Latest News

Monday, April 30, 2012

Proses Pembentukan Masyarakat dan Perubahan Masyarakat menurut Lenski Marx Weber dan Durkheim


Proses pembentukan masyarakat dan perubahan masyarakat menurut Gerhard Lenski, Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim mewakili empat sudut pandang. Gerhard Lenski menjelaskan bagaimana teknologi mengubah masyarakat sejak 10 ribu tahun yang lalu dan terus berlangsung hingga kini. Karl Marx menjelaskan bagaimana masyarakat mengalami perubahan akibat konflik cara produksi ekonomi. Max Weber menjelaskan bagaimana masyarakat terbentuk dan berubah akibat munculnya gagasan antara masyarakat tradisional (yang dicirikan kuatnya unsur kekeluargaan) dikontraskan dengan gagasan masyarakat kompleks (yang dicirikan unsur pemikiran rasional). Emile Durkheim menjelaskan bagaimana solidaritas sosial yang terbangun baik dalam masyarakat tradisional maupun modern agar mampu menciptakan hubungan antarstruktur yang harmonis. [1]

Gerhard Lenski dan Peran Teknologi dalam Perubahan Masyarakat 

Gerhard Lenski menggunakan terawangan evolusi sosial budaya guna melihat perkembangan masyarakat.[2] Lenski menjelaskan bagaimana perubahan dalam masyarakat terjadi segere setelah mereka memproduksi (atau mengadaptasi) teknologi baru. Bagi Lenski, masyarakat wilayah pedalaman tidak selalu berarti lebih terbelakang ketimbang urban. Masyarakat pedalaman menggunakan teknologi yang sekadar menjangkau jumlah anggota mereka yang memang kecil, sementara teknologi masyarakat urban (misalnya alat transportasi) mampu menjangkau jumlah yang lebih besar. Jangkauan ini berpengaruh terhadap pola perubahan masyarakat sehubungan intensitas interaksi sosial yang dihasilkannya. 

Lewat teknologi, interaksi sosial meningkat kepadatan moralnya (moral density) dan membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar gagasan. Pertukaran lalu mendorong perubahan sosial (social change). Teknologi pesawat terbang misalnya, memungkinkan manusia mengatasi sulitnya medan darat, sehingga mereka dapat melakukan penerbangan perintis untuk membuka wilayah yang sebelumnya terisolasi, baik oleh pegunungan maupun lautan. Datangnya manusia baru dari luar – baik untuk menetap atau sekadar singgah –menciptakan interaksi sosial jenis baru. Interaksi tersebut mendorong masyarakat yang awalnya terisolasi tadi menemukan sejumlah gagasan baru untuk mereka terapkan dalam hubungan sosial. Bagi Lenski, faktor material yaitu teknologi (pesawat terbang) meningkatkan interaksi, interaksi memunculkan gagasan, gagasan mendorong perubahan sosial. 

Lewat kajiannya atas pengaruh teknologi atas evolusi sosial budaya, Lenski membagi masyarakat ke dalam lima kategori, yang terdiri atas: masyarakat pemburu dan peramu, masyarakat hortikultural dan pastoral, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat pos-industri. Klasifikasi kelima jenis masyarakat tersebut tampak pada tabel.[3]

Pemburu dan Peramu. Masyarakat pemburu dan peramu adalah bentuk masyarakat paling sederhana.[4] Kegiatan mereka umumnya sekadar berburu hewan (memburu) serta mengumpulkan hasil tanaman nonbudidaya dengan teknologi berupa peralatan sederhana (meramu). Kendati kini perkembangan teknologi sudah menciptakan masyarakat posindustri, masyarakat pemburu dan peramu masih ada di sejumlah wilayah Indonesia. Akibat teknologi diterapkan hanya mampu mengelola alam secara pasif, sebagian besar kegiatan sosial mereka habiskan untuk mencari makanan berupa hewan buruan ataupun tanam-tanaman demi pemenuhan kebutuhan subsisten. 

Dalam aktivitasnya, masyarakat pemburu dan peramu bergantung pada keluarga. Ketergantungan berkisar pada distribusi makanan, perlindungan anggota, dan sosialisasi budaya. Perempuan biasanya berkegiatan meramu, sementara laki-laki memburu hewan. Umumnya, di masyarakat pemburu dan peramu terdapat seorang shaman (pemimpin spiritual, dukun) yang istimewa posisinya. Namun, bahkan shaman pun tetap harus mencari makan untuk keluarganya, sama seperti anggota masyarakat lain. 

Sercombe and Sellato menyebut masih terdapat suku yang masuk kategori masyarakat pemburu-peramu di Kalimantan, yaitu: Punan Tubu dan Punan Malinau (sebelah utara Kalimantan Timur); Kayan-Tabang-Segah-Kelai (sebelah tengah-selatan Kalimantan Timur); Hovongan dan Kereho (perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur); Buket (ujung barat Kalimantan Timur dekat perbatasan dengan Kalimantan Barat); Buket (ujung timur Kalimantan Barat, dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Serawak).[5] Masyarakat pemburu dan peramu lainnya adalah Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.[6]

Hortikultural dan Pastoral. Masyarakat hortikultural menerapkan teknologi peralatan tangan untuk mengkoleksi hasil pertanian.[7] Masyarakat pastoral menerapkan teknologi domestikasi hewan. Masyarakat hortikultural dan pastoral masih dapat ditemukan di wilayah Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Material surplus – jumlah kebutuhan subsisten lebih besar dari persyaratan hidup – masyarakat hortikultural dan pastoral berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Tingkat produksi makanan mereka lebih besar karena teknologi yang mereka terapkan memungkinkan campur tangan manusia atas produksi tanaman dan hewan. Akibatnya, populasi masyarakat hortikultural dan pastoral mengalami peningkatan. Masyarakat pastoral hidup nomadik dengan menggembala ternak, sementara masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman permanen. Mereka baru pindah tatkala tanah tempat tumbuhnya tanaman tidak lagi subur atau ditemukan tanah garapan baru yang lebih subur dan mampu menampung jumlah populasi mereka. 

Saat masyarakat mengalami material surplus memungkinkan adanya waktu luang (leissure time) bagi sebagian anggotanya. Waktu luang mendorong munculnya kreativitas teknologi dan mewujud dalam spesialisasi pekerjaan baru seperti membuat peralatan rumah tangga, berdagang hewan dan tanaman, membuat rumah, membuat jalan, dan sebagainya. Teknologi baru bisa ditemukan karena banyak individu yang tidak perlu lagi terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi subsisten (menyediakan pangan) karena teknologi sudah dapat membantu penyelesaian pekerjaan. Secara akumulatif, kemunculan sebuah teknologi baru disusul teknologi lain yang sifatnya lebih rumit karena sumber daya yang memungkinkan untuk itu tersedia lebih banyak. 

Akibat pokok perkembangan teknologi di dalam masyarakat hortikultural dan pastoral adalah munculnya kelompok yang lebih kaya dan lebih berkuasa. Ketimpangan sosial mulai muncul. Satu keluarga lebih berpengaruh ketimbang keluarga lainnya. Satu kelompok lebih mendominasi kelompok lain. Keluarga atau kelompok tersebut memanfaatkan sumber daya politik dan keamanan untuk menjamin posisinya. Perbedaannya dengan masyarakat yang lebih kemudian (masyarakat agraris, nanti dibahas) adalah jangkauan wilayah kekuasaannya yang relatif kecil karena pertumbuhan populasi masyarakat fase ini yang belum terlalu signifikan. Pertumbuhan agama juga berbeda di masyarakat hortikultural dan pastoral. Di masyarakat hortikultural, muncul gagasan satu tuhan tetapi intervensinya terhadap kehidupan tidak sebesar dalam masyarakat pastoral.[8]

Agraris. Masyarakat agraris dicirikan kegiatan cocok tanam berskala besar.[9] Cocok tanam skala besar dimungkinkan akibat ditemukannya teknologi pembantu produksi manusia, semisal tenaga hewan (sapi untuk menarik bajak, kuda untuk menarik pedati). Masyarakat ini juga ditengarai telah menemukan teknologi irigasi, teknik baca tulis, dan penggunaan peralatan yang terbuat dari logam. Lewat bantuan bajak, teknik irigasi, dan peralatan logam, masyarakat agraris dapat menetap di suatu wilayah, tidak perlu lagi berpindah layaknya masyarakat hortikultural. Mereka mampu melakukan refertilization tanah garapan. Populasi masyarakat agraris semakin menumpuk di suatu wilayah karena lahan tanaman dapat digunakan oleh beberapa generasi dengan tingkat kesuburan yang berkurang lambat. Produksi cocok-tanam masyarakat agraris berlipat ganda dibandingkan hortikultural. Peningkatan material-surplus membuat peningkatan serupa pada jumlah manusia yang tidak perlu terlibat langsung dalam kegiatan produksi subsisten. Waktu luang mereka manfaatkan untuk menemukan teknologi baru. Diferensiasi dan spesialisasi kerja yang lebih rumit ketimbang masyarakat sebelumnya (hortikultural dan pastoral) jadi tidak terelakkan. Diferensiasi dan spesialisasi kerja muncul akibat semakin banyak waktu luang yang dimanfaatkan dalam dalam masyarakat ini. Di dalam masyarakat agraris, jaringan perdagangan tumbuh lebih pesat, dan uang mulai digunakan sebagai alat tukar. 

Penemuan uang mendorong pada meningkatnya ketimpangan sosial. Kelompok kategori ekonomi mampu memanfaatkan sumber daya ekonomi secara lebih efektif. Mereka muncul sebagai kelas ekonomi mapan lalu mendominasi kelas lain. Mereka juga punya waktu luang lebih banyak karena pekerjaan subsisten sudah dilakukan para subordinatnya: Petani penggarap dan budak. Mereka memperalat uang dan pranata hukum demi mengamankan keuntungan ekonomi komparatifnya. Ketimpangan sosial berangsur permanen. Dalam masyarakat agraris, segregasi peran perempuan dan laki-laki mulai terjadi. Laki-laki menjalankan peran-peran publik pengaturan masyarakat, sementara perempuan didorong lebih berkonsentrasi pada masalah domestik (rumah tangga). 

Indonesia merupakan masyarakat agraris. Luas wilayah masyarakat ini – daratan dan lautan – mencapai 1.904.569 km2. Dari luas total tersebut, 24% merupakan daratan. Dari total daratan ini, 67 juta hektar (35%) digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta hektar (65%) digunakan untuk areal budidaya, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Sebanyak 53,71 juta hektar lahan dari 123 juta hektar area budidaya digunakan sebagai lahan pertanian.[10] Dalam konteks ini, Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris ketika 43,33% (hampir setengah) luas lahan daratan yang dapat dibudidaya digunakan untuk pertanian. Namun, masyarakat agraris ini lambat laun mulai tergusur oleh terbentuknya jenis masyarakat baru yang sudah mulai menggejala: Masyarakat industrial. 

Industrial. Masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utama produksi barang – makanan, pakaian, bahan bangunan – dengan bantuan teknologi mesin yang digerakkan sumberdaya energi non hewani (sumber daya baru).[11] Penggunaan energi hewan yang marak di tahap masyarakat agraris berkurang penggunaannya. Teknologi mesin yang operasinya didukung sumber daya energi baru (bahan bakar fosil), membuat proses produksi jauh lebih cepat dengan hasil jauh lebih banyak ketimbang yang bisa dilakukan masyarakat sebelumnya. Material-surplus dalam masyarakat ini terjadi berkali-kali lipat. Apalagi dengan turut ditemukannya teknologi kereta uap, kapal uap, listrik, rel-rel besi, juga komunikasi kawat, yang kesemuanya memungkinkan proses distribusi hasil produksi semakin cepat dan ekstensif. Perluasan pasar dan pencarian sumber daya mendorong munculnya imperialisme. Imperialisme memungkinkan pemilik alat produksi dari bangsa imperial mencapai keuntungan yang semakin besar. Akibatnya, ketimpangan sosial di dalam masyarakat industri jauh lebih besar dan rumit lagi. 

Teknologi mobil ditemukan tahun 1900. Mobil adalah teknologi transportasi dan diproduksi secara massa. Kemampuan jelajah mobil jauh lebih tinggi ketimbang hewan (unta, kuda, keledai, sapi). Daya jelajah manusia meningkat dan mendorong banyak daerah baru dibuka, sumberdaya alam baru dieksploitasi, dan manusia baru ditemukan. Secara global, kolonialisme dan imperialisme membiak, proses produksi semakin murah dan kompleksitas sosial dari sentra-sentra produksi merambat ke wilayah non perkotaan. Percepatan produksi dan interaksi sosial baru, membuat hubungan antar manusia mulai anonim. Anonimitas kerap membuat orang yang tinggal bersebelahan tidak mengenal satu sama lain. Kepadatan primordial meningkat dalam tingkat yang tidak pernah ditemukan dalam masyarakat agraris sebelumnya. Kepadatan primordial membuat ketegangan antar kelompok – menurut garis budaya, agama, sosial, kelas – meningkat. Subkultur dan counterculture bermunculan menantang budaya mainstream. Lembaga-lembaga sosial nonkeluarga mulai mengambil peran lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu. Struktur keluarga berubah, dengan indikasi maraknya perceraian, single-parents, atau keluarga-keluarga adopsi. 

Untuk sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah atau paling tidak mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah sentra pabrik dan kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia nyata menampakkan wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa dalam alur pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai beragam jenis masyarakat, tidak mono jenis. 

Posindustrial. Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan produksi untuk menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya teknologi komputer.[12] Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada pabrik dan mesin penghasil barang material, maka masyarakat posindustri fokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya bergantung pada komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi utamanya digunakan untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi. Jika individu masyarakat industri belajar keahlian teknis, maka individu masyarakat posindustri mengembangkan kemampuan teknologi informasi menggunakan komputer dan perangkat teknologi informasi lain sebagai alat bantu kerja. Masyarakat posindustri cenderung mengembangkan softskill ketimbang hardskill. Percepatan pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat industri. 

Produksi barang lewat tenaga manusia dalam masyarakat posindustri lebih sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja untuk menjalani profesi guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator telepon, operator foreign-exchange, pialang saham, termasuk bisnis on-line (e-business dan e-commerce). Industri yang berkembang mengarah pada produksi soft-skill ketimbang hard-skill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian merenggangnya kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan akibat aktivitas masyarakat sebelumnya (industrial). 

Kelima masyarakat evolutif Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu sama lain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain. Masyarakat pemburu dan peramu hingga kini masih dapat ditemui di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh masyarakat pendatang, mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup, bermata pencaharian, serta mengembangkan kebudayaannya. Masyarakat hortikultural Indonesia ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat seperti ini terutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah Indonesia yang punya padang rumput yang luas guna mempraktekkan kehidupan menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan ini ditandai masih adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat industrial menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat Posindustrial menggejala di kota-kota industri Indonesia, yang kendati kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat seiring mewabahnya penggunaan teknologi virtual communication, data digital, telepon seluler, dan didukung pengembangan backbone-backbone kabel internet yang massif. 

Dalam konteks Indonesia aneka masyarakat ala Lenski, tidak jelas garis yuridiksinya. Masyarakat tersebut saling berkelindan, jenis yang satu ada bercampur di sisi jenis lainnya. Namun, karakteristik mereka yang cukup berlainan menghendaki penyikapan yang berbeda. Dalam konteks perbedaan ini negara hadir sebagai regulator dan antisipator masalah. 

Karl Marx dan Peran Konflik dalam Perubahan Masyarakat

Menurut perspektif ini, sejarah masyarakat ditandai pertentangan kelas. Klasifikasi Lenski atas keenam jenis masyarakat yang didasarkan pengaruh teknologi (material) atas cara produksi, membuat analisis masyarakat lewat perspektif konflik lebih mudah dipahami. Marx adalah teoretisi konflik paling terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas perubahan masyarakat versi Lenski ke dalam konsepnya: Materialisme historis. Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain tersusun berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis beroperasi dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan. Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah pertentangan antar struktur masyarakat lama. 

Cara produksi memburu hewan dan mengumpulkan tanaman menciptakan masyarakat pemburu dan peramu, yang menciptakan kelas tetua suku dan anggota suku. Cara produksi cocok tanam dan domestikasi hewan menciptakan masyarakat hortikultural dan pastoral, yang menciptakan kelas tuan dan budak. Cara produksi pertanian menetap memunculkan masyarakat agraris, yang menciptakan kelas tuan feodal dan penggarap. Cara produksi menggunakan mesin dan buruh yang mengoperasikannya memunculkan masyarakat industrial, yang menciptakan kelas borjuis (juga kapitalis) dan proletar. Cara produksi menggunakan komputer dalam mengolah informasi menciptakan masyarakat posindustrial, yang menciptakan kelas produsen dan konsumen informasi.[13] Menurut Marx, periode masyarakat yang berbeda tersebut ditandai satu kesamaan: Struktur kelas yang terbentuk adalah cermin cara produksi yang berlaku, dalam mana masing-masingnya bertentangan satu sama lain secara diametral dalam konflik abadi. Bagi Marx, kelestarian konflik hanya akan ada selama masyarakat komunis yang egaliter belum tercipta. 

Akibat perbedaan penikmatan keuntungan hasil produksi dan waktu luang yang dimiliki, satu kelas selalu lebih beruntung ketimbang kelas lain. Hal ini membuat struktur sosial senantiasa timpang. Ketimpangan sosial ini bersifat permanen di setiap masyarakat sekaligus merupakan inti pendekatan konflik yang digagas oleh Marx. Ketimpangan sosial senantiasa membuat hubungan antar kelas ekonomi berada dalam ketegangan. Dua kelas selalu berhadapan secara diametral. 

Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah yang menciptakan gagasan. Justru cara-cara produksi-lah yang menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat. Inilah penjelasan singkat mengenai materialisme historis. Karena Marx menggunakan cara produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi. 

Marx lalu membelah struktur masyarakat menjadi dua: Infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur merupakan basis (dasar) suatu masyarakat yaitu cara produksi di bidang ekonomi. Suprastruktur terdiri atas: (1) Lembaga sosial dan (2) Gagasan dan nilai. Infrastruktur adalah fundamen yang membentuk suprastruktur. 

Cara produksi ekonomi memunculkan aneka institusi sosial seperti politik, agama, pendidikan, atau keluarga. Institusi-institusi tersebut lalu mengembangkan gagasan dan nilai-nilai aktual yang berlaku di tengah masyarakat. Menurut Marx, gagasan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat hanya dibuat oleh kelas dominan dalam cara produksi. Hanya mereka yang sempat merancang hukum dan aneka peraturan karena waktu luang yang mereka miliki lebih banyak. Akibatnya, gagasan serta nilai apapun yang muncul melulu merupakan instrumen guna memelihara status quo. Di dalam masyarakat industrial, kelas tersebut adalah kapitalis. Kelas ini sengaja menciptakan aneka institusi sosial, gagasan, agama, dan nilai-nilai masyarakat guna mempertahankan ketimpangan struktur sosial yang ada agar dominasi kelas tetap terpelihara. Bahkan, menurut Marx, negara pun tidak lain merupakan instrumen kelas borjuis dan kapitalis untuk memastikan kepatuhan kelas proletar agar terus bekerja sesuai kepentingan mereka. 

Telah dipaparkan bahwa suprastruktur yang terdiri atas intitusi sosial, gagasan, serta nilai hanya beroperasi (atau tercipta) guna mendukung cara produksi ekonomi yang ada. Dengan demikian, suprastruktur tidak lain merupakan cerminan dari infrastruktur. Jika infrastruktur mengandung hubungan sosial antarkelas yang konfliktual, maka suprastruktur sekadar merupakan instrumen demi melestarikan posisi keberuntungan kelas dominan dan mempertahankan hubungan konfliktual tersebut. Perubahan masyarakat atau perombakan suprastruktur hanya mungkin jika infrastruktur direvolusi. 

Marx hidup di dalam masyarakat industrial yang tengah berkembang. Dalam masyarakat ini, menurut Marx, terdapat dua kelas utama yaitu kelas yang berkuasa (kapitalis, pemilik alat produksi) dan kelas yang teropresi (proletar, tidak punya alat produksi, pekerja/buruh). Kelas terakhir sekadar menjual tenaga kepada kelas pertama. Marx mempersamakan hubungan kapitalis-protelar era industrial serupa dengan tuan-budak di zaman kuno ataupun tuan tanah feodal-penggarap di era agraris. Kapitalis memperlakukan proletar tidak lebih sebagai alat produksi. Hubungan konfliktual antara kapitalis-proletar bersumber pada penguasaan alokasi kekuasaan dan kesejahteraan hanya di satu kelas. Hubungan yang mungkin hanyalah satu kelas mempertahankan, kelas lain berupaya merebutnya. 

Situasi konfliktual ditandai pula peran uang yang telah muncul sebelumnya. Secara pesimis, Marx melihat uang sebagai tanda keterasingan manusia dari lingkungannya. Saat uang belum ditemukan, kepemilikan ditandai benda-benda riil misalnya ternak, gandum, gerobak, yang menunjukkan hubungan langsung manusia dengan alam. Saat uang ditemukan, ternak dikonversi menjadi uang, gandum dikonversi menjadi uang, dan gerobak dikonversi menjadi uang. Manusia tidak lagi berhubungan dengan benda-benda riil (alamiah) melainkan lewat simbol-nya: Uang. Manusia dijauhkan dan menjadi terasing dari alam. Konversi benda riil menjadi uang menambah peluang akumulasi kekayaan secara lebih timpang. Apa yang diwakili uang tidak lagi tepat melukiskan kondisi riil benda alamiah. Dalam kasus upah pekerja misalnya, kapitalis memberikannya dalam nilai uang yang ketika dikonversi pekerja menjadi benda alamiah (sembako misalnya) ternyata tidak cukup guna menghidupi diri dan keluarganya. Selain uang, sebagai penyebab keterasingan manusia, Marx juga merinci keterasingan (alienasi) lain dalam masyarakat industrial, yaitu:[14]

  1. Alienasi dari tindakan bekerja. Ideal Marx adalah, dalam bekerja orang bisa memenuhi kebutuhan sekaligus mengembangkan potensi individualitas. Namun, dalam pola kerja pabrik pekerja tidak menghasilkan barang dan skill yang dibutuhkan untuk bekerja sehingga menyebabkan kemampuan kreatifnya stagnan. 
  2. Alienasi dari hasil pekerjaan. Produk yang dihasilkan pekerja bukan milik si pekerja melainkan milik si kapitalis. Produk tersebut dijual oleh kapitalis demi profit. Bagi Marx, semakin banyak si pekerja menginvestasikan tenaganya dalam proses produksi, sesungguhnya ia semakin banyak kehilangan hasilnya. Marx merinci kondisi ini dengan teorinya tentang nilai lebih (surplus value). 
  3. Alienasi dari pekerja lain. Lewat tindakan bekerja, bagi Marx, orang seharusnya mampu membangun ikatan sosial dalam komunitas. Dalam masyarakat industrial, pekerja satu dengan pekerja lain justru malah terpisah dan diperparah oleh pola hubungan sosial yang kompetitif sehingga kesempatan membangun ikatan komunitas menjadi kecil atau cenderung tidak ada. 
  4. Alienasi dari potensi kemanusiaan. Masyarakat industrial ibarat mesin. Pekerja baru merasakan kedirian manusianya kala jam istirahat saja. 

Max Weber dan Peran Gagasan dalam Perubahan Masyarakat

Max Weber mengakui peran teknologi bagi perkembangan masyarakat.[15] Weber juga mengakui konflik bersifat inheren di tiap masyarakat. Namun, Weber tidak sepakat dengan determinisme ekonomi Marx. Jika Marx menganut materialisme historis, maka Weber dapat dikatakan menganut idealisme historis. Bagi Weber, masyarakat terbentuk lewat gagasan atau cara berpikir manusia. Dalam hal ini, Weber bertolak belakang dengan Marx yang justru mengasumsikan gagasan tidak lebih proyeksi cara-cara produksi ekonomi. 

Konsep yang diperkenalkan Weber adalah tipe ideal (ideal typhus). Makna ideal typhus adalah pernyataan abstrak mengenai ciri-ciri esensial tiap fenomena sosial. Masyarakat pemburu dan peramu, hortikultural dan pastoral, agraris, industrial, dan posindustrial adalah contoh dari tipe ideal. Ideal, dalam maksud Weber, bukan berarti baik atau buruk. Tipe ideal lebih merupakan cara mendefinisikan sesuatu. Dengan mengajukan tipe ideal atas setiap fenomena sosial, seseorang dapat melakukan perbandingan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, atau bahkan mendorong perubahan suatu masyarakat kepada tipe ideal yang dikehendaki. Tipe ideal atas suatu fenomena sosial mendorong terciptanya gagasan baru: Tipe ideal adalah gagasan. 

Organisasi rasional Weber merupakan contoh dari gagasan. Saat menggagasnya, organisasi ini belum muncul di kenyataan tatkala Weber mengamati pola kerja pegawai publik dalam Dinasti Hohenzollern yang saat itu menjalankan pemerintahan Prussia.[16] Sistem kerja dinasti tersebut bercorak patrimonial di mana ketaatan seorang pejabat publik bukan pada pekerjaan melainkan pada personalitas tokoh-tokoh politik (patron). Gagasan Weber adalah cara kerja ini harus digantikan dengan yang lebih rasional, di mana ketaatan kepada personal harus digantikan dengan ketaatan atas peraturan impersonal. Organisasi yang diajukan Weber adalah organisasi legal-rasional. Kata birokrasi bukan berasal dari Weber karena ia tidak pernah menyebut kata birokrasi dalam karyanya. Namun, kata birokrasi kini kerap dihubung-hubungkan dengan gagasan Weber. 

Dalam menganalisis masyarakat, Weber menekankan bagaimana orang berpikir tentang dunia kontekstualnya. Individu dalam masyarakat pra industri terikat oleh tradisi, sementara pada masyarakat industrial diikat rasionalitas. Tipe ideal Weber mengenai tradisi adalah nilai serta kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat tradisional terbentuk tatkala para anggotanya diarahkan oleh masa lalu atau merasakan ikatan kuat pada cara hidup yang sudah bertahan lama (tradisi). Gagasan seperti tindakan baik atau buruk ditentukan apa yang telah diterima dari masa sebelumnya. Sebaliknya, orang-orang yang hidup di masa lebih kemudian (modern), lebih mengedepankan rasionalitas, yang maknanya adalah – menurut Weber – cara berpikir yang menekankan kesengajaan, berupa perhitungan pasti seputar cara-cara yang lebih efektif dalam merampungkan pekerjaan. 

Ketergantungan pada hal-hal sentimentil pada masyarakat tradisional tidak beroleh tempat di masyarakat modern. Orang modern berpikir dan bertindak berdasarkan efeknya bagi masa kini dan masa mendatang, bukan masa lalu. Dengan demikian, Weber mengajukan pendapatnya mengenai rasionalisasi masyarakat yang didefinisikannya sebagai perubahan historis gagasan manusia (idealisme historis) dari tradisi menuju rasionalitas. Weber menggambarkan masyarakat modern sebagai sama sekali baru karena mengembangkan cara pikir ilmiah yang menyapu jauh-jauh segala ikatan sentimental atas masa lalu. 

Apakah digunakannya suatu teknologi mengindikasikan modern-nya suatu masyarakat? Bagi Weber jawabannya belum tentu karena teknologi hanya maksimal dimanfaatkan jika masyarakat penggunanya paham akan peran teknologi tersebut bagi dunianya. Apa gunanya komputer bagi masyarakat yang masih menggantungkan dirinya pada hubungan langsung dengan alam seperti masyarakat pemburu-peramu? 

Dalam menyikapi masyarakat industrial Weber berbeda pendapat dengan Marx. Weber memandang masyarakat industrial sepenuhnya rasional karena kapitalis punya kemampuan mengkalkulasi aspek untung-rugi suatu kegiatan produksi. Kalkulasi mereka lakukan sebelum uang diinvestasikan ke dalam kegiatan produksi. Sebaliknya, Marx justru menganggap masyarakat industrial sebagai irasional karena masyarakat ini gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mayoritas anggotanya. 

Konsep Weber selanjutnya adalah organisasi sosial rasional. Tekanannya atas rasionalitas sebagai ciri masyarakat modern, mendorong Weber mengidentifikasi tujuh ciri organisasi sosial yang dibentuk masyarakat modern, yaitu:[17]

  1. Munculnya lembaga sosial spesifik. Dalam masyarakat tradisional, keluarga adalah satu-satunya pusat kegiatan dalam masyarakat. Secara berangsur, sistem agama, politik, dan ekonomi mulai memisahkan diri dari sistem keluarga. Aneka sistem yang memisahkan diri ini lalu menjadi otonom bahkan menciptakan regulasi otentiknya masing-masing. Sistem-sistem baru menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota masyarakat secara lebih efektif dan efisien. 
  2. Organisasi skala besar. Masyarakat modern ditandai menyebarnya aneka organisasi sosial berskala besar. Contohnya birokrasi negara yang mampu menjangkau wilayah luas dan berpopulasi (anggota organisasi) besar, organisasi industri yang mempekerjakan ribuan orang, ataupun lembaga pendidikan yang mendidik anggota masyarakat lintas keturunan keluarga. 
  3. Spesialisasi pekerjaan. Masyarakat modern dicirikan diferensiasi dan speasialisasi tugas yang semakin rumit. Dalam masyarakat modern tidak aneh ada profesi penyapu jalan, penjaga WC umum, tukang sampah hingga presiden. 
  4. Disiplin pribadi. Disiplin pribadi merupakan hal yang dihargai dalam masyarakat modern. Namun, kedisiplinan juga ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang dianut, semisal prestasi atau kesuksesan yang dipandang tinggi suatu masyarakat. 
  5. Penghargaan atas waktu. Masyarakat tradisional dicirikan ketundukan pada peredaran matahari atau musim. Masyarakat modern melangkah lebih jauh dengan membagi waktu berdasarkan jam bahkan menit (kadang detik, dalam dunia teknologi informasi). Siklus kerja masyarakat modern tidak lagi ditentukan peredaran matahari dan musim. Dalam pabrik misalnya, dikenal tiga shift: Pagi, siang, dan malam. 
  6. Kompetensi teknis. Masyarakat tradisional ditengarai oleh latar belakang keluarga (keturunan siapa). Masyarakat modern ditengarai oleh latar belakang kompetensi teknis, kemampuan melakukan suatu pekerjaan. Profesionalitas menjadi alat ukur utama dalam memandang seseorang, bukan asal-usul keturunannya (bibit). 
  7. Impersonalitas. Masyarakat modern menentukan pola hubungan berdasarkan profesionalitas (kemampuan teknis) dalam pasar kerja. Dengan demikian, manusia menjadi impersonal akibat hanya dikenali berdasarkan kemampuan teknis bukan kediriannya yang utuh. Perasaan semakin dijauhkan dalam hubungan masyarakat rasional. 

Bagi Weber, kapitalisme, birokrasi, dan ilmu pengetahuan adalah ekspresi (perwujudan) dari gagasan utama masyarakat modern: Rasionalitas. Namun, layaknya Marx, Weber juga menemukan potensi alienasi (keterasingan) individu di dalam masyarakat yang rasional ini. Jika Marx menjelaskan alienasi tercipta akibat ketimpangan ekonomi, maka bagi Weber alienasi tercipta sebagai hasil operasi organisasi rasional. Organisasi rasional memperlakukan manusia melulu sebagai angka, tugas, jabatan, atau kompetensi ketimbang keunikan individualitas manusiawi mereka. Kepastian, impersonalitas, keterukuran, dan predictability masyarakat modern yang rasional membuat Weber khawatir manusia kehilangan aspek kemanusiaannya. 

Emile Durkheim dan Peran Peralihan Solidaritas Sosial dalam Perubahan Masyarakat

Bagi Emile Durkheim, masyarakat berbeda dengan individu.[18] Masyarakat berada di luar (beyond) individu. Masyarakat ada sebelum, di tengah, dan setelah kehadiran individu di dunia. Masyarakat akan tetap ada kendati individu-individu sudah tidak lagi menjadi anggotanya. Masyarakatlah yang punya kekuasaan mengarahkan pemikiran dan tindakan manusia. Sebab itu, kajian psikologi atau biologi dianggap tidak pernah bisa menangkap inti pengalaman sosial seseorang. Segera setelah dibentuk oleh sekumpulan orang, masyarakat seterusnya bergerak secara mandiri. Bahkan, masyarakat menuntut kepatuhan dari orang-orang yang telah membentuknya. 

Bagi Durkheim, struktur sosial adalah pola perilaku manusia yang meliputi norma, nilai, dan kepercayaan. Pola perilaku tersebut dikodifikasi di dalam budaya. Struktur sosial juga disebut Durkheim sebagai fakta sosial. Fakta sosial adalah struktur sosial yang benar-benar ada di luar individu, sifatnya permanen, bukan trend. Selain struktur, masyarakat juga punya fungsi. Fungsi ini memastikan masyarakat mampu beroperasi. Salah satu fakta sosial adalah kriminalitas. Bagi Durkheim, secara sosial fungsi kriminalitas tidaklah abnormal. Eksisnya kriminalitas menunjukkan kemampuan masyarakat dalam mendefinisikan moralitas. Sanksi yang diberikan sanksi masyarakat atas para pelaku kriminal menunjukkan eksistensi norma sosial yang harus dipatuhi setiap anggotanya. 

Durkheim juga menyatakan, masyarakat tidak hanya berada di luar individu melainkan juga di dalam-nya. Personalitas pribadi merupakan representasi masyarakat di dalam diri individu. Konsekuensi logisnya, apapun yang individu lakukan, bayangkan, pikirkan, putuskan, sesungguhnya dipengaruhi apa yang masyarakat introjeksikan kepadanya. Masyarakat-lah yang mengatur apa yang boleh diinginkan individu, bagaimana cara mencapainya, serta apa saja batasannya. 

Durkheim juga menyorot integrasi sosial. Pandangan menarik Durkheim mengenai ini adalah kasus bunuh diri. Menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang lemah integrasi sosialnya. Dalam sebuah penelitian – dimuat dalam karya tulisnya, Suicide – tingkat bunuh diri rendah di kalangan masyarakat Katolik ketimbang Protestan. Bagi Durkheim penyebabnya adalah, penekanan kolektivitas pada masyarakat Katolik lebih besar, sementara Protestan lebih kepada individualitas. 

Durkheim berbeda dengan Weber dalam memandang konsep masyarakat tradisional dan modern. Bagi Durkheim, masyarakat modern punya pembatasan yang lebih sedikit atas individu ketimbang yang dilakukan masyarakat tradisional. Akibat sedikitnya keterlibatan masyarakat atas individu modern, masyarakat modern cenderung menciptakan anomie. Anomie adalah kondisi di mana individu hanya sedikit mendapat bimbingan moral dari masyarakat. Akibat anomie, tingkat perceraian, kehamilan di luar nikah, bunuh diri, stress dan depresi individual lebih banyak terdapat di masyarakat modern ketimbang tradisional. 

Durkheim juga mengkomparasikan kohesi sosial antara masyarakat tradisional dengan modern. Komparasi Durkheim lakukan atas aspek solidaritas sosial. Pada masyarakat pra-industrial, tradisi bertindak sebagai perekat sosial (kohesi) masyarakat. Masyarakatnya mengembangkan solidaritas-mekanik. Solidaritas-mekanik adalah ikatan sosial berdasarkan nilai-nilai moral dan sentimen bersama dan masih kuat dianut serta dipatuhi oleh para anggota masyarakat. Solidaritas-mekanik sekaligus merupakan produk kesamaan struktur, okupasi, dan proses sosial masyarakat. 

Dalam masyarakat industri, kepadatan moral (moral density) meningkat. Peningkatan berakibat pada melemahnya solidaritas-mekanik yang membuat individu merasa tidak lagi terikat tradisi. Sebagai penggantinya – di masyarakat modern – muncul solidaritas-organik yaitu ikatan sosial berdasarkan spesialisasi dan kesalingtergantungan okupasi antaranggota masyarakat. Perbedaan spesialisasi kerja (okupasi) pada masyarakat modern membuat para anggotanya saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan bukan karena punya nilai, norma, atau budaya serupa melainkan kepentingan okupasi. Transaksi antar kepentingan okupasi direkat oleh uang. Dalam membangun rumah misalnya, terdapat sejumlah profesi yang saling bergantung seperti arsitek, mandor, teknik sipil, tukang listrik, tukang pipa, buruh bangunan kasar, ataupun pejabat yang mengurus IMB. Mereka tidak bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan, dan mereka hanya mau bekerja jika kompetensi masing-masing diimbali dengan uang. 

----------------------

[1] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p. 80-94. 
[2] Ibid
[3] Ibid., p. 83. 
[4] Ibid
[5] Peter Sercombe and Bernard Sellato, eds., Beyond the Green Myth: Borneo’s Hunter-Gatherer in the Twenty-First Century (Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, 2007) p. 10 
[6] Johan Weintré, Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden), Makalah Studi Lapangan, (Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM, 2003). 
[7] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber ini. 
[8] Agama Yahudi dan Nasrani tumbuh dari masyarakat pastoral Bani Israil. 
[9] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.82-4. Bahasan agraris didasarkan sumber ini. 
[10] Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi, ed., Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) h. 65. 
[11] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p..84. Bahasan industrial didasarkan sumber ini. 
[12] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.84-5. Bahasan hortikultural dan pastoral didasarkan sumber ini. 
[13] Kelas produsen dan konsumen adalah inisiatif penulis. Analisis Marx hanya sampai masyarakat industrial. 
[14] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p.87-8. 
[15] Ibid. Pembahasan mengenai Weber menggunakan sumber ini, dengan eleborasi seperlunya. 
[16] Dinasti ini berkuasa 1871–1918 di Prussia (Jerman), di masa Weber produktif menulis karya-karyanya. 
[17] John J. Macionis, Sociology ..., op.cit. p. 91. 
[18] Ibid.p. 92-4.

tags: 
proses pembentukan masyarakat proses perubahan masyarakat menurut gerhard lenski karl marx max weber emile durkheim peran teknologi peran konflik peran gagasan peran solidaritas sosial

Saturday, April 28, 2012

Uji Korelasi Spearman dengan SPSS dan Manual

Uji korelasi Spearman dengan SPSS pada hakikatnya serupa dengan secara manual. Uji korelasi Spearman adalah uji statistik yang ditujukan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel berskala Ordinal. Selain Spearman, D.A. de Vaus menyebutkan bahwa uji korelasi yang sejenis dengannya adalah Kendall-Tau.[1] Asumsi uji korelasi Spearman adalah: (1) Data tidak berdistribusi normal dan (2) Data diukur dalam skala Ordinal.

Rumus uji korelasi spearman untuk jumlah sampel < = 30 adalah:


Di mana:


Uji Korelasi Spearman Secara Manual 

Jika dilakukan secara manual, maka tata tertib melakukan uji korelasi Spearman adalah: 

  1. Jumlahkan skor item-item di tiap variabel untuk mendapatkan skor total variabel (misalnya cari skor total variabel X dengan menotalkan item-item variabel X). 
  2. Lakukan rangkin skor total x (rx) dan rangking skor total y (ry). 
  3. Cari nilai d yaitu selisih rx – ry . 
  4. Cari nilai d2 yaitu kuadrat d (selisih rx – ry). 

Agar lebih mudah, kerjakan dengan Excel dan buat saja tabel seperti contoh di bawah ini:


Setelah data dihitung dalam tabel, lalu masukkan ke dalam rumus uji korelasi Spearman:


Dengan demikian korelasi Spearman (rs) variabel x dengan variabel y dalam contoh adalah 0,47. Nilai korelasi Spearman hitung ini (rs) lalu diperbandingkan dengan Spearman Tabel (rs tabel). Keputusan diambil dari perbandingan tersebut. Jika rs > rs tabel, H0 ditolak dan H1 diterima. Jika rs hitung <= rs tabel, H0 diterima, H1 ditolak. Pengambilan keputusan dari contoh di atas adalah karena rs hitung > rs tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya terdapat hubungan antara variabel x dengan variabel y. Lalu, bagaimana menginterpretasikannya? 

Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus 

D.A. de Vaus menginterpretasikan koefisien korelasi sebagai berikut:


Dalam contoh di atas maka kekuatan hubungan antara x dan y adalah hubungan moderat (karena 0,47). 

Data Saya Lebih Besar dari 30 ! 

Rumus di atas berlaku jika jumlah sampel lebih kecil atau sama dengan 30 (<=30). Lalu, bagaimana menghitung uji korelasi Spearman dengan lebih dari 30 sampel? Caranya mudah saja yaitu Cari Nilai z hitung terlebih dahulu. 

Cara mencari nilai z hitung sebagai berikut:


Di mana:


Nilai rs dicari dengan cara yang sama seperti perhitungan terdahulu (di bagian atas). Dalam contoh sampel yang lebih besar dari 30 ini misalnya sampel menggunakan 50 responden. Maka perhitungannya sebagai berikut:


Nilai z hitung dalam sampel > 30 ini adalah 6,93. Pengambilan keputusan dalam sampel > 30 ini adalah membandingkan antara z hitung dengan z tabel. Z hitung sudah diperoleh sekarang tinggal z tabel. 

Cara Mencari z Tabel 

Nilai z tabel dicari dari tabel Z (lihat buku-buku statistik). Caranya adalah: 

  1. Tentukan Taraf Keyakinan Penelitian (misalnya 95%). Taraf Keyakinan 95% berarti Interval Keyakinan-nya (alpha) 0,05. Nilai 0,05 ini merupakan bentuk desimal dari 5% yang diperoleh dari pengurangan 100% selaku kebenaran absolut dengan 95% (100% - 95% = 5% atau 0,05). 
  2. Tentukan Uji yang digunakan. Apakah 1 sisi (One-Tailed) atau 2 sisi (Two-Tailed). Penentuan 1 sisi atau 2 sisi ini didasarkan hipotesis penelitian. Jika hipotesis hanya menyebutkan “terdapat hubungan” maka artinya bentuk hubungan belum ditentukan apakah positif atau negatif dan dengan demikian menggunakan uji 2 sisi. Jika hipotesis menyatakan “terdapat hubungan positif” atau “terdapat hubungan negatif” maka artinya bentuk hubungan sudah ditentukan dan dengan demikian menggunakan uji 1 sisi. 
  3. Jika Uji 2 Sisi (Two-Tailed) maka lihat Tabel Z. Dalam uji 2 sisi Interval Keyakinan dibagi dua yaitu 0,05 / 2 = 0,025. Cari pada kolom tabel nilai yang paling mendekati 0,025. Dari nilai yang paling dekat tersebut tarik garis ke kiri sehingga bertemu dengan nilai 1,9 + 0,060 = 1,96. Batas kiri pengambilan keputusan dengan kurva adalah –1,96 batas kanannya +1,96. Keputusannya: Tolak H0 dan Terima H1 jika –z hitung < dari –1,96 dan > dari +1,96. Sebaliknya, Terima H0 dan Tolak H1 jika – z hitung > -1,96 dan < dari +1,96. 

Uji Korelasi Spearman dengan SPSS 

Jika uji korelasi Spearman diadakan dengan SPSS maka langkah-langkahnya sebagai berikut: 

  1. Totalkan item-item variabel x menggunakan menu Transform > Compute Variable > jumlahkan item-item variabel x. 
  2. Totalkan item-item variabel y menggunakan menu Transform > Compute Variable > jumlahkan item-item variabel y. 
  3. Buatlah Ranking bagi rx dan ry menggunakan menu Transform > Compute > Masukkan Skor Total Variabel X dan Variabel Y ke Variables > Pilih saja Smallest pada Assign Rank > Klik OK. Setelah itu muncul dua variabel baru yaitu rangking untuk x dan y (lihat di tab Variable View). 
  4. Lakukan Uji Korelasi Spearman dengan SPSS dengan klik Analyze > Correlate > Bivariate > Masukkan Rangking X dan Ranking Y ke Variables > Pada Correlation Coefficient ceklis Spearman > Pada Test of Significance pilih 2-Tailed (jika 2 sisi) atau 1-Tailed (jika 1 sisi) > Klik OK. 

Hasilnya output SPSS misalnya sebagai berikut:


Variabel X dan Variabel Y pada contoh output di atas berhubungan dalam koefisien 0,823. SPSS menunjukkan bahwa korelasi tersebut signifikan bahkan dalam Interval Keyakinan (alpha) yang lebih teliti lagi yaitu 0,01 untuk Uji 2 Sisi. 

Pengambilan keputusannya sama dengan cara manual di atas yaitu membandingkan antara z hitung dengan z tabel. Atau bisa juga dengan Kurva Normal berikut:


-------------------------------------

[1] D.A. de Vaus, Survey in Social Research, 5th Edition (New South Wales: Allen and Unwin, 2002) p. 259.

tags:
uji korelasi spearman dengan spss uji korelasi spearman secara manual tabel kekuatan hubungan de vaus pengambilan keputusan dengan kurva normal

Wednesday, April 25, 2012

Konflik-konflik Vertikal di Indonesia dengan Contoh Kasus Aceh Maluku dan Papua

Konflik-konflik vertikal di Indonesia dengan contoh kasus Aceh, Maluku, dan Papua ini mengetengahkan konflik dalam konteks hirarki politik negara. Khususnya, konflik yang terjadi dalam konteks negara yang menganut bentuk negara kesatuan. Biasanya, konflik mengambil bentuk umum sengketa antara daerah (atau kelompok di suatu daerah) melawan pemerintah pusat. 


1. Konflik Aceh 


Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang.[1] Akar konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia.[2] Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno.[3] Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia.[4]

Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.[5]

Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh. 

Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.[6] Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat. 

Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.[7]

Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa.[8] Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka. 

Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. 

Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat.[10] Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri. 

Di bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa mendatang. 

Dalam masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 

Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini. 

2. Konflik Papua 

Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini. 

Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :[12]

  1. Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda, 
  2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka, 
  3. Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.[13]

Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM. 

Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.[15]

Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua.[16] Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu. 

Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan.[17] Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.[18]

3. Konflik Maluku 

Hasbollah Toisuta menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda dengan konflik Aceh. Pertama, di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa agama. Kedua, di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.[19] Konflik yang disoroti dalam tulisan ini adalah jenis yang kedua, konflik vertikal vis a vis pemerintah pusat. 

Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur. 

Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik kiri.[20] Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia. 

Sebelumnya, tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairisal.[21] Pemerintah segera melakukan serangan politik dan militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia.[22] Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja menerima kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa Barat lain. 

Ruth Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan.[24] Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat. 

Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999 dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan nasional mudah memanas. 

Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku. 

Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah. 

Contoh upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka, Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik. 

Lihat juga:

Pendekatan-pendekatan dalam Menganalisis Konflik di Indonesia

------------------------------------

[1] Syamsul Hadi, et.al., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). 
[2] Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, Integrasi Nasional dalam Perspektif Sejarah Indonesia: Sebuah Proses yang Belum Selesai (Pidato Pengukuhan: Disajikan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro di Semarang, 9 Pebruari 2002) h. 21. 
[3] Ibid., h. 14 
[4] Ibid. 
[5] Syamsul Hadi, et.al, Disintegrasi ...., op.cit. 
[6] Lihat tulisan sebelumnya mengenai struktur masyarakat suku bangsa Indonesia. 
[7] Syamsul Hadi, et.al., Disintegrasi ..., op.cit. 
[8] Ibid., h. 22. 
[9] Lambang Trijono, Pembangunan sebagai Perdamaian: Rekonstruksi Indonesia Pasca Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) h. 165. 
[10] Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Senin 15 Agustus 2005 Helsinki, Finlandia. Download dari www. acstf.org. 
[11] Ikrar Nusa Bhakti, et.al, Military Politics, Ethnicity and Conflict in Indonesia (Crise Working Paper No.62, January 2009). 
[12] Esther Heidbuchel, The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (Johannes Herrmann Verlag, 2007) pp. 54-5. 
[13] Ibid. 
[14] Ans Gregory da Iry, Dari Papua Meneropong Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2009) h.8. 
[15] Ibid. 
[16] Ibid., h. 9-10. 
[17] Lambang Trijono, Pembangunan ..., op.cit., h. 129. 
[18] Manuel Kaisiepo, Dinamika Konflik di Papua: Bias Kultural dan Interest Ekonomi Politik dalam Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (Bandung: Mizan, 2008) h.472. 
[19] Hasbollah Toisuta, Belajar dari Kasus Aceh: Menggagas Dialog Kultural dalam Fahmi Salatalohy dan Rio Pelu, eds. Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku tentang Maluku untuk Indonesia (Yogyakarta: Kerjasama Satusa dan LKiS, 2004) h.6. 
[20] Ibid. 
[21] Saat ini, di situs mereka, www.republikmalukuselatan.nl. tercantum presiden RMS adalah J.G. Wattilete yang merupakan presiden RMS ke-10. Presiden RMS April–Mei 1950 J.H. Manuhutu, 1950–1966 C.R.S. Soumokil, 1966 – 1993 J.A. Manusama, dan 1993 – 2010 F.L.J. Tutuhatunewa. 
[22] M.C. Ricklefs, Sejarah ..., op.cit., h. 467-8. 
[23] Ruth Saiya, Nasionalitas Pendamai Pejuang Tempur Maluku dalam Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial (Yogyakarta: Kanisius, 2008) h. 32. 
[24] Ibid. 
[25] Badrus Sholeh, Jihad in Maluku dalam Andrew Tian Huat Tan, A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2007) p.160. 
[26] Pasal 2 Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku. 
[27] Ruth Saiya, Nasionalitas Pendamai Pejuang Tempur Maluku dalam Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial (Yogyakarta: Kanisius, 2008) h.25.

tags:
konflik-konflik vertikal di indonesia contoh kasus aceh maluku papua konflik daerah pemerintah pusat