasarkan aspek biologis. Definisi lain dari ras adalah “ ... kategori yang dikonstruksi secara sosial mengenai orang-orang yang punya sifat-sifat yang diturunkan secara biologis yang oleh para anggota suatu masyarakat dinilai sebagai penting.” Orang biasa membedakan ras berdasarkan karakteristik biologis seperti warna kulit, bentuk wajah, bentuk rambut, dan atau bentuk tubuh.

Masyarakat Amerika Serikat cenderung memisahkan ras menjadi white, black, asia, atau hispanik. Masyarakat di Brasil cenderung memisahkannya menjadi branca (kulit putih), parda (kulit coklat), morena (brunette), mulata (mulato), preta (kulit hitam), dan amarela (kulit kuning). Namun, cara pandang antar ras pun berbeda.

Orang berkulit putih di Amerika Serikat cenderung melihat orang kulit hitam memiliki warna kulit yang lebih gelap ketimbang orang kulit hitam yang satu memandang orang kulit hitam lain. Dengan demikian, ras dapat dikatakan sebagai konsep yang dikonstruksi secara sosial ketimbang murni bersifat biologis, kendati determinisme biologis ini kerap dijadikan acuan utama cara pandang mengenai ras.

Ras, sebagai alat analisis, sesungguhnya bersifat delutif’ karena sifat-sifat obyektifnya bisa mengecoh, akibat hanya didasarkan atas karakteristik-karakteristik fisik seorang individu.

Delusi akibat konsep ras muncul misalnya tatkala seorang lelaki kulit putih melakukan perkawinan dengan perempuan kulit hitam dan mempunyai anak. Anak mereka lalu melakukan perkawinan dengan seorang Asia (Cina, misalnya). Lalu, anak dari anak mereka ini (cucu) melakukan perkawinan dengan seorang parda di Brasil. Bagaimana menentukan ras anak dari cucu mereka tersebut?

Penilaian berlebih (juga delutif) atas ras mendorong munculnya tindak diskriminasi, terutama di negara-negara yang salah satu ras-nya menjadi mayoritas terhadap ras lain yang minoritas: Rasisme! Kendati demikian, kajian atas masalah ras tidaklah berhenti. Ras masih sering digunakan dalam melakukan kategorisasi sosial suatu populasi berdasarkan sifat-sifat turunan. Sejalan dengan masalah ras ini, penulis akan memperlihatkan genealogi ras dari penduduk Indonesia yang sesungguhnya mencerminkan efek delutif dari konsep ras terhadap analisis atas kategori sosial.

Etnis. Jika ras dikonstruksi secara biologi, maka etnis dikonstruksi secara sosial. Etnis adalah kategorisasi sosial berdasarkan bahasa dasar, agama, kebangsaan, dan gagasan kepemilikan budaya bersama. Dengan demikian, etnis lebih merujuk pada karakteristik suatu kelompok sosial yang didasarkan pada identitas bersama. Identitas bersama tersebut dapat berakar pada budaya, sejarah, agama, maupun tradisi bersama.

Ras dan etnis adalah dua konsep berbeda. Konsep etnis bergerak dalam alur determinisme sosial, sementara konsep ras bergerak dalam alur determinisme biologis. Dalam konsep etnis, dapat saja suatu etnis minoritas melakukan asimilasi terhadap budaya etnis mayoritas sehingga etnis minoritas tersebut mengalami pembauran menjadi etnis tunggal. Namun, dalam konsep ras, karena determinisme-nya biologi, proses asimilasi tersebut sukar dilakukan kecuali melalui proses evolusi yang mengakibatkan ciri-ciri fisik sekelompok orang menjadi sama dengan ciri-ciri fisik kelompok lainnya. Konsep etnis bersifat lebih longgar ketimbang ras karena sifat sosialnya ini. Penulis akan memperlihatkan etnis-etnis yang ada di Indonesia, yang ternyata sangat beragam tetapi ternyata memiliki sejumlah kesamaan secara parsial.

Minoritas. Minoritas didefinisikan sebagai kategori manusia yang dibedakan menurut perbedaan fisik atau budaya yang dianggap oleh suatu masyarakat lain sebagai terpisah ataupun subordinat. Seperti dikatakan oleh definisi, minoritas bisa didasarkan pada aspek fisik dan budaya ataupun gabungan antara keduanya. Minoritas punya dua karakteristik, yaitu : (1) mereka saling berbagi identitas unik, yang bisa saja didasarkan atas ciri budaya ataupun fisik, dan (2) minoritas selalu mengalami subordinasi oleh kelompok lain yang lebih dominan (mayoritas).

Hubungan minoritas dan mayoritas di Indonesia tidak selalu berjalan harmonis. Persoalan kemudian terletak pada interaksi-simbolik yang terbangun antara kelompok minoritas dan mayoritas serta prejudis-prejudis (termasuk stereotip-stereotip) yang muncul dan membayangi hubungan yang muncul antara keduanya. Pola-pola hubungan minoritas-mayoritas berbeda-beda di tiap provinsi Indonesia bergantung pada kuantitas masing-masing etnis, jenis etnis yang berhubungan, serta kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupi. Hal ini menjelaskan mengapa hubungan antara minoritas-mayoritas di provinsi Indonesia yang satu berbeda dengan hubungan di provinsi lainnya.

Nasionalisme. Nasionalisme adalah konsep yang mengkombinasikan perasaan identifikasi dengan orang, ideologi (yang menjelaskan kesamaan sejarah dan nasib), serta gerakan sosial (yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan ideologi). Nasionalisme kerap bertumpang-tindih dengan konsep ras dan etnis. Hitler, misalnya, membangun nasionalisme Jerman berdasarkan ras, yaitu ras Arya. Etnis Tamil di Srilangka berupaya mendirikan kebangsaan sendiri berdasarkan etnis Tamil karena merasa diopresi oleh Sinhala, etnis mayoritasnya. Aceh, di Indonesia, oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka-nya (dahulu) berupaya memerdekakan diri dari Republik Indonesia berdasarkan etnis Aceh akibat ketimpangan ekonomi, Belgia membangun negaranya berdasarkan dua bangsa: Belanda dan Perancis, atau etnis Catalan dan Basque di Spanyol terus terlibat dalam hubungan yang rumit dalam menyepakati nasionalisme Spanyol.

Berbeda dengan konsep ras dan etnis, konsep nasionalisme memiliki prasyarat ideologi, gerakan sosial, dan gerakan politik. Nasionalisme, dengan demikian dapat saja mendasarkan diri pada konsep ras ataupun etnis. Indonesia adalah contoh dari nasionalisme ini. Etnis-etnis, ras-ras, yang mengalami penjajahan Belanda di sekujur kepulauan Hindia, secara politik dinyatakan memiliki nasib yang sama dan sebab itu, secara ideologis merupakan satu bangsa seperti bunyi Soempah Pemoeda 1928 yaitu: (1) Berbangsa Satoe, Bangsa Indonesia; (2) Bertanah Air Satoe, Tanah Air Indonesia; dan (3) Berbahasa Satoe, Bahasa Indonesia. Ketiga sumpah ini adalah sumpah nasionalisme, wujud dari gerakan politik dalam menentang kekuasaan kerajaan Belanda atas wilayah-wilayah disekujur kepulauan Hindia. Sumpah politik tersebut sekaligus mengatasi perbedaan garis etnis, agama, dan ras yang tersebar di antara elemen-elemen bangsa Indonesia.

Moyang Masyarakat Indonesia

Penyebutan Indonesia pada tulisan ini mengacu pada wilayah yang kini termasuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah ini, sebelumnya masuk ke dalam kolonial Belanda. Gugusan kepulauan berikut penduduk yang menempatinya merupakan genius lokal yang berhasil mengakulturisasi dan mensinkretisasi aneka jenis budaya luar yang datang menghampirinya.

Tidak kurang budaya-budaya Hindu-Buddha, Islam, Timur Jauh, dan tentunya Barat (Portugis, Belanda, Inggris) datang dan meninggalkan bekas, untuk kemudian perpaduannya dengan budaya lokal diakui sebagai bagian dari budaya Indonesia. Kendati masing-masing budaya luar tersebut berbeda dalam tingkat pengaruhnya, masyarakat kepulauan Indonesia berhasil meracik dan dianggap sebagai bagian budaya Indonesia sendiri. Hal ini akan kita perlihatkan dalam pembahasan-pembahasan kemudian.

Terlebih dahulu akan dilakukan penekanan pada dinamika saling pengaruh antara budaya lokal dengan budaya yang datang dari luar kepulauan nusantara. Sebab itu, menjadi suatu keharusan untuk menjelaskan seperti apa bentuk-bentuk budaya lokal yang dianut penduduk Indonesia. Ini penting dilakukan demi keperluan analisis seputar pengaruh yang diberikan budaya luar atas Indonesia. Namun, tentu dibutuhkan literatur yang besar bahkan penelitian tersendiri guna mendeskripsikan seperti apa bentuk budaya yang lokal Indonesia. Kajian ini agak sulit mengingat penduduk Indonesia sendiri berkembang melalui sejumlah migrasi penduduk dari wilayah selatan Cina. Termasuk ke dalamnya tidak diketahui batasan pasti mengenai kapan penduduk lokal Indonesia memulai kontak dengan kebudayaan luar.

Kesulitan mengenai batasan antara mana yang disebut penduduk asli Indonesia dengan yang bukan juga dialami Bernard H. M. Vlekke. Sejarawan Belanda itu menyebutkan alasan bahwa akibat kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan selatan maka dengan sendirinya bisa diperkirakan akan terdapat populasi yang terdiri atas beragam ras. Jika kajian Vlekke dijadikan sebagai titik pijak, maka dapat diasumsikan akan terjadi percampuran ras di antara moyang Indonesia.

Moyang atau nenek moyang adalah pengertian awam yang merujuk pada konsep genealogi manusia yang terlebih dahulu dilanjutkan dengan yang muncul di masa kemudian. Mengenai moyang manusia Indonesia ini, Koentjaraningrat menyebut sekurangnya 1 juta-an tahun lampau, sudah ada Pithecanthropus Erectus yang hidup di lembah sungai Bengawan Solo. Makhluk sejenis dengan Pithecanthropus Erectus ini juga ditemukan di gua-gua dekat Peking (Cina) dan wilayah Asia Timur.

Teori dari Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz Sarasin) menyebutkan bahwa populasi asli Indonesia adalah ras berkulit gelap serta bertubuh kecil dan keturunan dari ras asli ini disebut orang Vedda. Koentjaraningrat menyebut orang Vedda memiliki persamaan dengan penduduk asli Australia (Aborigin) sehingga menyebutnya sebagai Austro-Melanosoid. Penamaan Vedda diambil dari salah satu suku yang terkenal di Srilanka. Termasuk ke dalam ras ini adalah suku Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, Senoi di Semenanjung Malaya, Kubu, Lubu, dan Mamak di Sumatera, serta Toala di Sulawesi.

Ras ini awalnya mendiami wilayah Asia bagian tenggara yang saat itu masih bersatu sebagai satu daratan di dalam periode Glasial (zaman es). Di akhir periode Glasial, es mencair dan mengakibatkan permukaan laut naik. Hasil lelehan es ini menciptakan Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Kedua laut ini memisahkan pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama Asia. Penduduk asli (yang berkulit gelap tadi) tinggal di wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir dihuni oleh kaum pendatang. Kaum pendatang ini akan dibahas lebih lanjut oleh paragraf-paragraf di bawah.

Orang Vedda atau Austro-Melanosoid ini kemudian menyebar ke Timur dan mendiami Papua, Sulawesi Selatan, Kai, Flores Barat, Timor Barat, Seram – sebelum es periode Glasial mencair – dan terus ke timur dan mendiami Kepulauan Melanesia. Sebagian dari mereka menyebar ke Barat dan menghuni pulau Sumatera. Di Sumatera ini mereka mengembangkan perkakas berupa kapak genggam. Mereka juga suka memakan kerang yang dibuktikan lewat tumpukan fosil kulit kerang di dekat Medan Sumatera Utara, dekat Langsa (Aceh), Perak, Kedah, dan Pahang di wilayah Semenanjung Malaysia.

Selain di Sumatera, bukti penggunaan kapak genggam juga ditemukan di gua-gua Jawa semisal Gua Sodong (Besuki), Gua Petruruh (Tulungagung), Gua Sampung (Ponorogo) bahkan hingga Vietnam Utara. Sebab itu, Koentjaraningrat mengajukan pendapat bahwa telah terjadi perpindahan penduduk Austro-Melanosoid dari timur ke barat, dari Jawa menuju Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, hingga Vietnam Utara. Melalui perpindahan ini dimungkinkan terjadinya percampuran antara ras Austro-Melanosoid dengan Mongoloid.

---> pict

Kaum pendatang lalu datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama disebut Proto-Melayu dan gelombang kedua disebut Deutero-Melayu.

Proto-Melayu dipercaya sebagai moyang dari penduduk yang menghuni kawasan kepulauan dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka ini datang dari Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunnan. Mereka bermigrasi dalam jumlah besar, pertama menuju Indochina, Siam, dan terakhir ke Kepulauan Indonesia. Taksiran waktunya adalah 11.000 - 2000 sM.

Perkakas mereka berasal dari periode neolitik. Selain dari Yunnan, Koentjaraningrat juga menyebut kemungkinan Proto-Melayu ini datang dari Kepulauan Ryukyu Jepang, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi Selatan yang dibuktikan dengan adanya Suku Toala Proto-Melayu. Mereka ini sudah mengembangkan budaya berburu dengan busur dan panah.

Proto-Melayu yang juga disebut Koentjaraningrat dengan Paleo-Mongoloid ini kemudian didesak oleh gelombang migrasi kedua (Deutero-Melayu) sekitar 300 s/d 200 sM. Manusia yang migrasi ini berasal dari Indochina bagian utara dan sekitarnya. Perkakas mereka ini sudah terbuat dari logam, termasuk senjata yang terbuat dari besi. Mereka juga sudah melakukan kegiatan bercocok tanam di ladang dan menggunakan perahu bercadik.

Padi dibawa oleh Deutero-Melayu dari wilayah Assam Utara atau Birma Utara, melalui lembah sungai Yang-tze (Cina Selatan), terus ke selatan dan akhirnya sampai di Jawa, tempat di mana padi dapat tumbuh lebih subur.

Pada perkembangannya, Proto-Melayu dan Deutero-Melayu membaur secara bebas sehingga sulit dibedakan. Sebagai taksiran, dapat disebut Suku Gayo dan Alas di Sumatera bagian utara serta Toraja di Sulawesi sebagai representasi Proto-Melayu. Setelah itu, hampir seluruh suku lain (kecuali Papua) dimasukkan ke dalam kategori Deutero-Melayu. Kendati demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa moyang dari penduduk di wilayah kepulauan Indonesia adalah serumpun yaitu turunan dari penduduk asli (orang Veddar) dan dua gelombang migrasi dari utara.

Paparan di atas membagi genealogi ras awal Indonesia lewat kronologi waktu kedatangan. Hal seperti ini serupa dengan upaya periodisasi kurun kehidupan masyarakat Indonesia. Kajian semacam ini melibatkan kajian kesejarahan yang dianggap perlu akibat penduduk asli Indonesia tidak meninggalkan suatu bukti tertulis (misalnya yang berupa prasasti yang memuat tulisan tarikh), maka kajian atas budayanya dilakukan lewat periodisasi era atau zaman.

Serumpunnya kategori ras-ras yang mendiami kepulauan nusantara juga dapat dibuktikan melalui kajian linguistik. Hampir 170 bahasa yang dipakai di penjuru kepulauan nusantara termasuk ke dalam kelompok Austronesia dengan sub linguistik Melayu-Polinesia. Sub Melayu-Polinesia ini kemudian terpecah lagi menjadi dua: Kelompok pertama terdiri atas bahasa yang berkembang di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; kelompok kedua terdiri atas bahasa yang berkembang di Batak, Melayu standar, Jawa dan Bali. Bahasa kelompok kedua ini datang lama setelah yang pertama. Selain kedua kelompok tersebut, perlu dilakukan kajian atas susunan bahasa lain yaitu Papua dan Halmahera Utara.

Lalu bagaimana Melayu dapat menjadi bahasa persatuan Indonesia? Bahasa Melayu awalnya hanya digunakan orang-orang yang tinggal di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Pada perkembangannya, wilayah-wilayah tersebut giat melakukan kegiatan dagang yang meluas hingga ke bagian timur kepulauan Indonesia. Banyaknya aktivitas perdagangan di pelabuhan dagang di Sumatera maupun Semenanjung Malaya yang menggunakan Melayu sebagai bahasa pengantar membuat bahasa ini menjadi Lingua Franca di perairan Indonesia secara umum.

Jaman Batu dan Logam. Yang dimaksud dengan kebudayaan penduduk asli Indonesia adalah orisinalitas budaya manusia Indonesia sebelum bercampur dengan budaya-budaya lain yang masuk ke dalam kategori seperti Timur Jauh (Cina), Hindu-Buddha, Islam, ataupun Barat. Cukup sulit guna menentukan hal ini oleh sebab tiadanya bentuk tulisan sebagai bukti adanya kebudayaan asli tersebut.

Sebab itu, sejumlah ahli menggunakan peninggalan-peninggalan material guna menaksir jenis kebudayaan yang berkembang di era prasejarah ini. R. Soekmono sebagai misal, membagi periodisasi perkembangan budaya Indonesia menjadi empat, yaitu:
  1. Jaman Prasejarah (sejak moyang muncul hingga 500 M);
  2. Jaman Purba (sejak pengaruh India hingga lenyapnya Majapahit tahun 1500 M);
  3. Jaman Madya (sejak pengaruh Islam di akhir Majapahit hingga akhir abad ke-19); dan
  4. Jaman Baru (sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik moderen, dari 1900 hingga sekarang).

Kajian budaya asli Indonesia, sebab itu masuk ke dalam Jaman Prasejarah dengan asumsi pada jaman ini bentuk-bentuk orisinal budaya Indonesia tumbuh. R. Soekmono kemudian membagi kajian peninggalan prasejarah Indonesia ini ke dalam beberapa tarikh, yaitu Jaman Batu dan Jaman Logam. Jaman Batu terbagi atas Paleolithikum, Mesolithikum, dan Neolithikum. Jaman Logam terbagi atas Jaman Tembaga, Jaman Perunggu, dan Jaman Besi.

Paleolithikum. Bukti kebudayaan ini ditemukan di Pacitan dan Ngandong sehingga dikenal sebagai sebagai Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Penemunya von Koenigswald tahun 1935. Kebudayaan Pacitan adalah kebudayaan yang dikembangkan Pithecanthropus Erectus dan berwujud kapak-kapak batu. Kapak-kapak tersebut biasanya digunakan untuk menyiangi (menguliti) hewan sehingga diprediksi kebudayaan mereka adalah pemburu-peramu.

Kebudayaan Ngandong (dekat Ngawi, Madiun) lebih kompleks, sebab selain kapak batu juga ditemukan peralatan dari tulang hewan dan tanduk rusa. Selain itu, budaya ini juga ditemukan di Cabenge (Sulawesi Selatan). Tulang dan tanduk rusa, selain digunakan untuk menguliti hewan, juga digunakan untuk mengorek umbi-umbian. Sebab itu diasumsikan budaya cocok tanam (hortikultural) mulai digagas di Kebudayaan Ngandong ini.

---> pict

Mesolithikum. Kebudayaan Mesolithikum ini terutama ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Budaya yang berkembang adalah berburu dan menangkap ikan, selain juga telah bercocok tanam. Mereka hidup di gua-gua dan pinggir pantai. Di periode inilah, sampah-sampah kulit kerang ditemukan. Selain itu, mereka sudah menemukan cara bagaimana menggiling dan menghaluskan sesuatu. Kapak-kapak batu yang digunakan lebih halus ketimbang dari masa Paleolithikum.

Selain berbahan batu, peralatan dari tulang hewan juga diketemukan layaknya di masa Paleolithikum. Suku Toala di Sulawesi adalah contoh dari masyarakat Mesolithikum ini sesuai gambaran Vlekke, adalah manusia Proto-Melayu. Pada masa ini, juga berlaku teori Fritz and Paul Sarasin tentang orang Vedda dari Srilanka.

Moyang di masa Mesolithikum ini juga telah mengenal panah yang mulai rumit dengan matanya yang bergerigi serta pangkalnya yang bertangkai. Selain panah, moyang Indonesia ini juga mulai mengembangkan daya seni. Ini dibuktikan dengan cap-cap tangan di dinding gua Leang-leang (Sulawesi Selatan), juga gambar babi hutan.

Neolithikum. Beda Neolithikum dengan dua masa sebelumnya adalah relatif tersebarnya budaya yang berkembang di dalam periode ini ke seluruh kepulauan nusantara. Di masa ini telah beralih budaya dari food-gathering menjadi food-producing. Kehidupan mengembara telah jarang digantikan dengan menetap, bertani, dan beternak. Mereka telah membuat rumah sehingga dasar-dasar pertama bagi terciptanya kebudayaan asli Indonesia mulai menampakkan bentuk.

Kapak-kapak yang digunakan pada masa Neolithikum sudah berbentuk persegi serta memiliki ketajaman di sisi-sisinya. Kapak jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali. Sementara di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi masih relatif jarang. Kapak berjenis sama juga ditemukan di Malaysia Barat dan India selatan kendati di sana bentuknya masih kasar. Sebab itu dapat dikatakan bahwa budaya yang berkembang di Indonesia relatif lebih rumit ketimbang di dua wilayah tersebut.

Selain kapak, juga ditemukan aneka perhiasan berupa gelang-gelang dari batu. Gelang batu ini menghendaki teknik pemahatan dan pengamplasan yang rumit dan sebab itu diperlukan intelektual yang lebih tinggi dalam pengerjaannya. Pakaian juga sudah berkembang kendati baru berbahan kulit kayu dan menandakan bahwa moyang Indonesia di era Neolithikum sudahlah berpakaian. Selain perhiasan dan pakaian, tembikar pun telah dikembangkan di era Neolithikum ini. Namun, metode pembuatannya berbeda dengan masa kini yang menggunakan roda landasan. Di masa neolithikum, setelah bentuk tembikar tercipta, penghalusan kemudian dilakukan menggunakan batu asah.

Jaman Logam. Dengan dimulainya Jaman Logam, bukan berarti Jaman Batu berakhir. Penggunaan batu tetap dilakukan, sementara logam pun telah mulai digunakan orang. Dua jaman berjalan beriringan, tetapi jaman batu mulai senja sementara jaman logam mulai terbit. Penggunaan logam menghendaki teknologi yang jauh lebih rumit lagi. Tidak seperti batu yang dapat langsung dipecah dan diasah, logam haruslah dikayak serta dilebur terlebih dulu sebelum dibentuk. Setelah dilebur, cairan logam kemudian dicetak dengan cetakan tanah sesuai bentuk-bentuk yang dikehendaki.

Logam Perunggu digunakan sebagai material pembuat kapak corong. Kapak corong ini dibuat dari logam perunggu dengan cetakan tanah. Ia dikembangkan di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Pulau Selayar, dan Papua (dekat Danau Sentani). Kapak Corong ini memiliki mata dan lubang tempat terpasangnya kayu pemegang.

Selain kapak corong, masa logam ini ditandai dengan penggunaan Nekara. Nekara fungsinya hampir mirip dengan dandang yaitu untuk menanak nasi atau memasak selain nasi. Nekara ini ditemukan di Pulau Selayar, Sumatera, Jawa Bali, Sumbawa (dekat Pulau Sangean), Roti, Leti, dan Kepulauan Kei.

Megalithikum. Megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan besar. Jauh sebelum datangnya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat asli Indonesia telah mengembangkan bangunan-bangunan besar seperti keranda batu tempat mayat, kubur batu, punden berundak (di Lebak Sibedug, Banten Selatan), serta ukir-ukiran batu. Sebab itu, moyang Indonesia telah punya seni dan budaya sendiri sebelum datangnya budaya luar. Budaya luar yang masuk sekadar memberi pengaruh terhadap budaya yang telah ada. Arca atau patung pra era Hindu-Buddha pun sudah mulai dibuat moyang Indonesia, semisal yang ditemukan di Pasemah (Sumatera Selatan).

Genealogi Konsep Masyarakat Indonesia

Konsep Indonesia merupakan campuran dari aneka gagasan dalam bidang politik, sosiologi, ekonomi, budaya, sejarah, bahkan post-colonialism. Sebelum Indonesia yang dikenal kini, konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa awalnya tidak ada. Jika kita lihat peta, maka Indonesia terdiri atas rangkaian pulau yang tersebar dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda pula. Lalu, apa yang bisa dikatakan sebagai budaya Indonesia?

Indonesia awalnya adalah sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang meliputi wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih baru dan terus mengalami perubahan dan adaptasi hingga saat ini. Gagasan yang kerap menghadapi sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga saat ini. Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.
Indonesia adalah sebuah negara dengan hampir 18.000 pulau yang tersebar di antara benua Asia dan Australia. Hampir setiap pulau dihuni oleh etnis dengan budaya yang spesifik. Satu sama lain berbeda. Lalu, bagaimana mereka bisa mengikatkan diri ke dalam sebuah nation?

Menurut R.E. Elson, kata Indonesia pertama kali digagas oleh George Samuel Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas adalah Indu-nesians. Saat itu Earl mencari istilah etnografis guna mengkategorisasi cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, setelah menciptakan istilah Indu-Nesians, Earl langsung batal menggunakannya akibat terlalu umum lalu menggantinya dengan Malayunesians.

Rekan Earl bernama James Logan, mengabaikan sikap Earl dan memutuskan bahwa Indu-Nesian (kemudian disebut Indonesian) tetap lebih tepat ketimbang Malayunesians. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata Indonesian adalah pemendekan dari istilah geografis Indian Archipelagian. Sebab itu, Logan merupakan orang pertama yang menggunakan istilah yang mendekati kata Indonesia.

Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, menggunakan kata Indonesia untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah Indonesia dalam pengertian geografis juga digunakan oleh ahli bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun 1882, Sir William Edward Maxwell, administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu dari Britania mengikuti praktek Dennys.

Penggunaan istilah Indonesia lalu meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman, menggunakan kata Indonesia dalam 5 jilid karyanya berjudul Indonesien order die Inseln des Malayischen Archipel. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian ini memiliki reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata Indonesia lalu lebih dihormati serta digunakan secara lebih luas.

Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia Belanda (sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda) juga menggunakan istilah Indonesia. Wilken ini menggunakan istilah Indonesia secara geografis, sama seperti James Logan sebelumnya.

Para perkembangan kemudian, istilah Indonesia tidak lagi merujuk pada aspek geografis. Istilah itu juga kerap dipakai dalam konteks etnis dan budaya. Sejak karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu kawasan yang dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut meliputi bahasa, fisik, dan adat. Indonesia adalah kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata Indonesian adalah orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu, yang juga kadang digunakan untuk melukiskan penghuni pulau Madagaskar hingga Formosa. Indonesia adalah kata guna melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.

Menurut Elson, aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan peristiwa tersebut didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.

Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik adalah integrasi horisontal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akibat perkembangan-perkembangan sarana berikut:
  1. angkutan, terutama rel kereta api dan jalan di Jawa serta jalur laut yang dibangun perusahaan perkapalan Belanda, Koninklijk Paketwaart maatschappij;
  2. kesaman mata uang;
  3. sistem administratif, pajak, dan hukum yang terpusat; dan
  4. wilayah-wilayah seperti Yogyakarta, Makassar, Medan, bahkan Kupang tidak bisa lagi dikatakan terisolasi dari pusat (Batavia/Jakarta).

Salah satu faktor kuat tersemaikannya integrasi horisontal ini adalah sumbangan Malaka sebagai bandar dagang penting bagi kawasan nusantara. Ricklefs mengutip Tome Pires, yang menginventarisasi interaksi simbiosis-mutualistis wilayah-wilayah nusantara dalam persoalan dagang ini. Tabel di bawah ini mendeskripsikan proses interaksi perdagangan antar wilayah nusantara:

--->pict

Seluruh perkembangan di atas semakin merumitkan kegiatan ekonomi, terutama di masa Belanda di seantero kepulauan, merangsang pergerakan orang atau perantauan skala besar yang melintasi wilayah Indonesia. Ini misalnya akibat meluasnya perkebunan di Sumatra Timur serta transmigrasi yang disponsori pemerintah Belanda maupun kemauan sendiri. Hasil dari proses ini adalah makin banyak kontak antara berbagai ras dan etnis di Indonesia. Tercipta kondisi saling paham menggantikan persaingan yang marak sebelumnya. Pemahaman ini diperkuat dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar, yang penggunaannya meluas hingga ke seluruh bagian kepulauan nusantara.

Kini Indonesia telah memperlihatkan bentuknya sebagai kesatuan yang politis. Ekses negatif kesatuan yang bersifat politis ini adalah terjadinya pembongkaran, pengabaian, serta pembentukan ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang sudah ada. Ekonomi kolonial yang berpusat di Jawa dijadikan model, dengan fokus pada pemberian fasilitas kepada negara-negara Barat yang mengimpor produk dari kawasan tropis.

Pada masa sebelum Jawa menjadi sentral, wilayah-wilayah lain di kepulauan nusantara lebih condong meniru Singapura dan Penang, karena kedua wilayah tersebut telah terintegrasi ke dalam jalur perdagangan antarnegara. Namun, kini mereka harus memindahkan jalur perdagangan ke pulau Jawa dan mengikuti pola ekonomi pemerintah kolonial yang berkedudukan di Jawa, khususnya Batavia. Ekses lain dari Jawa sebagai model adalah menjadi terisolasinya kawasan Indonesia Timur dari dunia luar sehingga keunggulan-keunggulan kompetitif mereka di dalam perdagangan antar bangsa kehilangan signifikansinya. Di sisi lain, posisi negara Hindia-Belanda menjadi kuat, terpusat, birokratis, diatur dari dan dibentuk berdasarkan pengalaman model pemerintahan kolonial di Jawa.

Aspek ketiga dari munculnya gagasan politik Indonesia adalah gerakan yang dilakukan para perintis pergerakan nasional Indonesia untuk membentuk sebuah nation baru. Mereka ini terdiri atas aktivis surat kabar, mahasiswa, pemeluk agama (Islam), bahkan birokrat pribumi yang bekerja pada Belanda.

Setelah politik etis Belanda diberlakukan, banyak orang pribumi Hindia-Belanda yang mulai belajar menguasai bahasa Belanda. Penguasaan bahasa ini penting karena seluruh bahasa ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan penyebaran informasi yang beredar di masyarakat menggunakan bahasa tersebut. Selain itu, mulai terbuka kesempatan menempuh jenjang pendidikan secara lebih umum bagi kalangan pribumi kendati distribusi kesempatannya tidak merata.

Beberapa media cetak seperti Retno Dhoemilah, Bintang Hindia, dan Pewarta Panji banyak membuka wawasan pengetahuan kalangan elit Indonesia untuk menyadari kebangsaan mereka. Dalam Retno Dhoemilah ini juga ikut bergabung Dr. Wahidin Sudirohusodo yang menjabat selaku pemimpin redaksi. Melalui media tersebut Wahidin menyebarkan gagasan kebangsaan Indonesia.

Pergerakan kebangsaan ini juga dilakukan oleh kalangan mahasiswa asal Hindia-Belanda yang menimba ilmu pengetahuan di negeri Belanda. Justru di negara penjajah ini mereka membiakkan wawasan kebangsaan baru. Sebagian mahasiswa tersebut merupakan wakil dari kelas ningrat Jawa modernis yang berniat melakukan perubahan sosial. Mereka disebut sebagai priyayi baru. Juga, terdapat pula priyayi yang berasal dari Sumatera Barat, orang-orang yang menganut budaya rantau yang memungkinkan keterbukaan mereka atas cara bersikap, berpikir, dan bertindak yang baru. Mahasiswa asal Hindia Belanda ini kemudian menggabungkan diri ke dalam Indische Vereeniging (IV, Perhimpunan Hindia). Tujuan IV adalah memperjuangkan kepentingan orang Hindia di Belanda dengan tetap menjaga hubungan baik dengan pemerintah Hindia Timur Belanda.

Benih lain pergerakan kebangsaan muncul akibat aktivitas rombongan haji orang Hindia-Belanda di Mekah. Snouck Hurgronje (islamolog Belanda) secara khusus mengamati proses interaksi jamaah haji ini. Sebagian dari mereka menetap di Mekkah dan mendirikan Kampung Jawi, suatu koloni orang Hindia-Belanda di kota Mekah. Di Mekah, jamah haji dari kepulauan Indonesia mempelajari aliran-aliran Islam reformis dan modernis yang tengah mengalami revivalisasi saat itu. Mereka membayangkan bagaimana jika mereka bersatu melawan kemapanan negara kolonial Belanda sebagai representasi Barat. Mulai muncul keinginan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Pembiakan ideologi kebangsaan jamaah haji ini kemudia berpindah dari Mekah ke Kairo, yang lebih dinamis secara intelektual. Suasana sosial dan intelektual Kairo juga lebih segar ketimbang Hijaz. Di Universitas Al Alzhar mereka mempelajari pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Di Kairo ini pula kemudian sebuah organisasi bernama Jamiah Setia Pelajar berdiri pada 1912. Secara ideologis, organisasi ini banyak dipengaruhi pemikiran Muhammad Rasyid Ridha diwarnai berkembangnya rasa kesatuan Jawi.

Gerakan kebangsaan lain yang bersifat politis dilakukan oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya mengkampanyekan penciptaan sebuah bangsa yang satu jiwa yang hidup dan romantis. Dekker kemudian mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) bersama Soewardi dan Tjipto. Dekker ini adalah indo, peranakan campuran Jawa-Belanda, sementara dua lainnya priyayi Jawa yang progresif.

Gagasan dasar Indische Partij adalah mendirikan suatu negara yang bukan didasarkan solidaritas etnis, ras, keterikatan pada agama tertentu, ataupun kedekatan geografis. Tujuan yang hendak dicapai IP adalah ikatan kebangsaan yang sama sekali baru, yaitu berdasarkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas yang muncul dari pengalaman tersebut. Pengalaman yang dimaksud adalah rasa sama-sama ditindas oleh kekuatan kolonial. Bagi Dekker, yang membentuk negara bukanlah kesatuan ras, kepentingan ataupun bahasa, melainkan kesatuan hukum yang mengatur tentang negara. Akibat aktivitasnya, tiga serangkai lalu dibuang ke negeri Belanda dan IP sebagai organisasi dibubarkan pemerintah kolonial.

Secara umum, konsep Indonesia yang tengah ini berkembang tidaklah monolitik. Hindia-Belanda saat itu juga disemaraki semangat berdasar primordialisme yang membentuk masyarakat majemuk. Sentimen-sentimen agama, suku atau kedaerahan juga sangat kuat jauh sebelum Indonesia merdeka. Contohnya Sarekat Islam, satu organisasi massa besar dan lintas pulau tetapi mendasarkan diri pada agama ini tumbuh 1912. Sarekat Islam bukan satu-satunya organisasi yang didasarkan pada semangat primordialisme.

Perserikatan Minahasa (juga berdiri 1912) terbentuk sebagai reaksi atas munculnya Budi Utomo (1908) yang menekankan pada Kejawaan. Perserikatan Minahasa juga terbentuk akibat hubungan khas wilayah tersebut dengan kolonial Belanda. Inti dari perserikatan ini adalah wahana berkumpulnya para prajurit Kristen Manado yang ditempatkan di Jawa Tengah. Pada perkembangannya, perserikatan ini mengupayakan pemerintahan sendiri dan dibalas oleh kolonial Belanda dengan penghapusan hak-hak istimewa mereka.

Reaksi yang sama juga terjadi dengan didirikannya Pasundan tahun 1914, yang berupaya memperkuat identitas suku Sunda di Jawa Barat. Juga ada Kaum Betawi, yang melibatkan penduduk asli Batavia. Bulan Mei 1920 berdiri pula Sarekat Ambon, disusul Jong Java dan Jong Sumatranen Bond (JSB) berdiri 1917. Jong Java terinsirasi konsep Jawa Raya, sementara JSB adalah kumpulan orang Sumatra dari aneka wilayah dan tinggal di Jawa. JSB menghendaki penyisihan sentimen kesukuan berdasarkan asal-usul wilayah Sumatera dan menyebut diri hanya selaku orang Sumatera saja.

Sarekat Ambon (SA) didirikan di Semarang. Kebanyakan anggotanya orang Ambon yang jadi tentara kolonial Belanda yang bermarkas di Semarang. Para pendirinya berupaya merangkul banyak orang Kristen Ambon yang bekerja di kalangan kerah putih di Jawa. Salah satu tokohnya, A.J. Patty, sangat terpengaruh gagasan Douwes Dekker. Baginya, tujuan SA adalah mengangkat orang Ambon secara material dan spiritual, termasuk minoritas Muslim dalam masyarakat Ambon, dan dengan demikian SA ini mulai mengatasi sentimen primordial. Terdapat pula seorang pemimpin Batak, Manullang, pada 1919 yang membandingkan nasib mereka dengan kemakmuran dan kekuasaan kaum kapitalis kulit putih. Di kalangan jurnalis, Abdul Muis – jurnalis Sumatera Barat – menyatakan bahwa kemerdekaan Hindia-lah, bukan kemerdekaan koloni Hindia Belanda, yang harus menjadi tujuan tindakan Pemerintah.

Maraknya sentimen kesukuan di kalangan penduduk Hindia Belanda dimanfaatkan Belanda untuk memecah belah (divide et impera). Lewat agen utamanya yaitu H. Colijn, mereka menghembuskan provokasi yang berupaya menguatkan sentimen perbedaan suku, ancaman dominasi Jawa, serta mengibarkan rasa takut akan hilangnya identitas etnis masing-masing jika Indonesia jadi berdiri. Tindakan ini dibalas oleh Perhimpunan Hindia dengan pernyataan orang Jawa tetap orang Jawa, orang Sumatera tetap orang Sumatera, orang bukan bunglon, tapi semuanya bergabung menjadi satu bangsa, satu negara.

Pembentukan nation Indonesia awal ini memiliki sejumlah kontradiksi. Kontradiksi tersebut muncul akibat terdapatnya 2 kaidah – menurut Elson – yang berbeda seputar perlunya suku-suku Hindia-Belanda bersatu.

Kaidah pertama mengutamakan kesatuan budaya pribumi Indonesia, dengan tokohnya Soeryo Poetro di Belanda. Kaidah ini menganggap orang-orang Hindia Belanda bukanlah kumpulan ras yang beragam melainkan satu bangsa yang berasal dari leluhur yang sama. Alasan lainnya, sejarah menunjukkan mereka telah terlibat hubungan dagang yang aktif antar sesamanya. Sehingga, kekuatan Indonesia akan datang dari kesadaran bangsa Indonesia bahwa mereka semua bersaudara. Pada akhirnya, mereka semua akan melihat kekuatan besar macam apa yang tersembunyi di dalam bangsa Indonesia yang terbentuk berdasarkan kesatuan budaya ini.

Kaidah kedua mengutamakan kesatuan berdasar nasib terjajah. Ini diajukan oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo dengan visinya sendiri berupa nasionalisme antarpulau Indonesia yang terbangun atas ikatan yang tidak mempedulikan seberapa besar perbedaan budaya dan sejarah setiap suku. Hal yang paling penting, menurut Tjipto, adalah mengupayakan terbentuknya suatu ikatan besar yang mempersatukan mereka semua. Ikatan tersebut adalah kesamaan penjajahan ekonomi dan politik oleh suatu kekuatan asing, yang dialami oleh semua suku, agama, ras, dan golongan yang ada di Hindia Belanda.

Rasialisme juga mulai menggejala di pergerakan awal Indonesia. Pada tahun 1919 misalnya, Hasan bin Sumayt (seorang Arab Yaman, Hadramaut) ditolak masuk Sarekat Islam karena dianggap orang asing. Kasus tersebut bukanlah satu-satunya. Kasus-kasus ini muncul akibat program persamaan hak Insulinde yang dipromosikan pemerintah Kolonial. Muncul kekhawatiran di kalangan pribumi bahwa tidak lama lagi, tanah orang Jawa akan beralih dari kolonial Belanda ke tangan kolonial berbangsa Arab, Cina, dan ataupun Eropa selain Belanda.

Hingga tahun 1920-an, gagasan Indonesia sudah sangat kuat berhembus. Tahun 1922, mahasiswa Indonesia dan Malaya di Universitas Al Azhar Kairo mendirikan Jama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azharian al-Djawiah (Jamaah Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar). Di Belanda, pada 1922 juga, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan menggunakan nama Perhimpunan Indonesia secara tetap mulai 1925. Kata Indonesia mulai digunakan, dan kemerdekaan Indonesia adalah tujuan utama dari Perhimpunan Indonesia ini.

Tahun 1922 Kongres Seluruh Hindia di Hindia-Belanda diadakan. Tujuannya mengupayakan persatuan berdasarkan model Kongres India dan memperjuangkan otonomi Hindia di bawah persemakmuran Belanda dengan kemitraan setara. G.S.S.J. Ratulangie mulai memperkenalkan nama Indonesia. Tahun 1923, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia, juga meniru model India. Tujuan kongres adalah menyatukan organisasi-organisasi lokal dan regional untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan nasional. Di kongres tersebut, Tjokroaminoto menyatakan untuk jangan melupakan gagasan kesatuan bangsa. Jangan pula membeda-bedakan antar ras dan suku, orang Sumatra, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi dan Borneo. Semuanya orang Hindia. Sayangnya, Sarekat Islam yang dipimpinnya lambat-laut semakin larut dalam gerakan Pan-Islamis, untuk kemudian hilang dari proses-proses pembentukan nasion Indonesia kemudian.

Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, memulai peran pentingya selaku motor konsep Indonesia merdeka. Jurnal bulanan organisasi ini, Indonesia Merdeka, mulai terbit sejak 1924. Pelanggannya adalah Tjokroaminoto, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, Abdul Rivai, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Sarekat Islam, Indonesische Studieclub, bupati dan pejabat pemerintah senior pribumi, van Vollenhoven, Sneevliet, G.J. Hazeu, Snouck Hurgronje, redaksi koran-koran Belanda, organisasi-organisasi internasional, pangeran Solo dan pendukung nasionalisme Jawa, Mangkunegoro VII, dan redaktur Seruan Al Azhar (jurnal organisasi Jama’ah yang didirikan di Kairo).

Tahun 1927 Sukarno mendirikan Partai Indonesia. Akibat aktivitas politiknya, Sukarno dipenjarakan oleh pemerintah kolonial. Dalam eksepsinya, Indonesia Menggugat, Sukarno menyatakan harus diakhirinya penghisapan bangsa oleh bangsa. Penegasan ke arah Indonesia merdeka pun semakin kentara. Dengan kata lain, penegasan Sukarno dan lain-lain pemimpin pergerakan kemerdekaan mewakili kenyataan bahwa secara politik konsep Indonesia sebagai sebuah nation relatif sudah terbentuk secara jelas. Tahun 1928 dalam Kongres Nasional Pemuda Indonesia diucapkan Soempah Pemoeda yang diucapkan oleh gabungan jong-jong primordial. Dalam sumpah ini representasi masing-masing daerah hadir untuk berikrar hendak mengikatkan diri ke dalam satu nasion baru: Indonesia.(sb)


  1. Michael Kimmel and Amy Aronson, Sociology Now (Boston: Pearson Higher Education, 2010) p. 70.
  2. Ibid., p. 70-1.
  3. Paparan mengenai genealogi terbentuknya Indonesia disajikan dalam tulisan selanjutnya.
  4. Mark Kirby, et.al., Sociology in Perspective (Oxford: Heinemann Educational Publishers, 2000) p.731.
  5. John J. Macionis, Sociology ..., op.cit.,p.358.
  6. Ibid., p. 732.
  7. Ibid., p.361.
  8. Saad Z. Nagi, Nationalism dalam Edgar F. Borgatta and Rhonda J.V. Montgomery, eds. Encyclopedia of Sociology, Volume 3, Second Edition (New York: Macmillan Reference USA, 2000) p.1939.
  9. Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: KPG, 2008) h.7.
  10. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, Cet.22, 2007) h.1-21.
  11. Bernard H. M. Vlekke, Nusantara ..., op.cit., h.8. Teori penjelasan kemudian masih mengacu pada catatan kaki ini.
  12. Koentjaraningrat, Manusia ..., op.cit., h.4.
  13. Ibid., h.7.
  14. Ibid., h.8.
  15. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, (Yogyakarta: Kanisius, Cet.23, 2008) h.23-4. Sebelum terbit catatan kaki lain, kajian mengikut pada pendapat Soekmono ini.
  16. R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan, (Jakarta: Serambi, 2008). h.1-11. Penjelasan selanjutnya, sebelum diseling footnote lain, dilakukan mengikuti pendapat R. E. Elson ini.
  17. Jan B. Avé, Indonesia, Insulinde and Nusantara: Dotting the i’s and crossing the ‘t (Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde 145 (1989), No. 2/3, Leiden) pp. 220-234.
  18. Ibid. Keduanya juga lahir di Indonesia: Wilken lahir di Tomohon, Minahasa (Sulut) sementara Kern lahir di Purworejo (Jateng).
  19. Ibid.
  20. R.E. Elson, The Idea ..., op.cit.
  21. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008) h. 58-9.
  22. Jan B. Avé, Indonesia ..., op.cit. Jurnalnya yaitu Hindia Poetra berubah nama menjadi Indonesia Merdeka tahun 1923. 
tags:
pembentukan masyarakat indonesia siapa manusia indonesia moyang orang indonesia jenis-jenis masyarakat perubahan

No comments:

Post a Comment